Kajian Makna dalam Seni Lukis

commit to user 98 memperluas dan memperdalam pemaknaan simbolis tersebut perlu menambahkan penggunaan konsep psikoanalisisnya Freud dan konsep sosiologisnya Marxis. Begitu juga untuk sampai pada interpretasi semacam itu, analisis semiotik yang bertitik tolak pada suatu karakteristik struktural yang dianggap sebagai ikon diagramatik, telah dipakai sebagai alat heuristik Zoes, 1992: 17. Olek karena itu, penggunaan konsep ikon diagramatik memungkinkan untuk menemukan makna- makna dalam karya seni lukis sebagai teks, tetapi tidak hanya di dalam teks instrinsik, melainkan juga di luar teks ekstrinsik.

2.4.3.1 Kajian Makna dalam Seni Lukis

Untuk memaknai karya seni lukis sebagai sebagai objek kajian budaya bisa dikaji dengan menggunakan beberapa model kajian seni rupa, antara lain: model kajian historis, model kajian semiotika, model kajian tranformasi budaya, model kajian strategi, model kajian estetik, model kajian sosial, dan model kajian multidisiplin Sachari, 2005: 43-152. Dalam model kajian historis, karya seni lukis diposisikan sebagai artefak; hasil peninggalan sejarah. Model kajian ini didasarkan pada dua tinjauan historis. Pertama, berdasarkan sejarah perkembangan jenis seni lukis sesuai dengan aktivitas budaya yang mendasarinya dalam kurun waktu tertentu secara berurutan dan kedua, berdasarkan perubahan-perubahan serta unsur-unsur „luar‟ untuk yang mempengaruhi, untuk kemudian menggagas karya baru. Kedua tinjauan itu tampaknya seperti tumpang tindih, tetapi kalau dicermati terdapat pembedanya, yakni pada tinjauan pertama itu bersifat statis; hanya sebatas peninggalan budaya masa lalu saja. Sementara yang kedua bersifat dinamis, karena commit to user 99 yang diamati hanya bentuk perubahannya saja; tidak harus berkronologis, tetapi bisa bersifat tematik, tanpa mempertimbangkan urutan jaman. Artinya, sejarah hanya didasarkan penggalan sejarah dan pada bentuk perubahan corak atau gaya yang melekat pada karya seni lukis yang dipengaruhi oleh faktor dari luar. Model kajian semiotika menempatkan seni lukis sebagai suatu bahasa yang lebih spesifik dikenal sebagai bahasa rupa. Karya seni lukis dapat dipandang sebagai sebuah „prosa‟ atau „puisi‟ yang sarat dengan pesan dan tanda konotatif maupun denotatif. Walaupun kajiannya belum sematang pada kajian linguistik atau sastra, namun dapat membuka peluang teori semiotika ini dapat digunakan untuk membedah karya-karya seni lukis sebagai suatu kajian budaya. Sementara model kajian tranformasi budaya secara garis besar merupakan pengamatan perubahan dan pergeseran fenomena seni lukis dalam suatu rentang waktu tertentu. Dalam rentang waktu tersebut dicatat dan diamati faktor-faktor yang menjadi ciri utama perubahan, serta proses akulturasi dan inkulturasi yang terjadi. Secara umum, tranformasi budaya diawali oleh adanya unsur keterbukaan, baik yang dipaksakan maupun yang dikarenakan oleh karakter khas kebudayaan tertentu yang mudah menerima kehadiran kebudayaan asing. Pergeseran-pergeseran yang terjadi antara setiap sub budaya kerap bejalan tidak sejalan, ada yang secara „rupa‟ sangat cepat, namun secara teknologis agak tertinggal, ada pula yang secara keseluruhan fisik telah bergeser jauh ke depan, tetapi secara mentalitas masih terbelakang. Dengan demikian, mengamati fenomena budaya pada seni lukis, proses tranformasi juga dapat diamati melalui pergeseran nilai estetisnya. Pergeseran nilai commit to user 100 estetis tersebut memiliki keterkaitan secara langsung dengan proses transformasi budaya suatu bangsa yang dipicu oleh adanya keterbukan budaya. Dalam model kajian strategi, karya seni tidak bisa dipisahkan dengan bagaimana membangun peradaban suatu bangsa, mulai dari infrastruktur hingga superstruktur. Artinya, karya seni tidak bisa terlepas dari ideologi dan konsep-konsep pembangunan yang tengah dijalankan. Dalam pendekatan ini, dapat diamati misalnya bagaimana negara-negara Eropa, seperti Perancis, Belanda, Romawi dan sebagainya lebih unggul di bidang persenilukisan dibandingkan negara-negara di Timur Tengah pada umumnya. Begitu juga di kawasan Asia, China, Jepang, Korea lebih maju di banding Malaysia dan Indonesia. Untuk mengamati hal itu, dapat dilakukan dengan model strategi yang menekankan ekonomi dan pembangunan melalui karya-karya desain yang di dalamnya terdapat pula nilai estetis yang diangkat dari sebuah karya seni lukis. Model kajian estetis dapat dilakukan dengan dua sisi, yaitu 1 pendekatan melalui filsafat seni dan 2 pendekatan melalui kritik seni. Dalam kajian filsafat seni, objek seni lukis dapat diamati sebagai sesuatu yang mengandung makna simbolis, makna sosial, makna budaya, makna keindahan, makna ekonomi, makna penyadaran, ataupun makna religius. Sedangkan dalam kajian kritik seni, objek seni lukis cenderung diamati sebagai sebuah objek yang mengandung dimensi kritis, seperti dinamika gaya, teknik pengungkapan, tema berkarya, ideologi estetis, pengaruh terhadap gaya hidup, hubungan dengan perilaku dan berbagai hal yang sementara ini memiliki dampak terhadap lingkungannya. commit to user 101 Upaya model kajian sosial, dilandasi oleh perkembangan sosiologi sebagai ilmu telah tumbuh lebih dari dua abad yang dirintis oleh Auguste Comte 1878- 1953. Perkembangan sosiologi itu sejalan dengan pemikiran dan dinamika masyarakat yang semakin kompleks, sehingga melahirkan lebih dari sepuluh cabang keilmuan dan lingkup studi yang semakin bervariasi. Kemudian dari sepuluh cabang memunculkan beberapa spesialisasi kajian sosiologi, salah satunya adalah sosiologi seni. Dengan sosiologi seni ini, maka kajian seni rupa dapat menempatkan seni lukis sebagai objek kajian yang dianalisis berdasarkan latar belakang sosio-budaya masyarakat. Kajian sosial di bidang seni lukis terbagi atas dua kelompok besar, yaitu: 1 kajian- kajian sosiologi „murni‟ yang didekati secara kuantitatif dan kualitatif, dan 2 kajian sosiologi terapan, yang bertujuan untuk menyusun strategi pemecahan suatu persoalan seni lukis atau bisa juga penyusunan kebijakan sosial yang berkaitan dengan pembangunan yang hendak dijalankan. Secara singkat, dapat dikemukakan, bahwa kajian sosial di bidang seni lukis baik sosiologi murni maupun terapan, merupakan penelitian telaah mengenai perilaku individu, sekelompok orang atau masyarakat yang dipengaruhi oleh karya seni lukis tertentu atau sebaliknya, yaitu karya-karya seni lukis yang menciptakan situasi sosial tertentu dengan pendekatan- pendekatan komprehensip. Akhirnya, dengan mencairnya sekat-sekat antara keilmuan dan metode dalam berbagai kajian seni, maka memunculkan suatu bentuk model kajian seni yang disebut model kajian multidisiplin. Model kajian multidisiplin lahir karena banyaknya tuntutan permasalahan dari berbagai fenomena budaya yang tidak mampu commit to user 102 dengan menggunakan satu model kajian saja. Kondisi-kondisi seperti itulah yang menuntut adanya upaya menggabungkan berbagai model atau metode, baik yang kuantitatif, kualitatif maupun artitstik. Jadi, pengkajian seni lukis tidak sebatas kajian historis saja, semiotis saja atau estetis saja, melainkan pengkajian seni lukis dapat dilakukan dengan pendekatan multidisiplin umtuk mendapatkan hasil kajian yang komprehensip, lebih luas dan bermakna. Model kajian multidisiplin dalam seni lukis umumnya telah lazim dipergunakan. Konsekuensinya juga menuntut penggunaan interdisiplin, multiteori, dan penggunaan multimetode. Meskipun beresiko cenderung tidak fokus pada topik bahasan dan bersifat generik, namun model ini banyak kalangan menilai paling bermakna, karena dapat memaparkan fenomena seni lukis atas beberapa fenomena yang lebih dinamis dan kaya.

2.4.3.2 Pemaknaan Seni Lukis dan Faktor Pengaruhnya