commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan adalah suatu kondisi sosial-budaya yang majemuk, karena terbentuk dengan bermodalkan berbagai kebudayaan lokal atau lingkungan wilayah
yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman sejarah, tantangan intervensi dan proses sosialisasi akan memberikan perubahan bentuk
shape
dan warna kepada kepribadian yang muncul dari lingkungan wilayah kebudayaan. Oleh karena itu, ketika sekumpulan masyarakat lama akhirnya
berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk bisa mengatasi keterbelakangan kondisi itu ialah dengan membuat suatu kesatuan yang disebut budaya baru. Walaupun
kadang-kadang mengalami perbenturan ideologis, tetapi juga ada yang malah saling mengisi di antara kebudayaan tersebut. Budaya baru dapat terbentuk apabila terjadi
interaksi kepentingan bersama antar individu Kayam, 1981: 52. Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial pada hakikatnya setiap individu ingin berkomunikasi dengan
sesamanya. Untuk menyampaikan suatu maksud agar bisa diterima orang lain, maka secara konsensus dapat dilakukan melalui simbol-simbol tertentu dalam
berkomunikasi. Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang
berlaku pada kesatuan hidup yang terkecil seperti kampung, klan, suku bangsa, hingga kesatuan hidup yang lebih luas yang dinamakan bangsa. Kebudayaan yang
dimaksudkan adalah sistem ide, gagasan, nilai-nilai, pandangan hidup, kesenian dan
commit to user
2
kepercayaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam sibernetika sistem sosial menurut Talcot Parson dalam Waseno, 1998: 1, kebudayaan menjadi dasar bagi
sistem-sistem yang lebih rendah tingkatannya, yaitu sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem organis. Berbeda dengan sistem sosial lainnya, kebudayaan sifatnya jauh
lebih abstrak dan sulit diamati secara langsung. Dengan demikian yang dapat diamati hanyalah gejalanya yang tercermin juga dalam sistem sosial dan sistem kepribadian
dari sejumlah individu yang menganut atau tercakup dalam suatu kebudayaan tertentu. Begitu juga karya seni sebagai produk kebudayaan dapat dimaknai sebagai
gejala perwujudan status kepribadian dalam masyarakat. Berdasarkan keanekaragaman karya seni yang dikenal di dalam masyarakat
sepanjang zaman, maka seperti yang diperkirakan Sedyawati 2006: 125, bahwa posisi seni dalam masing-masing masyarakat tersebut dapat berbeda-beda. Ada
masyarakat yang menempatkan kesenian betul-betul merupakan suatu pranata „mandiri‟ sebagai sarana pemenuhan salah satu kebutuhan hidup manusia yang
dikenali sebagai kebutuhan tersendiri, sementara dalam masyarakat lain mungkin kesenian adalah sesuatu yang bersifat „pendukung‟ saja terhadap pranata tertentu,
misalnya pranata agama. Kajian tentang sistem kesenian, baik sebagai pranata tersendiri maupun sebagai sistem pendukung dalam pranata lain, memerlukan
dukungan ilmu dasar antropologi budaya. Konsep-konsep dasar mengenai struktur dan makna simbolis dalam rangka studi mengenai masyarakat seni, yang masing-
masing ditandai oleh latar belakang budayanya tersendiri, telah dikembangkan dalam ilmu tersebut.
commit to user
3
Usaha pengembangan dalam keilmuan tersebut tidak lain adalah untuk dapat memaknai objek seni sebagai bagian dari kebudayaan. Sebagaimana dikatakan
Poespowardojo 1989: 121, bahwa usaha ini terlaksana dengan memberikan makna manusiawi kepada materi atau benda seni yang diolahnya dan membuat tata
kehidupan masyarakat menjadi manusiawi pula. Dengan kata lain, karya seni pada hakikatnya adalah manifestasi kehidupan masyarakat itu sendiri dan proses
perkembangannya, di samping juga sebagai manifestasi kepribadian suatu masyarakat. Artinya, identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang
menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam
tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya. Kebudayaan sebagai akar seni telah menumbuh kembangkan cabang-cabang
seni seperti seni rupa, seni musik, seni tari, seni teater dan seni sastra. Seni rupa termasuk salah satu cabang seni dapat ditempatkan sebagai substansi kajian budaya.
Seni rupa hanyalah bagian dari unsur seni yang keberadaannya sama dengan cabang- cabang seni lainnya. Ia bukan sekedar objek yang terpisah dengan subjeknya
perupa apalagi latar subjeknya. Dengan demikian seni rupa tidak hanya diposisikan sebagai teks, namun jika ingin dianalisis untuk mengetahui kenyataan mengenainya
secara utuh dan secara sosiologis harus ditempatkan pada konteksnya. Seni penuh nilai dan makna; bukan kuantitas tetapi kualitas, posisinya ada dalam wilayah
kebudayaan Subiyantoro, 2010: 83. Peran subjek atau perupa sangat dominan sebagai penguasa objek dalam proses kreatifnya, yakni dalam menciptakan,
commit to user
4
membangun, mengubah, melestarikan, dan bahkan mengembangkan karyanya diwujudkan dalam bahasa simbol-simbol tertentu.
Sebagai salah satu ranting seni rupa, seni lukis beserta segala aspeknya sangat menarik untuk topik pembahasan, karena tidak akan habis-habisnya di bicarakan baik
dari segi nilai estetis, struktur dan makna simbolik yang terkandung didalamnya. Seni lukis hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang
diwujudkan dalam bentuk visual. Proses penciptaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan sosial budaya. Pengaruh lingkungan dan deferensiasi sosial-budaya
dari pelukisnya tampaknya dapat melahirkan beranekaragam corak dan gaya pada hasil karya lukisnya. Seni lukis ditujukan sebagai tolok ukur nilai estetika, tanpa
mengurangi fungsi sebagai bahasa rupa untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Dengan demikian setiap corak dan gaya lukisan tersebut dapat memberikan stimulan
dan motivasi bagi pengamatnya untuk mengetahui, meneliti, dan mengungkap makna simbolis dari karya tersebut.
Berdasarkan kenyataan di atas, manusia sebagai anggota masyarakat memerlukan bahasa dalam tatanan simbolis untuk menjalin interaksi dengan
sesamanya. Bahasa merupakan simbolisasi hasrat dalam suatu pencarian kendali tiada akhir. Simbol merupakan salah satu istilah yang sangat banyak digunakan
dalam ilmu humaniora Ratna,2007: 176. Dengan cara masuk ke dalam tatanan simbolis inilah subjek terbentuk. Di luar tatanan simbolis hanya ada psikosis.
Menurut Lacan dalam Chris Baker, 2000: 91, simbolis adalah suatu struktur bahasa dan makna sosial yang diterima yang bersifat melingkupi.
commit to user
5
Beberapa wilayah kebudayaan di Indonesia, seperti Jawa Tengah, telah mendapatkan kesempatan perkembangan sosial-budaya, baik dalam bidang
hubungan sosial masyarakat maupun simbol-simbol budayanya. Artinya, komunikasi antar budaya sangat diperlukan untuk dapat memaknai simbol-simbol tersebut.
Liliweri 2003: 5 menyebutnya „komunikasi sebagai aktivitas simbolis‟, karena
aktivitas berkomunikasi menggunakan simbol-simbol bermakna yang diubah ke dalam kata-kata verbal untuk ditulis dan diucapkan atau
simbol „bukan kata-kata‟ nonverbal untuk „diperagakan‟. Simbol komunikasi itu dapat berbentuk tindakan
dan aktivitas manusia, atau tampilan objek yang mewakili makna tertentu. Analogi yang sama dapat dicontohkan pada seorang pelukis yang mengalihkan
percakapannya pada pengamatnya melalui karya lukisnya sebagai simbol komunikasi.
Sebagai bagian dari kawasan wilayah kebudayaan di propinsi Jawa Tengah, Klaten merupakan wilayah kabupaten yang termasuk ke dalam wilayah eks.
karesidenan Surakarta. Kabupaten Klaten termasuk kawasan straegis, karena terletak di lintasan antara dua
“kota budaya” Yogyakarta dan Solo Surakarta tentu saja memiliki karakteristik budaya yang tersendiri dari pada daerah lain. Pemandangan
alam pedesaan yang indah, yang didominasi lahan pertanian diapit oleh gunung Merapi di sebelah utara dan pegunungan seribu sebelah selatan. Untuk menambah
khazanah budaya, secara historis, Klaten memiliki peninggalan hasil kebudayaan masyarakat tempo dulu, seperti candi Merak di kecamatan Karangnongko, candi
Plaosan, candi Bubrah, candi Loro Jonggrang di Kecamatan Prambananan dan lain sebagainya. Di samping itu, terdapat pula desa wisata budaya, seperti desa wisata
commit to user
6
Soran dan desa wisata Melikan. Keduanya menyuguhkan atraksi-atraksi wisata budaya lokal, seperti praktek menggarap sawah secara tadisional, pertunjukan
wayang kulit, wayang orang,
kethoprak
, tari lesung, tari gambyong, dan permainan musik tradisional „
lara s madya
‟. Penduduk Kabupaten Klaten merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari
beberapa kelompok suku etnis, antara lain: suku Jawa, yang merupakan mayoritas penduduk asli dan suku etnis pendatang, yaitu suku Cina, suku Arab, suku Sunda,
suku Irian, dan kelompok suku yang lain yang telah memiliki kewarganegaraan Indonesia. Mereka memiliki adat budaya dan menganut agama yang berbeda-beda.
Namun demikian dalam kehidupan bersosial budaya dan beragama masyarakat Klaten terjadi hubungan yang harmonis; saling bertoleransi. Kondisi latar belakang
keindahan alam, kekayaan produk kebudayaan, kehidupan sosial-budaya dan agama seperti itulah memungkinkan terbentuknya kreativitas dan aktivitas kebudayaan
masyarakat Kabupaten Klaten. Ketika suatu kelompok individu bertemu dalam persamaan profesi dan
persepsi, maka mereka berkeinginan untuk membangun suatu simbol identitas kelompok yang biasa disebut organisasi. Berkaitan dengan organisasi ini, Ferdinand
Tonnies dalam Setiadi, 2006: 85 mengemukakan, bahwa pembagian masyarakat dengan sebutan masyarakat
gemainschaft
dan
geselschaft.
Masyarakat
gemainschaft
atau disebut juga
paguyuban
, adalah kelompok masyarakat yang anggotanya sangat terikat secara emosional dengan yang lainnya. Masyarakat
geselschaft
atau yang disebut
patembeyan
adalah ikatan-ikatan di antara anggotanya kurang kuat dan bersifat rasional. Dengan demikian, terbentuknya organisasi yang dilandasi atas
commit to user
7
kepentingan bersama untuk mewujudkan tujuan tertentu dapat disebut
paguyuban
.
Paguyuban
kesenian merupakan bentuk organisasi dan simbol profesi manusia untuk berinteraksi sosial melalui hasil karya seni. Artinya, sebagai pengikat kebersamaan
dalam berkarya para seniman membentuk organisasi kesenian. Salah satunya adalah “Pasren” Paguyuban Senirupawan Klaten, yaitu organisasi kesenian yang
beranggotakan para seniman seni rupa yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, agama, pekerjaan, dan asal daerah di Kabupaten Klaten.
Paguyuban ini berdiri pada tahun 1991 diprakarsai oleh Rustamaji almarhum, pelukis asli Klaten.
Sebagai organisasi kesenian, “Pasren” telah diakui eksistensinya oleh Dewan Kesenian Klaten di bawah perlindungan Dinas Kebudayaan, Pariwisata,
Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Klaten. Setidaknya organisasi ini telah memberikan kontribusi dalam perkembangan dan pembangunan di bidang
kebudayaan. Sebagai contoh, memprakarsai pendirian monumen dan patung Ki Nartosabdo dalang kondang sekaligus budayawan asli Klaten
. Selain itu “Pasren” juga menyelenggarakan berbagai lomba melukis dalam
event
kedaerahan dan nasional, seperti peringatan HUT Kabupaten Klaten dan peringatan Kemerdekaan
Republik Indonesia.
Keberagaman asal daerah para seniman yang berdomisili di Klaten dan seniman asli daerah yang berada di luar Kabupaten Klaten sangat mewarnai
diferensiasi karya seni lukis yang mereka tampilkan. Pengalaman estetis seniman yang dipengaruhi oleh endapan empiris kebudayaan yang bersifat kedaerahan itu
melahirkan objek dan gaya dalam lukisan yang berbeda-beda. Dalam kajian seni rupa, keperbedaan itu justru merupakan suatu keunikan tersendiri dan menarik
commit to user
8
perhatian. Berangkat dari keragaman tersebut terjadi akumulasi pengaruh ideologi terhadap idea atau gagasan manusia dalam penciptaan karya seni yang disebut
ideoantropologi visual
. Secara
ideoantropologis
setiap individu memiliki paradigma dan ideologi masing-masing sebagaimana paparan Althusser dalam Chris Baker, 2000 : 60
berikut. “Ideologi adalah pengalaman yang dijalani. Disisi lain, ideologi juga dipahami
sebagai seperangkat makna rumit yang menjelaskan dunia suatu diskursus ideologi dengan cara melakukan
misrecognize
salah mengenali dan
misrepresent
salah mempresentasikan kekuasaan dan relasi kelas. Ideologi dikatakan mempresentasikan hubungan imajiner individu dengan kondisi
eksistensi nyata mereka”. Dengan
demikian setiap
karya lukis
seniman cenderung
akan mempresentasikan pemaknaan atas keadaan dan peristiwa yang mereka alami,
misalnya pemaknaan sebab-akibat kebijakan pemerintah, lingkungan hidup, sosial budaya, keagamaan, dan sebagainya.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris tersebut, karya seni lukis bisa ditempatkan sebagai objek kajian budaya, maka dapat dianalisis dengan menggunakan teori
budaya untuk mengkaji makna simbolisnya. Teori-teori budaya yang bisa ditawarkan mestinya disesuaikan dengan kebutuhan setiap jenis, corak dan gaya seni lukis. Misalnya,
untuk melihat keindahan bentuk struktur bagian luar sebuah objek seni lukis membutuhkan teori estetika dan apabila seni lukis dipandang sebagai tanda, maka teori yang dibutuhkan
adalah teori semiotika. Namun demikian, struktur dan tanda pada seni lukis tidak memiliki arti, jika tidak diiringi dengan teori tafsir untuk mengungkap makna simbolis yang terdapat
di balik karya seni lukis tersebut. Dalam hal ini, Clifford Geertz 2004: 11 mengemukakan, bahwa analisis ibarat menata struktur-struktur pemaknaan. Dengan demikian, kajian tentang
makna-makna yang terdapat pada karya seni lukis “Pasren” tampaknya terjadi keraguan
commit to user
9 dengan menggunakan teori tafsir apabila tidak didukung oleh teori-teori budaya yang lain,
seperti teori estetika dan semiotika. Oleh karena itu, dalam penelitian kajian budaya rupa ini akan di
analisis objek karya seni lukis “Pasren”menggunakan teori tafsir yang didasarkan informasi dari pelukisnya. Artinya, pengkajian karya seni lukis “Pasren” tetap dengan
menempatkan posisi pelukisnya sebagai penguasa objek lukisan.
1.2 Masalah