Makna Makna-makna Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren”

commit to user 268 carut marutnya sistem pemerintahan.. 3 makna sosial- budaya; akan menganalisis dan membahas karya lukis “Pasren” yang mengangkat kehidupan sosial budaya yang berupa atraksi-atraksi seni budaya sebagai unsur kebudayaan. Untuk mengetahui makna simbolis tersebut lebih mendalam, maka dapat diuraikan dalam pembahasan berikut ini.

4.3.3.1 Makna

Ma ’rifat Istilah ma‟rifat berasal dari akar kata arif yang artinya tahu atau mengenal. Dari kata ma‟rifat itu kemudian muncul istilah ma‟rifatullah artinya mengenal Allah SWT. Rummi, 2007: 23 dalam konteks agama Islam atau agama apapun, setiap fitrah manusia mulai yang masih primitif sampai yang beriman ingin mengenal Tuhannya dengan meyakini, bahwa jagat raya termasuk dirinya itu di bawah kekuasaan Tuhan yang Mahakuasa. Bahkan, manusia atheis sekalipun hati nuraninya tetap mengakui adanya kekuatan ghoib di alam ini. Hanya saja secara spesifik mereka tidak menemukan manakah yang disebut Tuhan itu. Buktinya dalam pencariannya ia menemukan sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan, misalnya batu, pohon, sungai, matahari atau apa saja yang dianggap lebih hebat dan dianggap sebagai tuhannya. Karena kaum atheis itu tidak tersentuh ilmu agama, maka dalam memilih Tuhan sering kali meleset. Oleh karena itu, agama menjadi penting untuk membimbing seseorang menemukan dan mengenal Tuhan sejati. Masih dalam konteks agama, seseorang dalam mengenal Tuhan yang sejati tidak boleh mempersamakan antara ciptaan dan penciptanya. Artinya, seluruh makhluk yang berada di jagat raya ini seperti matahari, bulan, bintang, gunung, commit to user 269 pohon, sungai dan lain-lain tidak boleh dipersamakan dengan Tuhan yang menciptakan kesemuanya itu atau bahkan dijadikan tuhan. Dengan demikian, yang dimaksud mengenal Tuhan sejati dalam ilmu ma‟rifat adalah upaya seseorang untuk mengenal Tuhan sebatas mengenal sifat-sifat-Nya saja seperti melalui makhluk- makhluk ciptaaan-Nya. Dengan kata lain, setiap melihat keindahan alam raya ini selalu disandarkan pada kekagumannya atas yang Tuhan Yang Mahakuasa. Corak dan gaya N aturalime dapat menempatkan karya seni lukis “Pasren” sebagai tanda-tanda atau simbol ma‟rifat bagi pelukisnya dalam mengenal Tuhan pencipta alam. Hal ini karena pada umumnya lukisan naturalisme mengangkat objek- objek keindahan alam sebagai tanda kekagumannya pelukis pada makhluk ciptaan- Nya. Lukisan naturalisme yang melukiskan keindahan pemandangan alam dianut oleh beb erapa pelukis “Pasren”. Joko SP 47 th adalah salah satu pelukis anggota “Pasren” yang paling banyak mengangkat objek keindahan alam dalam bingkai lukisannya. Di antara karya-karyanya yang menarik untuk diambil sebagai sampel untuk dianalisis adalah karyanya yang berjudul “Pemandangan Alam di Kaki Merapi” 2006 seperti tampak pada gambar IV.7 di atas. Karya ini di samping memiliki nilai estetis yang mempesona, karya ini juga memiliki nilai-nilai simbolis yang mengundang untuk memaknainya. Tanda-tanda simbolis yang dikirimkan lewat karya ini berupa ikon gunung, awan, terasering, persawahan, rerimbunan pohon dan sebagainya. Pada kenyataannya para pelukis yang berpaham naturalisme dan impresionisme banyak mengeksploitasi objek gunung sebagai bagian dari lukisan pemandangan keindahan alam. Demikian juga di dalam organisasi “Pasren” tidak commit to user 270 hanyak lukisan karya Joko SP saja, tetapi pelukis “Pasren” yang lain misalnya Kapten Suwarto 55 th berjudul “Pesona Merapi”, Kus Indra 43 th berjudul “Lembah Merapi” dan lain-lain. Dengan melihat fenomena semacam ini menunjukkan, bahwa gunung dianggap sebagian besar pelukis “Pasren” sebagai sebuah objek yang memiliki nilai simbolis tersendiri d iantara objek-objek yang lain. Secara geografis gunung merapi di wilayah Kabupaten Klaten memilik dua fungsi, yakni fungsi kesuburan dan bencana erupsi. Gunung melambangkan kesucian dan keagungan. Makna kesucian dan keagungan ini dapat dikaji melalui pandangan berbagai agama. Dalam perspektif agama hindu dan Buddha, gunung dipercayai sebagai tempat suci, tempat bersemayamnya para dewa. Sementara dewa, oleh penganut agama Hindu dan Buddha juga dianggap sebagai makhluk khayangan yang memiliki kekuasaan yang agung. Kekuasaan yang agung tersebut akan mengendalikan kehidupan di dunia agar terjadi hubungan ekosistem alam dan tata kosmos jagat raya ini menjadi harmonis. Bentuk transformasi dari simbol gunung oleh umat Hindu dan Buddha diabadikan dalam bentuk hiasan antevik pada setiap sudut bangunan candi, bentuk gunungan dalam dunia pewayangan, sesaji untuk para dewanya berbentuk tumpeng nasi dan lain-lain. Dalam filosofi kejawen rupanya hal ini mempengaruhi pemahaman untuk menghormati gunung merapi. Sementara umat Kristiani meyakini gunung sebagai tempat suci dan agung dikaitkan dengan cerita Yesus Kristus dalam memberikan khotbah-khotbahnya sering kali dilakukan di atas bukit gunung, bahkan tempat penyalipan Yesus Kristus pun dilakukan di atas bukit pula. Maka untuk menghormati kesucian dan commit to user 271 keagungan gunung umat Kristen Katholik membangun tempat-tempat ziarah yang mereka sebut sebagai “jalan salib”, misalnya sendang Sriningsih di Kecamatan Gantiwarna Klaten, sendang Sono di Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo dan lain- lain. Bahkan, kecenderungan peninggalan berupa makam para pastur, misionaris dan tokoh-tokoh penyebar Katholik lainnya banyak terletak di atas perbukitan pegunungan. Berbeda dengan perspektif agama Islam, untuk memaknai simbol gunung sebagai wujud keagungan sebagaimana tertulis dalam Al- Qur‟an ketika nabi Musa ingin melihat wujud Tuhan, maka disuruhlah menuju ke gunung Sinai. Pada saat itulah muncul sinar Tuhan yang sangat terang menyilaukan mata Musa, sehingga Musa pun tidak bisa melihat wujud Tuhan sama sekali, bahkan beliau pingsan tidak kuat menatap sinar tersebut. Dengan demikian, di balik nilai-nilai simbolis yang dimaknai dalam berbagai pespekstif agama di atas terdapat nilai hikmah yang tersirat visi ke masa depan agar manusia senantiasa menjaga kelestarian alam misalnya dengan menjaga tidak menebang hutan secara liar, tidak digunakan untuk perbuatan maksiat dan lain-lain. Dengan begitu secara tidak langsung telah menjaga kesucian gunung tersebut. Tidak terlepas dari kesatuan dalam lukisan yang bertema pemandangan alam pegunungan adalh objek awan . Objek awan atau angkasa raya menyiratkan simbol kekuasaan Tuhan. Dalam ilmu astronomi telah memberikan pemahaman tata surya, bahwa di dalam angkasa raya itu terdapat berjuta-juta planet dan bintang yang menempati garis orbitnya yang kesemuanya itu berpusat pada matahari. Oleh karena itu, ketika seseorang melihat awan atau angkasa raya di atas sana, maka yang commit to user 272 terbayang adalah betapa luas kekuasaan Tuhan. Makna yang dapat diambil dari simbol awan atau angkasa raya ini adalah agar manusia tidak sombong dan tunduk pada kekuasaan-Nya, karena pada dasarnya manusia itu tidak ada apa-apanya dibanding kekuasaan Tuhan. Sebagaimana dikemukakan pelukis “Pasren”, Karang Sasongko 49 th: “Jagat raya beserta isinya merupakan sebuah misteri, di samping sebuah mahakarya seni hasil ciptaan-Nya dan salah satu cara untuk mengagumi dan memahaminya adalah dengan mencoba meniru dalam karya-karya setelah berusaha untuk mengamati, menggali, memahami dan mengahayati walau hanya tak seberapa” Wawancara: Minggu, 15 Januari 2012. Dengan demikian, seniman yang selama ini dikatakan sebagai pencipta seni ternyata pada hakikatnya dia hanya sekedar meniru objek- objek alam yang merupakan mahakarya hasil ciptaan-Nya. Artinya, manusia itu sebagai pencipta kedua sedangkan pencipta yang sebenarnya, sejatinya adalah Tuhan yang Maha Pencipta. Objek sungai atau air yang terdapat dalam bingkai lukisan Joko SP di atas dapat memberikan tanda-tanda alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetapi sebaliknya jika manusia tidak bisa menjaga kelestarian alam, tidak menutup kemungkinan air akan menjadi sumber bencana. Pendek kata air bisa menjadi simbol kehidupan dan sekaligus air bisa menjadi simbol bencana. Sebagai simbol kehidupan, air bisa memberikan kemanfaatan pada seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan air. Manusia, binatang dan tumbuhan akan mati jika tidak ada air. Oleh karena itu, semua makhluk memerlukan air. Binatang memerlukan air untuk minum dan berendam, commit to user 273 begitu juga tumbuhan memerlukan air untuk keperluan proses fotosintesis. Berbeda dengan binatang dan tumbuhan, manusia membutuhkan air tidak sekedar untuk minum, memasak atau mandi tetapi lebih dari itu untuk keperluan pertanian maupun ritual keagamaan. Dalam ritual keagamaan air menjadi simbol kesucian, misalnya dalam ritual agama Hindu-Buddha air digunakan sebagai unsur utama dalam rangkaian upacara keagamaan dengan cara menyiprat-nyipratkan “air suci” yang dilakukan oleh pendetanya kepada peserta upacara ritual agama tersebut. Dalam ritual umat Kristiani atau Katholik, air digunakan untuk penyucian dosa dalam rangkaian pembabtisan. Demikian juga dalam agama Islam, air dimanfaatkan untuk bersuci berwudlu sebelum melaksanakan ibadah sholat. Bahkan, jenazah sebelum dikuburkan pun harus disucikan atau dimandikan dengan air terlebih dahulu. Namun demikian, air bisa juga menjadi simbol bencana, ketika manusia tidak mau menjaga kelestarian alam misalnya penebangan hutan secara liar, membuang sampah sebarangan di sungai, pabrik-pabrik yang tidak berbasis kepedulian lingkungan, seperti mengalirkan limbahnya ke sungai dan sebagainya. Maka, air yang sebelumnya bermanfaat bagi manusia, berubah menjadi sumber bencana bagi manusia. Penebangan hutan secara liar akan berakibat terjadi tanah longsor, banjir bandang, yang banyak menelan korban karena pohon-pohon di hutan tidak ada lagi untuk menahan air hujan. Membuang sampah sembarangan kedalam sungai akan mengakibatkan pendangkalan dan penyumbatan saluran-saluran air, maka ketika terjadi hujan lebat sungai tidak mampu menampung air dan meluap menjadi bencana banjir. Demikian juga dengan pabrik-pabrik yang tidak berwawasan lingkungan commit to user 274 misalnya mengalirkan limbahnya ke sungai jelas akan berdampak pada rusaknya ekosistem sungai, matinya kehidupan habitat air sungai dan dampak lebih luas lagi akan merusak tanaman ketika air sungai yang tercampur limbah sampai mengalir ke lahan pertanian yang akibatnya tanaman akan mati dan para petani akan mengalami puso atau gagal panen. Objek yang lain di dalam lukisan pemandangan alam adalah bentuk terasiring persawahan. Obje ini memberikan dua pemaknaan simbol sekaligus. Pertama, istilah terasiring menjadi simbol tingkatan struktur masyarakat petani. Pemahaman ini dikaitkan dengan pengertian terasiring itu sendiri yang berarti jenis lahan pertanian yang bertingkat-tingkat, maka dengan meminjam kata “tingkat” dapat ditransformasikan menjadi suatu tingkatan struktur masyarakat petani. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Priambodo 1992: 9-10 di awal, secara sosiologis masyarakat petani di daerah Klaten terjadi enam tingkatan. Mulai dari yang terendah yaitu petani tlosor tidak memiliki apa-apa, dia buruh tani keluar daerah, petani templek tidak ada lahan dan sawah, petani ngindung memburuh pada yang mempunyai tanah, petani gundul tidak punya pekerjaan tetapi mempunyai sebidang sawah, petani setengah kenceng lahannya hanya berupa pekarangan saja untuk rumah, dan paling tinggi adalah petani kenceng memiliki tanah pekarangan untuk rumah dan lahan pertanian serta memiliki semua peralatan petani seperti luku, garu, sapi atau kerbau. Dengan memperhatikan stratifikasi atau tingkatan masyarakat petani tersebut, secara ekonomis menunjukkan perbedaan kesejahteraan status sosial, perbedaan pada perilaku dan gaya hidup. Misalnya, pada masyarakat petani kenceng commit to user 275 akan bergaya seperti majikan, sedangkan masyarakat petani tlosor , memiliki naluri sebagai abdi atau buruh yang siap disuruh-suruh. Pemaknaan kedua adalah simbol persawahan. Sesuai dengan fungsinya, sawah merupakan sebidang tanah pertanian untuk bercocok tanam seperti padi, palawija dan lain-lain. Dalam hal ini persawahan bisa dimaknai sebagai simbol kesejahteraan hidup. dengan memperhatikan hasil panen yang dihasilkan dari sebidang tanah pertanian tersebut bisa menjadi tolok ukur kesejahteraan hidup sebagian besar para petani. Di sisi lain, objek pepohonan pada lukisan karya Joko SP menyiratkan simbol pengayoman. Sebuah pohon yang rimbun dapat memberikan rasa teduh pada saat cuaca panas ketika duduk di bawahnya. Lebih dari itu, dalam perspektif budaya, pohon dianggap sebagai simbol kalpataru . Artinya, sebuah pohon merupakan bagian dari lingkungan hidup yang bisa memberikan kemanfaatan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, piala penghargaan kalpata ru dilambangkan dengan bentuk stilirisasi sebuah pohon. Penghargaan kalpataru ini diberikan kepada seseorang yang memiliki prestasi terbaik di bidang pemberdayaan lingkungan hidup yang didalamnya mengangkat pelestarian pohon sebagai sumber kehidupan. Dalam agama Hindu- Budha dikenal istilah “pohon“ yang artinya pohon kehidupan atau dianggap sebagai lambang kemujuran seperti terdapat pada relief-relief bangunan candi. Dengan demikian, sudah sewajarnyalah sebagian besar pelukis naturalisme hampir dipastikan selalu memasukkan objek pohon sebagai dari kesatuan dengan objek-objek yang lain di dalam bingkai lukisannya. Begitu juga sebagian pelukis senior anggota “Pasren” seperti mbah Mardi 79 th mengangkat objek dengan judul commit to user 276 “Tanamannya Simbah” 2004 yang melukiskan pohon pisang dan nangka. Dua objek dalam lukisan itu menyiratkan nilai simbolis terhadap keberlangsungan kehidupan. Pohon pisang bisa dianalogikan sebagai sebuah rasa keikhlasan, karena pohon pisang akan mati ketika sudah memberikan buahnya kepada manusia. Sementara pohon nangka memberikan kemanfaatan bagi manusia secara keberlanjutan. Pelukis “Pasren” yang lain adalah Ken Sudi dengan karyanya berjudul “Kelapa Bergelayutan” 2005. Pohon kelapa secara filosofis menjadi simbol totalitas kemanfaatan, karena pohon kelapa bisa memberikan manfaat hampir seluruh kebutuhan manusia. Misalnya, air kelapa bisa diminum ketika haus, daging kelapa bisa untuk membuat minyak goreng dan santan masakan, batok kelapa dan sabutnya bisa untuk dibuat kerajinan, daunnya bisa untuk atap, alas tidur atau keperluan adat seperti untuk membuat ketupat, kembar mayang penganten, penjor dan lain-lain. Begitu juga lidinya pun bisa dibuat sapu dan batangnya juga bisa dibelah-belah dengan gergaji untuk konstruksi dengan bagunan.

4.3.3.2 Makna Kehidupan