Makna Diferensiasi Karya Seni Lukis “Pasren” Di Kabupaten Klaten Waluya S701008016

(1)

commit to user

i

MAKNA

DIFERENSIASI KARYA SENI LUKIS “PASREN”

DI KABUPATEN KLATEN

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Gelar Magister Program Studi Kajian Budaya

Minat Utama : Seni Rupa

Oleh Waluya NIM. S701008016

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

MAKNA

DIFERENSIASI KARYA SENI LUKIS “PASREN”

DI KABUPATEN KLATEN

TESIS

Oleh : Waluya NIM. S701008016

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Nanang Rizali, M.SD ... 21-11-2012 NIP. 19500709 198003 1 003

Pembimbing II Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si ... 21-11-2012 NIP. 19650521 199003 1 003

Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal 30 Nopember 2012

Ketua Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum NIP. 19640918 198903 1 001


(3)

commit to user

iii

MAKNA

DIFERENSIASI KARYA SENI LUKIS “PASREN”

DI KABUPATEN KLATEN

TESIS

Oleh : Waluya NIM. S701008016

Tim Penguji :

Jabatan Nama Tanggal

Ketua Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum. ... 12-12-2012 NIP.19640918 198903 1 001

Sekretaris Dr. Nooryan Bahari, M.Sn. ... 12-12-2012 NIP.19650220 199003 1 001

Anggota I Prof. Dr. Nanang Rizali, M.SD ... 1 2-12-2012 NIP.19500709 198003 1 003

Anggota II Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si ... 12-12-2012 NIP.19650521 199003 1 003

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat

pada tanggal 26 Desember 2012

Direktur Program Pascasarjana UNS Ketua Program Studi Kajian Budaya

Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS. Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum. NIP. 19610717 198660 1 001 NIP. 19640918 198903 1 001


(4)

commit to user

iv

SURAT PERNYATAAN

Nama : Waluya NIM : S701008016

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul Makna Diferensiasi Karya Seni Lukis “Pasren” Di Kabupaten Klaten adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar akademik yang saya peroleh.

Surakarta, 1 Desember 2012 Penulis,

Waluya


(5)

commit to user

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO:

Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai

(urusan dunia), bersungguh-sungguhlah dalam beribadah dan hanya kepada Tuhanmulah

berharap

. (TQS.Al-Insyiraah: 6-8)

”Adat bersendi syara’. Syara’ bersendi kitabullah”

(local genius: Minangkabau)

”Degus tibus non est dispustandun”

artinya: Soal perbedaan rasa tak dapat diperdebatkan. (Pepatah dalam bahasa Latin)

PERSEMBAHAN:

Karya Tulis ini kupersembahkan kepada yang tercinta:

Kedua orangtua yang mengasihiku dari kecil hingga dewasa

Mufarida, istriku tercinta yang senantiasa memberi semangat kerja

Angelia Esa Kalingga, putri semata wayangku sebagai penyemangat hidupku yang

senantiasa membantu dalam tulisan ini


(6)

commit to user

vi

ABSTRAK

Waluya, S701008016. 2012. Makna Diferensiasi Karya Seni Lukis “Pasren” di Kabupaten Klaten. Tesis Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

“Pasren” (Paguyuban Senirupawan Klaten) adalah organisasi kesenian yang beranggotakan para seniman seni rupa yang berasal dari berbagai latar belakang sosial-budaya, pendidikan dan pekerjaan di Kabupaten Klaten. Ideologi, pemikiran dan filosofi dengan latar belakang diferensiasi kehidupan sosial-budaya yang melingkupi kehidupan pelukis “Pasren” mungkin dapat melahirkan corak dan gaya pada karya seni lukis berbeda-beda. Perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” tersebut mungkin juga memiliki makna-makna tertentu untuk dipahami. Namun, tingkat pemahaman makna dan pengetahuan masyarakat awam mengenai seni lukis masih terbatas akibatnya apresiasi masyarakat tampaknya belum banyak memberikan simpati, empati, atau pun penghargaan yang signifikan. Padahal karya seni lukis merupakan bahasa komunikasi antara seniman dan masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian adalah, (1) Apa yang melatarbelakangi pemikiran, ideologi dan filosofi keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”? (2) Bagaimana perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis para anggota “Pasren”? (3) Bagaimana makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”?

Sesuai permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengkaji kejelasan yang melatarbelakangi pemikiran, ideologi dan filosofis keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”. (2) Untuk mengkaji perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” yang memiliki makna dan (3) Untuk memaknai keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma Tafsir Kebudayaan. Sesuai hakikat keilmuan, Tafsir Kebudayaan sebagai teori yang dianut oleh Clifford Geertz, adalah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna. Penelitian bersifat terbuka, perubahan dianggap sebagai nilai tambah, bukan kegagalan. Oleh karena itu, penelitian tidak menggunakan hipotesis dan variabel yang dirinci secara eksplisit, maka menggunakan teori pendukung yang lain. Teori pendukung yang digunakan adalah teori Semiotika; suatu teori formal yang disesuaikan dengan hakikat objek, yakni seni lukis yang dianalogikan sebagai teks bahasa (baca: bahasa rupa) dan sebagai sistem tanda dan simbol yang perlu dimaknai. Sesuai hakikat metode analisis penelitian kualitatif, maka penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika. Pendekatan ini memungkinkan seseorang bebas menafsirkan karya seni lukis menurut pemahamannya sendiri secara kritis. Ruang lingkup penelitian meliputi seluruh anggota “Pasren”. Namun, untuk memberikan gambaran keperbedaan dalam keragaman lukisan, maka sesuai diambil sampel purposif yang diidentifikasi berdasarkan corak dan gaya yang dikaitkan dengan latar belakang sosial-budaya dari pelukis anggota „Pasren‟. Secara garis besar pengumpulan data lapangan dalam penelitian ini menggunakan empat teknik, yaitu: a), wawancara mendalam b), observasi langsung, c) analisis dokumen, dan d) teknik cuplikan.


(7)

commit to user

vii

Teknik analisis data mencakup tiga langkah, yakni reduksi, kategorisasi, sintesisasi, dan menyusun „hipotesis kerja‟. Hasil analisis data disajikan secara informal; secara deskriptif yaitu melalui kata-kata, kalimat, dan bentuk-bentuk narasi yang lain. Penyajian secara formal; baik melalui diagram maupun tabel hanya bersifat sebagai pelengkap.

Hasil penelitian mendapatkan temuan berupa keberagaman bentuk kehidupan sosial-budaya masyarakat Klaten berpengaruh dalam konsep berkarya yang melahirkan keragaman corak dan gaya hasil karya seni lukis “Pasren”. Corak dan gaya karya seni lukis tersebut menjadi simbol komunikasi budaya dan bahasa rupa antara pelukis dan pengamatnya. Setelah dilakukan analisis terhadap sejumlah hasil karya seni lukis “Pasren” dapat diketahui adanya perbedaan proses dan teknik berkarya yang menyebabkan terjadinya keperbedaan corak dan gaya yang masing-masing memiliki nilai estetis, struktur dan makna yang berbeda pula. Namun, berdasarkan hasil pemaknaan terhadap beberapa karya seni lukis “Pasren”, menunjukkan adanya keterkaitan dan kesamaan makna antara karya seni lukis satu dengan lainnya yang terbentuk oleh adanya latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofis pelukis “Pasren” dalam berkarya seni lukis yang berwujud corak dan gaya misalnya: Naturalisme, Realisme, Impresionisme, Romantisme, Ekspresionisme, Surealisme, Kubisme dan Kubisme yang terangkum dalam perwujudan makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni makna ma‟rifat, makna kehidupan dan makna sosial-budaya. Setelah dilakukan pemaknaan dan diteruskan dengan penafsiran terhadap keperbedaan dalam keragaman karya sen lukis “Pasren”, maka ditemukan bentuk konsep trilogifiguratif yang berupa struktur tiga bidang dwimatra (horizontal) dalam wujud bidang segi tiga mendatar (trimandala) dan trimatra (vertikal) dalam wujud limas segitiga ke atas (triloka). Keduanya sebagai lambang atau simbol trihitakarana. Trihitakarana berarti tiga hubungan keselarasan, yakni keselarasan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan konsep trilogifiguratif itu, maka dapat ditafsirkan sebuah korelasi antara tiga makna simbolis terhadap keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni makna ma‟rifat, makna kehidupan, dan makna sosial-budaya dengan latar belakang konsep penciptaan seni lukis “Pasren” yang terdiri dari tiga hal, yakni latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofi yang berpusat pada dzat Ghoib (Allah). Saran yang disampaikan adalah dapat membuka mata masyarakat dan pihak terkait, bahwa karya seni lukis itu tidak sekedar bentuk visual semata, tetapi lebih dari itu memiliki makna tertentu, sebagai salah satu alterantif komunikasi budaya dan dapat menumbuhkan kesadaran bersama dalam memberikan memberikan simpati, empati dan apresiasi terhadap karya seni lukis sebagai salah satu unsur kebudayaan yang ilmiah dan berkemajuan.


(8)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhkanallahu Wata‟alla, karena atas rahmat dan hidayah-Nya Tesis dengan judul Makna Diferensiasi Karya Seni Lukis “Pasren” di Kabupaten Klaten akhirnya dapat diselesaikan dengan lancar.

Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan meraih Gelar Magister Program Studi Kajian Budaya Minat Utama Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta tahun 2012.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Rafik Kasidi, M.Pd., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum., Ketua Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Bapak Dr. Nooryan Bahari, M.Sn., Sekretaris Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Bapak Prof. Dr. Nanang Rizali, M.SD selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan penelitian ini.

6. Bapak Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan penelitian ini.

7. Saudara Ansori selaku Ketua Paguyuban Senirupawan Klaten (Pasren) yang telah banyak memberikan informasi tentang keorganiasasian dan seluruh kegiatan “Pasren”.

8. Saudara Drs. Suwardi Harris selaku Ketua Bagian Humas Paguyuban Senirupawan Klaten (Pasren) sebagai informan pangkal yang telah banyak memberikan berbagai informasi penting berkaitan dengan penulisan ini.


(9)

commit to user

ix

9. Bapak Drs. Harsono selaku Ketua Dewan Kesenian Klaten.

10.Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Klaten.

11.Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan masukan dan dorongan sehingga dapat memperlancar penulisan ini.

12.Para pelukis “Pasren” dan berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Kami menyadari dalam penulisan tesis ini masih ada kekurangan, maka kritik dan saran membangun dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga dunia pragmatika kebudayaan.

Klaten, 1 Desember 2012 Penulis,

Waluya


(10)

commit to user

x

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR FOTO ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah ... 9

1.2.1 Identifikasi Masalah ... 9

1.2.2 Pembatasan Masalah ... 10

1.2.3 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan... 12

1.3.1 Tujuan Umum ... 12

1.3.2 TujuaKhusus ... 13

1.4 Manfaat ... 13

1.4.1 Manfaat Bagi Keilmuan ... 13

1.4.2 Manfaat Bagi Pihak Terkait ... 14

1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat ... 14

1.4.4. Manfaat Bagi Peneliti ... 14


(11)

commit to user

xi

BAB II TINJAUAN KEBUDAYAAN DAN SENI LUKIS DALAM

KEBERAGAMAN MAKNA... 18

2.1 Ruang Lingkup Kebudayaan ... 18

2.1.1 Pengertian Kebudayaan ... 18

2.1.2 Wujud Kebudayaan ... 22

2.1.2.1 Gagasan (Wujud Ideal) ... 22

2.1.2.2 Aktivitas (Wujud Tindakan) ... 23

2.1.2.3 Artefak (Wujud Karya) ... 23

2.1.3 Diferensiasi Sosial-Budaya ... 24

2.1.4 Ideologi Budaya dan Keberagaman Karya Budaya ... 26

2.1.5 Kajian Budaya dan Keberagaman Karya Budaya ... 29

2.2 Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan ... 33

2.2.1 Pengertian Seni... 35

2.2.2 Wujud Karya Seni ... 39

2.2.2.1 Keberagaman Seni Rupa ... 40

2.2.2.2 Seni Rupa Murni (Fine Art) ... 42

2.2.2.3 Seni Terapan/ Desain (Applide Art/ Design) ... 43

2.2.2.4 Kriya (Craft) ... 44

2.3 Keberagaman Seni Lukis ... 46

2.3.1 Wujud Keberagaman Seni Lukis... 46

2.3.1.1 Nilai Estetis dalam Seni Lukis ... 47

2.3.1.2 Corak dan Gaya dalam Seni Lukis ... 50

2.3.2 Peranan Seni Lukis dalam Kehidupan Masyarakat ... 59

2.3.2.1 Seni Lukis Sebagai Media Ekspresi ... 61

2.3.2.2 Seni lukis Sebagai Media Komunikasi ... 63

2.3.2.3 Seni Lukis Sebagai Pengirim Tanda ... 65

2.3.3 Keberadaan Seni Lukis dalam Kajian Ilmiah ... 68

2.4 Pemaknaan Seni Lukis Melalui Tafsir Kebudayaan ... 73

2.4.1 Proses Simbolik ... 77

2.4.2 Seni Lukis Sebagai Ungkapan Simbolik ... 79


(12)

commit to user

xii

2.4.2.2 Proses Penciptaan Seni Lukis ... 83

2.4.2.3 Struktur Karya Seni Lukis ... 87

2.4.3 Makna Seni Lukis dalam Kehidupan Sosial Budaya ... 98

2.4.3.1 Kajian Makna dalam Seni Lukis ... 100

2.4.3.2 Makna Seni Lukis dan Pengaruh Kehidupan Sosial Budaya ... 104

BAB III METODE PENELITIAN ... 108

3.1 Jenis Penelitian dan Pendekatan ... 108

3.1.1 Jenis Penelitian ... 108

3.1.2 Pendekatan ... 109

3.2 Metode Penelitian ... 110

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 112

3.2.2 Bentuk dan Strategi Penelitian ... 112

3.2.3 Sumber Data ... 115

3.2.3.1 Informan ... 115

3.2.3.2 Arsip/ Dokumen... 116

3.2.3.3 Tempat Kegiatan ... 117

3.2.4 Teknik Pengumpulan Data ... 117

3.2.4.1 Wawancara Mendalam (In-Depth Interviewing) ... 117

3.2.4.2 Observasi Langsung ... 118

3.2.4.3 Analisis Dokumen (Content Analis) ... 118

3.2.4.4 Teknik Cuplikan ... 119

3.2.4.5 Validasi Data ... 120

3.2.4.6 Teknik Analisis ... 121

3.2.5. Teknik Penyajian Hasil Analisis ... 123

BAB IV KEBERAGAMAN DAN PEMAKNAAN KARYA SENI LUKIS “PASREN” DI KABUPATEN KLATEN ... 124

4.1 Gambaran Umum Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Klaten ... 124

4.1.1 Profil Kabupaten Klaten ... 124


(13)

commit to user

xiii

4.1.2.1 Kehidupan Pertanian ... 133

4.1.2.2 Kehidupan Perkebunan ... 135

4.1.2.3 Kehidupan Industri Kerajinan Rakyat ... 139

1) Industri Kerajinan Tenun Lurik ... 140

2) Industri Kerajinan Payung Kertas ... 143

3) Kerajinan Batik ... 148

4) Industri Pengecoran Besi ... 148

5) Kerajinan Pa nde Besi ... 149

6) Kerajinan Tanduk ... 149

7) Kerajinan Bambu ... 150

8) Kerajinan Gerabah ... 151

4.1.2.4 Kehidupan Keagamaan/ Aliran Kepercayaan ... 154

4.1.2.5 Kehidupan Pendidikan ... 159

4.1.2.6 Kehidupan Perdagangan... 162

4.1.2.7 Kehidupan Adat-Istiadat ... 163

4.1.3 Peninggalan-peninggalan Kebudayaan... 166

4.1.4 Keberadaan “Pasren” Sebagai Organisasi Kesenian ... 171

4.1.5 Sejarah Singkat dan Aktivitas Organisasi “Pasren” ... 177

4.1.6 Sekitar Organisasi “Pasren” ... 185

4.2 Aspek Keberagaman Karya Seni Lukis “Pasren” ... 190

4.2.1 Keberagaman Objek Lukisan Karya Pelukis “Pasren”... 190

4.2.2 Konsep Penciptaan Karya Seni Lukis “Pasren” ... 201

4.2.3 Jenis Corak dan Gaya Karya Seni Lukis “Pasren” ... 207

4.3 Keberagaman Karya Seni Lukis dan Penafsirannya ... 218

4.3.1 Latar Belakang Pemikiran, Ideologi dan Filosofis Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” ... 218

4.3.2 Perwujudan Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” ... 236

4.3.3 Makna Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” ... 267


(14)

commit to user

xiv

4.3.3.2 Makna Kehidupan ... 278

4.3.3.3 Makna Sosial-Budaya ... 289

4.3.4 Pemaknaan Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” ... 308

4.3.4.1 Konsep Trilogifiguratif ... 317

4.3.4.2 Penafsiran Makna Trilogifiguratif ... 320

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 332

5.1 Kesimpulan ... 332

5.2 Saran ... 333

DAFTAR PUSTAKA ... 335

LAMPIRAN ... 341


(15)

commit to user

xv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel IV.1 Peninggalan Kebudayaan Purbakala di Klaten ... 169 Tabel IV.2 Daftar Tokoh Apresiator Karya Seni Lukis “Pasren” ... 175 Tabel IV.3 Daftar Kolektor Karya Seni Lukis “Pasren” ... 176 Tabel IV.4 Pemaknaan Keperbedaan dalam Keragaman

Karya Seni Lukis “Pasren” ... 309 Tabel IV.5 Korelasi Makna dalam Konsep Trilogifiguratif ... 323


(16)

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar II.1 Limas Citra Manusia ... 85

Gambar III.1 Diagram Model Penelitian ... 114

Gambar III.2 Bagan Metode Interaktif ... 115

Gambar IV.1 Foto Makam Kyai Melati, Cikal Bakal Klaten ... 126

Gambar IV.2 Peta Letak Kabupaten Klaten di Propinsi Jawa Tengah ... 129

Gambar IV.3 Peta Geografis Wilayah Kabupaten Klaten... 130

Gambar IV.4 GM. Sudarta, Kartunis/ Pelukis “Pasren” ... 177

Gambar IV.5 Ansori, Ketua “Pasren” di Galerinya ... 182

Gambar IV.6 Patung Ki Nartosabdo, Dalang Kondang Sebagai Simbol Budaya Klaten ... 185

Gambar IV.7 Lukisan “Pemandangan Alam Tanah Toraja” (2006) Karya: Joko SP. (47 th) ... 238

Gambar IV.8 Lukisan “Joged” (2004) Karya: Winarno GN. (63 th) ... 239

Gambar IV.9 Lukisan”Hutan” (2005) Karya: Karang Sasongko (49 th) ... 240

Gambar IV.10 Lukisan “Pekundi” (2005) Karya: Joko Temin (33 th)... 241

Gambar IV.11 Lukisan “Milihi Mbako” (2005) Karya: Cak Min (39 th) ... 242

Gambar IV.12 Lukisan“Lembah Merapi”(2007) Karya: Kus Indra (43 th) ... 244

Gambar IV.13 Lukisan “Pesona Merapi” (2007) Karya: Kapten Suwarto (55 th)... 245

Gambar IV.14 Lukisan “Bapa, Ibu lan Putra Kinasih” (2007) Karya: GM. Sudarta ... 247

Gambar IV.15 Lukisan “Operasi Semar” (2007) Karya: Jaya Adi (51 th) ... 248

Gambar IV.16 Lukisan “Bima Melawan Naga Nemburnawa” (2004) Karya: Sugito Slamet (50 th) ... 249

Gambar IV.17 Lukisan “Walk Together” (2003) Karya: Samina (40 th) ... 250

Gambar IV.18 Lukisan “Ndonga” (2003) Karya: Yoyok WD. Besur (40 th) ... 252

Gambar IV.19 Lukisan “Nganyam Rotan” (2003) Karya: Rosana (37 th) ... 253

Gambar IV.20 Lukisan “ Sebuah Harapan” (2003) Karya: Sigid GP. (49 th) ... 254


(17)

commit to user

xvii

Gambar IV.21 Lukisan “Menyatu” (2004) Karya: Phepen Parjimin ... 255 Gambar IV.22 Lukisan “Tak Ada Gading yang Tak Retak” (2005)

Karya: Hery Cahyono (34 th) ... 257 Gambar IV.23 Lukisan “Panglima Sudirman” (2007)

Karya: Ansori (51 th) ... 258 Gambar IV.24 Lukisan “Ular Tangga” (2001)

Karya: Budi Budek‟s (38 th) ... 259 Gambar IV.25 Lukisan “Pengorbanan” (2006)

Karya: Suwardi Harris (57 th) ... 260 Gambar IV.26 Lukisan “Pencarian” (2010) Karya: Adi Prawito ... 262 Gambar IV.27 Lukisan “Power”(2007) Karya: Bambang Pujiono (52 th) ... 263 Gambar IV.28 Lukisan “Potret Nagari” (2005)

Karya: Pitut Saputra (33 th) ... 264 Gambar IV.29 Lukisan “Dini” (2005) Karya: Satya Budi Santosa ... 266 Gambar IV.30 Lukisan “Ga ri Samegaring Payung” (2011)

Karya: Ibnu Wibowo ... 300 Gambar IV.31 Contoh Analisis Konsep Tiga Titik (Trimandala)

pada Corak dan Gaya Karya Seni Lukis “Pasren” ... 309 Gambar IV.32 Proses Pembentukan Konsep Triloka ... 318 Gambar IV.33 Bagan Alur Pemaknaan Konsep Trilogifiguratif... 319


(18)

commit to user

xviii

DAFTAR FOTO

Halaman

Foto 1 Makam Kyai Melati, cikal bakal Klaten ... 354

Foto 2 GM.Sudarta, Kartunis/ Pelukis Indonesia Asal Klaten/ Anggota “Pasren” ... 354

Foto 3 Ansori, Ketua “Pasren” di Galerinya ... 355

Foto 4 Ibnu WibowoPelukis dan Kolektor Benda-benda Antik Tokoh Penggagas Berdirinya Organisasi “Pasren” ... 355

Foto 5 Karang Sasongko Putra dari Pelukis Nasional Alm. Rustamadji/ Tim pendiri “Pasren” ... 356

Foto 6 Penulis sedang mengamati lukisan “Pasren” dalam rangkaian penelitian pada pameran Yaaqowwiyyu di Aula Padepokan Ash-Shomad Internasional, Jatinom, Klaten ... 356

Foto 7 Keikutsertaan “Pasren” dalam Agenda Budaya Grebeg Sapar Yaaqowwiyyu 2012 di Makam Ki Ageng Gribig, Kecamatan Jatinom, Klaten ... 357

Foto 8 Spanduk Pameran Seni Lukis “Pasren” satu tahun terakhir Sehari menjelang pembukaan di Aula Kecamatan Klaten Selatan ... 357

Foto 9 Penulis berpose dengan I Wayan Pasek (Pemangku Adat dan Pemandu Wisata Budaya di Denpasar Bali... 358

Foto 10 Logo Organisasi “Pasren” ... 358

Foto 11 Logo Dewan Kesenian Klaten ... 358


(19)

commit to user

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Daftar Wawancara... 341

Lampiran 2 Profil Narasumber/ Informan ... 342

Lampiran 3 Panduan Wawancara ... 346

Lampiran 4 Daftar Pertanyaan Wawancara ... 350

Lampiran 5 Daftar Foto Pendukung ... 354

Lampiran 6 Data-data/ Katalog Pameran “Pasren” ... 359

Lampiran 7 Data-data dari Disbudparpora ... 366

Lampiran 8 Surat-surat Perijinan Penelitian ... 375


(20)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebudayaan adalah suatu kondisi sosial-budaya yang majemuk, karena terbentuk dengan bermodalkan berbagai kebudayaan lokal atau lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman sejarah, tantangan intervensi dan proses sosialisasi akan memberikan perubahan bentuk (shape) dan warna kepada kepribadian yang muncul dari lingkungan wilayah kebudayaan. Oleh karena itu, ketika sekumpulan masyarakat lama akhirnya berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk bisa mengatasi keterbelakangan kondisi itu ialah dengan membuat suatu kesatuan yang disebut budaya baru. Walaupun kadang-kadang mengalami perbenturan ideologis, tetapi juga ada yang malah saling mengisi di antara kebudayaan tersebut. Budaya baru dapat terbentuk apabila terjadi interaksi kepentingan bersama antar individu (Kayam, 1981: 52). Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial pada hakikatnya setiap individu ingin berkomunikasi dengan sesamanya. Untuk menyampaikan suatu maksud agar bisa diterima orang lain, maka secara konsensus dapat dilakukan melalui simbol-simbol tertentu dalam berkomunikasi.

Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang berlaku pada kesatuan hidup yang terkecil seperti kampung, klan, suku bangsa, hingga kesatuan hidup yang lebih luas yang dinamakan bangsa. Kebudayaan yang dimaksudkan adalah sistem ide, gagasan, nilai-nilai, pandangan hidup, kesenian dan


(21)

commit to user

2 kepercayaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam sibernetika sistem sosial menurut Talcot Parson (dalam Waseno, 1998: 1), kebudayaan menjadi dasar bagi sistem-sistem yang lebih rendah tingkatannya, yaitu sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem organis. Berbeda dengan sistem sosial lainnya, kebudayaan sifatnya jauh lebih abstrak dan sulit diamati secara langsung. Dengan demikian yang dapat diamati hanyalah gejalanya yang tercermin juga dalam sistem sosial dan sistem kepribadian dari sejumlah individu yang menganut atau tercakup dalam suatu kebudayaan tertentu. Begitu juga karya seni sebagai produk kebudayaan dapat dimaknai sebagai gejala perwujudan status kepribadian dalam masyarakat.

Berdasarkan keanekaragaman karya seni yang dikenal di dalam masyarakat sepanjang zaman, maka seperti yang diperkirakan Sedyawati (2006: 125), bahwa posisi seni dalam masing-masing masyarakat tersebut dapat berbeda-beda. Ada masyarakat yang menempatkan kesenian betul-betul merupakan suatu pranata „mandiri‟ sebagai sarana pemenuhan salah satu kebutuhan hidup manusia yang dikenali sebagai kebutuhan tersendiri, sementara dalam masyarakat lain mungkin kesenian adalah sesuatu yang bersifat „pendukung‟ saja terhadap pranata tertentu, misalnya pranata agama. Kajian tentang sistem kesenian, baik sebagai pranata tersendiri maupun sebagai sistem pendukung dalam pranata lain, memerlukan dukungan ilmu dasar antropologi budaya. Konsep-konsep dasar mengenai struktur dan makna simbolis dalam rangka studi mengenai masyarakat seni, yang masing-masing ditandai oleh latar belakang budayanya tersendiri, telah dikembangkan dalam ilmu tersebut.


(22)

commit to user

3 Usaha pengembangan dalam keilmuan tersebut tidak lain adalah untuk dapat memaknai objek seni sebagai bagian dari kebudayaan. Sebagaimana dikatakan Poespowardojo (1989: 121), bahwa usaha ini terlaksana dengan memberikan makna manusiawi kepada materi atau benda seni yang diolahnya dan membuat tata kehidupan masyarakat menjadi manusiawi pula. Dengan kata lain, karya seni pada hakikatnya adalah manifestasi kehidupan masyarakat itu sendiri dan proses perkembangannya, di samping juga sebagai manifestasi kepribadian suatu masyarakat. Artinya, identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya.

Kebudayaan sebagai akar seni telah menumbuh kembangkan cabang-cabang seni seperti seni rupa, seni musik, seni tari, seni teater dan seni sastra. Seni rupa termasuk salah satu cabang seni dapat ditempatkan sebagai substansi kajian budaya. Seni rupa hanyalah bagian dari unsur seni yang keberadaannya sama dengan cabang-cabang seni lainnya. Ia bukan sekedar objek yang terpisah dengan subjeknya (perupa) apalagi latar subjeknya. Dengan demikian seni rupa tidak hanya diposisikan sebagai teks, namun jika ingin dianalisis untuk mengetahui kenyataan mengenainya secara utuh dan secara sosiologis harus ditempatkan pada konteksnya. Seni penuh nilai dan makna; bukan kuantitas tetapi kualitas, posisinya ada dalam wilayah kebudayaan (Subiyantoro, 2010: 83). Peran subjek atau perupa sangat dominan sebagai penguasa objek dalam proses kreatifnya, yakni dalam menciptakan,


(23)

commit to user

4 membangun, mengubah, melestarikan, dan bahkan mengembangkan karyanya diwujudkan dalam bahasa simbol-simbol tertentu.

Sebagai salah satu ranting seni rupa, seni lukis beserta segala aspeknya sangat menarik untuk topik pembahasan, karena tidak akan habis-habisnya di bicarakan baik dari segi nilai estetis, struktur dan makna simbolik yang terkandung didalamnya. Seni lukis hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk visual. Proses penciptaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan sosial budaya. Pengaruh lingkungan dan deferensiasi sosial-budaya dari pelukisnya tampaknya dapat melahirkan beranekaragam corak dan gaya pada hasil karya lukisnya. Seni lukis ditujukan sebagai tolok ukur nilai estetika, tanpa mengurangi fungsi sebagai bahasa rupa untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Dengan demikian setiap corak dan gaya lukisan tersebut dapat memberikan stimulan dan motivasi bagi pengamatnya untuk mengetahui, meneliti, dan mengungkap makna simbolis dari karya tersebut.

Berdasarkan kenyataan di atas, manusia sebagai anggota masyarakat memerlukan bahasa dalam tatanan simbolis untuk menjalin interaksi dengan sesamanya. Bahasa merupakan simbolisasi hasrat dalam suatu pencarian kendali tiada akhir. Simbol merupakan salah satu istilah yang sangat banyak digunakan dalam ilmu humaniora (Ratna,2007: 176). Dengan cara masuk ke dalam tatanan simbolis inilah subjek terbentuk. Di luar tatanan simbolis hanya ada psikosis. Menurut Lacan (dalam Chris Baker, 2000: 91), simbolis adalah suatu struktur bahasa dan makna sosial yang diterima yang bersifat melingkupi.


(24)

commit to user

5 Beberapa wilayah kebudayaan di Indonesia, seperti Jawa Tengah, telah mendapatkan kesempatan perkembangan sosial-budaya, baik dalam bidang hubungan sosial masyarakat maupun simbol-simbol budayanya. Artinya, komunikasi antar budaya sangat diperlukan untuk dapat memaknai simbol-simbol tersebut. Liliweri (2003: 5) menyebutnya „komunikasi sebagai aktivitas simbolis‟, karena aktivitas berkomunikasi menggunakan simbol-simbol bermakna yang diubah ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan atau simbol „bukan kata-kata‟ (nonverbal) untuk „diperagakan‟. Simbol komunikasi itu dapat berbentuk tindakan dan aktivitas manusia, atau tampilan objek yang mewakili makna tertentu. Analogi yang sama dapat dicontohkan pada seorang pelukis yang mengalihkan percakapannya pada pengamatnya melalui karya lukisnya sebagai simbol komunikasi.

Sebagai bagian dari kawasan wilayah kebudayaan di propinsi Jawa Tengah, Klaten merupakan wilayah kabupaten yang termasuk ke dalam wilayah eks. karesidenan Surakarta. Kabupaten Klaten termasuk kawasan straegis, karena terletak di lintasan antara dua “kota budaya” Yogyakarta dan Solo (Surakarta) tentu saja memiliki karakteristik budaya yang tersendiri dari pada daerah lain. Pemandangan alam pedesaan yang indah, yang didominasi lahan pertanian diapit oleh gunung Merapi di sebelah utara dan pegunungan seribu sebelah selatan. Untuk menambah khazanah budaya, secara historis, Klaten memiliki peninggalan hasil kebudayaan masyarakat tempo dulu, seperti candi Merak di kecamatan Karangnongko, candi Plaosan, candi Bubrah, candi Loro Jonggrang di Kecamatan Prambananan dan lain sebagainya. Di samping itu, terdapat pula desa wisata budaya, seperti desa wisata


(25)

commit to user

6 Soran dan desa wisata Melikan. Keduanya menyuguhkan atraksi-atraksi wisata budaya lokal, seperti praktek menggarap sawah secara tadisional, pertunjukan wayang kulit, wayang orang, kethoprak, tari lesung, tari gambyong, dan permainan musik tradisional „lara s madya‟.

Penduduk Kabupaten Klaten merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beberapa kelompok suku (etnis), antara lain: suku Jawa, yang merupakan mayoritas penduduk asli dan suku etnis pendatang, yaitu suku Cina, suku Arab, suku Sunda, suku Irian, dan kelompok suku yang lain yang telah memiliki kewarganegaraan Indonesia. Mereka memiliki adat budaya dan menganut agama yang berbeda-beda. Namun demikian dalam kehidupan bersosial budaya dan beragama masyarakat Klaten terjadi hubungan yang harmonis; saling bertoleransi. Kondisi latar belakang keindahan alam, kekayaan produk kebudayaan, kehidupan sosial-budaya dan agama seperti itulah memungkinkan terbentuknya kreativitas dan aktivitas kebudayaan masyarakat Kabupaten Klaten.

Ketika suatu kelompok individu bertemu dalam persamaan profesi dan persepsi, maka mereka berkeinginan untuk membangun suatu simbol identitas kelompok yang biasa disebut organisasi. Berkaitan dengan organisasi ini, Ferdinand Tonnies (dalam Setiadi, 2006: 85) mengemukakan, bahwa pembagian masyarakat dengan sebutan masyarakat gemainschaft dan geselschaft. Masyarakat gemainschaft atau disebut juga paguyuban, adalah kelompok masyarakat yang anggotanya sangat terikat secara emosional dengan yang lainnya. Masyarakat geselschaft atau yang disebut patembeyan adalah ikatan-ikatan di antara anggotanya kurang kuat dan bersifat rasional. Dengan demikian, terbentuknya organisasi yang dilandasi atas


(26)

commit to user

7 kepentingan bersama untuk mewujudkan tujuan tertentu dapat disebut paguyuban. Paguyuban kesenian merupakan bentuk organisasi dan simbol profesi manusia untuk berinteraksi sosial melalui hasil karya seni. Artinya, sebagai pengikat kebersamaan dalam berkarya para seniman membentuk organisasi kesenian. Salah satunya adalah “Pasren” (Paguyuban Senirupawan Klaten), yaitu organisasi kesenian yang beranggotakan para seniman seni rupa yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, agama, pekerjaan, dan asal daerah di Kabupaten Klaten.

Paguyuban ini berdiri pada tahun 1991 diprakarsai oleh Rustamaji (almarhum), pelukis asli Klaten. Sebagai organisasi kesenian, “Pasren” telah diakui eksistensinya oleh Dewan Kesenian Klaten di bawah perlindungan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Klaten. Setidaknya organisasi ini telah memberikan kontribusi dalam perkembangan dan pembangunan di bidang kebudayaan. Sebagai contoh, memprakarsai pendirian monumen dan patung Ki Nartosabdo (dalang kondang sekaligus budayawan asli Klaten). Selain itu “Pasren” juga menyelenggarakan berbagai lomba melukis dalam event kedaerahan dan nasional, seperti peringatan HUT Kabupaten Klaten dan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Keberagaman asal daerah para seniman yang berdomisili di Klaten dan seniman asli daerah yang berada di luar Kabupaten Klaten sangat mewarnai diferensiasi karya seni lukis yang mereka tampilkan. Pengalaman estetis seniman yang dipengaruhi oleh endapan empiris kebudayaan yang bersifat kedaerahan itu melahirkan objek dan gaya dalam lukisan yang berbeda-beda. Dalam kajian seni rupa, keperbedaan itu justru merupakan suatu keunikan tersendiri dan menarik


(27)

commit to user

8 perhatian. Berangkat dari keragaman tersebut terjadi akumulasi pengaruh ideologi terhadap idea atau gagasan manusia dalam penciptaan karya seni yang disebut ideoantropologi visual.

Secara ideoantropologis setiap individu memiliki paradigma dan ideologi masing-masing sebagaimana paparan Althusser (dalam Chris Baker, 2000 : 60) berikut.

“Ideologi adalah pengalaman yang dijalani. Disisi lain, ideologi juga dipahami sebagai seperangkat makna rumit yang menjelaskan dunia (suatu diskursus ideologi) dengan cara melakukan misrecognize (salah mengenali) dan misrepresent (salah mempresentasikan) kekuasaan dan relasi kelas. Ideologi dikatakan mempresentasikan hubungan imajiner individu dengan kondisi eksistensi nyata mereka”.

Dengan demikian setiap karya lukis seniman cenderung akan mempresentasikan pemaknaan atas keadaan dan peristiwa yang mereka alami, misalnya pemaknaan sebab-akibat kebijakan pemerintah, lingkungan hidup, sosial budaya, keagamaan, dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris tersebut, karya seni lukis bisa ditempatkan sebagai objek kajian budaya, maka dapat dianalisis dengan menggunakan teori budaya untuk mengkaji makna simbolisnya. Teori-teori budaya yang bisa ditawarkan mestinya disesuaikan dengan kebutuhan setiap jenis, corak dan gaya seni lukis. Misalnya, untuk melihat keindahan bentuk struktur bagian luar sebuah objek seni lukis membutuhkan teori estetika dan apabila seni lukis dipandang sebagai tanda, maka teori yang dibutuhkan adalah teori semiotika. Namun demikian, struktur dan tanda pada seni lukis tidak memiliki arti, jika tidak diiringi dengan teori tafsir untuk mengungkap makna simbolis yang terdapat di balik karya seni lukis tersebut. Dalam hal ini, Clifford Geertz (2004: 11) mengemukakan, bahwa analisis ibarat menata struktur-struktur pemaknaan. Dengan demikian, kajian tentang makna-makna yang terdapat pada karya seni lukis “Pasren” tampaknya terjadi keraguan


(28)

commit to user

9 dengan menggunakan teori tafsir apabila tidak didukung oleh teori-teori budaya yang lain, seperti teori estetika dan semiotika. Oleh karena itu, dalam penelitian kajian budaya rupa ini akan dianalisis objek karya seni lukis “Pasren”menggunakan teori tafsir yang didasarkan informasi dari pelukisnya. Artinya, pengkajian karya seni lukis “Pasren” tetap dengan menempatkan posisi pelukisnya sebagai penguasa objek lukisan.

1.2 Masalah

1.2.1 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dijabarkan ke dalam identifikasi masalah sebagai berikut.

1) Diferensiasi sosial-budaya yang melingkupi kehidupan para pelukis akan melahirkan corak dan gaya hasil karya seni lukis. Corak dan gaya karya seni lukis tersebut dapat menjadi simbol komunikasi budaya antara pelukis dan pengamatnya. Akan tetapi, corak dan gaya karya seni lukis sebagai simbol tidak akan bernilai apa-apa atau bermakna ketika pengamatnya tidak bisa untuk mengungkapnya.

2) Secara kelembagaan, eksistensi “Pasren” telah diakui oleh pemerintah daerah setempat sebagai organisasi kesenian yang memiliki karakter kesenirupaan yang potensial. Namun, pemaknaan terhadap karya seni lukis “Pasren” tampaknya belum mendapatkan hasil yang diharapkan, maka akibatnya tidak banyak memberikan simpati, empati, atau pun penghargaan yang signifikan. 3) Karya seni lukis “Pasren” dapat menjadi bahasa rupa sebagai media


(29)

commit to user

10 ada hambatan-hambatan komunikasi, sehingga pemahaman terhadap corak dan gaya karya lukis “Pasren” tidak sesuai yang diharapkan.

4) Setiap corak dan gaya karya seni lukis “Pasren” sebenarnya memiliki nilai estetis, struktur, dan makna berbeda-beda yang perlu diungkap dengan cara menafsirkan. Namun, cara menafsirkan dan memahami karya seni lukis “Pasren” tersebut mengalami kesulitan.

5) Ada keterkaitan antara nilai estetis, struktur dan maknanya, baik yang terdapat pada corak dan gaya salah satu karya seni lukis “Pasren” maupun jika ditransformasikan dengan karya seni lukis yang lain. Namun, kenyataannya banyak orang meragukan tentang keterkaitan tersebut.

Berdasarkan penjabaran kelima butir identifikasi masalah tersebut di atas, dapat dirangkum menjadi inti pokok masalah, bahwa perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” yang dilatarbelakangi oleh diferensiasi kehidupan sosial-budaya masyarakat di Kabupaten Klaten memiliki makna tertentu namun belum terungkap, maka perlu pemaknaan agar karya seni lukis itu dapat dipahami maksud dan nilai yang terkandung di dalamnya.

1.2.2 Pembatasan Masalah

Kreativitas seseorang sepanjang sejarah meliputi banyak kegiatan, di antaranya beraktivitas dalam bidang sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Dalam bidang kesenian, seni lukis termasuk salah satu karya seni yang perlu dimaknai. Oleh karena itu, penelitian ini akan memusatkan perhatian pada makna keperbedaan dalam keberagaman karya seni lukis “Pasren”, yaitu pada


(30)

commit to user

11 realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari yang bernilai simbolis. Bentuk simbolis yang dimaksud itu meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos dan bahasa (Kuntowijoyo, 2006:3). Sedemikian luasnya bentuk-bentuk simbolis, maka dalam penelitian ini perlu membatasi pada beberapa hal yang terjangkau dalam bahasan sosiologi dan antropologi kesenian.

Berdasarkan inti pokok masalah yang berkaitan dengan karya seni lukis “Pasren” maka dalam penelitian ini akan membatasi masalah makna tertentu yang terdapat pada keberagaman corak dan gaya lukisan yang teridentifikasi memiliki persamaan dan perbedaannya. Karya seni lukis yang akan dianalisis sebanyak delapan jenis corak dan gaya beserta pelukisnya. Adapun pertimbangan sebanyak itu, karena pada karya-karya pelukis “Pasren” yang termasuk ke dalam kedelapan jenis corak dan gaya itu, berdasarkan data awal telah diteliti memiliki keunikan tersendiri menurut nilai estetis, penanda dan mengundang interpretasi. Untuk menggali lebih dalam makna tersebut, akan ditentukan sejumlah informan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

Ruang lingkup penelitian difokuskan pada penggalian informasi mengenai makna tertentu pada hasil karya pelukis anggota “Pasren”, baik yang berada di dalam sekretariat “Pasren” maupun di rumah-rumah anggota “Pasren” di lingkungan wilayah kabupaten Klaten. Berhubung umur organisasi “Pasren” masih relatif muda, maka dalam penelitian ini tidak memerlukan periodisasi, tetapi akan menganalisis objek penelitian sejak berdirinya “Pasren” tahun 1991 sampai sekarang.


(31)

commit to user

12

1.2.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan menjadi beberapa identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diungkapkan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1) Apa yang melatarbelakangi pemikiran, ideologi dan filosofis keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”?

2) Bagaimana perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”?

3) Bagaimana makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Sesuai dengan identifikasi masalah, maka tujuan umum dalam penelitian ini secara keseluruhan adalah untuk mengetahui perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni “Pasren” itu memiliki makna-makna yang dilatarbelakangi oleh diferensiasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Kabupaten Klaten dan untuk untuk mengetahui cara memaknai keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:

1) Untuk mengkaji kejelasan yang melatarbelakangi pemikiran, ideologi dan filosofis keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”.


(32)

commit to user

13 2) Untuk mengkaji perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis

“Pasren” yang memiliki makna tertentu.

3) Untuk memaknai keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Bagi Keilmuan

Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kajian budaya. Lebih khusus lagi mengenai analisis seni lukis sebagai bagian dari kajian budaya dan seni rupa.

Secara ideoantropologi visual, maka diharapkan hasil penelitian ini nanti dapat mendukung kebenaran teori-teori budaya dan dapat pula memberikan data empiris tambahan bagi teori-teori yang sudah ada seperti teori strukturalisme, semiotika dan teori tafsir simbolis dalam rangka mengungkap makna simbolis yang terdapat pada corak dan gaya karya seni lukis secara optimal.

Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan menambah referensi penelitian-penelitian berikutnya atau sebagai pembanding dalam penelitian budaya yang lain.

1.4.2 Manfaat Bagi Pihak Terkait

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, antara lain Pemerintah Kabupaten Klaten melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga dalam memberikan pembinaan


(33)

commit to user

14 organisasi-organisasi kebudayaan umumnya dan seni rupa pada khususnya. Bagi Dewan Kesenian Klaten, dapat membantu dalam memfasilitasi dan memberikan penyuluhan teknis pelaksanaan kegiatan kesenian demi perkembangan organisasi kesenian di Kabupaten Klaten. Demikian juga, bagi organisasi “Pasren” dapat menjadi dokumen dan rujukan bagi para pelukisnya untuk meningkatkan kreativitas dalam berkarya seni.

1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat

Dari hasil penelitian ini dapat membuka mata masyarakat, bahwa karya seni lukis itu tidak sekedar bentuk visual semata, tetapi lebih dari itu memilki makna teertentu. Oleh karena itu, diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat meningkatkan rasa apresiasi seni masyarakat terhadap karya seni lukis dewasa ini demi membantu kemajuan dan perkembangan seni rupa pada umumnya.

1.4.4 Manfaat Bagi Peneliti

Secara pribadi, penelitian ini bermanfaat sebagai dasar pijakan keilmuan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Di samping itu, dapat menambah wawasan seni dan pengalaman bermakna, bahwa pada keberagaman karya seni lukis “Pasren” itu memiliki makna-makna tertentu. Dari pengalaman bermakna itu, penulis merasa bertanggung jawab sebagai insan civitas akademika merasa bangga dan berkewajiban untuk menyumbangkan hasil penelitian ini pada masyarakat dalam menambah cakrawala persenilukisan.


(34)

commit to user

15 1.5 Susunan Penulisan

Penyajian hasil dari penelitian merupakan suatu uraian mengenai susunan penulisan yang dibuat secara teratur dan terinci. Susunan penulisan yang dimaksud bertujuan untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh dengan jelas dari penelitian tersebut. Oleh karena itu susunan penulisan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Bab I menjelaskan dasar pemikiran yang menjadi titik tolak perlunya dilakukan penelitian karya seni lukis “Pasren” dan merupakan landasan bagi pembahasan bab-bab selanjutnya. Pembahasannya mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pematasan masalah, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian baik tujuan umum maupun tujuan khusus, manfaat penelitian yang berguna bagi dunia keilmuan, pihak-pihak terkait, berguna bagi masyarakat dan bagi peneliti sebagai tanggung jawab akademis.

2) Bab II memaparkan dan menjelaskan teori-teori atau konsep-konsep sebagai teori utama (gra nd theory) dan didukung oleh teori-teori lain yang relevan dengan masalah yang diteliti. Disamping itu, juga menguraikan data-data sekunder yang diperoleh dari jurnal-jurnal ilmiah atau hasil penelitian pihak lain yang terkait dan tidak kontradiktif dengan lingkup keilmuan yang dapat dijadikan pertimbangan, kaidah-kaidah teoristis atau asumsi-asumsi yang memungkinkan untuk menjawab masalah penelitian. 3) Bab III secara umum menjabarkan tentang metode penelit ian untuk


(35)

commit to user

16 dan runtut mengenai prosedur penelit ian dengan me mperhat ikan masalah penelit ian. Di dalamnya menjelaskan mengenai objek atau variabel penelitian, jenis, paradigma dan pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. Disamping itu, juga menguraikan secara umum prosedur penelitian dan proses analisis data yang dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data dan penyajian data dan verifikasi (penyimpulan).

4) Bab 1V memaparkan gambaran umum mengenai fenomena budaya yang terjadi di organisasi “Pasren” dan yang melatarbelakanginya. Menguraikan secara singkat profil lembaga organisasi “Pasren” beserta gambaran lokasi tempat dilakukannya penelitian. Demikian juga menggambarkan cakupan objek penelitian atau variabel dan menyampaikan hasil temuan-temuan umum dan khusus. Berdasarkan temuan yang diperoleh, selanjutnya dibahas dan dianalisis dengan menggunakan teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti sebagaimana disebutkan pada bab II.

5) Bab V menutup pembahasan dengan menarik kesimpulan yang menguraikan hasil pembahasan mulai pendahuluan hingga hasil penelitian dan memaparkan pembahasan yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan singkat dan padat yang mengacu atau menjawab masalah penelitian seperti yang diungkapkan pada rumusan masalah sekaligus sebagai upaya pencapaian tujuan. Di samping itu, berupaya memaparkan temuan-temuan dart hasil


(36)

commit to user

17 penelitian sesuai permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini. Beberapa saran-saran berupa anjuran, rekomendasi serta temuan-temuan kendala dengan memperhatikan manfaat penelitian menyangkut manfaat penelitian yang menyangkut aspek kebijakan, konseptual maupun operasional.


(37)

commit to user

18

BAB II

TINJAUAN KEBUDAYAAN DAN SENI LUKIS

DALAM KEBERAGAMAN MAKNA

2.1Ruang Lingkup Kebudayaan 2.1.1 Pengertian Kebudayaan

Kata ”kebudayaan” berasal dari bahasa Latin, yaitu colere dan bahasa Inggris culture yang keduanya merujuk pada arti pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman atau ternak (Simon, 2008: 2). Pengertian tersebut berubah menjadi gagasan tentang keunikan adat adat kebiasaan suatu masyarakat. Selanjutnya, istilah-istilah tersebut menjadi multidimensi bersama dengan munculnya berbagai pendapat tentang apa makna perbedaan dan keunikan-keunikan itu dalam memahami manusia umumnya. Dalam bahasa Indonesia, kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-budaya-an itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan akal yang berwujud cipta, rasadan karsa (Koentjaraningrat, 1993: 9). Maka, sebagai suatu konsep, Koentjaraningrat memberikan arti kebudayaan adalah “keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”.

Banyak sekali pengertian kebudayaan, dan bahkan A.L. Kroeber dan C. Kluchohn sempat mengumpulkan sebanyak 179 definisi tentang kebudayaan.


(38)

commit to user

19 Kemudian dianalisis dan diklasifikasikan ke dalam tipe-tipe tertentu untuk kepentingan penelitian tertentu (Koentjaraningrat, 1993: 10). Setiap definisi yang disampaikan menurut sudut pandang masing-masing orang berdasarkan pola pikir dan kepentingannya. Sekelompok orang menganggap kebudayaan sebagai bentuk perilaku sosial masyarakat. Sementara kelompok lainnya beranggapan, bahwa kebudayaan bukanlah bentuk perilaku, melainkan ide atau gagasan dari perilaku itu sendiri. Sebagian orang lain lagi, menganggap benda-benda buatan manusia seperti kapak batu, kapak logam, candi, istana raja, tembikar, perhiasan, dan lain-lain sebagai kebudayaan. Namun, ada orang lagi yang menganggap, bahwa benda-benda itu bukanlah kebudayaan, melainkan hasil dari kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan adalah sesuatu yang sangat kompleks berasal dari manusia, seperti yang dikemukakan oleh E.B. Taylor, 1958 (dalam Bahari, 2008: 27), bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Pengertian kebudayaan menurut E.B. Taylor itu dipersoalkan oleh Peursen (1989: 10), karena dianggapnya pengertian tersebut, bahwa kebudayaan meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia hanya yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani saja. Ciri khas dari pendapat-pendapat itu dianggapnya mendikotomikan antara “bangsa-bangsa berbudaya” (yang beradab tinggi) dengan “bangsa-bangsa alam” (yang dianggap lebih primitif). Oleh karena itu, Peursen mengartikan kebudayaan sebagai manifestasi setiap orang dan setiap kelompok orang; berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di


(39)

commit to user

20 tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah dia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah dia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiahnya, dan justru itulah yang dinamakan kebudayaan. Itulah sebabnya tidak terdapat manusia-manusia yang semata-mata terbenam dalam alam sekitarnya.

Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kematian dan membuat upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu; demikian juga mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan, pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat kehidupan, pakaian, cara-cara menghiasi rumah dan badannya. Semua itu termasuk kebudayaan, seperti juga kesenian, ilmu pengetahuan dan agama. Justru dari kehidupan “bangsa -bangsa alam” itu menjadi kentara, bagaimana pertanian, kesuburan (baik dari ladang, maupun dari wanita), erotis, ekspresi kesenian dan mitos-mitos religius merupakan satu keseluruhan yang tak dapat dikotak-kotak (Peursen 1989: 11). Jadi, menurut pandangan ini kebudayaan adalah suatu proses perkembangan kehidupan manusia dan ruang lingkupnya sangat diperluas lagi.

Karena demikian luasnya ruang lingkup kebudayaan, maka untuk kepentingan analisis konsep kebudayaan itu perlu dipecah ke dalam unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan tersebut bersifat universal. Dalam hal ini, Koenntjaraningrat (1993: 2) membagi unsur-unsur universal menjadi tujuh, sebagi berikut.


(40)

commit to user

21 1) Sistem religi dan upacara keagamaan,

2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) Sistem pengetahuan,

4) Bahasa, 5) Kesenian,

6) Sistem mata pencaharian hidup, dan 7) Sistem teknologi dan peralatan.

Dari ketujuh unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi menjadi sub unsur-unsurnya. Demikian ketujuh unsur kebudayaan universal tadi memang mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia di manapun juga di dunia, dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.

Ketika kebudayaan telah menjadi sistem pengetahuan, secara terus- menerus dan setiap saat bila ada rangsangan, dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa dan benda-benda yang ada dalam lingkungannya, sehingga kebudayaan itu juga dimiliki oleh masyarakat di mana dia hidup. Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk membaca dan memahami serta mengintepretasi secara tepat berbagai gejala dan peristiwa yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka. Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya kebudayaan yang berisikan model-model kognitif yang mempunyai peranan sebagai kerangka pegangan untuk pemahaman. Dengan kebudayaan ini, manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan kelakuan tertentu sesuai dengan rangsangan-rangsangan yang ada atau sedang dihadapinya.

Dalam memahami kebudayaan harus dimulai dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan generik; yang merupakan pedoman yang diturunkan, tetapi sebagai kebudayaan diferensial; yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial. Kebudayaan bukanlah suatu


(41)

commit to user

22 warisan yang secara turun-tumurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu (Abdullah, 2006: 9). Dengan demikian, sifat kebudayaan berubah dan berkembang; dapat dimodifikasi seiring kebutuhan dan pemikiran manusia. Pendek kata, kebudayaan pada hakikatnya adalah manifestasi kehidupan masyarakat kehidupan masyarakat itu sendiri dan proses perkembangannya. Oleh karena itu, tepatlah seperti yang dikatakan Poepowardojo (1989: 121), bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian suatu masyarakat sebagai suatu identitas. Artinya, identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai perikehidupannya.

2.1.2 Wujud Kebudayaan

Merujuk pendapat J.J. Hoenigman (dalam Mujiyanto, dkk., 2010: 11) dan Koentjaraningrat (1993: 5), wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu gagasan, aktivitas dan artefak.

2.1.2.1 Gagasan (Wujud Ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya absraks; tidak dapat diraba, disentuh atau di foto. Wujud kebudayaan ini terletak di dalam


(42)

kepala-commit to user

23 kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat teresebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

2.1.2.2 Aktivitas (Wujud Tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati dan didokumenkan.

2.1.2.3 Artefak (Wujud Karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumenkan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan tersebut.

Dalam kenyataannya kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Contoh, wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.


(43)

commit to user

24 Berdasarkan ketiga wujud kebudayan itu apabila dikaitkan dengan karya seni, maka banyak kalangan membedakan wujud kebudayaan menjadi dua, yaitu berwujud fisik (bewujud; tampak mata dan dapat diraba) biasa disebut dengan istilah tangible dan non fisik (tidak berwujud; tidak tampak mata atau abstrak) yang disebut dengan istilah intangible. Namun, tampaknya Sedyawati (2006: 164) mengkritisi kedua istilah tersebut telah terjadi kekeliruan dalam memaknai. Dia menjelaskan, bahwa pengertian itu tidak selamanya benar, karena ada aspek budaya intagible itu bersifat absrak, seperti konsep dan nilai. Adapula yang bersifat konkrit, seperti musik, tari, upacara, dan sebagainya. Bahkan suatu pergelaran yang nyata, yang umumnya juga mempunyai bentuk dan struktur tertentu tetapi tidak dapat dikatakan “tak berwujud”.

Oleh karena itu, dia memberikan pengertian tangible artinya dapat disentuh atau diraba dan intangible artinya “tak benda” atau tidak dapat disentuh. Artinya, keduanya merupakan aspek budaya yang bersifat “kebendaan” atau “kerabaan”. Sebagai contoh, misalnya peristiwa budaya masa lampau seperti permainan musik, tari, cerita, dan sebagainya yang dilukiskan pada artefak-artefak. Contoh yang lain, adalah lukisan sumberdaya manusia berupa peristiwa budaya seperti lukisan gotong royong, pengairan irigasi, pejamuan agung di istana, dan sebagainya yang juga dipahatkan pada artefak peninggalan sejarah.

2.1.3 Diferensiasi Sosial-Budaya

Secara etimologis kata “diferensiasi” merupakan kata serapan berasal dari bahasa Inggris difference yang berarti perbedaan, pertentangan, pertikaian (Shadily, 2007: 181). Dikaitkan dengan teori sosiologi dan antropologi, maka diferensiasi


(44)

commit to user

25 dapat dimaknai ketidaksamaan atau keperbedaan status sosial masyarakat yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya masing-masing individu. Menurut Wahyuni dan Yusniati (2007: 14), berdasarkan bentuknya, diferensiasi sosial dapat dibedakan sebagai berikut.

1) Diferensiasi sosial berdasarkan ras:

Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan ras yang dimiliki seseorang.

2) Diferensiasi sosial berdasarkan agama :

Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan agama yang dianut oleh seseorang.

3) Diferensiasi sosial berdasarkan klan:

Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan perbedaan latar belakang kekerabatan seseorang yang terdiri atas satu nenek moyang dilihat melalui garis keturunan.

4) Diferensiasi sosial berdasarkan jenis kelamin:

Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang dimiliki seseorang

5) Diferensiasi sosial berdasarkan profesi:

Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan profesi atau pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang.

6) Diferensiasi sosial berdasarkan suku:

Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan suku bangsa yang dimiliki seseorang.

Namun keperbedaan bentuk diferensiasi tersebut di atas tidak perlu dipertentangkan, apalagi menjadikan pertikaian, tetapi justru akan melahirkan keragaman sosial-budaya masyarakat. Keragaman sosial-budaya masyarakat ini dalam perkembangan yang dewasa ini justru mewarnai dinamika kehidupan sehingga muncul beragam pandangan-pandangan tentang berbagai ragam kehidupan. Keragaman budaya dalam fenomena kehidupan telah menimbulkan berbagai ragam persoalan, baik yang menyangkut persoalan yang bersifat eksternal maupun yang bersifat internal. Persoalan eksternal muncul ketika elemen-elemen di luar kehidupan manusia masuk dan terlebur ke dalamnya. Elemen-elemen itu dapat berupa kemajuan


(45)

commit to user

26 teknologi, karya sastra, seni lukis, musik dan sebagainya. Sedangkan aspek internal dapat berupa gagasan. Ide atau konsep-konsep yang dimunculkan oleh para pelaku budaya itu sendiri.

Dengan demikian, yang dimaksud diferensiasi adalah bentuk keperbedaan dalam keragaman latar belakang sosial-budaya masyarakat berupa suku, ras, agama, klan, garis keturunan, jenis kelamin, maupun profesi yang berpengaruh pada terciptanya karya budaya yang berbeda-beda. Dengan keperbedaan hasil karya ini juga akan melahirkan keragaman bentuk-bentuk sistem sosial budaya yang memiliki beaneka ragam simbol budaya.

2.1.4 Ideologi Budaya dan Keberagaman Karya Budaya

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Poewodarminto (1982: 334), Kata “ideologi” berarti paham, teori dan tujuan yang dimiliki seseorang atau konsep bersistem yang dijadikan sebagai landasan berpendapat yang memberikan arah dan tujuan hidup. Kaplan dan Manners, (2002: 154) menggunakan istilah ideologi untuk mengacu kepada kawasan ideasional dalam suatu budaya. Dengan demikian, istilah ideologi dalam penggunaannya meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Kata ideologi dalam masyarakat sering dikaitkan dengan konsep yang direduksi sebagai pemikiran politik dalam tindakan praktis dan berkonotasi negatif, karena di dalamnya berisi pemikiran yang acapkali memaksakan kehendak kepada masyarakat. Tetapi, seiring perkembangan jaman, maka pemahaman tentang ideologi mengalami perubahan. Seperti juga pada fenomena bahasa pada umumnya,


(46)

commit to user

27 pergeseran sebuah kata bisa terjadi apabila tindakan praktis berubah. Lelland (2005: 24) mengatakan, bahwa yang membuat sebuah ide menjadi ideologis adalah karena ia menyembunyikan sifat yang sebenarnya dari hubungan sosial dan ekonomi dan kemudian digunakan untuk menjusdifikasi distribusi sumber daya sosial ekonomi yang tidak merata dalam masyarakat. Tidak semua ide adalah ideologi, tetapi hanya ide-ide yang digunakan untuk menjusdifikasi suatu kepentingan tertentu.

Dengan demikian, apabila ideologi dihubungkan dengan berbagai fenomena kebudayaan, maka pengertian ideologi memiliki karakter dengan sudut pandang yang berbeda, sebagaimana dikatakan Althusser (dalam Barker, 2009: 60), bahwa ideologi memiliki karakter dua ujung. Di satu sisi, dia adalah kondisi nyata kehidupan manusia, dia meliputi pandangan dunia yang menjadi landasan orang untuk hidup dan menyelami dunia ini. Dalam hal itu, ideologi tidak palsu karena dia membentuk kategori dan sistem representasi yang membuata kelompok sosial dapat memahami dunia ini. Ideologi adalah pengalaman yang dialami. Di sisi lain, ideologi juga dipahami sebagai seperangkat makna rumit yang menjelaskan dunia. Sementara Meliono-Budiono (2004: vii) mensinyalir, bahwa ideologi dilihat sebagai sebuah gagasan, pemikiran, ataupun ide-ide yang berada pada kebudayaan materialistis. Di dalam kebudayaan meterialistis, kebudayaan tidak beroperasional secara fisik melainkan berada di dalam kepala, di dalam kematangan jiwa, keluasan pengalaman dan kedalaman pikiran suatu masyarakat. Oleh karenanya kedalam pikiran masyarakatlah yang berperan dalam mewujudkan ideologi tersebut. Dengan kata lain ideologi budaya berada pada pola pikir kolektif masyarakat. Artinya, ideologi budaya sangat erat dengan keberadaannya manusia sebagai makhluk individu dan sosial


(47)

commit to user

28 yang berbudaya, baik sebagai penghasil maupun pemakai dan pemakna hasil kebudayaan itu sendiri. Dalam kajian budaya pemahaman semacam itu disebut ideoantopologi.

Kata ideoantropologi merupakan gabungan dari kata „ideologi‟ dan „antropologi‟. Ideologi adalah suatu bentuk empiris berasal dari pengaruh lingkungan pada jamannya bersifat abstrak di dalam alam pikir manusia yang kemudian terserap menjadi idea atau gagasan untuk berkarya seni. Antropologi diserap dari bahasa Latin anthropos berarti manusia dan logos artinya ilmu. Jadi antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia yang sangat kompleks, menyangkut sebagai makhluk individu maupun sosial masyarakat (Koentjaraningrat, 1996: 8). Berdasarkan penggabungan kedua terminologi tersebut, maka yang dimaksud ideoantroplogi adalah suatu paparan analisis karya-karya budaya manusia baik sebagai makhluk individu maupun anggota masyarakat yang ditinjau dari segi pengaruh ideologinya. Pengaruh ideologi yang melandasi pola pikir masing-masing individu tentunya akan melahirkan keragaman sosial-budaya budaya dan karya budaya masyarakat pula.

Ketika ideologi besentuhan dengan keragaman sosial dan kemudian dikaitkan dengan penciptaan karya budaya, maka persentuhan tersebut akan menjadi kekayaan ide gagasan manusia dalam proses berkarya dan pada akhirnya juga menambah keunikan tersendiri pada hasil karyanya. Bisa jadi ideologi yang bersentuhan dengan adanya keberagaman sosial-budaya ini akan memungkinkan terjadi saling mempengaruhi teknik, corak dan gaya dalam berkarya, tetapi masing-masing subjeknya tetap memiliki karakter tersendiri dalam karyanya.


(48)

commit to user

29 Setiap produk kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat, baik suatu komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, suatu organisasi paguyuban dan sebagainya, memiliki suatu karya budaya dengan corak dan gaya yang khas, yang terutama tampak oleh orang yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. Warga kebudayaan itu sendiri biasanya tidak menyadari dan melihat corak dan gaya yang khas tersebut. Sebaliknya, mereka dapat melihat corak dan gaya yang khas kebudayaan lain, terutama apabila corak dan gaya yang khas itu mengenai unsur-unsur yang perbedaannya sangat menyolok dibandingkan dengan kebudayaannya sendiri. Suatu kebudayaan dapat memiliki suatu karya budaya dengan corak dan gaya yang khas itu karena berbagai sebab, yaitu antara lain karena adanya suatu unsur kecil dalam bentuk unsur kebudayaan fisik yang khas dalam kebudayaan tersebut, atau kebudayaan itu memiliki pranata-pranata dengan suatu pola khusus, atau mungkin juga karena warga kebudayaan menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak dan gaya yang khas mungkin pula disebabkan karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar, sehingga tampak berbeda dari kebudayaan-kebudayaan lain.

2.1.5 Kajian Budaya dan Keberagaman Karya Budaya

Dalam rangka menganalisis dan menjelaskan representasi keberagaman suatu karya budaya, baik dari ditinjau sisi ideologi, latar belakang sosial-budaya dan makna simbolis, maka perlu pengkajian terhadap karakteristik subjektivitas dan identitas manusia sebagai penghasil produk kebudayaan. Sebagaimana dikatakan Barker (2009: 173), sebagai berikut.


(49)

commit to user

30 “Konsep subjektivitas dan identitas terkait erat dan secara virtual tak dapat dipisahkan. Namun, kita bisa memandang subjektivitas mengacu pada kondisi menjadi seorang pribadi dan proses di mana kita menjadi seorang pribadi, yaitu bagaimana kita dibentuk sebagai subjek. Sebagai subjek, yaitu sebagai pribadi, kita „terikat kepada‟ proses-proses sosial yang menciptakan kita sebagai „subjek untuk‟ diri kita dan orang lain. Konsepsi yang kita yakini tentang diri kita bisa disebut dengan identitas-diri, sementara itu harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Keduanya membentuk narasi atau menyerupai cerita”.

Berdasarkan pendapat itu, dapat dimaknai, bahwa identitas subjek tebentuk oleh adanya pengaruh dari luar diri subjek. Begitu seseorang sebagai subjek harus dapat menempatkan diri pada kondisi sebagai pribadi individu dan menjadi harapan orang lain sebagai makhluk sosial. Untuk mewujudkan sebuah narasi konsepsi subjektifitas dan identitas tidak cukup dengan hanya menggunakan satu teori kajian. Dalam hal ini, sesuai sifatnya, maka kajian budaya dapat digunakan sebagai tali simpul terhadap ilmu-ilmu atau teori-teori yang lain.

Kajian budaya (cultural studies) sering disebut sebagai wilayah lintas- disiplin, multi-disiplin, pasca-disiplin, atau bahkan malahan anti-disiplin. Dalam konteks ini, kajian budaya dikaitkan dengan pengkajian terhadap sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar-disiplin. Semua ini tentulah baik adanya, karena dari sudut pandang nominalis „disiplin‟ sebenarnya hanyalah merupakan istilah untuk melegitimasi dan melembagakan metode dan medan minat sebuah kajian. Tetapi sering luput dan tidak hadir dalam perbincangan tentang lintas disiplin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, adalah bahwa gagasan lintas disiplin dalam kajian budaya juga melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dan tindakan. Inilah pokok persolalan sesungguhnya yang membedakan kajian budaya denagan disilpin lainnya, yaitu hubungan kajian budaya dengan


(50)

soal-commit to user

31 soal kekuasaan dan politik, dengan keinginan akan perubahan dan representasi dan untuk kelompok sosial yang terpinggirkan terutama kelompok kelas, gender, dan ras, begitu juga kelompok usia, kecacatan, kebangsaan, dan sebagainya. “Kajian budaya merupakan bangunan teori yang dihasilkan oleh pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik politik” (Mujiyanto, dkk, 2010: 23). Dengan demikian, pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai fenomena netral atau objektif, melainkan sebagai persoalan posisionalitas, persoalan dari mana, kepada siapa dan dengan tujuan apa seseorang berbicara.

Arti “budaya” dalam kajian budaya adalah medan nyata di mana praktik -praktik, representasi-representasi, bahasa, dan kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat tertentu berpijak. Budaya juga adalah bentuk-bentuk kontradiktif akal sehat yang sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari (Hall, 1996: 439). Budaya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang makna-makna sosial, yaitu beragam cara yang digunakan untuk memahami dunia. Namun demikian, makna-makna tidak menari-nari „di luar sana‟, melainkan muncul melalui tanda-tanda, terutama tanda-tanda bahasa. Kajian budaya memegang argumen, bahwa bahasa bukan sebuah media yang netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan tentang suatu objektivitas dan independen yang „ada‟ di luar bahasa. Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak oleh bahasa dan menjadi bisa dipahami melalui istilah-istilah yang digariskan oleh bahasa. Proses-proses produksi makna ini disebut praktik-praktik penandaan (signifying


(51)

commit to user

32 practices), dan mempelajari kebudayaan sama artinya meneliti bagaimana makna diproduksi secara simbolis dalam bahasa „sistem penandaan‟.

Posisi teori dalam kajian budaya bisa dipahami sebagai narasi yang bertujuan untuk memilah-milah dan menguraikan ciri-ciri umum yang mendeskripsikan, mendefinisikan dan menjelaskan kejadian-kejadian yang terus-menerus muncul. Bagaimanapun, teori tidak memotret dunia secara akurat; ia adalah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia melalui mekanisme deskripsi, definisi, prediksi dan control. Konstruksi teori adalah usaha diskursif yang sadar diri (self-reflextive) yang bertujuan untuk menafsirkan dan mengintervensi dunia (Mujiyanto, dkk, 2010: 24).

Pengkajian teoritis bisa dianggap sebagai peta-peta kultural yang menjadi panduan. Kajian budaya menolak klaim para empirisis, bahwa pengetahuan hanyalah masalah mengumpulkan fakta yang digunakan untuk mendeduksi atau menguji teori. Teori dipandang sudah selalu implicit dalam penelitian empiris melalui pemilihan topik, fokus, riset, dan konsep-konsep yang dipakai untuk mendiskusikan dan menafsirkannya. Dengan kata lain, „fakta‟ tidaklah netral dan tidak ada tumpukan „fakta‟ yang bisa menghasilkan kisah tentang sesuatu tanpa teori. Bahkan, teori adalah kisah tentang kemanusiaan yang mempunyai implikasi untuk tindakan dan penilaian-penilaian tentang konsekuensi.

Kajian budaya sangat memerankan peranan penting untuk menunjukkan karakter yang terkonstruksi teks-teks kebudayaan, berbagai mitos dan ideologi yang tertanam di dalamnya, dengan harapan bisa melahirkan posisi-posisi subjek, dan subjek-subjek sungguhan, yang mampu melawan subordinansi. Sebagai sebuah teori


(1)

commit to user

327 manusia masih berlangsung. Ketika seorang bayi diasuh dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya, pada saat itulah dewa Wisnu menitis kekuasaan-Nya pada kedua orang tua bayi itu menjadi “pemelihara”. Namun, ketika orang tua tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai “pemelihara” anak-anaknya, maka pada saat itulah dewa Siwa menguasai diri mereka yang cenderung mencelakakan atau bahkan ada yang membunuh anaknya sendiri. Contoh sifat “Kesiwaan” yang lain adalah berupa kasus -kasus kejahatan yang dilakukan sebagian manusia seperti, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan dan lain-lain yang semua itu merupakan nafsu angkara murka. (Dwi Lestari, Wawancara: Kamis, 7 Juni 2012) dengan demikian agar kehidupan di dunia ini menjadi baik dan bermakna, maka perlu adanya hubungan harmonis antara cipta, rasa, dan karsa manusia dalam berkehendak dan berkarya.

Sementara dalam keyakinan agama Islam memaknai filosofis lahir, hidup, dan mati sebagai tataran perjalanan hidup menuju pada sang pencipta Allah SWT melalui tiga jalan kema‟rifatan, yakni hakikat, sya riat dan tariqat. Dalam bahasa Arab, hakikat artinya kebenaran atau kenyataan asal (Rummi , 2007: 57) dalam konteks makna ma‟rifat, seorang manusia lahir di dunia pada hakikatnya sebuah kenyataan asal yang sebenar-benarnya dari Allah SWT tidak diragukan lagi. Kemudian seorang manusia yang lahir tersebut akan senantiasa mencari sebuah kebenaran hakiki, sebagai konsekuensi lahirnya sebuah kebenaran-Nya. Maka, hakikat dapat dikatakan sebagai tujuan akhir dari dalam menempuh kehidupan setelah melalui proses kelahiran; apa itu hidup, untuk apa hidup dan bagaimana hidup. Dengan begitu manusia terlahir didunia akan senantiasa melakukan amalan kehidupan sesuai sya riat agama Islam. Kata sya riat secara leteral Arab berarti jalan ke mata air. Istilah itu


(2)

commit to user

328 digunakan dalam al-Quran untuk menyebut keseluruhan ajaran agama Islam yang diwahyukan kepada rasulullah Muhammad SAW. Dalam istilah lain adalah fiqh yang berupa amalan kehidupan misalnya wudlu, mandi, sholat, puasa, zakat, hukum waris, perkawinan, muamalat dan sebagainya (Rummi, 2007: 48).

Berdasarkan amalan kehidupan itu dapat menjadi jalan pada terjalinnya hubungan harmonis, baik secara vertikal kepada Tuhan sebagai penguasa alam semesta dan secara horizontal hubungannya dengan sesama manusia dan dengan alam. Jalan menuju keharmonisan hubungan tersebut dalam tafsir Islam disebut tariqat atau tareat. Istilah tariqat berasal dari kata thoriqoh yang artinya jalan, metode atau cara (Rummi. 2007: 53). Dalam lingkup tasa wuf, tariqat artinya jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yakni tempat terdekat disisi Allah SWT. Sementara dalam kalangan muslim pada umumnya tariqat dimaknai sebagai suatu jalan menuju kema‟rifatan yang senantiasa mengaitkan setiap apa yang dilihatnya, setiap objek alam di jagat raya ini sebagai wujud Tuhan. Dengan demikian, filosofi kema‟rifatan sebagaimana telah diuraikan di awal tidak ada pemisahan antara syariat, tariat dan hakikat. Kebersatuan ketiganya ini akan membawa pada kesempurnaan hidup manusia. Sementara kesempurnaan hidup manusia dapat membawa dampak keharmonisan kehidupan beragama, berbudaya dan bermasyarakat. Dalam filosofi jawa disebut trisila seperti tercermin pada sikap hidup orang Jawa. Dalam serat Sasongko Jati tulisan R.T Hardjo Prakoso dan Tri Hardono Sumodihardjo, trisila merupakan pokok-pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh semua umat manusia dan merupakan tiga hal yang harus dituju oleh cipta, rasa dan karsa manusia di dalam menyembah Tuhan,


(3)

commit to user

329 yakni pracoyo (percaya) mituhu (setia) dan eling (sadar). Kata pracoyo atau percaya ialah percaya terhadap sukma sejati atau utusan-Nya yang disebut guru sejati. Mituhu ialah setia dan selalu melaksanakan segala perintah-Nya yang disamapaikan melalui utusan-Nya. Akhirnya eling atau sadar ialah selalu berbakti kepada Tuhan yang Mahatunggal. Menurut ajaran Sunarto ini, Tuhan Mahatunggal adalah kesatuan dari tiga sifat yaitu sukma ka welas atau Allah Ta‟ala, sukma sejati atau untusan-Nya, dan ruh suci atau jiwa manusia sejati, ketiganya disebut tripurusa.


(4)

commit to user

330

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian atau pembahasan pada bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan, bahwa perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” yang dilatarbelakangi oleh diferensiasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Kabupaten Klaten memiliki makna tertentu. Diferensiasi sosial-budaya yang melingkupi kehidupan para pelukis “Pasren” di Klaten tersebut dapat berpengaruh dalam konsep berkarya yang melahirkan keragaman corak dan gaya hasil karya seni lukis. Corak dan gaya karya seni lukis tersebut dapat menjadi simbol komunikasi budaya dan bahasa rupa antara pelukis dan pengamatnya. Terbukti eksistensi “Pasren” telah diakui oleh pemerintah daerah setempat sebagai organisasi kesenian yang memiliki karakter kesenirupaan yang potensial.

Setelah dilakukan analisis terhadap sejumlah hasil karya seni lukis “Pasren” dapat diketahui adanya perbedaan-perbedaan proses dan teknik berkarya yang menyebabkan terjadinya keperbedaan corak dan gaya yang masing-masing memiliki nilai estetis, struktur dan makna yang berbeda pula. Walaupun terjadi keperbedaan corak dan gaya, namun berdasarkan hasil pemaknaan terhadap karya seni lukis “Pasren” menunjukkan terdapat keterkaitan dan kesamaan makna antara karya seni lukis yang satu dengan karya seni lukis yang lain.


(5)

commit to user

331 Keperbedaan dan kesamaan makna dalam keragaman seni lukis “Pasren” itu terbentuk oleh adanya latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofis pelukis “Pasren” dalam berkarya seni lukis. Latar belakang “penciptaan” karya seni lukis “Pasren” membentuk perwujudan keperbedaan dalam keragaman corak dan gaya misalnya: Naturalisme, Realisme, Impresionisme, Romantisme, Ekspresionisme, Surealisme, Kubisme dan Kubisme yang masing-masing memiliki makna tertentu. Perwujudan makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni makna ma‟rifat, makna kehidupan dan makna sosial-budaya.

Setelah dilakukan pemaknaan yang diteruskan dengan penafsiran terhadap keperbedaan dalam keragaman karya sen lukis “Pasren”, maka ditemukan bentuk konsep trilogifiguratif yang berupa struktur tiga titik. Ketiga titik ini jika dihubungkan dapat membentuk bidang dwimatra (horizontal) dalam wujud bidang segi tiga mendatar (trimandala) dan trimatra (vertikal) dalam wujud limas segitiga ke atas (triloka). Keduanya sebagai lambang atau simbol trihitakarana. Trihitakarana berarti tiga hubungan keselarasan atau keharmonisan, yakni tiga hubungan keselarasan adalah hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Tuhan.

Berdasarkan konsep trilogifiguratif itu, maka dapat ditafsirkan sebuah korelasi antara tiga makna simbolis terhadap keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni makna ma‟rifat, makna kehidupan, dan makna sosial-budaya dengan latar belakang konsep penciptaan seni lukis “Pasren” yang terdiri dari tiga hal, yakni latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofi yang berpusat pada dzat ghoib.


(6)

commit to user

332

5.2Saran

Hasil kajian ini iharapkan dapat membuka mata masyarakat, bahwa karya seni lukis itu tidak sekedar bentuk visual semata, tetapi lebih dari itu memilki makna tertentu dan dapat menumbuhkan kesadaran bersama dalam memberikan memberikan simpati, empati, atau pun penghargaan yang signifikan berupa pemaknaan terhadap nilai estetis, struktur dan makna yang terkandung di balik keperbedaan dalam keberagaman karya seni lukis sebagai salah satu unsur kebudayaan. Dengan demikian, dapat meningkatkan rasa apresiasi terhadap karya seni lukis dewasa ini demi membantu kemajuan dan perkembangan seni rupa pada umumnya.

Diharapkan hasil kajian ini dapat menjadi salah satu alternatif komunikasi kebudayaan, yakni bahasa rupa sebagai media komunikasi antara pelukis dan pengamatnya dalam mengatasi kesulitan dalam cara menafsirkan makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis. Hasilnya dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kajian budaya. Lebih khusus lagi mengenai analisis seni lukis sebagai bagian dari kajian budaya dan seni rupa. Di samping itu, dapat memberikan inspirasi dan menambah referensi penelitian-penelitian berikutnya atau sebagai pembanding dalam penelitian budaya yang lain.

Akhirnya, bagi pihak yang terkait antara lain Pemerintah Kabupaten Klaten melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga serta Dewan Kesenian Klaten hasil kajian ini direkomendasikan dapat turut membantu dalam memberikan pembinaan dan fasilitasi pada organisasi-organisasi kebudayaan