commit to user
152
juga dimaksudkan sebagai wahana evaluasi hasil perkembangan desain dan kualitas gerabah Pagerjurang, terutama setelah penggunaan tungku pembakaran baru
sumbangan dari pemerintah Jepang atas upaya Profesor Chitaru tersebut. Perhatian dan keikutsertaan banyak pihak dalam pengembangan gerabah
sangat membantu industri gerabah di Kabupaten Klaten. Seiring perkembangan waktu, penggunaan gerabah semakin meluas pada penggunaan
yang bersifat aksesoris. Gerabah saat ini telah dikenal sebagai benda hias yang banyak dicari orang untuk koleksi seni. Demikian halnya dengan teknik pengerjaan
gerabah yang semakin berkembang. Penambahan hiasan dari kaca dan kain perca, serta tumbuhan kering semakin menambah menarik produk gerabah yang dihasilkan
masyarakat Klaten.
4.1.2.4 Kehidupan Keagamaan Aliran Kepercayaan
Di daerah Klaten terdapat beberapa agama, yaitu: Islam, Room-Katholik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha. Begitu juga Khong Hu Chu dan Aliran
Kepercayaan pada Tuhan yang Mahaesa hidup dalam masyarakat Klaten. Hubungan toleransi untuk menjalankan ibadah antara agama yang satu dengan
agama aliran kepercayaan yang lain sangat baik. Dengan demikian, pergaulan antar umat beragama dalam kehidupan tampak rukun sekali.
Kondisi kerukunan kehidupan keagamaan ini makin kelihatan sekali sejak tertumpasnya pemberontakan G 30 S PKI, karena oknum-oknum PKI pada masa
jaya-jayanya yang suka mengaclu domba antara agama yang satu dengan agama yang lain. Dengan keinsyafan yang mendalam berdasarkan pengalaman yang
commit to user
153
pahit menjelang terjadinya pemberontakan G 30 SPKI itu, maka kaum .penganut agama bersatu. Dengan demikian, keinsyafan yang sudah terlepas dari belengsu
adu domba itu, maka toleransi antar umat beragamakepercayaan menjadi sesuatu hal yang positif dan dapat menghasilkan karya-karya budaya yang positif
pula. Hal ini dapat dilihat di beberapa daerah di Klaten, misalnya di desa Kadilajo Kecamatan Karangnongko, apabila penduduk akan membangun sebuah
masjid, maka panitianya tidak hanya terdiri dari orang-orang yang beragama Islam saja, tetapi juga terdapat orang-orang yang beragama Katholik, Protestan
dan lain-lainnya, begitu juga sebaliknya. Dengan adanya kebebasan beragama ini, maka di Klaten memiliki tempat
peribadatan ratusan jumlahnya. Bahkan, setiap desa kelurahan ada masjidnya. Berdasarkan data di Kantor Pemda Klaten, bangunan Masjid di Klaten semua
berjumlah 540 buah
,
langgar 956 buah, Musholla 37 buah, Gereja Katholik 13 buah dan Gereja Kristen Protestan 34 buah.
Perkembangan kepercayaan pada suatu zat tertinggi dan
ghoib,
merupakan terwujudnya aliran kepercayaan pada Tuhan. Sebelum manusia bertitik pangkal
pada kepercayan yang maha tinggi itu, masyarakat Klaten seperti juga masyarakat lainnya di seluruh tanah air masih percaya akan adanya suatu kekuat-
an gaib di luar menusia yang dapat menentukan segala-galanya. Di samping itu, juga kepercayaan sebagian masyarakat yang berpendapat, bahwa semua benda
mempunyai nyawa. Kepercayaan yang dimaksud tersebut adalah kepercayaan
aninisme
dan
dinamisme
. Dengan adanya kedua kepercayan itu, maka banyaklah tempat-tempat di daerah Klaten yang dianggap sebagai tempat keramat oleh
commit to user
154
masyarakat yang mempercayainya. Banyak masyarakat pada hari-hari tertentu berziarah ke makam pujangga Jawa terkenal, Ronggowarsito di desa Palar,
kecamtan Trucuk, makam Kyai Melati cikal-bakal Klaten, makam Kyai Pandanaran di kecamatan Bayat, makam Ki Ageng Gribig di kecamatan Jatinom,
makam
Juru Kuncen
di kecamatan Karangnongko dan lain-lain tempat yang dianggap keramat. Di tempat-tempat ini mereka biasanya menyediakan saji-
sajian bagi roh yang dianggap memiliki kekuatan gaib tersebut. Lama-kelamaan karena pekerjaan tersebut dianggap sebagai suatu kewajihan, maka akhirnya hal
itu pun menjadi adat kebiasaan masyarakat penganutnya. Mengenai makam
Juru Kuncen
di Karangnongko ini dipercayai merupakan hasil karya Pakubuwana X. Diriwayatkan, bahwa Pakubuwana X di samping
sebagai seorang Sunan, beliau juga seorang seniman. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bahwa makam
Juru Kuncen
ini adalah makam
buyut
dari Pakubuwana II. Ceritera
Juru Kuncen
diawali dari seorang tua bernama Kyai Cucut Pratiwi Macut Ragaswara. Beliau menginginkan sekali agar anak
keturunannya dapat menjadi seorang pemimpin yang mampu memegang tampuk pemerintahan di Kasunanan Surakarta. Untuk mencapai cita-citanya itu, beliau
lalu bertapa, dengan membawa sebuah tongkat. Beliau bertapa di tempat itu sampai meninggal dunia, dan kemudian dimakamkan di tempat itu juga.
Beberapa orang di sekitar makam menceriterakan, bahwa tongkatnya kemudian tumbuh sebagai pohon bunga kenanga. Namun aneh, bunga kenanga yang
tumbuh dari pohon tersebut, setiap musim bunga, warnanya selalu berganti warna. Misalnya, musim bunga kemarin berwarna merah, musim bunga saat ini
commit to user
155
berwarna putih dan untuk musim bunga yang akan datang berwarna merah, demikian seterusnya.
Kyai Cucut Pratiwi Macut Ragaswara mempunyai seorang anak bernama Jogoswara yang sebetulnya nama aslinya ialah Wirorejo dan bertempat tinggal di
kampung Gajahan. Pada suatu hari Pakubuwana II menerima wahyu yang dilihatnya seberkas sinar jatuh di desa Gajahan tersebut. Kemudian Pakubuwana
II pergi ke kampung Gajahan tempat tiggal Wirorejo. Kepada pak Wirorejo ditanyakan, apakah di desa Gajahan ada wanita yang sedang mengandung. Pak
Wirorejo menjawab tidak ada, selain isterinya sendiri. Kemudian oleh Pakubuwana II diperintahkan agar kelak bila anaknya lahir seorang wanita,
supaya dibawa ke Kasunanan Surakarta. Ternyata benar, anak pak Wirorejo adalah seorang wanita. Setelah dewasa, anak itu dibawa ke Kraton Surakarta, dan
akhirnya diambil permaisuri oleh Pakubuwana II sebagai isteri kedua. Makam leluhur yang lain adalah makam pujangga Jawa terkenal
bernama Ronggowarsito, yang terletak di desa Palar Kecamatan Trucuk. Raden Ngabei Ron.ggowarsito dimakamkan di Palar atas permintaan sendiri, agar
makamnya kelak dapat berdampingan dengan neneknya. Silsilah Raden Ngabei Rongowarsito berasal dari garis keturunan ke sembilan dari Raden Trenggono
Sultan Syam Alam Akbar III mempunyai enam orang putera. Salah satu di antaranya adalah Raden Haryo Mangkuprojo. Ketika masa kerajaan Pajang,
beliau dijadikan Carik Wedono di Sungging dengan gelar Raden Tumenggung Sujonoputro. Kemudian pindah ke Karanggayam, maka dikenal dengan nama
Pangeran Karanggayam I. Beliau menurunkan empat putra dan satu di antaranya
commit to user
156
ialah Raden Boworogo yang bergelar Pangeran Karanggayam II termasuk putera pertama. Raden Boworogo menurunkan Tumenggung Wonoboyo, anak ketiga
dari enam bersaudara. Berikutnya, Tumenggung Wonoboyo menurunkan Raden Tejo, sebagai anak ke dua dari enam bersaudara. Setelah pindah ke
Karanggayam, Raden Tejo berganti nama Kyai Wonoboyo dan menurunkan dua orang anak, yakni Nyai Ageng Bero dan Kyai Wongsotruno yang bergelar Kyai
Amad Dalem. Ketika beliau meninggal dunia dimakamkan di desa Daleman. Kyai Amad Dalem menurunkan tujuh orang anak dan anak nomer satu di
antaranya bernama Kyai Noyomenggolo yang kemudian bertempat tinggal di desa Palar. Kyai Noyomenggolo menurunkan anak keenam dari delapan
bersaudara, seorang perempuan bernama Nyai Ngabei Noyotruno yang kemudian melahirkan Ngabei Sudirodirjo. Setelah dewasa, Ngabei Sudirodirjo menjabat
mantri Kabupaten I. Kemudian, Ngabei Sudirodirjo menurunkan delapan anak. Dari delapan bersaudara, adalah anak nomer tiga bernama Raden Nganten
Ronggowarsito. Akhirnya, dari Raden Nganten Ronggowarsito lahirlah seorang pujangga besar dari Kraton Surakarta bernama Raden Ngabei Ronggowarsito.
Namun, Raden Ngabei Ronggowarsito dalam kehidupannya banyak tinggal di desa Palar bersama neneknya, terutama dalam waktu menyusun buku-bukunya.
Banyak buku karyanya, dan lima di antaranya yang terkenal adalah berjudul
Joko Lodang, Wedotomo Piningit, Wedotomo Kawedar, Camporet dan Hida yat- Jati.
Bahkan, pada masa-masa tujuh hari menjelang wafatnya masih sempat mengahasilkan sebuah buku lagi yang berjudul
Kalatido
. Akhirnya setelah wafat, dimakamkan di samping neneknya, atas permintaannya sendiri. Makamnya
commit to user
157
dibangun oleh Pakubuwono X dan kemudian pada tahun 1952-1955 dipugar oleh Pemerintah RI yang diresmikan oleh Presiden Soekarno.
4.1.2.5 Kehidupan Pendidikan