Seni Lukis Sebagai Media Ekspresi

commit to user 60 saja, tetapi dengan berbagai bahan pewarna dan elemen-elemen lainnya sesuai dengan ide atau gagasan penciptanya, sehingga batasan seni lukis yang bersifat dua dimensional menjadi kabur, karena pemanfaatan teknik kolase dan campuran mix media yang menghadirkan bentuk tiga dimensional secara nyata, tanpa ilusi ruang Bahari, 2008: 82. Dengan demikian, seni lukis telah bersentuhan dengan wilayah multidimensi ruang, sehingga seni lukis dapat berkolaborasi dengan cabang-cabang seni yang lain, misalnya seni tari, seni musik, fotografi, film, tata cahaya, dan lain- lain. Persentuhan seni lukis dengan berbagai cabang seni yang lain itu dapat terwujud dengan memanfaatkan teknologi, seperti karya seni lukis instalasi a rt , performance art , dan sebagainya, yang bersifat temporer. Berdasarkan paparan di atas, bahwa seni lukis dapat diposisikan sebagai hasil karya budaya sekaligus sebagai sub unsur kebudayaan tidak sekedar dipandang sebagai fungsi individu; bagi pelukisnya sendiri, tetapi seni lukis memiliki keterbukaan fungsi bagi orang lain. Artinya, seni lukis secara internal merupakan jejaring seni yang mengahasilkan karya seni lukis multidimensi dan secara eksternal, seni lukis dapat berfungsi sebagai cermin perilaku kehidupan bagi masyarakat.

2.3.2.1 Seni Lukis Sebagai Media Ekspresi

Kata “ekspresi” berasal dari bahasa Inggris to expression yang arti harfiahnya ialah pencerminan, pengungkapan, atau pernyataan emosi dan perasaan melalui ucapan, tindakan dan kegiatan lainnya Shadily, 2007: 226. Dalam hubungannya dengan masalah seni lukis, maka pengungkapan perasaan itu tentulah melalui media atau karya- karya seni lukis. Jadi, “melukis” dapat diartikan sebagai pengungkapan commit to user 61 emosi dan perasaan yang timbul akibat dari pengalaman-pengalaman dari luar bidang lukis. Emosi dan perasaan pada seseorang tentu tidak timbul begitu saja, seseorang merasa sedih, gembira, atau marah pasti ada sebabnya, yakni adanya rangsangann dari luar dirinya yang menyebabkan munculnya emosi dan perasaan. Rangsangan itu biasanya berupa pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik yang langsung menimpa dirinya atau tidak. Pengalaman-pengalaman yang dimaksud di atas tidak hanya ditanggapi dengan pancaindera saja, tetapi juga dengan jiwa sehingga menimbulkan getaran pada batin dan menyebabkan timbulnya emosi dan perasaan. Dalam proses penanggapan ini, terlibat aspek-aspek rohani lainnya, seperti karakter, cara berfikir, keluhuran akal budi, dan sebagainya yang kemudian akan terungkap di atas bidang lukis. Hal ini pula yang kemudian akan menjadi ciri khas dari karya-karya seseorang. Emosi dan perasaan kadang-kadang datangnya hanya seketika kemudian hilang tanpa meninggalkan bekas apapun. Untuk dapat merekam emosi dan perasaan dalam waktu sangat singkat itu diperlukan penguasaan teknik yang mantap, dalam waktuyang sesaat itu kadang-kadang tak sempat lagi untuk berfikir dan merencanakan bentuk ataupun rupa. Garis-garis akan tergores secara spontan, bidang dan ruang akan tertuang seiring getaran jiwa. Warna-warna muncul begitu saja mengisi bidang- bidang dan ruang. Dalam hal ini tidak mutlak lagi, bahwa langit harus berwarna biru, rambut harus berwarna hitam atau dedaunan berwarna hijau. Warna-warna yang tampil adalah mutlak ungkapan emosi dan perasaan yang menggelora Dharmawan, 1988: 129. Dengan demikian, otoritas pelukis untuk mengolah dan mengekspresikan objek lukisannya sangat bebas sesuai kehendak hatinya. Namun, paham commit to user 62 ekspresionisme pada lukisan ini menolak paham „art pour art‟ seni untuk seni. Hal ini bisa dilihat pada lukisan karya pelukis asal Belanda Van Gogh dan karya Affandi. Karya lukis kedua tokoh ini, walaupun dia bebas mengekpresikan bentuk, warna, dan teknik melukis secara bebas, tetapi tetap menampilkan objek lukisannya yang bisa dipahami oleh pengamatnya. Sebagaimana dikatakan pelukis Affandi sendiri dalam Iskandar, 2000: 66 sebagai berikut. “Beberapa kritikus di Barat menyebut lukisan-lukisan saya sebagai suatu jalan baru dalam ekspresionisme. Tapi bagi saya, aliran saya adalah humanisme. Artinya, saya melukis berdasarkan perikemanusiaan. Itu semboyan hidup saya. Jika saya tidak menjadi pelukis, tetapi jadi dokter atau tukang becak umpamanya, kemanusiaan itu tetap menjadi tujuan saya. Artinya, saya akan bertindak atas dasar perikemanusiaan. Karena itu, saya tidak bisa bersemboyan „seni untuk seni‟. Bagi saya, seni adalah untuk perikemanusiaan”. Berdasarkan paparan di atas, maka terlepas dari bentuk, warna objek dan teknik penciptaannya, seni lukis merupakan alat mengekspresikan emosi perasaan yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang terakumulasikan ke dalam ide dan gagasan seniman untuk disampaikan kepada pengamatnya.

2.3.2.2 Seni lukis Sebagai Media Komunikasi