commit to user
287
Yusuf 2004: 35 menyebutnya dengan istilah “dunia hasrat”
kamadhatu
, “dunia
rupa ”
rupadhatu
dan “dunia tanpa rupa”
arupadhatu
. Pada tataran
kamadhatu
yang disebut juga “alam bawah” manusia secara keilmuan batin masih rendah karena masih mementingkan kehidupan duniawi.
“Alam tengah”
rupadhatu
manusia memiliki setengah kesempurnaan dari ilmu batin. Artinya, separuh hidupnya untuk dunia dan separuh lagi hidupnya untuk
memperdalam ilmu batin. Tingkat paling atas adalah
arupadhatu
atau “dunia atas” adalah dalam kehidupan bagi orang yang telah mencapai kesempurnaan hidup. Biksu
pada tingakatan ini sudah tidak tertarik sama sekali terhadap urusan keduniawian atau dengan kata lain seorang biksu yang telah mencapai kesempurnaan hidup.
Sementara dalam buku Patmasana tulisan Cudamani tanpa tahun: 8 ketiga tingkatan itu disejajarkan dengan simbol
tribhuana
yang terdiri alam
bhur
, alam bwah, dan alam
swah
. Lilin sebagai simbol penerang. Penerang artinya, walaupun lilin sumber cahayanya kecil, namun bisa memberikan penerangan dalam kegelapan.
Dupa sebagai simbol pemujaan pada roh ghaib. Artinya, dupa yang mengeluakan asap berbau wangi dianggapnya sebagai media untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
4.3.3.3 Makna Sosial-Budaya
Memperhatik an lukisan Romantisme berjudul “Bima Melawan Naga
Nemburnawa ” 2004 hasil karya Sugito Slamet 50 th menyiratkan makna sosial
budaya yang perlu diungkap. Pertama, dalam pewayangan tokoh Bima merupakan simbol kepatuhan dan keperkasaan. Dalam cerita pewayangan Bima adalah seorang
ksatria di antara pandawa lima yang memiliki sifat patuh pada gurunya dan tidak
commit to user
288
suka membantah, jujur, lugu, dan tegas tidak mengenal kompromi. Sifat kepatuhannya itu, terbukti ketika mendapat perintah dari gurunya yang bernama guru
Durna. Perintah tersebut berupa perintah untuk mencari
tirta perwitasa ri
atau “air
suci ” kehidupan sebagai syarat untuk mencapai ilmu tinggi. Sudah banyak diketahui
umum, Durna adalah seorang guru yang mempunyai dua kelompok murid, yakni pandawa lima dari negeri Amarta yang memiliki sifat kebaikan dan seratus murid
dari negeri Ngastina yang memiliki sifat keburukan. Namun, tampaknya guru Durna lebih berpihak pada muridnya yang dari Astina, maka Durna pun dalam hati berniat
menjerumuskan Sang Bima ke arah marabahaya pada Sang Bima dengan dalih agar mencari air suci
per wita sari
seperti tersebut di atas dengan tujuan menyingkirkan Bima dari pandawa, sehingga kekuatan pandawa menjadi lemah. Karena merasa
mendapat perintah sang guru, maka Bima yang memiliki nama lain Werkudara ini pergi melaksanakan tugas guru tanpa membantah sedikitpun.
Simbol keperkasaan Sang Bima dilukiskan sebagai sosok satria yang sakti mandraguna, berbadan sangat besar dan gagah berwibawa. Bukti keperkasaan Sang
Bima itu terlihat ketika sampai di tengah lautan dia bertemu dan bertarung melawan dengan
Naga Nemburna wa
. Dalam pertarungan itu pada akhirnya dimenangkan oleh Sang Bima. Di dalam buku serat Dewa Ruci karangan Pujangga Yasadipura
Musbikin, 2010: 163, pertarungan itu dimaknai sebagai ujian atau bagian dari perjuangan Bima yang memiliki nama lain Wrekudara dalam mencapai ilmu tinggi.
Pada saat itu pula bangkai
Naga
menghilang dan kemudian munculah sosok kecil yang mengapung-apung diatas air menyerupai wajah Sang Bima sendiri. Dalam
cerita tersebut, sosok kecil itu bernama Dewa Ruci. Dalam serat Dewa Ruci itu, juga
commit to user
289
dikisahkan, bahwa Dewa Ruci itu adalah seorang dewa yang berambut panjang. Adapun kisah cerita itu sebagai berikut.
“Sang Wrekudara masih di samudra, sudah bertemu dengan dewa berambut panjang, bernama Dewa Ruci, seperti anak kecil bermain-main di atas air laut.
Berkata Sang Wrekudara, „apa kerjamu kerjamu di laut, semua serba tidak ada makanan dan tidak ada pakaian?. Hanya ada daun kering yang tertiup angin,
jatuh di depanku‟. „Itu yang yang saya makan, jika tidak ada, tentu tidak makan‟.
Sang Wrekudara heran melihat dan mendengarnya. Dewa berambut panjang di laut tanpa kawan, kecil sekali, siapakah dia hanya
sebesar bayi, dapat berjalan di atas air, sombong sekali, tanpa kawan hanya sendirian. Berkata lagi, „Wahai Wrekudara, segera dating ke sini, banyak
rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tidak bisa sampai ketempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang
untuk mat
i, memang benar, di sini tidak mungkin ditemukan‟. Wrekudara bingung hatinya, jawabnya, karena tidak tahu maksudnya.
Sehingga Wrekudara menjawab pelan, „terserah kepada guru‟. …genaplah sebagai Pandawa dengan kedatanganmu di sini. Juga atas petunjuk Dhang
Hyang Druna untuk mencari „air penghidupan‟, berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa
sulit menikmati hidupnya. Jangan pergi bila belum jelas maksudnya dan jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu
nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya dabn dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan
membeli emas, oleh tukang emas diberi. Kertas kuning disangka emas mulia, demikian pula orang kuning disangka emas mulia, demikian pula orang berguru,
bila belum paham akan tempat yang harus disembah. Wrekudara ketika mendengar itu, tertunduk merendahkan diri, sedang sang wiku cermat. Air
menyibak menjadi tempat duduk bagi Wrekudara, berkata meminta kasih, mohon diyakini, siapakah tuanku sebenarnya, mengapa sendirian, Sang
Marbudyenngrat?‟. Berkatalah, „Akulah Sang Dewa Ruci, ya Sang Hyang Wenang” Musbikin, 2010: 303-305
Ketika berhadapan dengan Dewa Ruci itu, Bima pun menyembahnya. Peristiwa ini tidak seperti biasanya, karena selama ini Bima atau Wrekudara itu tidak
pernah menyembah kepada siapapun kecuali pada Tuhannya. Pada pertemuan ini dijelaskan dalam teks yang lain, Dewa Ruci bersabda, bahwa
“air suci” yang Bima cari itu merupakan satu simbol atau perlambang saja; bukan air biasa.
Tirta perwitasa ri
itu merupakan “air kehidupan” yang bisa memunculkan kehidupan baru.
commit to user
290
Dengan penjelasan itu, Bima pun baru menyadari ternyata, bahwa yang dimaksud
tirta perwitasa ri
adalah air mani dalam ilmu biologi disebut sperma. Artinya, dengan sperma seorang laki-laki itu ketika bertemu dengan sel telur seorang wanita,
apabila Tuhan menghendaki, maka akan melahirkan kehidupan baru yaitu seorang bayi.
Simbol kedua adal ah “
Naga Nemburna wa
”. Dalam buku Patmasana karangan Cudamani tanpa tahun: 21 dijelaskan, bahwa
Naga Nemburna wa
berasal dari kata naga, nembur dan nawa. Kata
naga
berarti ular besar dalam suatu cerita. Kata
Nemburna wa
berasal terdiri dari kata
nembur
berarti hawa nafsu
na wa
berarti Sembilan. Jadi
Nemburna wa
artinya sembilan jalan masuk dan keluarnya hawa nafsu yang ada pada diri manusia. Sembilan jalan masuk dan keluar hawa nafsu seseorang
itu antara lain: dua mata, dua lubang telinga, satu lubang mulut, dua lubang hidung, satu alat kelamin dan satu lubang dubur. Dari kesembilan hawa nafsu itu akan
membawa dampak pada manusia kearah lebih baik atau lebih buruk. Apabila manusia bisa memanfaatkan jalan hawa nafsu itu dengan baik, maka baiklah
perbuatan manusia itu. Begitu sebaliknya, apabila manusia tidak bisa menggunakan jalan hawa nafsu itu dengan benar, maka buruklah perbuatan manusia itu. Misalnya,
indra mata ketika manusia dapat emnggunakan matanya untuk melihat sesuatu yang baik seperti membaca buku pelajaran, membaca kitab suci, mengamati objek
penelitian dan sebagainya. Telinga digunakan untuk mendegar suara-suara yang baik seperti mendengarkan nasihat guru, mendengarkan ceramah agama dan sebagainya.
Demikian juga ketika pikiran kita untuk memikirkan hal-hal yang baik dan bermanfaat dan hati untuk merasakan kebahagiaan atau penderitaan orang lain, tidak
commit to user
291
iri dengki, maka manusia ini pun akan mendapatkan suatu kebaikan dalam dirinya dan bisa membagi kebaikan pada orang lain. Namun, sebaliknya apa bila manusia
tidak dapat memanfaatkan jalan hawa nafsunya itu dengan baik, maka manusia akan terjerumus ke jurang keburukan, penderitaan, dan kesesatan.
Di sisi lain, masih dalam buku tersebut,
Naga Nemburna wa
dapat disejajarkan dengan
Naga Anantaboga
yang diyakinin oleh umat Hindu sebagai simbol kemakmuran. Seperti yang termaktub dalam buku
Patmasana
di atas sebagai berbunyi:
“… setelah Sang Hyang trimurti sampai di angkasa, maka Bhatara Brahma mohon ijin kepada Bhatara Iswara untuk terjun ke pertiwi. Setelah Bhatara
Brahma memasuki pertiwi, maka berubahlah wujud beliau menjadi naga yang bernama Naga Anantaboga. Bulu-bulu Sang Hyang Anantaboga menjadi
tumbuh-tumbuhan. Sehingga makmurlah manusia tidak
kekurangan pangan”. Cundamani, tanpa tahun : 21.
Berdasarakan penggalan cerita di atas dapat disimpulkan, bahwa naga dalam pengertian itu bukanlah makhluk yang menakutkan tetapi makhluk yang dapat
memberikan kemakmuran pada umat manusia. Perlu juga diketahui, bahwa Anantaboga dalam bahasa Sanksekerta berasal dari dua kata, yakni
“ananta” dan “boga”. Ananta artinya tidak habisa-habis dan boga artinya pangan. Jadi Anantaboga
adalah pangan yang tidak habisa-habis yang diberikan oleh ibu pertiwi. Dalam alam konteks sosial-budaya, memiliki makna luas, bahwa kemenangan atas tokoh Bima itu
dapat dimaknai sebagai suatu keberhasilan yang dapat memberikan kemanfaatan bagi orang lain, khususnya dalam rangka turut memakmurkan kehidupan dan kejayaan
bangsa dan negara melalui usaha pengentasan kemiskinan. Simbol ketiga adalah air laut. Berbeda dengan
tirta perwitasa ri
yang menjadi simbol air kehidupan, air laut merupakan simbol kesucian dan luasnya ilmu. Ditinjau
commit to user
292
dari dzatnya, air laut merupakan simbol kesucian, karena air laut dalam kondisi apapun tetap suci. Walupun air laut kemasukan sampah-sampah atau limbah, air laut
mampu mensucikan dirinya melalui deburan ombak yang mendorongnya ke pinggir pantai. Begitu juga dengan kedalaman air laut dan keluasannya, sampah-sampah itu
tidak mampu menembus kedalamannya. Oleh karena itu, air laut tetap terjaga kesuciannya. Dalam pemaknaan agama Islam, air laut dapat digolongkan air suci
yang mensucikan. Bahkan, semua jenis binatang yang hidup di dalamnya seperti bangkai ikan, kerang, udang, cacing laut dan sebagainya dapat digolongkan jenis
makanan yang dihalalkan oleh agama Islam. Di sisi lain air laut sebagai simbol keluasan ilmu dapat dimaknai, bahwa air
laut dapat diibaratkan sebagai cairan tinta dan sumber ilmu yang tak terbatas banyaknya dalam luasnya lautan. Apabila tinta itu dipergunakan untuk menulis
sebuah ilmu di atas buku, maka tidak akan habis sampai akhir jaman. Dalam arti lain, apabila lautan itu diibaratkan bagai sumber ilmu, maka manusia hanya dapat
mengambil atau memperoleh sedikit untuk menuliskan teori suatu ilmu tertentu dan air laut sebagai sumber ilmu tidak akan habis dipergunakan.
Pemaknaan itu mengingatkan cerita dalam agama Katholik. Adalah seorang Agustinus berjalan di pinggir sebuah pantai tiba-tiba dia berhenti langkahnya, karena
melihat seorang anak kecil yang bermain di pasir. Kemudian bertanya Agustinus pada si anak kecil itu: “Sedang apa kamu nak? “. “Aku sedang membuat sumur.”
“Untuk apa sumur itu?”. “Untuk memasukkan air laut itu ke dalamnya”. Sesaat Agustinus berfikir, apa mungkin air laut yang seluas itu dimasukkan kedalam sumur.
commit to user
293
Pemaknaan dalam lukisan Sugito Slamet tersebut di atas dapat ditarik sebuah pemahaman, bahwa kemenangan Sang Bima bisa mengalahkan
Naga Nemburna wa
bukan sekedar bisa mengalahkan seekor ular besar, tetapi lebih dari itu, bernilai simbolis yang bisa dimaknai secara komprehensif dan mendalam. Makna simbolis
dari kemenangan dalam pertempuran itu adalah Bima menjadi seorang satria yang sakti mandraguna berkat keberhasilan menguasai sumber ilmu dan sumber
kehidupan. Dengan meguasai sumber ilmu, Bima dapat bertemu dengan Tuhannya yang
bernama Dewa Ruci. Dalam serat Dewa Ruci karangan Pujangga Yasadipura Musbikin, 2010: 76-77 dijelaskan, bahwa Dewa Ruci digambarkan dengan Bima
Katik Bima dalam wujud kecil sebagai
guru sejati
. Pada saat itu, Dewa Ruci memberi wejangan kepada Bima berupa intisari ilmu yang telah diterima dari guru
dan pengalaman hidupnya di dunia. Berdasarkan filsafat transendental Immanuel Khant, maka yang dilakukan Bima tersebut ialah meneliti persyaratan dan unsur-
unsur dasar ilmu; berupa keputusan yang bercorak
sintesis a priori
, yaitu putusan- putusan yang sekalipun sintesia, tetapi tidak tergantung pada pengalaman. Dengan
kata lain, Bima mencoba menggali ilmu berasal dari Tuhannya yang sudah sudah ada bersamaan dengan keberadaannya di dunia. Pada akhirnya, dengan kebersihan hati,
Sang Bima bisa berhasil menangkap makna intisari ilmu tersebut. Dengan demikian, Bima bisa sekaligus menjawab ujian yang diberikan oleh guru Durna. Begitu juga
dengan menguasai sumber kehidupan yang berasal dari pengalaman hidupnya, Bima mendapat kesempurnaan hidup dan kesejahteraan hidup yang bermanfaat bagi
dirinya maupun bagi orang lain.
commit to user
294
Karya lukis “Pasren” berikutnya yang berkaitan dengan makna sosial-budaya adalah lukisan bergaya Realism
e berjudul “Pekundi” 2004 hasil karya Joko Temin 33 th seperti tampak pada gamba IV.10. Dalam karya itu setidaknya terdapat tiga
simbol yang memperkaya perwujudannya, yakni pengrajin gerabah sebagai simbol manusia, meja pelarit sebagai simbol kedamaian, produk gerabah sebagai simbol
ketekunan. Pengrajin gerabah sebagai simbol manusia menyiratkan dua pespektif
kemanusiaan, yakni manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individual, seorang pengrajin gerabah bisa bekerja atau berkarya sendiri
mengolah bahan tanah liat, membentuk dan mencetak sampai pada proses pembakaran tidak perlu bantuan orang lain. Sedangkan sebagai makhluk sosial,
pengrajin gerabah adalah seorang yang secara tidak langsung senantiasa memikirkan hasil karyanya untuk kepentingan orang lain. Dalam hal ini, mulai dari perencanaan
desain produk sampai
finishing
sudah diperhitungkan nilai guna bagi konsumennya. Dengan demikian, seorang pengrajin gerabah sebenarnya juga
berkomunikasi pada orang lain melalui produk hasil karyanya. Sepintas orang awam memaknai meja putar atau pelarit atau pekundi sekedar
alat untuk membentuk produk gerabah saja. Namun, jika diperhatikan lebih mendalam memiliki makna kedinamisan pemaknaan. Ini bisa diperhatikan, ketika
alat ini diputar untuk membentuk produk gerabah harus mengintegrasikan antara pandangan mata dengan tangan dan gerakan kaki. Apabila pengkonsentrasian itu
berjalan dengan lancar atau tidak tersendat-sendat, maka hasil gerabah yang dibuat menjadi baik, begitu juga sebaliknya. Dengan memperhatikan putaran meja pelarit
commit to user
295
itu, dapat menyiratkan pula pada putaran tata surya yang berputar secara dinamis sesuai garis edarnya masing-masing. Jika ada satu planet saja yang berputar tidak
sesuai dengan garis edarnya, terlampau lambat atau cepat, maka akan terjadi suatu peristiwa alam yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, gerakan dinamis yang penuh
konsentrasi diperlukan untuk menghasilkan produk budaya kerajinan gerabah yang bermutu. Artinya, suatu produk budaya kerajinan gerabah itu dibutuhkan ketekunan
tersendiri dalam pembuatannya. Suatu pekerjaan untuk menghasilkan karya-karya kerajinan seperti itu, dalam dunia kesenirupaan biasa disebut seni kriya. Maka, karya
kerajinan gerabah itu dapat dikatakan sebagai simbol ketekunan budaya kerja, karena dalam seni kriya itu yang dipentingkan adalah ketekunan kerja. Naluri ketekunan
kerja dalam rangka mengahsilkan produk kerajinan semacam gerabah cenderung dimiliki oleh masyarakat pengrajin yang notabene rakyat kecil.
Masyarakat pengrajin gerabah memiliki filosofi, bahwa gerabah yang terbuat dari tanah tersebut memiliki makna kebersatuan antara manusia dengan tanah.
Menurut keyakinan berbagai masyarakat, bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan terbuat dari tanah, sebagaimana dalam hadis Qutsi disebutkan, bahwa manusia
diciptakan dari tanah dan nanti pada akhirnya akan kembali pada tanah. Oleh karena itu, sebagai akibatnya manusia dalam menjalani kehidupannya tidak bisa
meninggalkan tanah, bahkan semua produk makanan bahannya atau zatnya berasal dari tanah. Maksudnya, bahwa setiap tumbuh-tumbuhan untuk menghasilkan
buahnya menyerap sumber air tanah. Artinya, kalau seseorang makan suatu buah tertentu, sebenarnya juga berasal dari sari tanah. Demikian juga, ketika seseorang
membangun rumah atau tempat tinggal semua bahannya seperti batu, bata, semen,
commit to user
296
kapur, kayu dan lain-lain secara geografis berasal dari sumber tanah. Maka, jika dikaitkan dengan gerabah sebagai peralatan rumah tangga menjadi jelas gerabah
yang terbuat dari tanah terjadi hubungan habitat ketanahan. Artinya, antara manusia dengan gerabah tidak bisa dipisahkan sekalipun kebanyak orang sudah beralih
memasak dengan bahan alumunium, tetapi pada kenyataannya sebagian masyarakat ada yang merindukan kembali kebahan-bahan tradisional. Buktinya, tidak sedikit
jenis restoran yang menyajikan menu kuliner yang bahannya dimasak dari alat-alat gerabah, misalnya sego liwet timlo Solo, serabi Notokusuman dan sebagainya.
Bahkan, sebagian masyarakat lagi masih ada yang menyediakan air putih dengan kendi walaupun sebagian masyarakat sudah beralih ke
dispenser
atau almari es. Contoh pengrajin produk budaya y
ang lain terdapat pada lukisan “Pasren” berjudul “
Nganyam
Rotan ” 2003 hasil karya Rosana 37 th. Seperti karya
sebelumnya lukisan Rosana inipun juga menyimbolkan ketekunan kerja. Hal ini seperti tampak pada unsur objek-objek yang terdapat dalam bingkai lukisan itu,
seperti objek orang tua, baju kebaya yang melekat pada objek orang tua itu dan anyaman rotan.
Simbol orang tua dalam lukisan itu menyiratkan serangkaian rekaman sejarah hidup manusia yang penuh cerita tetapi tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata
belaka. Dalam ungkapan orang tua dianalogikan sebagai manusia sudah banyak “makan garam”. Artinya, dari jaman ke jaman sudah banyak pengalaman hidup,
berbagai peristiwa, seperti sedih-gembira, suka-duka, senang-menderita, pejuangan dan sebagainya. Sementara baju kebaya yang dipakai dalam objek wanita tua itu
menyimbolkan budaya berpakaian masyarakat di Jawa.
commit to user
297
Dalam konteks lingkungan alam, rotan merupakan bagian dari hasil tanaman langka yang perlu di lindungi dan dikembangkan untuk pemanfaatan industri kecil,
misalnya untuk mebel, alat rumah tangga, mainan anak-anak dan lain-lain. Ditinjau dari jenisnya rotan memiliki spesifik batang yang lentur, kuat, dan tidak mudah
patah. Berdasarkan spesifikasi itu, rotan dapat dianalogikan seperti sesuatu untuk menunjukkan kekuatan tidak harus dengan kekerasan dan kaku, tetapi dengan
metode yang luwes atau lunak tetapi tetap menunjukkan ketegasan. Dalam filosofi J
awa “perang tanpa bolo, menang tanpa ngasorke” artinya pergi perang tanpa pasukan perang tetapi menang tanpa harus mengalahkan musuh. Setelah kemenangan
itu dicapai harus tetap menjaga persatuan untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini dapat disimbokan dengan objek anyaman rotan.
Ketika rotan diserut bagian pinggirnya atau kulitnya kemudian dianyam menjadi sebuah produk industri, maka produk itu akan kuat dan elastis, tidak mudah
patah. Dengan demikian, jalinan dalam anyaman rotan bisa menjadi simbol persatuan dan kesatuan umat.
Lukisan surealis hasil karya Ibnu Wibawa berjudul “Gari Sakmegaring
Payu
ng” 2011 memiliki syarat makna simbolis yang terkandung di dalam karya lukis seperti tampak pada gambar IV. 30 berikut ini.
commit to user
298
Gambar IV. 30
“Gari Sakmeg
aring P
ayung” 2011 Karya Ibnu Wibawa 85 X 100 cm ,Cat Minyak di Atas Kanvas
Sumber: Foto Waluya, 19 Januari 2012
Secara sosiogeografis menurut pelukisnya,
Ga ri sakmegaring pa yung
dalam bahasa Jawa, artinya hanya tinggal semekarnya payung. Ada dua simbol yang
terkandung dalam lukisan itu yang oleh pelukisnya, payung dianggap sebagai simbol pengayoman dan lahan pertanian. Pengayoman yang dimaksud adalah pengayoman
dari pemerintah terhadap rakyatnya hal ini merupakan analogi dari fungsi payung sebagai alat penahan panas dan hujan. Sementara payung sebagai lahan pertanian
dianggapnya merupakan makna simbolis yang dapat diungkanpkan adalah menyempitnya lahan pertanian, karena sebagian besar lahan pertanian dewasa ini
banyak dikeringkan untuk pembangunan intrastruktur, seperti pabrik, perumahan, dan lain-lain.
Sebagaimana telah disinggung pada bab II sebelumnya, Klaten memiliki sentra industri payung kertas. Secara sosial budaya, payung telah mengilhami Ibnu Wibawa
commit to user
299
memilih payung sebagai objek karya lukisnya. Berdasarkan judul lukisan itu,
gari sakmegaring payung
digalinya dari filosofi kraton Kasunanan Surakarta. Dalam memaknai filosofi yang terdapat pada simbol paying, Ibnu Wibawa memetik dalam
kitab Jayabaya yang berbunyi: “Ela
- elo wong J owo ga ri sepa ro, Cino londo kari
sak jodo” artinya sifat kejawaan tinggal setengah, Cina dan Belanda sudah banyak pergi dari Indonesia yang tertinggal hanya sepasang. Oleh karena itu, pemerintah
sebaiknya dapat membuat aturan selalu dianut oleh rakyatnya Wawancara: Kamis, 19 januari 2012. Dari filosofi Jawa seperti itu bisa dimaknai, bahwa pada
masyarakat Jawa telah terjadi perubahan sifat kejawaannya yang bisa jadi diakibatkan dari pemberlakuan sebuah aturan pemerintah yang tidak membawa
pengaruh pada kepentingan sosial-budaya masyarakat. Peraturan pemerintah akhir-akhir ini cenderung hanya untuk kepentingan partai
atau kelompoknya saja. Di samping itu, ditambah perilaku-perilaku buruk sebagian politisi dan elite pemerintah yang dipertontonkan melalui media televisi cenderung
ditiru oleh rakyatnya yang kurang cerdas yang pada akhirnya berpengaruh pula pada perilaku masyarakat Jawa. Misalnya, sifat
prasaja
kesederhanaan nyaris berubah menjadi matrialistis. Dahulu petani Jawa dalam memanen padinya dengan cara
diderepkan
digotongroyongkan bagi kerabat dan tetangganya kemudian berubah dengan cara ditebaskan atau dijual secara borongan kepada orang lain. Bahkan,
hasilnya pun kadang tidak disimpan untuk cadangan sampai panen berikutnya. Berbeda dengan jaman dahulu, setiap petani memiliki lumbung padi untuk
menyimpan hasil panen, tetapi pada saat sekaran kebanyankan masyarakat petani malahan mebelikan berbagai barang-barang konsumtif yang semestinya belum
commit to user
300
membutuhkannya. Oleh karena, masyarakat Jawa telah terjadi perubahan penampilan dari yang dulunya bergaya hidup sederhana, berubah ke arah gaya hidup
glamour
yang disebabkan oleh pengaruh teknologi. Hal itu mengakibatkan etos kerja masyarakat Jawa menjad rendah, setelah bisa menikmati hasil teknologi, maka
mereka terlena dengan pekerjaan yang sebenarnya bertani yang mengolah lahan, menanam, memelihara dan memanen dengan rasa kegotong royongan bersama
kerabat dan tentangganya dan bahkan petani saat ini tidak ada lagi rasa kepasrahan usahanya kepada Tuhan.
Dengan perhitungan-perhitungan ekonomi yang menjanjikan, para petani tidak lagi mengolah lahan dengan kesabaran sesuai dengan aturan pertanian tradisional
dengan memperhitungkan
mangsa
musim alam atau cuaca, Kebersamaan berubah menjadi perhitungan waktu tanam yang frekuensinya ditingkatkan, semakin singkat
dengan harapan panen semakin cepat. Dalam hal itu, manusia boleh saja berhitung keuntungan, namun kondisi alam atas kehendak Tuhan tidak bisa
digege
waktu yang dipaksakan. Tuhan menciptakan alam semesta ini ada aturan sesuai kodrat-Nya.
Manusia boleh saja melanggar kodrat alam, tetapi manusia pun harus siap menerima akibatnya. Fakta-fakta di dunia pertanian, akhir-akhir ini banyak fenomena
alam yang tidak diduga-duga, misalnya pemberitaan berbagai media tentang puso atau gagal panen diberbagai wilayah pertanian di Indonesia akibat serangan hama
wereng, patek dan lain-lain. Kalau sudah terjadi demikian, maka manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengembalikan pada Tuhan yang Mahakuasa dan
mengambil sikap kembali kepada kodrat alam yang sebenarnya. Sikap ini merupakan kembalinya sikap berbudaya yang sejati, karena pada hakikat budaya adalah
commit to user
301
mengolah tanah, merawat, dan mengembangkan tanaman Simon, 2008:2. Kembalinya para petani pada sikap berbudaya seperti itu akan merasakan
kenikmatan hidup bersosial dan berbudaya. Ketika manusia merasakan nikmatnya hidup berbudaya, maka baginya tidak bisa merasakan adanya batasan antara
kehidupan sosial, mata pencaharian hidup dan tata cara budaya, karena ketiganya itu termasuk dalam unsur sistem kebudayaan Koentjaraningrat, 1993:2 . Kebersatuan
unsur kebudayaan tersebut dapat melahirkan produk karya teknologi karya seni budaya.
Lukisan hasil karya pelukis pasren Winarna GN 63 th berjudul “Joget”
2004 merupakan salah satu karya seni budaya seperti tampak pada gambar Gambar IV.8 di atas. Karya itu melukiskan seorang penari wanita dengan latar belakang
unsur-unsur kebudayaan sebagaimana telah disebutkan diatas. Unsur-unsur budaya tersebut sekaligus merupakan bentuk simbol-simbol yang mengundang pengamatnya
untu memaknainya. Ada delapan simbol yang terdapat pada lukisan karya Winarna GN itu antara
lain: penari, kuda lumping, payung, umbul-umbul, anjing, tikus, ular dan monas. 1 Memaknai penari sebagai simbol subjek budaya tidak hanya ditempatkan sebagai
pelaku seni semata yang ingin berekspresi, tetapi lebih dari itu penari adalah seorang pengabdi seni yang setiap unsur gerakan memiliki makna. Sebagai pengabdi seni,
seorang penari memikul dua fungsi horizontal dan vertikal yang diwujudkan melalui gerakan-gerakan ritmis dan dinamis. Fungsi vertikal artinya setiap gerakan merpakan
perwujudan pengabdian kepada yang memberi kekuatan untuk bergerak, yakni Tuhan. Sementara fungsi horizontal artinya setiap gerak-gerak tari merupakan
commit to user
302
perwujudan komunikasi kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan dua fungsi itu, Sedyawati 2006: 130-131 membedakan seni tari menjadi seni adiluhung dan seni
hiburan. Seni adiluhung adalah ungkapan tari yang implikasinya untuk perenungan kepada kebesaran Tuhan. Sedangkan seni hiburan sifatnya langsung merangsang
pancaindra atau mengikuti gerakan bagi yang melihatnya. 2 Kuda lumping atau kuda kepang adalah sebuah benda yang terbuat dari
anyaman bambu yang terbentuk menyerupai kuda tanpa kaki. Kuda lumping sebagai simbol memiliki makna permainan dan keprajuritan. Makna permainan untuk kuda
lumping, karena kuda lumping dapat dimainkan dengan “dinaiki” layaknya naik kuda
benaran. Sementara makna keprajuritan untuk menunjukkan kekompakan antara penari yang satu dengan yang lainnya dalam memainkan kuda lumping itu.
Kekompakan itu menyiratkan, bahwa tarian kuda lumping merupakan bentuk tiruan dari barisan pasukan prajurit tentara berkuda.
3 Umbul-umbul menjulang keatas sebagai simbol komunikasi dengan alam semesta. Ketika umbul-umbul ditiup angin, yang terlihat adalah kibaran-kibaran kain
umbul-umbul itu. Semakin kencang ditiup angin akan semakin kencang pula kain umbul-umbul itu. Dengan demikian, umbul-umbul itu bisa memberikan tanda, bahwa
dengan adanya umbul-umbul mennjukkan tempat itu terjadi sebuah pertunjukkan kuda lumping. 4 Demikian juga adanya simbol payung yang dimekarkan dan
payung yang masih
mingkup
sebagaimana sudah dibahas di depan, payung yang dimekarkan dapat dimaknai sebagai pengayoman di kala panas dan hujan. Sementara
payung yang masih
mingkup
melambangkan pemerintah yang belum terbuka hatinya untuk mengayomi atau melindungi rakyatnya.
commit to user
303
5 Tikus, oleh kebanyakan orang dianggap sebagai binatang hama, perusak dan jorok. Namun tikus memiliki jenis intelegensi kehewanan yang cukup cerdik.
Berkat kecerdikan inilah secara ideologis sering dijadikan simbol atau ikon pada suatu instansi. Ada yang menjadikan ikon bersifat baik seperti
Mickey Mouse
, tikus- tikusnya Cinderella dan lain-lain. Sementara di Indonesia, tikus menjadi simbol
koruptor yang merongrong kekayaan Negara. Dengan demikian, tikus menjadi simbol atau ikon yang kontroversial untuk diperbincangkan dan dimaknai lebih
mendalam. 6 Simbol kontroversial tentang binatang yang senada dengan tikus adalah
anjing seperti yang terdapat pada lukisan Winarna GN tersebut di atas. Ada sebagian yang memaknai simbol anjing sebagai binatang yang harus diusir atau bahkan
dibunuh, karena termasuk binatang kotor, najis, menyebarkan penyakit seperti penyakit anjing gila dan lain-lain. Sementara itu, ada pula sebagian masyarakat yang
memaknai anjing termasuk binatang yang perlu dipelihara atau diperlakukan dengan baik, karena anjing memiliki sifat atau naluri sebagai penjaga dan patuh pada
tuannya, tidak menyia-nyiakan makanan dan lain-lain. Berbeda dengan kucing yang memiliki sifat pemalas, malu-malu, tetapi suka mencuri, pilih-pilih makanan dan
lain-lain. 7 Demikian juga dengan ular, sekilas binatang ini menjadi simbol binatang
yang menakutkan hampir semua orang, karena kalau menggigit biasanya akan menyebabkan lumpuh atau mematikan korbannya. Namun jika dimaknai lebih
mendalam dan luas ular, sebagai simbol binatang yang membantu bagi para petani atau manusia pada umumnya, misalnya hama tikus susah diberantas tetapi dengan
commit to user
304
adanya ular sawah akan menjadi predator bagi tikus. Sehingga hama tikus tidak akan terjadi, karena tikus yang belum sempat dimakan ular akan lari tunggang langgang
meninggalkan lokasi persawahan. Di sisi lain, sebagian ular ada yang memiliki motif kulitnya yang bagus. Kulit ular yang bermotif bagus dapat dimanfaatkan kulitnya dan
disamak untuk industri kerajinan kulit, misalnya untuk membuat dompet, ikat pinggang , tas dan sebagainya.
8 Sudah tidak asing lagi Monas Monumen Nasional merupakan simbol kebanggaan bangsa Indonesia yang ditempatkan di pusat ibu kota Negara Jakarta. Di
dalam monas terdapat diorama yang berupa lukisan perjuangan seluruh rakyat Indonesia sejak jaman penjajahan sampai Indonesia merdeka. Dengan demikian,
Monas di samping sebagai kebanggan nasional tetapi juga sebagai simbol pemersatu bangsa Indonesia. Hampir semua rakyat Indonesia merasa memiliki Monas sebagai
bagian dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, Winarna GN menempatkan objek Monas sebagai
background
lukisnya memiliki makna pemersatu juga khususnya untuk pemersatu dari perbedaan seluruh wilayah nusantara Indonesia. Harapan ini tercermin dalam pernyataannya
sebagai berikut. “Jaran kepang menika salah satunggaling keseni
an rakyat ingkang kondang kaloka ing jejering seni kabudayan bangsa Indonesia. Perlu dipun lestarikaken
supados saget turun-temurun lan taksih dipun kenal anak cucu kita. Ewondene kula nambahkaken gamba r Monas ing lukisan kula ing pangangkah ja ran
kepang menika saged kangge ngra ketaken pa seduluran uta wi persatuanipun
bangsa” Winarno GN., Wawancara : Minggu 8 april 2012. “Kuda lumping itu salah satu kesenian rakyat yang sangat terkenal di jajaran
seni budaya bangsa Indonesia. Perlu dilestarikan supaya bisa turun-menurun dan masih dikenal anak cucu kita. Sedangkan saya menambahkan gambar Monas di
dalam lukisan saya dengan harapan kuda lumping itu bisa untuk merekatkan persaudaraan dan persatuan bangsa
”.
commit to user
305
Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan, bahwa kuda lumping tidak hanya sekedar tontonan tarian atau kesenian rakyat saja tetapi lebih dari itu kuda
lumping memiliki misi yang lebih luas agar dapat dilestarikan demi generasi muda agar tidak punah dan sekaligus sebagai media menjalin persaudaraan dan persatuan
bangsa. Pernyataan itu memang tidak salah walaupun kuda lumping bersifat kesenian
lokal dari suku Jawa, tetapi pada kenyataannya paguyuban kuda lumping itu terdapat pula di seluruh wilayah nusantara. Sebagai bukti atau contoh adalah ketika penulis
dari tahun 1989-2002 atau selama 13 tahun bertugas sebagai guru di Provinsi Bengkulu, penulis melihat dengan mata kepala sendiri pada setiap perayaan hari
ulang tahun Kabupaten Bengkulu Utara atau pada momen-momen tertentu, banyak sekali dipertunjukkan kuda lumping yang berasal dari berbagai kecamatan di daerah
transmigrasi seperti Kurotidur, Kemumu, Unit D.4 Ketahun, SP.1 Air Manjunto, Muko-muko dan lain-lain masih banyak lagi. Begitu juga, ketika saya menanyakan
pada beberapa kawan seangkatan IKIP Jogjakarta yang ditempatkan di provinsi lain di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, termasuk Timor Timur
sewaktu masih bergabung dengan Indonesia dan lain-lain, mereka juga memberikan informasi yang sama.
Dengan demikian, kuda lumping telah terbukti juga bisa mengikat atau dijadikan media persatuan bangsa seperti itu. Apalagi jika meghidupkan suatu
kesenian-kesenian rakyat yang lainnya di Indonesia, maka akan membawa kejayaan Indonesia dalam perspektif kebudayaan, baik di dalam negeri sendiri atau di mata
commit to user
306
dunia. Hal inilah salah satu kontribusi nyata dalam semboyan
Bhinneka Tunggal Ika
artinya walaupun kita berbeda tetapi tetap satu juga.
4.3.4 Pemaknaan Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren”