commit to user
188
4.2 Aspek Keberagaman Karya S eni Lukis “Pasren”
Seperti telah diuraikan di atas, diferensiasi sosial-budaya yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Klaten ternyata sangat mempengaruhi konsep
penciptaan karya seni lukis “Pasren”. Berdasarkan pemilihan objek, warna, dan teknik yang ditampilkannya menunjukkan penampakan latar belakang ideologi,
pemikiran dan filosofis pelukisnya. Dengan demikian, latar belakang keberagaman sosial-budaya yang didukung
oleh ideologi, pemikiran dan filosofis pelukisnya sangat mewarnai keberagaman cor
ak dan gaya seni lukis “Pasren”. Tampaknya corak dan gaya membentuk keberagaman simbol yang termanifestasikan melalui objek-objek karya seni lukis
“Pasren”. Berdasarkan pengamatan dan penelitian terhadap karya-karya seni lukis “Pasren” ditemukan keunikan-keunikan yang melekat pada setiap karya pelukis
“Pasren”.
4.2.1 Keberagaman Objek Lukisan Karya Pelukis “Pasren”
Dengan mengamati karya-karya seni lukis yang diciptakan para pelukis anggota “Pasren” menunjukkan bentuk objek yang beranekaragam. Keberagaman
bentuk objek itu terdapat unsur kesamaan, kemiripan, dan perbedaan yang menjadi tanda atau simbol ungkapan perasaan para pelukis “Pasren” masing-masing.
Sebagian besar kesamaan bentuk adalah objek pemandangan alam. Misalnya, lukisan naturalisme hasil karya Joko SP 47 th yang berjudul
“Pemadangan Alam di Kaki Merbabu
” 2005 memberikan tanda keindahan alam dan sebagai simbol kecintaannya terhadap alam semesta ciptaan Allah. Lukisan karya Umarsidi 39 th
commit to user
189
berjudul “Sudut Desa” 2006 dan karya Choirun Sholeh 47 th berjudul “Diantara Pepohonan” 2005, walaupun tidak seindah karya Joko SP, namun juga memberikan
tanda keindahan dan simbol kecintannya terhadap alam desa dan kerindangan pepohonan. Demikian juga, bentuk simbol kecintaan terhadap alam adalah karya
Suwarto 55 th berjudul “Pesona Merapi” 2007 dan karya Kus Indra 43 th
berjudul “Lembah Merapi” 2007, keduanya mengangkat objek gunung sebagai
tanda-tanda keindahan alam tesendiri. Dari beberapa pelukis yang memilih karya lukisan yang berobjek pemandangan alam tersebut yang terbanyak adalah Joko SP,
bahkan pelukis ini dengan konsisten memproklamasikan dirinya sebagai pelukis dengan objek pemandangan alam Wawancara: Senin, 20 Februari 2012. Hal ini
seperti yang terpampang pada
art gallery
dan
studio naturalism painting
miliknya. Sepenggal dari objek keindahan alam adalah bentuk tumbuhan, binatang dan
manusia sebagai tanda kehidupan hayati dan simbol hubungan ekosistem dan makrokosmos,
dalam hubungannya dengan kodrat alam. Beberapa pelukis “Pasren” yang mengangkat objek tumbuh-tumbuhan antara lain: Karang Sasongko 49
th dengan lukisannya yang berjudul
“Hutan” 2005, Kensudi 57 th berjudul
“Kelapa Bergelantungan
” 2005, Rustamaji alm berjudul “Sepotong Hutan”, Mbah Mardi 79
th berjudul “Tanamannya Simbah” 2004 dan Darto berjudul “Pohon Jambu”
2009. Memperhatikan objek- objek lukisan hasil karya para pelukis “Pasren”
tersebut menunjukkan suatu simbol wujud syukur atas karunia Allah telah memberikan rejeki melalui buah hasil dari tumbuhan-tumbuhan tersebut.
Sebagaimana dikatakan Mbah Mardi Wawancara: Rabu, 15 Februari 2012 sebagai berikut.
commit to user
190
“Kito puniko
namung titah sa wantah, mas mboten saged damel menopo-menopo mena wi boten ka renaning panguwaosanipun Gusti Allah. Kito sedoyo sampun
pinaringan rejeki hasil alam a rupi panenan sa king taneman-taneman kados puniko. Awit saking puniko, kito kedah muji syukur ingkang paring rejeki,
mas…” “Kita itu hanya manusia biasa, mas tidak bisa berbuat apa-apa jika bukan
karena kekuasaan Allah SWT. Kita semua sudah diberikan rejeki hasil alam berupa hasil panen dari tanaman-tanaman seperti itu [sambil tangannya
menunjuk lukisannya]. Oleh karena itu, kita seharusnya bersyukur terhadap yang
memberikan rejeki, mas …”. Selain itu, terdapat pula jenis objek tumbuhan yang berbentuk bunga yang
merupakan suatu penggalan tanda-tanda keindahan alam juga. Tanda-tanda keindahan yang terdapat pada objek bunga paelukis “Pasren” itu bisajadi
menyiratkan simbol kepribadian seseorang yang sedang mengalami perkembangan jiwa dan idealismenya. Misalnya, lukisan hasil karya Wulandari 36
th berjudul “Bunga Kamboja” 2003 diakuinya, bahwa bunga kamboja sebagai simbol
kecintaannya terhadap indahnya kehidupan apabila dijalani dengan senang hati dan jika dijalani dengan meggerutu; tidak pernah bersyukur, maka keindahan itu akan
segera mati Wulandari, Wawancara: Rabu, 21 Maret 2012. Dengan demikian, bunga Kamboja menjadi simbol keindahan hidup dan sekaligus simbol kematian.
Sedikit berbeda dengan lukisan karya Mutmainah 45 th berjudul
“Bunga Tulip” 2003 dan Agung Istanta 36
th berjudul ”Bunga Gerbera” 2005, keduanya
menyiratkan simbol keidahan dalam kehidupan saja. Sebagaimana dua pelukis ini menyampaikan konsep berkaryanya. Baginya, bahwa hidup ini penuh keindahan,
maka dia melukis bunga. Demikian juga, Agung Istanto membarikan kesaksian dalam berkarya dia selalu tertarik pada keindahan yang diwujudkan dengan objek
bunga Katalog Pameran, 28 Juli - 2 Agustus 2005.
commit to user
191
Sementara objek yang berbentuk binatang antara lain lukisan karya Efi Suraningsih 29
th dengan objek Buaya berjudul “Mampukah Bertahan” 2005
yang menyimbolkan, bahwa tidak ada kehidupan yang langgeng pada sesuatu yang kuat sekali pun, jika tidak diikuti suatu dukungan keadan alam yang memadai. Buaya
sebagai symbol kekuatan namun kekuatan itu akan sirna, ketika buaya itu untuk bertahan di daratan yang panas terik. Berbeda dengan karya Hendra Murdwi 43 th
dengan objek sekumpulan kerbau yang berjudul “Kungkum” 2005 simbol
kebodohan yang digambarkan binatang kerbau, namun karena dukungan alamya memadai, maka mampu bertahan hidup dan menikmati kehidupannya.
Dua lukisan hasil karya Baswendra 52 th dengan objek kuda berjudul “Berlari di Awan” 2005 dan karya Kus Indra 43 th juga dengan objek kuda yang
berjudul “Di Kejar Badai” 2004 menyiratkan simbol kedinamisan dalam
kehidupan. Sebagaimana kebanyakan orang mengakui, bahwa kuda diidolakan penggemarnya, karena dianggap memiliki kejantanan, kekuatan dan ketahanan baik
dalam berlari maupun tenaganya. Lain halnya dengan karya Thomas Handoko berjudul
“Kucing” 2009 dan karya Hartono 41 th berjudul “Masih Buas” 2000 melukiskan objek spesies
carnivora
yang hanya menampilkan wajah atau kepalanya dengan sorotan mata yang tajam. Tampaknya kedua lukisan ini lebih mementingkan
simbol kebuasan sekaligus kewibawaan. Sementara lukisan karya Wulandari 36
th dengan objek ikan berjudul “Louhan” 2003 dan karya Maryanto 30
th berjudul “Ikan Koi” 2008 menandakan, bahwa ikan itu untuk sebagian orang tidak lagi merupakan kebutuhan
commit to user
192
primer sebagai lauk makan, melainkan sebagai kebutuhan tersier setara dengan piaraan burung, yakni sebagai
klangenan.
Adapula objek yang berupa manusia baik laki-laki atau perempuan pada karya seni lukis “Pasren” paling banyak mendominasi setiap penyelenggaraan pameran.
Beberapa contoh lukisan yang memuat objek orang laki-laki tersebut antara lain: karya Hardjijo 73 th berjudul
“Senja Penggali-penggali Tanah” 1981 sebagai simbol kerasnya kehidupan di kota besar yang dialami masyarakat kecil untuk
menghidupi keluarganya. Senada dengan karya Hardjijo adalah karya Warsito Subroto 42 th berjudul
“Tekun” 2004 juga menyimbolkan perjuangan hidup demi keluarga seorang tua pengrajin tong sampah atau tong air.
Di sisi lain, lukisan hasil karya Santosa 35 th berjudul
“Kumpul Bocah” 2005, dan karya Sigit GP berjudul
“Lamunan Bocah” 2005 keduanya memberikan simbol kehidupan anak-anak yang selalu menampilkan keceriaan dan
sekali waktu anak-anak tersebut memiliki lamunan atau cita-cita. Berbeda dengan karya Ibnu Wibowo 57
th yang menciptakan lukisan berjudul “Anak dan Burung”
1990 menandakan adanya sebuah kontradiksi antara sebuah keakraban dan pemasungan antara seorang bocah dan burung piaraan orang tuanya. Seperti yang
dikemukakan, bahwa seorang bocah itu memilki sifat bermain dan sejuta harapan, baik bagi dirinya maupun orang lain Ibnu Wibowo, Wawancara: Kamis, 19 Januari
2012. Simbol sejarah dan politik tampak pada lukisan hasil karya Jaya Adi 51 th
dengan objek Presiden Suharto berjudul “Kubuka Kacamataku” 2003, yang
memberikan simbol, bahwa di balik kacamata pak Suharto tercermin sebuah sejarah
commit to user
193
panjang mulai dari beliau berjuang di medan perang, menjadi presiden selama kurang lebih 32 tahun sampai dilengserkan pada tahun 1998. Demikian pula dengan
karya Ansori 51 th berjudul “Panglima Sudirman” 2007 yang juga menyiratkan
simbol sejarah. Dalam hal simbol sejarah itu, Ansori mengatakan: “Di balik profil tokoh lukisanku itu menyiratkan cerita perjuangan seorang Jendral Sudirman sebagai
panglima perang untuk mempertahankan tanah air. Walaupun beliau dalam kondisi sakit parah, tetapi beliau tetap berjuang bersama anak buahnya bergerilya keluar-
masuk hutan melawan penjajah Belanda” Ansori, Wawancara: Kamis, 12 Januari 2012.
Objek orang wanita diangkat pada lukis “Pasren” lebih banyak dibandingkan
dengan objek orang laki- laki. Bahkan, satu anggota “Pasren” saja seperti GM.
Sudarta 66 th mengangkat objek wanita ke atas kanvasnya tidak kurang dari
sepuluh objek yang digambarkan dengan berbagai pose. Menurutnya, bahwa di balik aura kecantikan wanita itu memiliki bermacam-macam kelebihan yang menakjubkan
bagi lawan jenisnya. Ada yang bersifat positif, ketika wanita mampu menjaga kehormatannya untuk menempatkan diri dan fungsinya dengan sebaik-baiknya.
Namun, sebaliknya apabila wanita tidak bisa menjaga kehormatannya, misalnya masuk ke „dunia hitam‟, maka dia tidak memiliki nilai sama sekali bagi kehidupan
GM. Sudarta, Wawancara: Minggu, 23 Januari 2012. Hal ini sesuai dengan hadist Rosulullah, Muhammad SAW yang berbunyi: “seindah-indah perhiasan dunia adalah
wanita sholehah”. Dengan demikian, menunjukkan, bahwa wanita itu baik di mata Allah maupun manusia merupakan makhluk yang mulia, jika dapat menjaga nilai-
nilai kewanitaannya dengan baik. Misalnya seperti pada karya Joko SP 47 th
commit to user
194
berjudul “Megawati” 2004 merupakan simbol peranan wanita yang paling tinggi di
pemerintahan, yakni pernah menjabat presiden Republik Indonesia. Pelukis-
pelukis “Pasren” lain yang mengangkat objek wanita antara lain Ismu Suryo Wibowo 67
th berjudul “Seorang Wanita Pita Biru” 1982, memberikan
simbol kecantikan di balik keluguan seorang wanita. Dalam kecantikan dan keluguan seorang wanita itu terdapat pula simbol perjuangan wanita, seperti tampak pada
lukisan karya Isnu Murdewa 44 th berjudul
“Wanita Jualan” 2004, Karya Cak Min 38 th yang melukiskan kesibukan ibu-ibu pedagang di pasar bejudul Wayah
Rolasan 2005 dan karya Sutrasno 35 th melukiskan dua orang wanita berjudul
“Penjual Bunga” 2003. Ketiga karya itu menyiratkan simbol perjuangan hidup seorang wanita pedagang dalam berjualan.
Sementara simbol wanita buruh terdapat pada karya Rosana 37 th melukiskan
seorang wanita tua berjudul “Menganyam Rotan” 2003 sebagai simbol ketekunan seorang wanita. Senada dengan karya Rosana, adalah karya Kensudi 57
th yang melukiskan seorang ibu desa berjudul
“Mencuci” 2003, karya CB.Martanto 53 th melukis seorang tua sedang membuat gerabah berjudul
“Buruh” 2007 dan hasil karya Cak Min 38
th yang melukiskan sekumpulan wanita buruh di pabrik tembakau berjudul
“Milihi Mbako” 2005. Lukisan hasil karya keempat pelukis di atas menyiratkan simbol kesabaran dan ketekunan kerja bagi para wanita.
Masih mengenai objek wanita, Cak Min 39 th melukiskan sosok seorang
wanita tua renta berjudul “Surup” 2004. Guratan-guratan keriput pada pipi objek
wanita tua itu menyiratkan simbol pengalaman hidup yang sangat banyak dan waktu panjang. Namun demikian wanita tua kadangkala mengalami kesulitan untuk
commit to user
195
mengerjakan sesuatu, misalnya lukisan yang berjudul “
Ndodomi
” 2004 hasil karya Agung Istanta. Simbol yang bisa diambil dalam lukisan itu adalah menujukkan
ketekunan dan semangat bekerja sambil istirahat di hari tua. Berbeda dengan karya sebelumnya, para pelukis sering mengeksploitasi
wanita sebagai objek lukisan dalam karya-karyanya sebagai simbol kecantikan dan keindahan tubuh dan gerakannya, misalnya dua lukisan hasil karya Winarno GN 63
th berjudul “Joget” 2004 yang melukiskan seorang wanita penari2004 dan
“Wajah Penari Biru” 1999 yang melukiskan dua orang penari. Begitu juga Sumakir 67
th melukiskan keindahan tubuh seorang wanita yang berjudul “Gadis Bali
” 2003 dan Hery Murtedjo 56 th yang melukis dua orang penari wanita
berjudul “Ronggeng Bergincu” 2000.
Objek-objek manusia di atas melukiskan objek laki-laki dan wanita secara terpisah, maka berikut ini disampaikan bentuk objek secara bersamaan, misalnya
karya Rustamaji Alm berjudul Tukang patri tanpa tahun yang menyimbolkan hubungan timbal balik perjuangan seorang tukang patri dengan ibu-ibu rumah tangga
di pedesaan. Di satu sisi tukang patri bangga bisa membantu menolong ibu-ibu rumah tangga yang sedikit kekurangan untuk membeli panci baru, di sisi lain upah
yang diberikan ibu-ibu rumah tangga yang tidak seberapa dapat dikumpulkan oleh tukang patri untuk menafkahi keluarganya. Karya yang lain yang berhubungan
kehidupan rakyat kecil adalah hasil karya Muryono 70 th yang berjudul
“Kehidupan di Gunung” 2005 melukiskan kesibukan beberapa masyarakat desa di sebuah pegunungan demi mempertahankan kehidupan mereka.
commit to user
196
Berbeda bentuk dengan perjuangan kehidupan rakyat kecil seperti di atas, adalah lukisan hasil karya Mbah Mardi 79
th yang melukiskan suasana demonstrasi massa berjudul
“Demo Ya Demo” 2005. Lukisan itu menasihatkan pada orang- orang yang sedang melaksanakan demonstrasi untuk memperjuangkan nasib kepada
DPR, pemerintah atau manajer sebuah perusahaan agar tetap menjaga ketertiban dan tidak merusak fasilitas umum.
Sementara karya GM. Sudarta 66 th melukiskan Kehangatan keluarga dalam
lukisannya yang berjudul “Bapa, Ibu, lan Putra Kinasih” 2002. Lukisan itu meyiratkan simbol kebahagiaan sebuah keluarga, apabila kehidupan sebuah keluarga
mensyukuri atas segala pemberian Tuhan. Disamping itu, lukisan itu tampaknya sebuah kenangan GM. Sudarta ketika masih memeluk agama Katholik, sehingga
penggambaran objeknya menyerupai lukisan gaya romantisme klasik Eropa yang mengangkat cerita dogma trinitas. Tampaknya gaya romantisme sepaerti itu juga
diikuti oleh Jaya Adi 51 th yang berjudul “Operasi Semar” 2007 yang melukiskan
tokoh- tokoh presiden di Indonesia. Dalam lukisan ini menyiratkan simbol “ruwatan”
yang mengangkat tokoh Semar sebagai tumbal dalam menyelesaikan persoalan- persolan bangsa yang tak pernah selesai.
Seni lukis sebagai salah satu karya budaya bangsa Indonesia, para pelukis “Pasren” juga mengangkat objek pewayangan untuk dijadikan tema atau judul dalam
lukisannya. Pelukis-pelukis yang megangkat objek pewayangan ini antara lain: Karang Sasongko 49
th melukiskan kisah Ramayana dalam lukisannya yang berjudul
“Relief” 1992. Judul “Relief” 2003 yang melukiskan cerita pewayangan tampaknya juga dilukiskan oleh Kus Indratna 43 th. Lukisan karya Sugito Slamet
commit to user
197
50 th mengangkat judul “Bima Melawan Naga Nemburnawa” -tahun yang
menyiratkan symbol kekuatan sebuah ilmu ketika seorang murid patuh pada perintah gurunya, seperti dilukiskan dengan seorang Bima yang berhasil menemukan
kesempurnaan hidup. Ansori 51 th bahkan lebih banyak di
antara pelukis “Pasren” yang menekuni objek pewayangan, misalnya lukisannya yang berjudul
“Cakil Ngilo” 2010 yang menyiratkan simbol setiap orang, harus tahu diri dan tidak sombong,
“Petruk
nDPR
” 2011 sebagai simbol politik praktis yang tidak memperhitungkan derajat
kebangsawanan. Artinya, seorang DPR itu tidak harus dari kalangan bangsawan, namun orang kecilpun jika rakyat memilihnya, maka jadilah seorang DPR. Masih
karya lukis pewayangan Ansori berjudul “ Kecil Tapi Besar” 2012 dan “Barong” 2005. Kedua lukisan itu secara terpadu menyimbolkan sebuah kekuatan buruk,
besar atau kecil jika tidak segera ditangani adalah tetap mempengaruhi jalannya pemerintahan. Tidak kalah konsistennya untuk mengangkat pewayangan sebagai
objek lukisannya, ialah pelukis “Pasren” yang lain adalah Musafiq 65 th. Salah satu
karyanya berjudul “
Ra yahan Apem
” 2009 yang menyiratkan akulturasi antara agama Islam dan adat Jawa dalam perayaan
saparan
setiap 10 Syapar setiap tahun sebagai mengenang Ki Ageng Gribig dalam perjuangan dakwah Islam di daerah
Kecamatan Jatinom Klaten. dan berbagai judul Wayang Beber dia buat dan pergelarkan secara tersendiri.
Di sisi lain, objek non alam dan makhluk hidup juga diangkat oleh pelukis “Pasren” misalnya karya Agus Muzakir 43 th berjudul “Kaligrafi” 1992. Objek
kaligrafi ini juga diangkat oleh Suwardi Haris 57 th berjudul “Pengorbanan” 2006
commit to user
198
dan “Mitos Gerobak Sapi” 2005, M. Ismail 65 th
“…” tanpa judul, 2003, dan Hery Cahyono 34 th berjudul
“Gerbang Kemuliaan” 2004. Semua lukisan itu sebagai simbol seni Islam yang secara tidak langsung bisa digunakan dalam
berdakwah atau setidaknya membawa pengamatnya ke arah suasana keagamaan. Lukisan lain yang mengangkat objek non makhluk hidup yang cenderung
asbtrak antara lain: Basuki Kisworo 53 th berjudul “Senjang” 1993, karya
Burhauddin Latif 42 th berjudul “Ngepit” 1993, karya Kelik Parwanto berjudul
“Obsesi” 1994, Hery Setyanto 41 th berjudul “Orok 2‟ tanpa tahun, Basuki Kisworo 53 th berjudul
“Planet Kresek” 2003, Pitut Saputra 33 th berjudul “Cerita Senja” dan “Potret Nagari” 2005, Fajar Setya Kurniaji 33 th berjudul
“Ensambel” 2005, Satya Budi Santosa berjudul “Dini” 2005, Adi Prawito berjudul
“Pencarian” 2010, Karya abstrak dengan objek sedikit terlihat nyata, misalnya hasil karya Nanang
W 37 th berjudul
“Dua Kekuatan” tanpa tahun, yang melukiskan bidang dinamis dengan
beacground
sebuah tangga. Hasil karya Budi Budek ‟s 38
th berjudul “Ular
Tangga ” 2001, lebih kaya symbol. Hal ini terlihat pada objek-objek yang terdapat
pada seluruh bidang lukis. Hery Cahyono 34 th berjudul
“Tak Ada Gading yang Tak Retak
” 2005 menyiratkan simbol ketidaksempurnan pada diri seseorang, maka orang bijak adalah orang yang mau menerima kritikan.
Dua karya terakhir dalam bahasan ini adalah lukisan hasil karya Garu Setyono 37
th berjudul “Ikan” 2009 dan E Budi W 37
th berjudul “Aku, Gunung, dan
Merapi” 2001. Kedua karya ini merupakan simbol kepedulian terhadap lingkungannya, karena kedua pelukis ini tampak member pesan pada pengamatnya
commit to user
199
untuk menjaga kelestarian alam. Objek ikan memberikan makna kehidupan atau habitat air untuk dijaga kelestariannya, karena air dan ikan dapat senantiasa
memberikan nilai kemanfaatan bagi manusia. Begitu juga Merapi sebuah gunung di wilayah Klaten dapat memberikan kemanfaatan bagi kehidupan pertanian dan
material infrastruktur berupa luapan pasirnya.
4.2.2 Konsep Penciptaan Karya Seni L ukis “Pasren”