Makna Kehidupan Makna-makna Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren”

commit to user 276 “Tanamannya Simbah” 2004 yang melukiskan pohon pisang dan nangka. Dua objek dalam lukisan itu menyiratkan nilai simbolis terhadap keberlangsungan kehidupan. Pohon pisang bisa dianalogikan sebagai sebuah rasa keikhlasan, karena pohon pisang akan mati ketika sudah memberikan buahnya kepada manusia. Sementara pohon nangka memberikan kemanfaatan bagi manusia secara keberlanjutan. Pelukis “Pasren” yang lain adalah Ken Sudi dengan karyanya berjudul “Kelapa Bergelayutan” 2005. Pohon kelapa secara filosofis menjadi simbol totalitas kemanfaatan, karena pohon kelapa bisa memberikan manfaat hampir seluruh kebutuhan manusia. Misalnya, air kelapa bisa diminum ketika haus, daging kelapa bisa untuk membuat minyak goreng dan santan masakan, batok kelapa dan sabutnya bisa untuk dibuat kerajinan, daunnya bisa untuk atap, alas tidur atau keperluan adat seperti untuk membuat ketupat, kembar mayang penganten, penjor dan lain-lain. Begitu juga lidinya pun bisa dibuat sapu dan batangnya juga bisa dibelah-belah dengan gergaji untuk konstruksi dengan bagunan.

4.3.3.2 Makna Kehidupan

Makna kehidupan yang teerdapat pada sebagian besar karya pelukis “Pasren” seperti Cak Min 37 th, Jaya Adi 49 th, GM.Sudarta 64 th dan lain-lain. Mengawali pembahasan makna kehidupan pelukis “Pasren” dapat dengan mengamati objek lukisan karya Cak Min yang berjudul “Milihi mBako” menyeleksi tembakau, menunjukkan tanda-tanda kehidupan masyarakat petani. Hal ini sesuai gaya seni lukis realisme yang dicetuskan oleh Custavo Coubert, bahwa lukisan itu pada dasarnya seni yang konkrit, ada, dan terjadi di masyarakat Rasjoyo, 1994: 48. commit to user 277 Tanda-tanda visual itu terlihat pada unsur beberapa wanita desa yang sedang sibuk menyeleksi tembakau yang berkualitas untuk dioven atau dikeringkan yang akan dijadikan bahan rokok. Penandaan ini merupakan aspek material yang bersifat sensorik atau dapat diinderai Budiman, 2004: 46. Petanda bahwa pada lukisan itu menggambarkan masyarakat petani di kabupaten Klaten, karena dapat mengaitkan dengan para wanita petani cenderung berpakaian kebaya Jawa dan berdasarkan data geografis di wilayahKabupaten Klaten merupakan sebagian besar lahan pertanian, meskipun tembakau bukan merupakan tanaman pokok. Cak Min yang masih berusia muda 37 tahun tampaknya cerdik membidik wanita-wanita petani itu dijadikan objek lukisannya untuk menunjukkan perjuangan wanita buruh demi keluarganya untuk keberlangsungan kehidupan. Simbol tembakau di Klaten, mengingatkan kehidupan masa lalu ketika Indonesia masih dijajah Belanda, ada semacam „pemaksaan‟ sewa lahan pertanian untuk ditanami tembakau atau tebu untuk kepentingan pabrik. Setelah merdeka, pabrik-pabrik itu diambil alih pemerintah Republik Indonesia dan pengelolaanya diserahkan pada PTP Nusantara sampai sekarang. Dalam hal ini telah terjadi komunikasi antar budaya, yaitu budaya kerja antara bekas penjajah Belanda ke negara yang dijajah, yakni Indonesia. Komunikasi antar budaya bisa menjajagi makna, pola-pola tindakan dan bagaimana makna serta pola-pola itu diartikulasikan dalam sebuah kelompok sosial, budaya, politik, pendidikan dan teknologi yang melibatkan antar manusia Liliweri, 2002: 13. Pewarisan budaya kerja di pabrik tembakau itu sangat berpengaruh pada tatanan kehidupan di masyarakat, yakni adanya stratifikasi antara buruh dan mandor; commit to user 278 atasan dan bawahan. Dalam hal ini telah terjadi pengkelasan ala feodal seperti yang terjadi pada paham Ma rxisme , yakni pembagian kelas yang mendasar dalam kapitalisme adalah kelas borjuis yang menguasai sarana produksi dan kelas proletar harus menjual tenaga untuk bertahan hidup. Bagi para buruh, pokoknya hidup itu adalah kerja dan kerja Barker, 2009: 14. Simbol wanita dapat dimaknai, bahwa dia memiliki nilai ketekunan, ketelitian dan kehalusan dalam bekerja, dibandingkan pria yang mengandalkan otot. Disamping itu, pada dunia kerja UMR untuk wanita lebih murah dibandingkan pria. Hal ini sangat relevan ketika penulis mencoba mewawancarai pada seorang pegawai pabrik tembakau, mengapa buruh yang di dalam pabrik itu kebanyakan wanita dan yang mencangkul atau menanam tembakau di lahan sawah kebanyakan pria. Pemaknaan simbol wanita ini menyiratkan pada pendapat Sardar dan Loon yang diperjelas oleh Chris Barker, bahwa dari lima politik budaya feminisme, salah satunya adalah feminis sosialis dan Marxis yakni memberikan intensitas pada gender dan kelas Ratna, 2010: 222. Dengan demikian, simbol wanita jelas merupakan bidikan yang sanagat cerdas, karena wanita memiliki nilai lebih. Pertama, untuk pekerjaan menyeleksi tembakau harus dibutuhkan ketekunan, ketelitian dan kehalusan, maka secara kodrati kecenderungannya hal ini hanya ada pada wanita; Kedua, ketika penulis tanyakan pada beberapa buruh tembakau, mereka menjawab ingin bekerja seperti suaminya. Artinya dia ingin menuntut persamaan gender dalam soal mencari pekerjaan atau nafkah. Ketiga, pihak pabrik sangat diuntungkan dengan memberikan upah yang rendah pada buruh wanita. commit to user 279 Dengan memperhatikan pemaknaan lukisan Cak Min di atas, juga menujukkan telah terjadi kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi di dalam masyarakat Indonesia. Secara historis, kesenjangan itu diakibatkan oleh pengaruh kebijakan politik yang tidak berpihak pada amanat dan kesejahteraan rakyat. Dari waktu ke waktu pergantian presiden, misalnya tidak pernah bias memperbaiki keadaan ekonomi rakyatnya menuju kea rah yang lebih baik. Dengan demikian, perjalanan sejarah politik di Indonesia telah berdampak pada keterpurukan kehidupan rakyat kecil. Dalam hal ini, rupanya pelukis “Pasren” yang lain bernama Jaya Adi 49 th telah berhasil memotret serentetan peristiwa kehidupan perpolitikan di Indonesia melaui hasil karyanya yang berjudul “Operasi Semar” 2007. Jaya Adi yang berusia 49 tahun telah memiliki kematangan jiwa dalam memaknai tanda-tanda sejarah kehidupan perpolitikan di Indonesia, mulai dari pemerintahan presiden pertama Soekarno, yang diambil alih Soeharto melalui Supersemar. Soeharto dilengserkan dengan gerakan reformasi mahasiswa setelah 32 tahun memerintah, kemudian diserahkan pada B.J. Habibie. Pada Pemilu 1999 pasca reformasi, KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur terpilih menjadi presiden keempat yang dilengserkan juga melalui sidang istimewa MPR dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Dua periode terakhir ini, Susilo Bambang Yudoyono SBY terpilih rakyat untuk memerintah negeri ini. Berdasarkan rentetan sejarah pemerintahan di Indonesia itu, Jaya Adi menjadikan inspirasi ide dan ideolgi dalam penggambaran objek lukisannya yang berjudul “Operasi Semar”tersebut. Namun, tidak semua ide itu adalah ideologis, tetapi hanya ide-ide yang digunakan untuk menyembunyikan kontradiksi sosial commit to user 280 politik Lelland, 2005: 24. Maka, dalam memaknai suatu karya seni lukis hanya diawali terlebih dahulu dengan melihat tanda-tanda yang ada dalam bingkai lukisan. Tanda-tanda visual pada lukisan hasil karya Jaya Adi itu menggambarkan ekspresi atau mimik wajah para tokoh presiden Indonesia. Secara hermeneutis, mimik wajah-mimik wajah itu menyiratkan makna ideologi masing-masing presiden yang ketika sedang berkuasa. Dalam konteks kajian budaya, lukisan itu menunjukan telah terjadi diskontruksi ideologi kekuasaan antara pemerintahan presiden yang satu dengan presiden yang berikutnya, bahkan telah memunculkan pengertian ideologi baru di masyarakat. Hal ini mengingatkan pada definisi ideologi menurut Giddens, yang hanya mengacu kepada ide yang berkuasa dan ditolak ideologi versi Althusser yang dia pahami, bahwa ideologi sebagai sesuatu yang menjustifikasi tidakan semua kelompok masyarakat Barker, 2009: 66-67. Ini berarti, kelompok masyarakat di luar pemerintahan pun juga memiliki ideologinya sendiri, termasuk pelukis dalam berkarya. Pancasila sebagai dasar negara dalam enam masa kepemimpinan presiden di Indonesia adalah sama. Perbedaanya adalah menempatkan Pancasila sendiri dijadikan dasar dari ideologi kekuasaannya juga. Sehingga rakyatnya mengalami kebingungan penafsiran tentang makna Pancasila itu sendiri, maka berujung pada perpecahan antar suku, ras dan agama pada dekade akhir-akhir ini. Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antara pemerintah dan rakyatnya mulai luntur. Para pemimpin negara Indonesia saat ini sudah mulai mengabaikan pesan Soekarno Presiden RI pertama yang tertuang dalam pidatonya yang berjudul “Jasmerah” artinya jangan sekali-kali melupakan sejarah. commit to user 281 Memang sebaiknya jiwa perjuangan antara pemerintah dan rakyat harus senantiasa bedampingan, bersatu padu untuk mencapai kejayaan bangsa. Seperti telah dicontohkan oleh para pejuang-pejuang kemerdekaan sebelumnya. Simbol kebersamaan antara pemerintah dan rakyatnya itu tampaknya tersirat pada lukisan hasil karya Ansori 51 th berjudul “Panglima Sudirman”. Dalam sejarah perjuanagan kemerdekaan Indonesia, sosok Sudirman dikenal sebagai panglima perang yang memiliki sifat kerakyatan dan pantang menyerah. Artinya, walaupun beliau seorang jendral, tetapi beliau tidak mau menyerahkan tanggung jawab komando perang pada anak buahnya, sementara beliau sendiri berada di kota. Beliau memilih bergabung bersama prajuritnya, bergerilya ke medan perang dengan maksud agar selalu dekat dengan rakyat. Begitu juga beliau tidak pernah mau berhenti berjuang, walaupun beliau terpaksa dipandu, karena sakit keras. Buah dari perjuangan adalah dapat mempertahankan kemerdekaan, sehingga Negara Republik Indonesia tetap berdiri tegak samapi saat ini. Namun, tampaknya pemimpin-pemimpin negara kita beberapa decade saat ini kelihatannya tidak bisa menyadari makna perjuangan pendahulunya dan cenderung tidak bisa membawa amanah penderitaan rakyat. Fenomena yang terjadi saat ini justru hanya sekedar permainan politik belaka dan rakyat hanya dijadikan tumbal oleh segelintir orang untuk mencapai tujuan sesaat. Seperti disindir dalam lukisan karya Budi Budek‟s 38 th yang berjudul “Ular Tangga” 2001. Makna yang terdapat pada simbol-simbol dalam lukisan ini menganalogikan, bahwa setiap pemain politik ingin berkuasa naik tangga kepresidenan, misalnya dengan cara-cara yang tidak elegan atau dengan cara saling menjatuhkan. commit to user 282 Oleh karena itu, sebagai akibatnya terjadilah degradasi moral, korupsi merajalela tidak bisa diberantas, terjadinya kesenjangan sosial dan lain-lain. Carut- marut sistem pemerintahan ini terjadi justru masa-masa pasca reformasi 1998 sampai sekarang dengan dalih menegakkan demokrasi. Akibatnya, pemerintah tidak lagi jelas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia ini mau dibawa ke mana arah dan tujuannya. Dalam kondisi ini, tampaknya menarik untuk diangkat sebagai objek lukisan para pelukis “Pasren”, misalnya hasil karya Bambang Pujiono 52 th brjudul “Power” dan “Potert Nagari” hasil karya Putut Saputra 33 th. Kedua lukisan ini menyindir kondisi Negara pada saat ini yang disimbolkan sebagai benang ruwet dan tumpahan cat tak beraturan. Kembali dengan melihat objek karya Jaya Adi yang bergaya romantisme dengan pendekatan gaya Barok abad-16 ini, secara struktural yang menjadi pusat objeknya adalah tokoh Semar yang terlentang sedang dioperasi. Menurutnya, untuk mengatasi carut-marut kehidupan perpolitikan di Indonesia, perlu diselenggarakan ruwatan Jaya Adi, Wawancara: Kamis, 22 Maret 2012. Adapun pemilihan objek Semar, karena tokoh dalam pewayangan ini memiliki makna simbolis kebersatuan jiwa bangsawan dan rakyat jelata. Dalam aliran seni lukis, romatisme-barok sangat memberikan kebebasan untuk mengekploitasikan ruang dan waktu dalam menggambarkan objek-objeknya. Hal ini sesuai dengan pengertian Barok yang berasal dari bahasa Romawi “Barque” yang berarti “tidak beraturan” Sachari, 2004: 14. Lukisan gaya Barok memiliki ciri utama adanya kebebasan seniman untuk mengekspresikan diri melalui karya- karyanya agar lebih “hidup”. Dengan demikian, pemaknaan pada lukisan yang commit to user 283 bergaya romantisme-ba rok memerlukan teori tafsir yang sangat kompleks dan arbitrer. Oleh karena itu, pemaknaannya dari simbol Semar dalam lukisan hasil karya Jaya Adi tidak bisa hanya menggunakan analisis struktur luarnya saja, tetapi harus diintegrasikan dengan struktur dalam di balik objek Semar itu sendiri. Hal ini seperti yang disarankan Levi-Strauss, bahwa analisis struktural ini dibedakan menjadi dua macam: struktur lahir, struktur luar atau surface structure dan struktur batin, struktur dalam atau deep structure Ahimsa-Putra, 2006: 61. Jika ditilik dari pandangan estetikanya Dharsono yang mengutip pendapatnya De Witt H. Parker, lukisan karya Jaya Adi telah memenuhi standar nilai estetika, yakni setiap karya seni itu merupakan kreativitas, ungkapan dan memiliki prinsip Dharsono, 2007: 65-67. Dengan memperhatikan beberapa pandangan di atas, maka tokoh Semar bukan sekedar tokoh fiksi dalam dunia pewayangan yang tidak memiliki makna apa-apa. Tokoh Semar mestinya bisa dimaknai sebagai tokoh yang menyimbolkan seorang rakyat kecil batur yang pada saatnya memiliki keilmuan dan kemampuan yang luar biasa melebihi dewa. Maka para Pandawa yang dimong diasuh selalu berhasil mencapai kemenangan dan kejayaan. Namun, setelah melihat prahara budaya politik; peristiwa demi peristiwa kerusuhan massa yang dipicu oleh tingkah-polah para pemimpin yang mengemban amanat rakyat di negeri ini sudah banyak yang keluar dari tatanan dan norma hukum kenegaraan, maka Semar pun „marah‟ dan lari dari tanggung jawab „kemomongannya‟. Maka, sepakat atau tidak, secara transendensi ruang dan waktu keenam pemimpin negeri ini meruwat atau mengoperasi Semar dengan harapan negeri ini bisa keluar dari malapetaka. commit to user 284 Pertanda ketidakjelasan „kesepakatan operasi Semar‟ telah dilukiskan oleh Jaya Adi dengan apik melalui lukisan ekspresi mimik wajah pada objek para tokoh presiden tersebut. Dari lukisan itu dapat kita tafsir, Soeharto lah yang melakukan operasi Semar walaupun sudah diingatkan oleh Soekarno. Sedangkan Habibie hanya terbelalak melihatnya dengan tidak tega. Gusdur menyaksikan dengan sebelah mata sambil menahan sedih. Sementara Megawati tampak menangis tidak mau melihat, apalagi SBY sama sekali tidak mau menyaksikan dengan cara menutup kedua matanya dengan kedua tangannya. . Dengan demikian, sepakat atau tidak, percaya atau tidak, upacara ruwatan oleh sebagian besar masyarakat Jawa memiliki makna harapan pada Tuhan yan Mahakuasa agar memberikan pertolongan agar bisa keluar dari malapetaka dan bisa hidup tenang dan damai. Harapan ini tampaknya juga mengilhami GM. Sudarta dalam karya lukisnya berjudul “Bapa, Ibu lan Putra Kinasih” Hampir semua pembaca harian Kompas mengenal GM. Sudarta. Dia adalah seorang kartunis kelahiran Klaten 64 tahun yang lalu. Karya-karya kartunnya dengan sosok maskot Oom Pasikom yang menghiasi harian Kompas sudah sejak tahun1960- an sampai sekarang. Disamping berprofesi sebagai kartunis, dia juga bergabung di organisasi “Pasren”. Sekali waktu dia berkarya lukis dan ikut berpameran seni lukis yang diselenggarakan “Pasren” setiap waktu tertentu. Karya lukisnya cukup banyak terpampang di galleri kecil dalam lokasi kediamannya. Sebagai salah satu contoh hasil karya lukisnya yang dianggapnya paling berpengaruh dalam kehidupannya adalah yang berj udul “ Bapa, Ibu lan Putra Kina sih ” seperti tamapak pada gambar IV.13 di atas commit to user 285 Dengan mengamati lukisan hasil karya GM. Sudarta yang berjudul “Bap ak, Ibu lan Putra Kinasih ” di atas, sekilas tampak biasa-biasa saja. Namun, jika kita perhatikan lebih mendalam lagi dapat menyiratkan nilai-nilai simbolis yang bermakna. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam lukisan ini adalah objek kesatuan suatu keluarga. Penandaan ini dapat dimaknai, bahwa lukisan itu menunjukkan pentingnya hubungan yang harmonis dalam suatu keluarga sesuai peranannya masing-masing sebagai anggota keluarga. Teknik penggambaran objek lukisan tampak dipengaruhi gaya neo- kla sisisme yang berkembang pada awal abad ke-19 di Perancis. Neo-klasisisme merupakan kelanjutan dari gaya klasisisme yang mengacu pada kebudayaan perguruan tinggi seni rupa pertama di Perancis bernama Royal Academy . Seni lukis gaya klasisisme memiliki ciri-ciri antara lain: terikat pada norma-norma intelektual akademis, bentuk seimbang dan harmonis, batasan-batasan warnanya bersih dan statis, raut muka objeknya tenang berkesan agung, berisi cerita istana dan mistis-ritual, dan cenderung berlebihan Rasjoyo, 1994: 47-48. Ini artinya seperti yang diisyaratkan dalam analisisnya Ludwig Wittgenstein yang ditulis oleh Thomas Mc Carthy, bahwa imajinasi harus berasal dari pengalaman dan memorinya sendiri tentang bagaimana cara ekspresi digunakan secara aktual Habermas, 2008: 221-222. Oleh karena itu, dengan dilatarbelakangi kecintaannya pada kedua orangtuanya, GM. Sudarta mengangkat objek bapak, ibu dan anak tersebut. Dengan lebih memperhatikan penggambaran objek ketenangan, tampaknya lukisan karya GM. Sudarta ini bisa jadi mentransformasikan kehidupan pribadi yang „katholik‟, sehingga terpengaruh pada lukisan-lukisan yang bercorak gerejawi. Hal commit to user 286 itu bisa disimak dari pengakuannya ketika diwawancarai penulis, saat ini dia sudah menjadi seorang mualaf dengan memeluk agama Islam. Dalam kaitannya dengan corak gerejawi, GM. Sudarta menyatakan dalam bahasa campuran Jawa dan Indonesia: “Bapak dalam bahasa Jawa kuwi Bopo , mas. Bopo kuwi kepala rumah tangga panutan istri dan anaknya. Bopo yang jadi wakilnya Allah. Dulu aku percaya bopo ya Allah. Kalau ibu itu suci berbeda dengan sekedar wanita. Bunda Maria itu wanita suci, maka dipilih oleh Allah untuk menitipkan putra-Nya di rahimnya maaf ini nek Katholik lho , mas. Lha kalau putra yang lahir dari rahim yang suci ya dari dalam diri-Nya akan membawa kabar yang baik , tho ” Wawancara : Minggu, 23 januari 2012. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan sebagai dogma trinitas, yakni bapa dianalogikan sebagai perwujudan Allah, ibu dianalogikan sebagai bunda Maria, dan putra dianalogikan sebagai Yesus Kristus. Dengan demikian, karya GM Sudarta tampaknya diilhami oleh ideologi Kristiani yang mempersekutukan antara Tuhan dengan manusia . Memaknai ketenangan hidup dalam lukis an “Pasren” dapat ditemukan juga pada karya Yoyok WD Besur 40 th berjudul “ Ndonga ” 2003 yang artinya berdoa. Lukisan dengan teknik hitam putih ini beraliran ekspresionisme menunjukkan adanya kesan suasana tenang yang ditampilkan bentuk sosok biksu yang sedang melakukan serangkaian upacara ritual agama Buddha. Penanda ritual dalam lukisan ini adalah tiga orang biksu yang sedang berjalan berurutan sambil masing-masing membawa lilin dan dupa. Kata “tiga” dalam tiga orang biksu dalam agama Buddha dapat dimaknai sebagai tingkatan kedalaman ilmu batin dari masing- masing biksu tersebut untuk menuju kesempurnaan hidup seperti yang terdapat pada struktur candi Borobudur. Untuk mencapai kesempurnaan hidup tersebut Daud commit to user 287 Yusuf 2004: 35 menyebutnya dengan istilah “dunia hasrat” kamadhatu , “dunia rupa ” rupadhatu dan “dunia tanpa rupa” arupadhatu . Pada tataran kamadhatu yang disebut juga “alam bawah” manusia secara keilmuan batin masih rendah karena masih mementingkan kehidupan duniawi. “Alam tengah” rupadhatu manusia memiliki setengah kesempurnaan dari ilmu batin. Artinya, separuh hidupnya untuk dunia dan separuh lagi hidupnya untuk memperdalam ilmu batin. Tingkat paling atas adalah arupadhatu atau “dunia atas” adalah dalam kehidupan bagi orang yang telah mencapai kesempurnaan hidup. Biksu pada tingakatan ini sudah tidak tertarik sama sekali terhadap urusan keduniawian atau dengan kata lain seorang biksu yang telah mencapai kesempurnaan hidup. Sementara dalam buku Patmasana tulisan Cudamani tanpa tahun: 8 ketiga tingkatan itu disejajarkan dengan simbol tribhuana yang terdiri alam bhur , alam bwah, dan alam swah . Lilin sebagai simbol penerang. Penerang artinya, walaupun lilin sumber cahayanya kecil, namun bisa memberikan penerangan dalam kegelapan. Dupa sebagai simbol pemujaan pada roh ghaib. Artinya, dupa yang mengeluakan asap berbau wangi dianggapnya sebagai media untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

4.3.3.3 Makna Sosial-Budaya