Kehidupan Industri Kerajianan Rakyat

commit to user 137 20 Desember, bersama-sama dengan PNP Tembakau dan wakil dari golongan tani selalu menentukan harga tembakau yang akan dibeli oleh PNP dari petani biasanya harga tembakau adalah dua kali harga beras untuk per kilogramnya. Sampai saat ini di daerah Klaten terdapat PNP Tembakau Wedi-Birit, Kebonarum, Gayamprit dan Sorogedug. Sementara perusahaan tembakau yang dikelola oleh swasta, yaitu Perusahaan Tembakau Kemudo, Rumpun milik Rumpun Diponegoro, Saribumi dan lain-lain. Semua peraturan tentang areal dan harga tembakau yang berlaku bagi P.N.P. berlaku pula bagi perusahaan tembakau Swasta. Masyarakat petani di Klaten, selain menanam tembakau, mereka juga menanam tebu. Hal ini terutama disebabkan pada tahun 1953 pemerintah mengadakan anjuran untuk menanam tebu guna menambah hasil produksi gula sebagai bahan ekspor ke luar negeri. Penyelenggaraan penanaman tebu ini oleh pemerintah diserahknn kepada Yayasan Tebu Rakyat atau disingkat YATRA yang berkedudukan di Solo. Petani tebu menggabungkan diri dalam bentuk panitia-panitia yang menjadi penghubung antara petani-petani tersebut dengan YATRA.

4.1.2.3 Kehidupan Industri Kerajianan Rakyat

Di Kabupaten Klaten, industri kerajianan rakyat tampak maju, karena perindustrian rakyat di sini menghasilkan barang jadi yang sederhana tetapi bernilai guna bagi masyarakat. Industri kecil yang bersifat home industry tumbuh dan berkembang. Hal ini disebabkan karena penduduk Klaten sebagian commit to user 138 besar adalah petani, maka sambil menunggu masa panen tiba, mereka mengisi waktu luang dengan bekerja dalam bidang perindustrian. Inilah yang menjadikan rakyat Klaten menjadi manusia Indonesia yang tekun untuk mengejar hidup layak. Perindustrian di Klaten pada umumnya dapat menampung tenaga kerja. Persoalan pengangguran memang sulit sekali dipecahkan. Lagi pula perin- dustrian membawa dampak di bidang lain. Sehingga dengan adannya perindustrian, maka untuk membuang hasil produksi ini timbul pula lapangan kerja baru bagi masyarakat, yakni bidang perdagangan. Berdasarkan penelusuran peridustrian di daerah Klaten terdapat beberapa usaha industri. 1 Industri Kerajinan Tenun Lurik Sejak dahulu daerah Klaten terkenal dengan hasil tenun luriknya terutama di Kecamatan Pedan dan sekitarnya. Pada masa lampau dikenal adanya alat tenun gendhong yang menghasilkan kain lurik yang dinamakan Lurik Masaran. Masaran adalah nama tempat yang sekarang umumnya disebut Cawas. Tenun gendhong bentuknya sederhana dan dikerjakan sebagai pekerjaan sampingan samben . Biasanya yang mengerjakan adalah para wanita dalam waktu senggang, setelah mereka selesai mengurusi pekerjaan rumah tangga atau setelah mereka pulang dari sawah-ladangnya. Tenun gendhong hasilnya tidak banyak. Untuk satu potong baju lurik yang panjangnya dua meter, baru dapat diselesaikan selama tiga sampai lima hari. Dengan demikian, proses tenun gendhong ini dapat dimasukkan dalam kerajinan rumah tangga home industry . commit to user 139 Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi, maka pada tahun 1933 oleh Textiel Inrichting Bandung telah dapat diciptakan alat tenun setengah otomatis, yang biasa disebut alat tenun bukan mesin ATBN. Sejak dipergunakannya ATBM, untuk mengoperasikan alat-alat tersebut dalam hal tehnik maupun perbaikan mutu, mulai dirasakan perlunya tenaga-tenaga yang terdidik. Berangsur-angsur dikirimkan pemuda-pemuda untuk mengikuti sekolah tekstil yang diselenggarakan oleh Institut Tehnologi Tekstil di Bandung. Pada tahun 1953 didirikan suatu koperasi tenun yang diberi nama koperasi “Persatuan Perusahaan Tenun“ PPT yang berkedudukan di Pedan. Beberapa tahun kemudian disusul dengan koperasi yang lain, yaitu koperasi tenun Esti Tunggal, yang berkedudukan di Ceper dan koperasi tenun Karya Busana yang berkedudukan di Bayat. Untuk tenaga kerjanya, sebetulnya daerah Klaten kekurangan tenaga buruh di perusahaan-perusahaan tekstil, sehingga untuk mencukupinya harus mendatangkan tenaga buruh dari luar daerah, misalnya dari Gunung Kidul, Sukoharjo, Wonogiri dan Boyolali. Guna meningkatkan teknik dan mutu produksi, di samping mengirimkan pemuda-pemuda untuk dididik sebagai kader-kader tekstil di Bandung tersebut di atas, maka sejak tahun 1955 dirasakan perlu mengupayakan adanya mesin-mesin penyempurnaan finishing , untuk lebih memperhalus produksi ATBM. Usaha ini dapat berhasil dan sejak tahun 1957 dapat berdiri dan berjalan hingga sekarang, dikenal dengan nama Infitex Industry Finishing Textile yang berkedudukan di Ceper. Sementara untuk mengikuti perubahan dan perkembangan jaman, maka pada tahun 1961, dirasa perlu untuk meningkatkan commit to user 140 alat-alat ATBM menjadi ATM Alat Tenun Mesin. Untuk menggerakkan mesin- mesin tersebut diperlukan adanya energi penggerak, maka terlebih dahulu harus diusahakan adanya energi penggerak itu yang berwujud tenaga listrik. Usaha i- ni dapat berhasil, khususnya di daerah Pedan, Ceper dan Batur. Hal ini juga disebabkan karena adanya gotong-royong yang baik antara Pemerintah dalam hal ini Perusahaan Listrik Negara dengan para pengusaha tenun. Pemerintah memberikan aliran listriknya, sedangkan semua kebutuhan berupa tiang-tiang listrik, jaringan-jaringan kawat, gardu dan lain-lain harus diusahakan dan dibiayai oleh masyarakat sendiri. Akhirnya usaha perlistrikan elektrifikasi ini dapat berhasil dan pada tanggal 17 Agustus 1963 dibuka dengan resmi. Perlu dikemukakan bahwa. Elektrifiknsi ini rencana semula meliputi jumlah sepuluh gardu. Tetapi hingga kini baru dapat dilaksanakan pemasangan gardu-gardu sebahyak lima buah, sehingga baru 50 terselesaikan. Pada saat ini terdapat 2.300 perusahaan dengan jumlah alat tenun sebanyak 27.300 di seluruh Kecamatan dalam bentuk ATBM yang tersebar hampir daerah Kabupaten Klaten. Tetapi sayang, dari jumlah peralatan tersebut sekarang yang aktif bekerja kurang lebih 10. Hal ini disebabkan oleh a lemahnya daya beli di pasaran bebas, b kurangnya modal, sehingga banyak perusahaan tenun yang tutup dan c adanya saingan produk tekstil dari luar negeri seperti Jepang. Hasil produksi perusahaan tenun terdiri dari kain hem kotak-kotak, baju lurik, jarik selendang, sarung, kain celana, selimut, blaco dan lain-lainnya. Hasil produk tersebut dipasarkan ke luar daerah Klaten, misalnya Sala, Jogya dan kota-kota lain di Jawa, bahkan sampai ke luar Jawa pula. commit to user 141 2 Industri Kerajinan Payung Kertas Industri kerajinan payung kertas di daerah Kabupaten Klaten dapat dikatakan hanya terdapat di daerah Kecamatan Juwiring. Hal ini memang unik sekali, karena oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten telah dicoba mendidik kader-kadernya untuk belajar atau mempelajari dan membuat payung, bahkan banyak yang datang dari luar daerah, misalnya dari daerah Sala, Jogya, Pekalongan, Tegal dan masih banyak lagi daerah-daerah lain yang mengirimkan wakilnya untuk mengikuti kursus pembuatan payung. Namun anehnya, kader- kader yang telah selesai menempuh kursus membuat payung, ketika kemba1i ke daerahnya mereka tidak lapat membuat payung dengan baik. Hal dilematis yang menjadi persoalan, apabila mereka telah dapat membuat payung, tetapi diperdagangan kurang laku. Pokoknya mereka semua itu tidak dapat seluruhnya mewarisi keahlian penduduk Juwiring di dalam memproduksi payung maupun di dalam hal penjualannya. Untuk lebih mengetahui tentang payung Juwiring, berikut disampaikan perkembangan industri payung kertas produksi Juwiring. Pada tahun 1935, orang telah banyak mendengar nama Juwiring dengan industri payungnya. Tetapi tidak dapat diketahui dengan pasti berapa tahun umur kerajinan payung itu. Dari riwayat-riwayat dan keterangan orang-orang tua penduduk setempat, dapat memperkirakan, bahwa kerajinan payung itu sudah sangat tua umurnya. Dengan demikian, kerajinan payung itu telah meresap secara mendalam dalam kehidupan rakyat sehari-harinya sehingga hal itu mengakibatkan, bahwa orang- orang di dukuh Gemantar Kelurahan Kuwarasan di Kecamatan Juwiring tidak commit to user 142 dapat mengetahui dengan pasti tentang asal-usul kerajinan payung itu. Hanya dinyatakan, bahwa adanya kerajinan payung didukuhnya tersebut sudah turun- temurun beberapa abad lamanya. Kemudian dikatakannya, bahwa pada jaman dahulu dukuh Gumantar termasuk wilayah Kerajaan Mataram, sebelum kerajaan ini pindah ke Kartasura. Hasil kerajinan payung pada jaman itu mendapat pasaran yang baik di Mataram. Apalagi kerajinan ini tampak lebih pesat lagi sesudah pecahnya kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Surakarta dan Jogya- karta. Pada saat itu orang-orang di daerah itu sudah menjual hasil kerajinan payungnya sampai ke Ponorogo, Madiun, Kendal dan Kaliwungu. Penduduk di Juwiring itu mencari penghasilan untuk penghidupannya ke daerah lain dengan menjual payung, sehingga dengan demikian kerajinan payung telah meluas ke luar daerah Klaten. Dahulu kala orang hanya mengenal satu macam bentuk payung saja yang terkenal dengan nama Payung Kuwungan. Payung jenis ini di sebelah tepinya melengkung. Atapnya dari kertas asli yang disebut kertas gondong. Kertas gondong ini dibuat dari bahan bambu yang ditumbuk halus dipulas dengan minyak buah jarak atau kacang, kemudian dicat dengan angus yang dicampur dengan getah Kleco. Lambat-laun berkembanglah kemajuan dan terdapat evolusi dalam bentuk payung. Evolusi ini melahirkan suatu bentuk payung baru yang terkenal dengan nama “Payung Padang Bulan” Jenis payng ini ruji-rujinya lurus dan dicat dengan nila yang dicampur dengan minyak kacang dan buah jarak. Perdagangan dan perhubungan kerajinan ini makin lama makin bertambah maju. Dengan adanya kemajuan di dalam dua hal tadi, maka kerajinan rakyat commit to user 143 makin berkembang pula. Akan tetapi keadaan yang sedemikian itu tidak stabil seterusnya dan kerap kali mengalami pasang-surut. Semenjak datangnya pasaran payung dari luar negeri di Indonesia, yaitu yang sering orang menamakan dengan payung siyem, kerajinan payung buatan dalam negeri agak mundur. Payung siyem tersebut dapat mengalahkan maupun menyaingi payung dalam negeri, terutama kerajinan payung Juwiring. Hal ini disebabkan karena memang payung dari luar negeri itu lebih indah coraknya, sedangkan kualitas dan harganya pun bersaing. Keadaan yang menyedihkan ini berjalan antara tahun 1905 sampai dengan tahun 1915. Namun demikian, persaingan tadi justru membawa dampak kemajuan di dalam usaha rakyat memperbaiki hasil produksjnya. Bentuk, corak dan kualitas dari pada payung siyem ditiru. Dengan jalan demikian, kerajinan payung di Juwiring dapat tertolong karenanya. Dalam beberapa tahun kernudian datang pula pesaing dari produksi payung dalam negeri. Payung yang dimakud ialah pnyung hasil produksi Tasikmalaya. Karena corak dari payung Tasikmalaya ini bentuk dan kualitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan payung Juwiring. Salah satu faktor yang menyebabkan hal itu ialah karena keadaan rakyat terutama dalam bidang perekonomian amat buruk. Modal kurang dan daya beli rendah, sehingga pada waktu itu dapat dikatakan bahwa kerajinan payung di Juwiring amat merosot dalam hal produksinya. Tetapi semenjak tahun 1935 mulai ada titik-titik terang kembali, karena pada tahun itu dengan bantuan serta bimbingan aktif dari Kornite Pengangguran Klaten dan pihak Pamong Praja tampak kegiatannya kembali. Bahan-bahan yang diperlukan tersedia lebih banyak dari tahun-tahun commit to user 144 sebelumnya. Hal ini berarti pula kesempatan bagi penduduk Juwiring untuk memperbaiki kualitas produksinya Usaha itu berhasil, karena pada tahun itu juga Juwiring sudah mulai lagi mengekspor payung sebanyak 4.000 buah ke daerah lain. Keuletan rakyat Juwiring amat teruji, karena mereka selalu menggunakan kesempatan baik yang ada padanya untuk setiap waktu. Hasil produksi payung menjadi 130.000 buah. Namun, sayangnya permintaan payung membanjir terus membludak di luar kemampuan produksi. Untuk mengatasi permasalahan itu, maka pada tahun 1938 dibentuklah suatu badan persatuan yang tugasnya melayani pesanan-pesanan yang diberi nama Nyverhrids Centraal Payung P.N.C Juwiring. Badan ini tampaknya juga kurang memadai dan mencapai tujuannya setelah baberapa saat berjalan, karena ternyata banyak masyarakat penghasil payung memandang, bahwa mereka lebih untung jika mereka menjual payungnya di luar badan tersebut dan akhirnya menyebabkan badan PNC itu mati. Dengan matinya PNC itu, kemudian dibentuk suatu badan induk perusahaan payung di Juwiring. Induk perusahaan payung tersebut didirikan dan dipimpin oleh R.M. Soetomo pada tahun 1940. Nama yang dipakai adalah Perusahaan Payung Juwiring Perpad. Induk perusahaan ini ini tugasnya adalah memberi penyuluhan aktif ke arah perbaikan corak, bentuk dan kualitas dan mengusahakan bahan-bahan dasar dan sagala sesuatu untuk keperlunn produksi payung. Namun, kemajuan Perpad ini hanya berlangsung dua tahun, karena pada tahun 1943 situasi internasional pada waktu itu kurang mendukung, commit to user 145 maka keaktifan Perpad menjadi mundur. Keadaan seperti ini terus berlangsur sampai tahun 1945. Produksi makin merosot, ketika pada masa penjajahan Jepang bahan-bahan yang diperluknn untuk memproduksi payung sukar sekali dicari dan rakyat kehabisan modal. Keadaan ini bertambah parah ketika Pemerintah mengeluarkan uang baru “Oeang Repoeblik Indonesia” ORI, maka selanjutnya produksi payung banyak dibuat di kota-kota oleh orang-orang yang masih rnenyirnpan modal. Dengan demikian, daerah Juwiring hanya menyediakan ruji-ruji dan lainnya, sebaliknya perusahaan payung yang berada di kota sebagai perusahaan finishing saja. Mulai tahun 1950, yaitu semenjak keadaan daerah Surakarta telah normal kembali tampak lagi kegiatan usaha kerajinan payung ini. Perkembangannya berjalan dengan pesat dengan tidak melupakan sejarah pahit tahun-tahun sebelumnya. Walaupun pada saat itu muncul pula saingan berat dari perusahaan- perusahaan payung yang dibuat oleh orang-orang Tionghoa yang berada di Sala. Tetapi perusahaan payung ini tidak ada yang berumur panjang dan hasilnyapun tidak ada yang menyaingi produksi rakyat Juwiring. Saat ini kerajinan payung sudah meliputi di berbagai daerah Juwiring dan sekitarnya, antara lain: Kwarasan, Tanjung, Ketitang, Jetis, Belo pleret dan Bulurejo yang termasuk kecamatan Juwiring. Di samping itu ada yang berkembang di Kupang dan Tegalampel kecamatan Karangdowo. Akhirnya, rakyat pengusaha payung Juwiring saat ini sudah dapat mengikuti keinginan konsumen dan berusaha ke arah modernisasi atau perkembangan jaman. commit to user 146 3 Kerajinan Batik Daerah produser batik yang terkenal Kabupaten Klaten ialah Kecamatan Bayat dan Kadirejo. Pada umumnya untuk pengusaha-pengusaha batik di Kadirejo telah tergabung dalam koperasi Batari yang berkedudukan di Sala, sedangkan untuk daerah Bayat tergabung dalam koperasi PPBT Persatuan Perusahaan Batik Tembayat yang berkedudukan di Bayat, Kawedanan Pedan. Di daerah Bayat, telah dapat didirikan sebuah pusat pembabaran oleh organisasinya. Pusat tersebut dapat menerima pekerjaan permodelan maupun pembabaran dari pada anggota, juga mengusahakan pembelian bahan-bahan mentah untuk para anggotanya secara kolektif. Sebetulnya pembatikan di daerah Klaten mempunyai saingan yang berat sekali dengan hasil produksi batik dari Jogya dan Sala dengan hasil batiknya yang lebih halus. Dengan adanya saingan ini, maka perusahan batik perseorangan yang mengusahakan kain batik cap secara kecil-kecilan banyak yang gulung tikar. Kemudian dengan lumpuhnya teberapa perusahaan batik cap, perusahaan batik Bayat memproduksi batik tulis dan campuran antara batik tulis dan cap. Sehingga kesulitan dengan adanya batik halus dari daerah Jogya dan Sala dapat diatasi, sebab produksi batik Bayat bertambah baik kualitasya. 4 Industri Pengecoran Besi. Di desa Batur Kecamatan Ceper penduduknya banyak yang pekerjaannya menekuni usaha pengecoran besi. Jumlah perusahaan semua dapat dikatakan banyak, yaitu meliputi lebih dari 50 pengusaha, yang sebagian berada dalam commit to user 147 keadaan tidak beroperasi. Perusahaan pengecoran besi ini, sebagian besar telah menggunakan alat-alat modern semenjak tahun 1956. Hal ini dilakukan, karena open model lama dipandang kurang produktif, karena banyak memiliki kekuatan kerja 1,5 kwintal seharinya, sedangkan open yang modern dapat mencapai rata- rata 5 ton sehari. Guna kepentingan kemajuan perusahaan, maka oleh Jawatan Perindustrian telah mendirikan Induk Perusahaan Pengecoran Besi yang mempunyai tugas membimbing dan mempelopori dalam usaha-usaha pengecoran, finishing beserta komersialisasinya. Produksi yang dihasilkan olen perusahaan pengecoran besi antara lain berupa seterika, wajan, kejen dan bermacam-macam alat untuk pabrik gula dan PJKA. 5 Kerajinan Pande Besi Daerah yang rakyatnya hidup dari usaha menempa besi antara lain: Desa Koripan Kecamatan Delanggu, Desa Karangkepoh Kecamatan Karanganom dan Bawangan Kecamatan Manisrengo dan beberapa tempat lagi di daerah Kecamatan Kota Klaten dan Kecamntan Wedi. Jumlah seluruhnya hampir mencapai 200 perusahaan pandai besi. Sementara produksi yang dihasilkan berupa alat-alat pertanian dan rumah tangga. Bahan yang dipergunakan ialah besi tua, sedang untuk keperluan pembuatan pisau banyak dipergunakan bahan-bahan besi janur. 6 Kerajinan Tanduk. Kerajinan Tanduk di Kabupaten Klaten, boleh dikatakan dimonopoli oleh Kelurahan Kuwel di Kecamatan Polanharjo. Sampai saat ini kerajinan tanduk commit to user 148 masih merupakan suatu usaha dari perseorangan yang dikerjakan di rumah tangga masing-masing. Dengnn demikian, kerajinan tanduk ini masih merupakan usaha home industry , yang belum disentralisir melalui suatu usaha bersama maupun suatu koperasi. Hasil dari kerajinan tanduk tersebut berupa sisir, hiasan berbentuk burung, tusuk konde dan yang paling populer adalah tangkai kacamata. Bahkan, menurut pengakuan pemilik usaha itu Gubernur Jawa Tengah, Munadi pada saat itu sendiri pernah memesannya. 7 Kerajinan Bambu Bambu adalah tumbuhan sebangsa dengan rumput, tetapi bukan rumput sembarang rumput Margono, 1997: 1. Bambu-bambu ini amat banyak jenisnya dan mudah tumbuh di daerah Klaten. Di desa, tanaman bambu memegang peranan penting. Harganya cukup murah, tetapi berdayaguna dalam kehidupan masyarakat. Ketika masih tumbuh, bambu dapat memberikan suasana sejuk sekaligus sebagai batas tanah dan penahan erosi. Bila tiba saatnya ditebang, bambu bisa digunakan sebagai bahan bangunan rumah, peralatan dapur, jembatan dan sebagainya. Di samping itu, bambu juga bisa digunakan untuk bahan-bahan kerajinan tangan, misalnya kerajinan anyaman, meja-kursi, kentongan, dan lain-lain. Sentra kerajinan bambu di daerah Klaten banyak sekali. Hampir di setiap desa tidak terhitung jumlahnya, tetapi yang paling tampak sekarang ini adalah di pinggir jalan Jogya dan Solo termasuk wilayah kecamatan Ceper. Hasil produksi kerajinan bambu di kawasan ini sangat mempertimbangkan nilai seni dan commit to user 149 keindahan, misalnya meja-kursi didesain dengan menggunakan bahan bambu yang justru berbentuk lengkung atau bengkok-bengkok, kentongan dibuat menyerupai bebek atau ayam, dengan menggunakan dongklak atau bongkot bagian bawah bambu. Ada pula produk anyaman bermotif untuk plafon atau sekat ruangan, miniatur rumah-rumah gubuk yang biasanya dipesan untuk kafe- kafe rumah makan atau tempat rekreasi dan sebagainya. Di kawasan ini telah terbentuk suatu perkumpulan pengrajin bambu yang bertujuan untuk menyamakan harga jual, sehingga tidak terlalu terjadi persaingan yang sangat menyolok. Di samping itu, juga untuk saling menopang baik dari segi permodalan maupun ketersediaan hasil produksi secara merata, misalnya ada salah satu pengrajin kehabisan stok atau tidak ada sama sekali pun, maka dapat disalurkan pada pengrajin yang lainnya dengan harga sama. Dengan demikian, semua pengrajin akan kebagian order dengan cara memberikan prosentase keuntungan pada paengrajin yang memberikan order tersebut. 8 Kerajinan Gerabah Perkenalan bangsa Indonesia dengan gerabah telah terentang dalam masa yang sangat panjang. Hal ini terlihat dari banyak ditemukannya artefak peninggalan sejarah berupa gerabah dari masa lalu. Perkenalan awal dengan gerabah dimulai sejak bangsa kita mengenal tradisi bercocok tanam. Pengenalan dan keakraban mereka dengan tanah membuat mereka mulai berkreasi untuk membuat peralatan yang mereka butuhkan dari tanah. Pada awalnya mereka membuat peralatan dari tanah liat ini sebatas untuk keperluan pertanian dan rumah tangga. commit to user 150 Pada masa perundagian, kerajinan gerabah mulai berkembang tidak hanya berupa alat-alat rumah tangga melainkan mencakup berbagai alat perangkat sosial, ritual keagamaan, hingga ekspresi seni hiasan. Dari artefak yang ditemukan di Trowulan, di masa Kerajaan Majapahit dahulu berada, diketahui telah mengembangkan jenis-jenis gerabah untuk keperluan ritual keagamaan, seperti pedupaan, tempat sesaji dan benda hiasan seni dan status sosial. Seniman-seniman gerabah pada masa inilah yang diyakini telah mengembangkan teknik dasar cungkil, tusuk, gores, tempel, dan tekan sebagai pengembangan dari teknik meja putar yang telah ditemukan sebelumnya. Kerajinan gerabah tidak hanya terpusat di salah satu wilayah Indonesia, melainkan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal ini terjadi karena munculnya kerajinan gerabah tentu saja berada di sekitar pusat-pusat kerajaan yang juga tersebar di seluruh wilayah Nusantara saat itu Kusnan, 2007: 1. Sentra-sentra industri gerabah dapat ditemukan di berbagai wilayah, misalnya: Banten; Panjunan, Cirebon; Plered, Purwakarta; Klampok, Banjarnegara; Slawi, Tegal; Mayong, Jepara; Pagerjurang, Klaten; Kasongan dan Jetis, Pundong, Yogyakarta; Malo, Bojonegoro; dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di luar nama- nama tersebut masih banyak lagi sentra-sentra industri gerabah yang hingga saat ini menekuni pembuatan gerabah baik tradisional maupun kontemporer. Kerajinan gerabah sempat mengalami masa kejayaan dengan ber- kembangnya berbagai kerajaan. Akan tetapi, seiring mundurnya era kerajaan, maka mundur pula kerajinan gerabah di Indonesia. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu, hasil produksi gerabah di banyak sentra gerabah Indonesia masih sangat commit to user 151 sederhana. Biasanya produk yang dihasilkan hanya terbatas pada alat-alat rumah tangga. Akan tetapi, keadaan mulai berubah se ja k para senima n dan akade mis i sert a pemer int ah ikut sert a mengembangkan kerajinan gerabah ini. Hal ini terjadi di banyak sentra kerajinan gerabah Nusantara, seperti Kasongan, Jetis dan Pagerjurang. Kehadiran seorang akademisi dari Jepang yang ikut memajukan gerabah dirasakan oleh para perajin gerabah di Pagerjurang, Melikan, Wedi, Klaten. Dialah Profesor Chitaru Kawasaki dari Kyoto Seika University yang telah melakukan riset bersama lembaga seni rupa seperti ITB dan UNS, serta The J a pa n Foundation , membawa revitalisasi pada pengembangan desain dan teknik pembakaran. Profesor Chitaru, memberikan warna baru terutama dalam teknik glasir atau pewarnaan dan teknik pembakaran tinggi. Desain gerabah Pagerjurang yang sederhana dipertahankan dan diperkuat sehingga bisa tahan lama dan higienis saat digunakan. Gerabah Pagerjurang menggunakan teknik putaran miring yang konon telah dikenal sejak tiga ratus tahun lalu. Teknik ini muncul untuk memudahkan pengerjaan gerabah yang sering kali dikerjakan oleh kaum ibu dan remaja putri yang selalu memakai kain jarit. Teknik ini menarik Profesor Chitaru karena teknik yang sama telah dikenal di Jepang sejak ratusan tahun lalu dan sekarang hampir punah. Pada tanggal 9 hingga 16 Maret 2007 para pengrajin gerabah Pagerjurang mengadakan pameran gerabah di Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini merupakan kelanjutan dari pameran serupa yang telah diadakan tujuh tahun silam. Pameran kali ini diselenggarakan untuk memperkenalkan hasil gerabah Pagerjurang. Selain itu, commit to user 152 juga dimaksudkan sebagai wahana evaluasi hasil perkembangan desain dan kualitas gerabah Pagerjurang, terutama setelah penggunaan tungku pembakaran baru sumbangan dari pemerintah Jepang atas upaya Profesor Chitaru tersebut. Perhatian dan keikutsertaan banyak pihak dalam pengembangan gerabah sangat membantu industri gerabah di Kabupaten Klaten. Seiring perkembangan waktu, penggunaan gerabah semakin meluas pada penggunaan yang bersifat aksesoris. Gerabah saat ini telah dikenal sebagai benda hias yang banyak dicari orang untuk koleksi seni. Demikian halnya dengan teknik pengerjaan gerabah yang semakin berkembang. Penambahan hiasan dari kaca dan kain perca, serta tumbuhan kering semakin menambah menarik produk gerabah yang dihasilkan masyarakat Klaten.

4.1.2.4 Kehidupan Keagamaan Aliran Kepercayaan