commit to user
29
Setiap produk kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat, baik suatu komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, suatu organisasi paguyuban dan
sebagainya, memiliki suatu karya budaya dengan corak dan gaya yang khas, yang terutama tampak oleh orang yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. Warga
kebudayaan itu sendiri biasanya tidak menyadari dan melihat corak dan gaya yang khas tersebut. Sebaliknya, mereka dapat melihat corak dan gaya yang khas
kebudayaan lain, terutama apabila corak dan gaya yang khas itu mengenai unsur- unsur yang perbedaannya sangat menyolok dibandingkan dengan kebudayaannya
sendiri. Suatu kebudayaan dapat memiliki suatu karya budaya dengan corak dan gaya yang khas itu karena berbagai sebab, yaitu antara lain karena adanya suatu unsur
kecil dalam bentuk unsur kebudayaan fisik yang khas dalam kebudayaan tersebut, atau kebudayaan itu memiliki pranata-pranata dengan suatu pola khusus, atau
mungkin juga karena warga kebudayaan menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak dan gaya yang khas mungkin pula disebabkan karena adanya
kompleks unsur-unsur yang lebih besar, sehingga tampak berbeda dari kebudayaan- kebudayaan lain.
2.1.5 Kajian Budaya dan Keberagaman Karya Budaya
Dalam rangka menganalisis dan menjelaskan representasi keberagaman suatu karya budaya, baik dari ditinjau sisi ideologi, latar belakang sosial-budaya dan
makna simbolis, maka perlu pengkajian terhadap karakteristik subjektivitas dan identitas manusia sebagai penghasil produk kebudayaan. Sebagaimana dikatakan
Barker 2009: 173, sebagai berikut.
commit to user
30
“Konsep subjektivitas dan identitas terkait erat dan secara virtual tak dapat dipisahkan. Namun, kita bisa memandang subjektivitas mengacu pada kondisi
menjadi seorang pribadi dan proses di mana kita menjadi seorang pribadi, yaitu bagaimana kita dibentuk sebagai subjek. Sebagai subjek, yaitu sebagai pribadi,
kita „terikat kepada‟ proses-proses sosial yang menciptakan kita sebagai „subjek untuk‟ diri kita dan orang lain. Konsepsi yang kita yakini tentang diri kita bisa
disebut dengan identitas-diri, sementara itu harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Keduanya membentuk narasi atau menyerupai
cerita”.
Berdasarkan pendapat itu, dapat dimaknai, bahwa identitas subjek tebentuk oleh adanya pengaruh dari luar diri subjek. Begitu seseorang sebagai subjek harus
dapat menempatkan diri pada kondisi sebagai pribadi individu dan menjadi harapan orang lain sebagai makhluk sosial. Untuk mewujudkan sebuah narasi konsepsi
subjektifitas dan identitas tidak cukup dengan hanya menggunakan satu teori kajian. Dalam hal ini, sesuai sifatnya, maka kajian budaya dapat digunakan sebagai tali
simpul terhadap ilmu-ilmu atau teori-teori yang lain. Kajian budaya
cultural studies
sering disebut sebagai wilayah lintas- disiplin, multi-disiplin, pasca-disiplin, atau bahkan malahan anti-disiplin. Dalam konteks ini,
kajian budaya dikaitkan dengan pengkajian terhadap sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar-disiplin. Semua ini
tentulah baik adanya, karena dari sudut pandang nominalis „disiplin‟ sebenarnya hanyalah merupakan istilah untuk melegitimasi dan melembagakan metode dan
medan minat sebuah kajian. Tetapi sering luput dan tidak hadir dalam perbincangan tentang lintas disiplin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, adalah bahwa gagasan
lintas disiplin dalam kajian budaya juga melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dan tindakan. Inilah pokok persolalan sesungguhnya yang membedakan
kajian budaya denagan disilpin lainnya, yaitu hubungan kajian budaya dengan soal-
commit to user
31
soal kekuasaan dan politik, dengan keinginan akan perubahan dan representasi dan untuk kelompok sosial yang terpinggirkan terutama kelompok kelas, gender, dan ras,
begitu juga kelompok usia, kecacatan, kebangsaan, dan sebagainya. “Kajian budaya merupakan bangunan teori yang dihasilkan oleh pemikir yang menganggap produksi
pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik polit ik” Mujiyanto, dkk, 2010: 23.
Dengan demikian, pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai fenomena netral atau objektif, melainkan sebagai persoalan posisionalitas, persoalan dari mana, kepada
siapa dan dengan tujuan apa seseorang berbicara. Arti “budaya” dalam kajian budaya adalah medan nyata di mana praktik-
praktik, representasi-representasi, bahasa, dan kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat tertentu berpijak. Budaya juga adalah bentuk-bentuk kontradiktif akal sehat yang
sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari Hall, 1996: 439. Budaya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang makna-makna sosial, yaitu
beragam cara yang digunakan untuk memahami dunia. Namun demikian, makna- makna tidak menari-
nari „di luar sana‟, melainkan muncul melalui tanda-tanda, terutama tanda-tanda bahasa. Kajian budaya memegang argumen, bahwa bahasa
bukan sebuah media yang netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan tentang suatu ob
jektivitas dan independen yang „ada‟ di luar bahasa. Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada
objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak oleh bahasa dan menjadi bisa dipahami melalui istilah-istilah yang digariskan oleh bahasa.
Proses-proses produksi makna ini disebut praktik-praktik penandaan
signifying
commit to user
32 practices
, dan mempelajari kebudayaan sama artinya meneliti bagaimana makna diproduksi secara simbolis dalam bah
asa „sistem penandaan‟. Posisi teori dalam kajian budaya bisa dipahami sebagai narasi yang bertujuan
untuk memilah-milah dan menguraikan ciri-ciri umum yang mendeskripsikan, mendefinisikan dan menjelaskan kejadian-kejadian yang terus-menerus muncul.
Bagaimanapun, teori tidak memotret dunia secara akurat; ia adalah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia melalui mekanisme deskripsi, definisi, prediksi
dan control. Konstruksi teori adalah usaha diskursif yang sadar diri
self-reflextive
yang bertujuan untuk menafsirkan dan mengintervensi dunia Mujiyanto, dkk, 2010: 24.
Pengkajian teoritis bisa dianggap sebagai peta-peta kultural yang menjadi panduan. Kajian budaya menolak klaim para empirisis, bahwa pengetahuan hanyalah
masalah mengumpulkan fakta yang digunakan untuk mendeduksi atau menguji teori. Teori dipandang sudah selalu implicit dalam penelitian empiris melalui pemilihan
topik, fokus, riset, dan konsep-konsep yang dipakai untuk mendiskusikan dan menafsirkannya. Dengan kata lain, „fakta‟ tidaklah netral dan tidak ada tumpukan
„fakta‟ yang bisa menghasilkan kisah tentang sesuatu tanpa teori. Bahkan, teori adalah kisah tentang kemanusiaan yang mempunyai implikasi untuk tindakan dan
penilaian-penilaian tentang konsekuensi. Kajian budaya sangat memerankan peranan penting untuk menunjukkan
karakter yang terkonstruksi teks-teks kebudayaan, berbagai mitos dan ideologi yang tertanam di dalamnya, dengan harapan bisa melahirkan posisi-posisi subjek, dan
subjek-subjek sungguhan, yang mampu melawan subordinansi. Sebagai sebuah teori
commit to user
33
yang politis, kajian budaya diharapkan dapat mengorganisisr kelompok-kelompok oposisi yang berserakan menjadi suatu aliansi politik kebudayaan. Meski demikian,
Bennet 1992, dalam Mujiyanto, dkk, 2010: 25 mengatakan, bahwa kebanyakan politik tekstual yang dihasilkan kajian budaya a tidak berkaitan dengan banyak
orang dan b mengabaikan dimensi institusional kekuasaan kultural. Ia mendorong kajian budaya untuk mengadopsi pendekatan yang lebih pragmatis, bekerja dengan
para produser kebudayaan dalam konstruksi dan penerapan kebijakan kultural, di samping juga dengan memperluas referensi.
2.2 Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan
Sebagai unsur budaya, kesenian memiliki peranan penting untuk memenuhi kebutuhan estetis manusia. Dalam memenuhi kebutuhan estetis ini, kesenian menjadi
bagian integral yang tak terpisahkan dengan kebudayaan. Kesenian merupakan unsur pengikat yang mempersatukan pedoman-pedoman dalam bertindak yang berbeda
menjadi suatu desain yang utuh, menyeluruh, dan operasional serta dapat diterima sebagai sesuatu yang bernilai Bahari, 2008: 45. Dengan demikian, seni adalah
bagian langsung dari kehidupan manusia yang sama pentingnya dengan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Seni lahir dan berkembang sejalan dengan lahir dan berkembangnya umat manusia di muka bumi ini. Seni selalu berperan dari jaman ke jaman, diwariskan dari
generasi ke generasi sebagai suatu lambang peradaban manusia yang paling berharga. Manusia selalu berusaha mengembangkan seni, baik secara kualitas
maupun kuantitas Rasjoyo, 1994: 1. Artinya, kualitas seni sangat ditentukan oleh