commit to user
18
BAB II TINJAUAN KEBUDAYAAN DAN SENI LUKIS
DALAM KEBERAGAMAN MAKNA
2.1 Ruang Lingkup Kebudayaan
2.1.1 Pengertian Kebudayaan
Kata ”kebudayaan” berasal dari bahasa Latin, yaitu
colere
dan bahasa Inggris
culture
yang keduanya merujuk pada arti pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman atau ternak Simon, 2008: 2. Pengertian tersebut berubah
menjadi gagasan tentang keunikan adat adat kebiasaan suatu masyarakat. Selanjutnya, istilah-istilah tersebut menjadi multidimensi bersama dengan
munculnya berbagai pendapat tentang apa makna perbedaan dan keunikan-keunikan itu dalam memahami manusia umumnya. Dalam bahasa Indonesia, kata
“kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta
buddhayah
, ialah bentuk jamak dari
buddi
yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-budaya-an itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Ada pendirian lain mengenai asal dari
kata “kebudayaan” itu, bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari kata
majemuk
budi-daya
, artinya daya dari budi, kekuatan akal yang berwujud cipta, rasadan karsa Koentjaraningrat, 1993: 9. Maka, sebagai suatu konsep,
Koentjaraningrat memberikan arti kebu dayaan adalah “keseluruhan gagasan dan
karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari
hasil budi dan karyanya itu”.
Banyak sekali pengertian kebudayaan, dan bahkan A.L. Kroeber dan C. Kluchohn sempat mengumpulkan sebanyak 179 definisi tentang kebudayaan.
commit to user
19
Kemudian dianalisis dan diklasifikasikan ke dalam tipe-tipe tertentu untuk kepentingan penelitian tertentu Koentjaraningrat, 1993: 10. Setiap definisi yang
disampaikan menurut sudut pandang masing-masing orang berdasarkan pola pikir dan kepentingannya. Sekelompok orang menganggap kebudayaan sebagai bentuk
perilaku sosial masyarakat. Sementara kelompok lainnya beranggapan, bahwa kebudayaan bukanlah bentuk perilaku, melainkan ide atau gagasan dari perilaku itu
sendiri. Sebagian orang lain lagi, menganggap benda-benda buatan manusia seperti kapak batu, kapak logam, candi, istana raja, tembikar, perhiasan, dan lain-lain
sebagai kebudayaan. Namun, ada orang lagi yang menganggap, bahwa benda-benda itu bukanlah kebudayaan, melainkan hasil dari kebudayaan. Dengan demikian,
kebudayaan adalah sesuatu yang sangat kompleks berasal dari manusia, seperti yang dikemukakan oleh E.B. Taylor, 1958 dalam Bahari, 2008: 27, bahwa kebudayaan
sebagai keseluruhan yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Pengertian kebudayaan menurut E.B. Taylor itu dipersoalkan oleh Peursen
1989: 10, karena dianggapnya pengertian tersebut, bahwa kebudayaan meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia hanya yang berbudi luhur dan yang
bersifat rohani saja. Ciri khas dari pendapat-pendapat itu dianggapnya mendikotomikan antara “bangsa-bangsa berbudaya” yang beradab tinggi dengan
“bangsa-bangsa alam” yang dianggap lebih primitif. Oleh karena itu, Peursen mengartikan kebudayaan sebagai manifestasi setiap orang dan setiap kelompok
orang; berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di
commit to user
20
tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah dia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa,
entah dia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup
alamiahnya, dan justru itulah yang dinamakan kebudayaan. Itulah sebabnya tidak terdapat manusia-manusia yang semata-mata terbenam dalam alam sekitarnya.
Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kematian dan membuat upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu;
demikian juga mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan, pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat kehidupan,
pakaian, cara-cara menghiasi rumah dan badannya. Semua itu termasuk kebudayaan, seperti juga kesenian, ilmu pengetahuan dan agama. Justru dari kehidupan “bangsa-
bangsa alam” itu menjadi kentara, bagaimana pertanian, kesuburan baik dari ladang, maupun dari wanita, erotis, ekspresi kesenian dan mitos-mitos religius merupakan
satu keseluruhan yang tak dapat dikotak-kotak Peursen 1989: 11. Jadi, menurut pandangan ini kebudayaan adalah suatu proses perkembangan kehidupan manusia
dan ruang lingkupnya sangat diperluas lagi. Karena demikian luasnya ruang lingkup kebudayaan, maka untuk kepentingan
analisis konsep kebudayaan itu perlu dipecah ke dalam unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur
kebudayaan tersebut
bersifat universal.
Dalam hal
ini, Koenntjaraningrat 1993: 2 membagi unsur-unsur universal menjadi tujuh, sebagi
berikut.
commit to user
21
1 Sistem religi dan upacara keagamaan,
2 Sistem dan organisasi kemasyarakatan,
3 Sistem pengetahuan,
4 Bahasa,
5 Kesenian,
6 Sistem mata pencaharian hidup, dan
7 Sistem teknologi dan peralatan.
Dari ketujuh unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi menjadi sub unsur-unsurnya. Demikian ketujuh unsur kebudayaan universal tadi
memang mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia di manapun juga di dunia, dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.
Ketika kebudayaan telah menjadi sistem pengetahuan, secara terus- menerus dan setiap saat bila ada rangsangan, dapat digunakan untuk memahami dan
menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa dan benda-benda yang ada dalam lingkungannya, sehingga kebudayaan itu juga dimiliki oleh masyarakat di mana dia
hidup. Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk membaca dan memahami serta mengintepretasi secara tepat berbagai gejala dan
peristiwa yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka. Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya kebudayaan yang berisikan model-model kognitif yang
mempunyai peranan sebagai kerangka pegangan untuk pemahaman. Dengan kebudayaan ini, manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan kelakuan
tertentu sesuai dengan rangsangan-rangsangan yang ada atau sedang dihadapinya. Dalam memahami kebudayaan harus dimulai dengan mendefinisikan ulang
kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan
generik
; yang merupakan pedoman yang diturunkan, tetapi sebagai kebudayaan
diferensial
; yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial. Kebudayaan bukanlah suatu
commit to user
22
warisan yang secara turun-tumurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat situasional yang keberadaannya
tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu Abdullah, 2006: 9. Dengan demikian, sifat kebudayaan berubah
dan berkembang; dapat dimodifikasi seiring kebutuhan dan pemikiran manusia. Pendek kata, kebudayaan pada hakikatnya adalah manifestasi kehidupan masyarakat
kehidupan masyarakat itu sendiri dan proses perkembangannya. Oleh karena itu, tepatlah seperti yang dikatakan Poepowardojo 1989: 121, bahwa kebudayaan
merupakan manifestasi kepribadian suatu masyarakat sebagai suatu identitas. Artinya, identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan
pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam
tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai perikehidupannya.
2.1.2 Wujud Kebudayaan