Model pengembangan ”agro eco industrial park” bitung, Provinsi Sulawesi Utara
MODEL PENGEMBANGAN
“AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG,
PROVINSI SULAWESI UTARA
BROERIE POJOH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Model Pengembangan “Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2010
Broerie Pojoh
(3)
ABSTRACT
BROERIE POJOH. Model Development of Agro-Eco-Industrial Park Bitung, North Sulawesi Province. Under Direction of RIZAL SYARIEF, as Chairman of the Supervision Committee, KUDANG BORO SEMINAR and SUDARMASTO as Co-Chairmen Supervision Committee.
Industrial challenges of the 21st century gave birth to the concept of sustainable industry which in turn was followed by industrial ecology, a concept which tries to apply the non-waste ecological systems to industrial production systems. The application of industrial ecology concept gave birth to the term eco-industrial park (EIP). The general purpose of this research is to build a model development of Agro-eco-industrial park (AEIP) Bitung, North Sulawesi Province. Method used is FAST (synergy tool facility), Connectance Value, Likert Scale, ISM Method, AHP methods and Powersim Studio Expert 2005. The research shows that in terms of production and environmental management, agro-based industries in Bitung City were assessed to be as good enough. Pattern of linkages among industries was 23.64%, or still in low figure. Result also showed that AEIP alternative priority model that includes the activities of manufacturing industries, cooperation and exchange of waste materials, cattle, poultry, slaughter house, composting, renewable energy generation sources, and wastewater treatment facilities is of alternative model that can be developed in Bitung City. The design of dynamic models of that alternative priority model produces dominant variables, namely: Marine Fisheries-based Industry Sub-Model, Coconut-Fisheries-based Industry Sub-Model, Agro-Industrial Complex Sub-Model, Renewable Energy Generation Sub-Model, and Waste and by-Products Sub-Model. The dynamic models showed that in 15th year, the Agro-EIP model will reduce waste and or increase by-products usage as follows: reduce fish blood of 161,950 liters (24.96%), reduce cattle urine of 161,950 liters (6.25%), feces of beef cattle and chickens as many as 2,015,733 kg (94.40%); increase usage of marine fisheries by-products as many as 24,290,500 kg (93.59%), coconut water by-products as many as 11,803,600 liters (93.01%), coconut shell as many as 2,160,000 kg (>100%), “paring” of coconut flesh as many as 2,447,200 kg (90.64%), and in general lowering of the liquid waste, i.e. coconut milk, fish blood, and urine of cattle as many as 12,127,500 liters (1% of the total liquid waste). Steps that can accelerate the realization of the model are development of Industrial Park in Kelurahan Tanjung Merah and approval of Special Economic Zone (KEK) in Bitung City. In order to meet the need of coconut and marine fish raw materials, the Government should try to reduce IUU (illegal, unreported, unregulated) activities, and to build non-conventional coconut production policy, i.e. derived essential coconut products for health care and body treatments.
Keywords:sustainable industry, industrial ecology, connectance value of industry, eco-industrial park, agro-eco-industrial park, dynamic models.
(4)
RINGKASAN
BROERIE POJOH. Model Pengembangan “Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, KUDANG BORO SEMINAR dan SUDARMASTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Tantangan industri abad ke-21 melahirkan konsep industri berkelanjutan yang selanjutnya diikuti oleh ekologi industri, suatu konsep yang mencoba mengaplikasi sistem ekologi yang nir-limbah ke sistem produksi industri. Penerapan dari konsep ekologi industri melahirkan istilah eco-industrial park (EIP). Tujuan Umum Penelitian ini adalah membangun model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Penambahan kata “agro” berkaitan dengan eksistensi mayoritas industri agro yang beraktivitas di kota itu. Tujuan khususnya adalah: mengevaluasi kondisi aktual dari industri agro/manufaktur; menganalisis program pengembangan model; dan menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model. Metode penelitian yang digunakan adalah FaST (facility synergy tool), pengelompokan SWOT, Connectance value, Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif, dan Program Powersim Studio Expert 2005.
Hasil penelitian terhadap kondisi aktual dari industri agro/manufaktur menunjukkan bahwa mayoritas industri yang beraktivitas di Kota Bitung adalah industri agro berbasis perikanan laut dan kelapa dimana dari segi produksi dan pengelolaan lingkungan, kinerjanya dinilai cukup baik. Selanjutnya diketahui bahwa aktivitas industri agro mendapat dukungan positif dari pemangku kepentingan, seperti warga masyarakat dan aparat Pemerintah dan rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah mendapat dukungan positif dari warga masyarakat, aparat pemerintah, dan pelaku industri agro. Kondisi eksisting kualitas air sungai dan sumur di rencana lokasi Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah termasuk dalam kategori baik. Pola keterkaitan antar industri di Kota Bitung adalah sebesar 23,64% atau masih dalam kategori rendah.
Hasil penelitian terhadap Program Pengembangan AEIP menunjukkan bahwa elemen kunci dari tujuan program adalah membangkitkan energi dengan sumber terbarukan dan meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela. Elemen kunci dari kendala utama program adalah kurangnya pemahaman terhadap konsep AEIP dan rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur. Selanjutnya diketahui bahwa Model AEIP prioritas yang meliputi kegiatan-kegiatan industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, RPH, pengomposan, pembangkitan energi listrik terbarukan, dan fasilitas pengolahan limbah cair merupakan alternatif model prioritas yang dapat dikembangkan di Kota Bitung.
Perancangan model dinamik dari alternatif model prioritas tersebut menghasilkan variabel-variabel dominan, yaitu: Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut, Sub-Model Industri Berbasis Kelapa, Sub-Model Industri Agro-Kompleks, Sub-Model Pembangkit Listrik Energi Terbarukan, dan Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan. Pola keterkaitan antar industri di dalam AEIP Bitung adalah sebesar 36,67% atau meningkat dibandingkan dengan nilai pola keterkaitan antar industri manufaktur/agro eksisting.
Beberapa hal pokok dari hasil simulasi adalah potensi bahan baku perikanan laut dan kelapa lebih kecil dari kebutuhan industri. Jumlah industri hasil simulasi adalah 64 unit yang terdiri atas enam unit industri besar (masing-masing
(5)
tiga unit industri besar berbasis perikanan laut dan tiga unit industri besar berbasis kelapa) dan 58 unit industri menengah dan kecil dimana pembangunan semua unit industri dilakukan dalam selang waktu 15 tahun. Kebutuhan lahan untuk pendirian ke-64 unit industri dan fasilitas pendukungnya diperkirakan seluas 520.000 m2, atau masih menyisakan lahan seluas 460.000 m2 apabila rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah seluas 980.000 m2
Pada tahun ke-15, AEIP Bitung menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan. Penurunan limbah cair adalah sebagai berikut: darah ikan sebesar 161.950 liter (24,96%), urine ternak sapi 161.950 liter (6,25%), feces ternak sapi, ayam, dan RPH adalah 2.015.733 kg (94,40%). Peningkatan pemanfaatan bahan ikutan perikanan laut sebanyak 24.290.500 kg (93,59%) dan bahan ikutan air kelapa sebanyak 11.803.600 liter (93,01%), tempurung kelapa 2.160.000 kg (>100%), dan paring kelapa 2.447.200 kg (90,64%). Secara keseluruhan menurunkan limbah cair air kelapa, darah ikan, dan urine ternak sapi sebanyak 12.127.500 liter (1% dari limbah cair total).
(yang diasumsikan sebagai cikal bakal AEIP Bitung) terealisir. Pada tahun ke-15 setelah AEIP Bitung didirikan dan ketika semua unit industri telah didirikan dan beraktivitas, Nilai Produksi AEIP Bitung adalah Rp 825,6 milyar dengan penyerapan tenaga kerja sejumlah 1.526 orang. Terdapat korelasi positif antara meningkatnya nilai produksi AEIP dan meningkatnya penggunakan bahan ikutan dan limbah industri. Potensi pembangkitan energi listrik terbarukan pada tahun ke-15 adalah 58.648 kWh dengan nilai produksi Rp 56,89 juta.
Untuk merealisir pembangunan AEIP Bitung maka langkah-langkah yang dapat mempermudah realisasinya adalah terwujudnya pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah dan ditunjuknya Kota Bitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Tahapan-tahapan kegiatan yang dapat dilakukan untuk membangun AEIP Bitung adalah: Penyusunan masterplan kawasan industri; Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP; Sosialisasi AEIP; Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai pemegang saham; Pendirian perusahan pengelola kawasan industri; Perumusan tata tertib kawasan industri; Penetapan pola harga kapling industri; dan Penyiapan sistem rekruitmen tenan; Pembangunan infrastruktur kawasan industri; Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan; Pembangunan fasilitas daur ulang; Pembangunan fasilitas riset; Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa; Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian; Pembangunan fasilitas training; Pembangunan pusat promosi dan bisnis; Penyiapan sistem transportasi bersama; Pembangunan klinik kesehatan; Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat; Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk; dan Pembangunan perumahan karyawan; Program kerjasama pertukaran materi dan limbah; dan Program pengembangan masyarakat (CSR).
Dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku perikanan laut dan kelapa maka perlu ada upaya untuk melakukan beberapa hal seperti menekan atau menurunkan aktivitas perikanan IUU (illegal, unreported, unregulated), budidaya perikanan laut, intensifikasi produksi kelapa, dan membangun kebijakan produksi industri kelapa non-konvensional, yakni produk-produk esensial turunan kelapa untuk pemeliharaan kesehatan dan perawatan tubuh.
Kata kunci: industri berkelanjutan, ekologi industri, nilai keterkaitan antar industri, eco-industrial park, agro-eco-industrial park, model dinamik.
(6)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(7)
MODEL PENGEMBANGAN
“AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG,
PROVINSI SULAWESI UTARA
BROERIE POJOH
P061060161
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(8)
Penguji Luar Komisi:
Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira-Sa’id, MA. Dev. 2. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor
Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Mesdin K. Simarmata, M.Sc. 2. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA.
(9)
Judul Disertasi : Model Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara
Nama : Broerie Pojoh
NRP : P061060161
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program : Doktor (S3)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS
Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc.
Anggota Anggota
Dr. Sudarmasto, S.Teks., SE.,M.A.
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
(10)
KATA PENGANTAR
Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah (Mazmur 62:3). Terima kasih Tuhan Yesus karena kasihMu membuat semua tahapan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat dilakukan dengan baik.
Tema penelitian ini menyangkut keberlanjutan aktivitas industri dengan judul ”Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.” Penelitian ini merupakan sumbangan bagi upaya mengantisipasi tantangan industri abad ke-21 yang menuntut perubahan paradigma produksi dari melihat limbah dan bahan ikutan sebagai beban menjadi tantangan usaha.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada:
1. Menteri Perindustrian RI yang telah memberikan penugasan untuk mengikuti perkuliahan Program S3 melalui pemberian SK Tugas Belajar.
2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian beserta staf yang telah memberikan persetujuan bagi penugasan untuk mengikuti Program ini.
3. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Departemen Perindustrian serta staf yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti program perkuliahan dan mengatur seluruh pembiayaan selama perkuliahan.
4. Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado, Dr. Joseph J. Pardede, yang memberi dorongan semangat dalam proses pengambilan keputusan untuk mengikuti program ini.
5. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang dengan sangat terbuka dan penuh kehangatan membimbing dan mengarahkan untuk melewati tahap demi tahap proses penelitian ini.
6. Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc., selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berarti dalam penelitian dan penulisan ini.
7. Dr. Sudarmasto, S.Teks., SE., MA, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang memberi bimbingan dengan penuh perhatian dan penuh kebapakan. 8. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., selaku Ketua Program Studi PSL IPB,
beserta jajaran Dosen dan Staf, yang memberi cakrawala berpikir ilmiah dalam melewati tahap demi tahap menuju gelar tertinggi akademik.
(11)
10. Ir. James Rompas MS, selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kota Bitung yang telah memberikan informasi yang diperlukan sekaligus sebagai Tim Ahli.
11. Prof. Dr. Ir. Jen Tatuh yang membagi pengetahuan dan sekaligus sebagai Tim Ahli.
12. Drs. Herman Rompis, MS yang memberikan bantuan penyiapan tenaga surveyor untuk pengumpulan data.
13. Dr. Ir. I Ketut Ardana yang dengan ikhlas membantu meletakkan dasar dalam membangun model yang menjadi salah satu fokus penelitian ini.
14. Ir. Jackry Lolowang, MS. yang dengan tulus membantu mengumpulkan data industri berbasis perikanan laut di Kota Bitung.
15. Ir. Henry Pajow, MSi yang telah membantu memasok data yang diperlukan. 16. Pihak-pihak industri manufaktur di Kota Bitung yang telah menjawab
kuisioner yang disampaikan oleh penulis.
17. Rekan-rekan sekantor di Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado yang mendukung dan mendoakan keberhasilan studi penulis.
18. Rekan-rekan seangkatan PSL-IPB 2006 yang telah menciptakan kebersamaan dalam keseharian kuliah serta saling mendorong untuk keberhasilan bersama.
19. Saudara-saudaraku yang mendoakan, mendorong, dan berharap akan keberhasilan studi ini; khususnya untuk Ibu Mertua (Ibu Juliana Goni), yang tak putus-putusnya mendoakan kesehatan dan keberhasilan studi penulis. 20. Rekan-rekan kost di Jln. Perwira 12, Caringin, dan Asrama Sam Ratulangi
Bogor Baru yang melewati masa ini dalam kebersamaan yang membangun. 21. The last but not the least, untuk anak kami tercinta Rachel Ribka Pojoh yang
menjadi inspirasi untuk penyelesaian studi ini, dan khususnya untuk istriku yang kukasihi, Deeske, untuk doa dan dorongan serta kerelaan untuk berkorban.
Penelitian dan laporan hasil penelitian ini belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang diberikan untuk penyempurnaannya akan diterima dengan senang hati.
Bogor, Mei 2010
(12)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara, pada tanggal 2 November 1962 sebagai anak ke-empat dari tujuh bersaudara dari keluarga Guru yang bersahaja, yaitu Papa, Petrus Pojoh (Alm) dan Mama, Agustina Silap (Almh).
Pada tahun 1974 menyelesaikan studi di SD Kristen X Kotamobagu, selanjutnya tahun 1977 menyelesaikan studi di SMP Kristen Kotamobagu, dan Tahun 1981 menyelesaikan studi di SMA Negeri Kotamobagu. Pada tahun 1981 mengikuti pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan menyelesaikannya pada tahun 1985.
Pada Tahun 1985-1988 bekerja sebagai Asisten Dosen di Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan Fakultas MIPA Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Pada saat yang sama, Tahun 1986-1988 bekerja di SCDP UPP-PPK Bolaang. Pada tahun 1988 diterima dan bekerja sebagai PNS di Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado, dengan jabatan terakhir sebagai Staf Peneliti dalam Bidang Penelitian dan Pengembangan Industri.
Pada Tahun 1994 mendapatkan beasiswa dari Bank Dunia melalui OTO-Bappenas untuk mengikuti Program S2 pada Program Environmental Science and Policy di University of Wisconsin-Green Bay, USA dan tamat Tahun 1996. Setelah mengabdi selama sepuluh tahun, pada Tahun 2006 mendapat beasiswa dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Kementerian Perindustian RI untuk mengikuti Program S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB Bogor.
Karya ilmiah dengan judul ”Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara” yang merupakan bagian dari Disertasi ini telah dinilai layak dan akan diterbitkan pada Jurnal Riset Industri, Vol. IV, No. 2, Agustus 2010, beberapa bagian lain sedang dalam proses penerbitan pada jurnal lainnya.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
SINGKATAN-SINGKATAN ... xxi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan Penelitian ... 4
1.2.1. Tujuan Umum ... 4
1.2.2. Tujuan Khusus ... 4
1.3. Kerangka Pemikiran ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
1.5. Novelty ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan ... 7
2.2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur ... 8
2.2.1. Batasan dan Pengertian ... 8
2.2.2. Visi dan Misi Pembangunan Industri ... 8
2.2.3. Kebijakan Pembangunan Industri ... 9
2.2.4. Strategi Pembangunan Industri ... 9
2.2.5. Regulasi tentang Kawasan Industri ... 9
2.2.6. Perkembangan Kawasan Industri ... 11
2.2.7. Pengembangan Industri di Kota Bitung ... 14
2.2.8. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan Kawasan Industri ... 15
2.2.9. Lokasi Kawasan Industri ... 15
2.2.10. Kawasan Ekonomi Khusus ... 16
2.3. Ekologi Industri ... 17
2.3.1. Pengertian Ekologi Industri ... 17
2.3.2. Tujuan Ekologi Industri ... 19
2.3.3. Peran Ekologi Industri ... 20
2.3.4. Ekologi Industri dan Klaster Industri ... 22
2.3.5. Ekologi Industri dan Produksi Bersih ... 23
2.3.6. Eco-Industrial Parks (EIPs) ... 24
2.4. Penataan Ruang Pulau Sulawesi ... 31
2.5. Pola Keterkaitan Antar Industri ... 32
III. METODE PENELITIAN ... 34
3.1. Kerangka Konseptual ... 34
3.1.1. Definisi ... 34
3.1.2. Asumsi Dasar dan Batasan Penelitian ... 34
3.2. Rancangan Penelitian ... 35
(14)
xiv
3.2.2. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung ... 35
3.2.3. Tahapan Penelitian ... 42
3.3.Tempat dan Waktu Penelitian ... 42
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 44
3.4.1. Bahan dan Alat Penelitian ... 44
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data... 44
3.4.3. Penetapan Responden ... 46
3.4.4. Variabel yang Diamati... 46
3.5. Metode Analisis ... 46
3.5.1. Kondisi Aktual dari Aktivitas Industri Agro ... 47
3.5.2. Program Pengembangan MP-AEIP Bitung ... 49
3.5.3. Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung ... 51
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 53
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 53
4.1.1. Sejarah Kota Bitung ... 53
4.1.2. Letak dan Luas ... 53
4.1.3.Topografi ... 53
4.1.4. Iklim ... 54
4.2. Perekonomian ... 56
4.3. Penggunaan Lahan ... 57
4.4. Ketenagakerjaan... 58
4.5. Prasarana ... 58
4.5.1. Listrik ... 58
4.5.2. Perikanan Laut ... 59
4.6. Status Lingkungan Hidup Kota ... 60
V. STATUS INDUSTRI MANUFAKTUR/AGRO ... 63
5.1. Industri Manufaktur ... 63
5.2. Jenis-jenis Industri dan Produk yang Dihasilkan ... 64
5.2.1. Diagram Aliran Materi Tahunan ... 65
5.2.2. Pengelompokkan Menurut Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ... 68
5.3. Limbah Industri ... 70
5.4. Bahan Ikutan Industri ... 71
5.5. Persepsi Pemangku Kepentingan ... 72
5.5.1. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Aktivitas Industri ... 72
5.5.2. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri ... 74
5.5.3. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Aktivitas Industri ... 75
5.5.4. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri ... 76
5.5.5. Pendapat Pihak Industri Agro ... 77
5.5.6. Persepsi Pihak Industri Agro Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri ... 78
(15)
5.6.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Kawasan
Industri ... 83
5.6.2. Faktor-faktor Pendukung Pembangunan Kawasan Industri ... 84
5.6.3. Kebijakan dan Regulasi Pemerintah terkait Pengembangan Kawasan Industri ... 86
5.6.4. Kelembagaan terkait Pengembangan Kawasan Industri ... 88
5.6.5. Evaluasi Terhadap Rencana Lokasi Kawasan Industri ... 89
5.6.6. Rangkuman ... 93
5.7. Pola Keterkaitan Antar Industri ... 94
VI. PROGRAM PENGEMBANGAN MP-AEIP BITUNG ... 98
6.1. Penentuan dan Tahapan Implementasi AEIP Bitung ... 98
6.1.1. Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP Bitung ... 98
6.1.2. Penentuan Model AEIP Prioritas ... 107
6.1.3. Tahapan Implementasi AEIP Prioritas ... 110
6.1.4. Rangkuman ... 116
6.2. Perancangan Model Dinamik Program Pengembangan MP-AEIP Bitung ... 117
6.2.1. Penyusunan Model ... 117
6.2.2. Pola Keterkaitan Antar Industri dalam MP-AEIP Bitung ... 142
6.2.3. Simulasi Model ... 143
VII. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PENERAPAN MP-AEIP BITUNG ... 160
7.1. Implikasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung ... 160
7.2. Implikasi Terhadap Keberlanjutan Industri Agro ... 167
7.3. Rekomendasi Kebijakan ... 168
7.3.1. Implementasi MP-AEIP Bitung ... 168
7.3.2. Percepatan Implementasi MP-AEIP Bitung ... 169
7.3.3. Rekruitmen Tenan MP-AEIP Bitung ... 171
7.3.4. Kelembagaan Penerapan MP-AEIP ... 172
7.3.5. Kebijakan Strategis dan Operasional Penerapan MP-AEIP Bitung... 172
VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 174
8.1. Simpulan ... 174
8.2. Saran ... 174
DAFTAR PUSTAKA... 176
LAMPIRAN ... 182
(16)
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1. Persebaran Industri di Indonesia ... 9
2.2. Peran Pemerintah dan Swasta dalam Pengembangan Kawasan Industri di Beberapa Negara Asia ... 11
2.3. Jumlah Kawasan Industri dan Luas (s/d 2000) ... 12
2.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Persebaran Industri dan Pengembangan Kawasan Industri ... 14
2.5. Empat Tipe Teknologi Lingkungan yang Diperlukan untuk Memfasilitasi Pencapaian Tingkat Infrastruktur Ekologi Industri ... 21
2.6. Beberapa Elemen Eco-label dari Model PALME ... 30
3.1. Analisis Kebutuhan Pemangku Kepentingan ... 36
3.2. Parameter, Data, Variabel, dan Jenis Data Penelitian ... 47
3.3. Elemen dan Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen ... 50
3.4. Tujuan Penelitian, Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang diharapkan ... 52
4.1. Kecepatan Angin Maksimum dan Rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006 ... 54
4.2. Penyinaran Matahari di Kota Bitung Tahun 2006 ... 55
4.3. Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2004-2006 ... 58
4.4. Produksi Perikanan Laut Kota Bitung Tahun 2001-2006 (ton) ... 60
5.1. Perkembangan Perusahaan Industri (unit) Thn 2002–2006 ... 63
5.2. Perkembangan Tenaga Kerja (orang) Thn 2002 – 2006 ... 63
5.3. Perkembangan Nilai Produksi (Rp Juta) Thn 2002 – 2006 ... 64
5.4. Jenis-jenis Industri Agro dan Produk yang Dihasilkan ... 64
5.5. Limbah Cair dan Padat dari Industri Agro ... 71
5.6. Jenis Industri Agro Penghasil Bahan Ikutan ... 71
5.7. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur... 72
5.8. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri ... 74
5.9. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Aktivitas Industri Agro ... 75
5.10. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri ... 77
5.11. Pendapat Industri Agro terhadap Kebijakan tentang Kawasan Industri ... 80
5.12. Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait ... 95
5.13. Perhitungan Nilai Keterkaitan ... 97
6.1. Data Hasil Analisis AHP dari Alternatif AEIP ... 109
6.2. Data Dasar Industri Berbasis Perikanan Laut yang Digunakan dalam Pemodelan ... 120
(17)
6.4. Data Dasar Industri Berbasis Kelapa yang Digunakan
dalam Pemodelan ... 127
6.5. Data Dasar Industri Agro-Kompleks yang Digunakan dalam Model ... 135
6.6. Data Dasar Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan ... 136
6.7. Data Dasar Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan ... 138
6.8. Jumlah Industri Berbasis Perikanan Laut ... 143
6.9. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut ... 144
6.10. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut Terhadap Kebutuhan Total dari AEIP ... 144
6.11. Hasil Simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut ... 145
6.12. Jumlah dan Waktu Pembangunan Industri Berbasis Kelapa ... 145
6.13. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Kelapa (Setara Kopra) ... 146
6.14. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Kelapa Agro-EIP Terhadap Kebutuhan Total Provinsi Sulut ... 146
6.15. Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa... 147
6.16. Jumlah Ternak Ayam, Sapi, dan RPH ... 148
6.17. Hasil Simulasi Kebutuhan Pakan Industri Agro-Kompleks... 148
6.18. Nilai Produksi Industri Berbasis Agro-Kompleks ... 149
6.19. Potensi Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan ... 149
6.20. Nilai Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan ... 150
6.21. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut... 151
6.22. Hasil Simulasi Limbah Cair dan Limbah Padat... 152
6.23. Ketersediaan dan Penggunaan Darah Ikan, Feces, dan Urine ... 153
6.24. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa... 154
6.25. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Paring Kelapa .... 154
6.26. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Tempurung Kelapa (Setara Arang Tempurung Kelapa) ... 155
6.27. Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Feces dan Urine Ternak, Darah Ikan, dan Produksi Kompos ... 156
6.28. Hasil Simulasi Perkiraan Kebutuhan Lahan AEIP ... 157
6.29. Penyerapan Tenaga Kerja AEIP ... 158
6.30. Keterkaitan Nilai Produksi AEIP dengan Pemanfaatan Bahan Ikutan dan Limbah Industri ... 159
7.1. Hasil Simulasi Penurunan Limbah dan Peningkatan Penggunaan Bahan Ikutan di dalam AEIP ... 166
(18)
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6
2.1. Elemen dari Ekologi Industri yang Beroperasi pada Beberapa Level ... 17
2.2. Proses Munculnya Prasarana Ekologi Industri ... 20
2.3. Ekosistem Industri di Kalundborg, Denmark ... 22
2.4. Konsep dan Skenario Pengembangan Pulau Sulawesi ... 32
2.5. Matriks Komunitas Spesies ... 33
3.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat Model Pengembangan Agro-EIP ... 37
3.2. Diagram Kotak Hitam Model Pengembangan Agro-EIP ... 38
3.3. Perumusan Masalah ... 40
3.4. Diagram Alir Perancangan Model ... 41
3.5. Pendekatan Sistem Analisis ... 42
3.6. Tahapan Penelitian ... 43
3.7. Lokasi Penelitian ... 45
3.8. Ilustrasi Profil Industri (Diagram Aliran Materi Tahunan) ... 48
4.1. Struktur Perekonomian Kota Bitung tahun 2006 ... 57
4.2. Distribusi penggunaan daya listrik di Kota Bitung Tahun 2005 ... 59
5.1. Profil Industri Perikanan Laut (Diagram Aliran Materi Tahunan) ... 65
5.2. Ilustrasi Profil Industri Kelapa (Diagram Aliran Materi Tahunan) ... 67
5.3. Persepsi Warga Terhadap Manfaat Industri Agro ... 73
5.4. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Kenyamanan Tinggal di Sekitar Industri Agro ... 73
5.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri... 74
5.6.Peta RTRW Provinsi Sulawesi Utara ... 84
5.7. Persetujuan masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung ... 85
5.8. Persetujuan aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung ... 86
5.9. Kelembagaan Pengembangan Kawasan Industri... 88
5.10. Pola Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait ... 96
6.1. Diagram Perumusan Faktor-faktor Penentu Pengembangan ... 98
6.2. Matriks Daya Dorong-Ketergantungan untuk Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung ... 101
6.3. Diagram Model Struktural Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung ... 102
6.4. Posisi Sub-elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di Dalam Empat Sektor ... 106
6.5. Diagram Model Struktural dari Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung ... 107
6.6. Struktur AHP Alternatif AEIP ... 108
6.7. Nilai Keputusan Alternatif AEIP ... 109
6.8. Posisi Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas di Dalam Empat Sektor ... 114
(19)
6.9. Diagram Model Struktural dari Sub-elemen Implementasi
AEIP Prioritas ... 115
6.10. Parameter-parameter dalam Model AEIP Bitung ... 118
6.11. Grafik Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 ... 121
6.12. Grafik Produksi Kelapa Setara Kopra Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 ... 122
6.13. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut ... 128
6.14. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Kelapa ... 129
6.15. Diagram Alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks ... 130
6.16. Diagram Alir Sub-Model Sumber Energi Terbarukan ... 131
6.17. Diagram Alir Luas Lahan yang Dibutuhkan ... 131
6.18. Diagram Alir Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan ... 132
6.19. Diagram Alir Penyerapan Tenaga Kerja ... 133
6.20. Diagram Alir Nilai Produksi Agro-EIP ... 133
6.21. Perbandingan Data Faktual dan Hasil Simulasi Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulut Secara Grafis ... 141
6.22. Perbandingan Data Faktual dan Hasil Simulasi Potensi Kelapa Provinsi Sulut Secara Grafis ... 141
6.23. Grafik Penyerapan Tenaga Kerja Agro-EIP ... 159
(20)
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 182
2. Foto-foto Pengambilan Sampel Air ... 183
3. Foto-foto Survei Lapangan ... 184
4. Hasil Analisis Sampel Air Sumur dan Sungai di Rencana Lokasi Kawasan Industri Kelurahan Tanjung Merah ... 188
5a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Tujuan Program(Hasil Pengolahan ISM VAXO) ... 191
5b. Hasil Reachability Matrix (RM) Final Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ... 192
6a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Kendala Utama Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ... 193
6b. Hasil Reachability Matrix (RM) Final Kendala Utama Program ... 194
7a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ... 195
7b.
Hasil Reachability Matrix (RM) Final Implementasi AEIP
(Hasil Pengolahan ISM VAXO) ... 196
8. Kuisioner untuk memilih Alternatif AEIP Prioritas ... 197
9 . Biodata Tenaga Ahli yang berpartisipasi dalam Expert Survey ... 201
10. Struktur MP-AEIP Bitung ... 203
11. Pola Keterkaitan Antar Industri di dalam MP-AEIP Bitung ... 204
(21)
SINGKATAN-SINGKATAN
1. KI : Kawasan Industri
2. IE / EI : Industrial ecology / Ekologi Industri
3. EIP(s) : Eco-industrial park(s).
4. AEIP : Agro-eco-industrial park
5. AEIP Bitung : Agro-eco-industrial park Bitung
6. MP-AEIP Bitung : Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung
(22)
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aktivitas industri manufaktur, termasuk di Indonesia, diibaratkan sebagai dua sisi mata pisau karena menghasilkan produk industri yang dibutuhkan untuk kehidupan, sekaligus menyebabkan pencemaran lingkungan. Pencemaran air permukaan, air tanah, sungai, danau, dan laut oleh residu bahan kimia organik maupun anorganik serta perubahan iklim global merupakan dampak langsung maupun tidak langsung dari aktivitas tersebut. Diperlukan upaya sistematis untuk mengatasi permasalahan tersebut, seperti perubahan pola hidup manusia ataupun penerapan pendekatan pengelolaan aktivitas industri manufaktur secara komprehensif.
Upaya untuk mengatasi pencemaran industri di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, dimulai sejak era tahun 1970an. Pendekatan utama
yang digunakan adalah command-and-control dengan orientasi end-of-pipe
(kebijakan dengan paradigma mengatasi masalah bukan mencegah terjadinya masalah). Kritik banyak diberikan pada pendekatan ini terutama karena tidak adanya insentif bagi pelaku industri untuk berbuat lebih baik dari yang dipersyaratkan peraturan lingkungan. Juga, penanganan pencemaran industri dilakukan tidak dalam konteks ”efektif dan efisien.” Para kritikus tersebut,
selanjutnya mengajukan pendekatan lain yaitu market-based incentives, seperti
tax, charges, subsidi, dan transferable discharge permits (TDP). Namun, kedua
pendekatan tersebut memandang sistem produksi industri manufaktur sebagai suatu proses linear, di sisi yang satu adalah input sedangkan di sisi yang lain adalah produk dan limbah industri.
Ekologi industri (industrial ecology) adalah disiplin ilmu yang
mensinergikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial untuk mencapai tujuan industri yang berkelanjutan (Chertow 1988). Ekologi industri merupakan disiplin ilmu baru, yang memandang proses produksi industri manufaktur bukan sebagai
proses linear tetapi sebagai proses tertutup (closed-loop process). Pada tahun
1989, Frosch dan Gallopoulos mempopulerkan konsep ini dengan menyatakan ”kenapa tidak, sistem industri bertingkah-laku seperti sebuah ekosistem, dimana limbah dari suatu spesies dapat menjadi input bagi spesies lain? Kenapa tidak,
(23)
mengurangi penggunaan bahan mentah, pencemaran, dan menghemat perlakuan atas limbah?” (Frosch & Gallopoulos 1989 dalam
Implementasi dari konsep ekologi industri maupun EIP di negara-negara berkembang perlu didahului oleh studi yang mendalam. Chiu dan Yong (2004) menyarankan kepada negara-negara berkembang di Asia yang bermaksud mengaplikasi model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan merumuskan strategi yang sesuai, bukan menerapkan secara mentah model yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Sampai saat
Peck 1996).
Beberapa penelitian terhadap konsep ekologi industri telah dilakukan. Korhonen (2001) melakukan studi terhadap industri perkayuan di Finlandia dan menformulasi model pengembangan industri perkayuan yang meliputi
faktor-faktor: roundput, keragaman, saling ketergantungan dan lokalitas. Kassinas
(1997) menyimpulkan bahwa jaringan co-location dan inter-firm dapat
memperkuat kemampuan bersama perusahan maupun publik untuk mendapatkan keuntungan lingkungan. Li (2005) menunjukkan bahwa konsep ekologi industri dapat menjadi penyokong dicapainya keuntungan kompetitif jika hambatan-hambatan seperti kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya tekanan terhadap kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya kerjasama antara usaha dapat dihilangkan. Juga ditemukan bahwa perlu adanya pemberian fasilitas kepada sektor usaha industri melalui pendekatan fasilitatif.
Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam konsep kawasan industri
melahirkan istilah eco-industrial park (EIP), dimana ”eco” merupakan integrasi
dari ekologi dan ekonomi (Ayres dan Ayres 2002; Li 2005). Pembangunan EIP
pertama dilakukan pada tahun 1995 di Amerika Serikat yang disponsori oleh the
US President’s Council for Sustainable Development. Sejak itu, konsep EIP
dikenal secara luas sebagai cara baru pengembangan industri (Koenig 2005). Beberapa penelitian terhadap konsep EIP telah dilakukan. Hewes (2005)
menyatakan bahwa agar supaya konsepsi Industrial Symbiosis (IS) dan EIP
dapat terwujud maka keterkaitan manusiawi diperlukan. Hasil kajian dari Hewes menunjukkan bahwa strategi yang paling berhasil dalam pengembangan IS dan EIP bukan pada bagaimana memecahkan masalah teknis tapi bagaimana membangun hubungan sosial, yang merupakan faktor yang sering kurang diperhitungkan dalam ekologi industri. Geng (2004) mendapati bahwa penggunaan air segar maupun pembuangan limbah cair di kawasan industri dapat dihemat dengan biaya sistem yang minimal.
(24)
3 ini Indonesia belum mengembangkan strategi nasional bagi pengembangan “eco-industrial park”.
Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia antara lain dilakukan dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri yang merupakan revisi atas Keppres No. 41 tahun 1996 tentang Kawasan Industri. Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan industri di daerah, memberikan kemudahan bagi kegiatan industri, mendorong kegiatan industri untuk berlokasi di kawasan industri, dan meningkatkan upaya pembangunan industri berwawasan lingkungan. Revisi di atas dilakukan karena tujuan-tujuan tersebut belum dapat dicapai secara optimal
Salah satu tujuannya yaitu mendorong kegiatan industri manufaktur untuk berlokasi di kawasan industri belum tercapai secara optimal. Salah satu indikator belum tercapainya tujuan di atas adalah tingginya tingkat pencemaran udara atau tercemarnya sungai-sungai, khususnya di perkotaan. Terpencarnya pabrik/industri menyulitkan pemerintah untuk melakukan pengawasan dan atau penegakan hukum lingkungan (Kristanto 2002). Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 10 persen dari industri yang ada di Indonesia berada/berlokasi di dalam kawasan industri. Kristanto berargumen bahwa upaya untuk mendorong kegiatan industri berlokasi di suatu kawasan industri tidak dilengkapi dengan instrumen penegakan hukum sehingga kurang optimal dalam pencapaian sasarannya.
Pencemaran industri yang semakin besar, munculnya kesadaran dan kebutuhan untuk mengatasinya, serta kebijakan pemerintah untuk menurunkan tingkat pencemaran dengan cara merumuskan kebijakan penataan kawasan industri yang baru merupakan momentum yang tepat untuk mengkaji model
pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi
Utara.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan: (1) Sesuai Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan Kawasan Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung, 2007). (2). Lokasi penelitian terletak di wilayah yang memiliki infrastrukur yang sangat memadai, antara lain sangat dekat Pelabuhan Laut Samudra Bitung (6 km), Pelabuhan Udara Sam Ratulangi (48 km), jalan akses penghubung ke Manado, (3) Perkembangan dan pertumbuhan industri di lokasi penelitian diduga kurang
(25)
memadai dari yang diharapkan, (4) Mulai adanya protes atas dampak negatif dari aktivitas industri manufaktur, dan (5) Mulai bermasalahnya suplai bahan
baku, energi, dan air, serta (6) Implementasi Corporate Social Responsibility
(CSR) belum memadai.
1.2. Tujuan Penelitian
1.2.1. Tujuan Umum:
Membangun model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengevaluasi kondisi aktual dari industri agro/manufaktur di Kota Bitung. 2. Menganalisis program pengembangan AEIP Bitung.
3. Menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model AEIP Bitung.
1.3. Kerangka Pemikiran
Rencana penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa mayoritas aktivitas industri manufaktur konvensional saat ini bergantung sepenuhnya pada kemajuan dan perubahan teknologi dan eksploitasi sumberdaya alam. Proses produksi sumber daya alam menjadi bahan baku atau barang jadi dan pemanfaatannya oleh konsumen telah menghasilkan limbah industri dalam jumlah besar sehingga telah berakibat pada perubahan lingkungan global, hujan asam, akumulasi logam berat, dan residu pestisida. Kesadaran akan peran industri sebagai dua mata pisau (menghasilkan produk dan sekaligus pencemaran) pada akhirnya mengkristal dan diadopsi menjadi salah satu
perhatian Perserikatan Bangsa Bangsa melalui pembentukan World Commision
on Environment and Development (WCED), yang merumuskan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) (Brundtland 1987).
Selanjutnya disebutkan dalam Brundtland Report, tantangan industri abad ke-21 mengarahkan pada perubahan pemikiran atas hubungan antara pembangunan industri dan perlindungan lingkungan, yang melahirkan konsep
industrial sustainability (pembangunan industri berkelanjutan), konsep yang
merujuk pada laporan dari WCED, yang selanjutnya melahirkan konsep ekologi
industri (industrial ecology). Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam sistem
pemusatan industri (kawasan industri) melahirkan konsep Eco-Industrial Park
(26)
5 Aspek legal pengembangan industri manufaktur diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 24/2009 tentang Kawasan Industri. Salah satu poin penting dari PP tersebut adalah dorongan kepada industri manufaktur untuk berlokasi di dalam Kawasan Industri.
Potensi keuntungan teoritis dan pengalaman penerapannya di negara-negara maju memunculkan tantangan untuk menerapkannya di negara-negara-negara-negara berkembang. Jawaban terhadap tantangan tersebut perlu dilandasi oleh kajian komprehensif, cermat, dan mendalam terhadap faktor-faktor seperti dasar-dasar teoritis; batasan dan asumsi; situasi industri manufaktur terkait dengan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan; prinsip-prinsip ekologi industri, dan elemen-elemen penyusun model, yang merupakan arsitektur dari model.
Sintesis terhadap arsitektur model menggunakan peralatan analisis seperti ISM, AHP, dan Powersim menghasilkan Model Pengembangan AEIP Bitung. Kerangka pemikiran penelitian yang berisi keterkaitan antara faktor-faktor di dalamnya adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.1.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan pengembangan AEIP. Selain itu, output dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dan atau pemangku kepentingan lain dalam rangka pengembangan industri, antara lain melalui penerapan kebijakan pengembangan kawasan industri.
1.5. Novelty
Nilai kebaharuan penelitian ini terletak pada kajian komprehensif terhadap penyusunan Model Pengembangan AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara melalui sintesis terhadap komponen-komponen penyusun arsitektur model.
(27)
Gambar 1.1. Kerangka Penelitian
Keberlanjutan Industri
Ekologi Industri
Kawasan Industri
MP-AEIP Bitung Peralatan
Analisis
Industri Manufaktur/ Agro di Kota
Bitung
Rekomendasi Kebijakan Peraturan Perundangan (UU
No. 5/1985; PP 24/2009; UU 39/29;
PERDA, dll)
Implikasi Kebijakan
Eco-Industrial Park
(EIP) Tantangan
Industri Abad XXI
Arsitektur Model
Dasar-dasar Teori Prinsip-prinsip ekologi industri
Elemen Struktural
Batasan/ asumsi
Elemen Fungsional
Situasi Aktivitas Industri Agro Tantangan
Penerapan di Negara-negara
Berkembang Sistem Produksi
(28)
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan
Komisi Lingkungan dan Pembangunan PBB (Komisi Brudtland) dalam laporannya yang berjudul Our Common Future mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang” (Brundtland 1987). Namun, didalam definisi sederhana tersebut tidak secara eksplisit dicantumkan kata pembangunan atau lingkungan.
Upaya-upaya untuk mengembangkan definisi tersebut di atas terus dilakukan. Pada Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2002 di Johanesburg, definisi pembangunan berkelanjutan memasukkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan (Kates et al 2005). Kates et al selanjutnya menulis bahwa walaupun definisi tersebut dengan cepat diadopsi, tetapi tidak ada persetujuan menyeluruh tentang detail dari tiga pilar tersebut.
Cara lain untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah dengan melihat tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, United Nation
General Assembly mengadopsi 60 tujuan yang ingin dicapai meliputi
kemerdekaan, pembangunan, lingkungan, hak-hak azasi manusia, kaum yang rentan, kelaparan, kaum miskin, Afrika, dan PBB (Kates et al 2005).
Cara lainnya untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah dengan cara mengukurnya (Kates et al 2005). Sebagai contoh, Commission on Sustainable Development membangun 58 indikator pembangunan berkelanjut-an. Indikator-indikator tersebut berupa iklim, udara yang bersih, produktivitas lahan, produktivitas lautan, air segar, dan biodiversiti.
Disamping itu, mendefinisikan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan melalui nilai yang mewakili atau yang mendukung model pembangunan tersebut (Kates et al 2005). Deklarasi Millenium menyatakan nilai-nilai fundamental yang penting bagi kerjasama dunia pada abad ke-21 adalah kebebasan, kesamaan hak, solidaritas, toleransi, penghormatan terhadap alam, dan tanggung jawab bersama.
Hal yang paling penting adalah mendefinisikan pembangunan berkelanjutan ke dalam praktek (Kates et al 2005). Praktek tersebut berupa mendefinisikan konsep, membangun tujuan-tujuan yang ingin dicapai, membangun indikator, dan membangun sistem nilai. Ini meliputi membangun
(29)
gerakan sosial, kelembagaan organisasi, mengaitkan antara ilmu pembangunan berkelanjutan dengan teknologi, dan menegosiasi kompromi antara mereka yang secara prinsip memperhatikan alam dan lingkungan, atau yang lebih memperhatikan pembangunan ekonomi, dan yang lebih mendedikasikan diri untuk peningkatan kondisi kemasyarakatan.
2.2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur
Bahasan dalam sub-bab ini, khususnya mengenai batasan dan pengertian, visi dan misi pembangunan industri, kebijakan pembangunan industri, strategi pembangunan industri, rencana pengembangan industri prioritas dalam kerangka penataan ruang, peran pemangku kepentingan dalam pembangunan kawasan industri, dan klasifikasi jenis industri, disarikan dari “Kebijakan Pembangunan Industri Nasional” (Deperind 2005) dan beberapa sumber lain.
2.2.1. Batasan dan Pengertian
Industri pengolahan/manufaktur adalah semua kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer. Yang dimaksudkan dengan produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumberdaya alam hasil pertanian, kehutanan, kelautan, dan pertambangan, dengan kemungkinan mencakup produk pengolahan awal sampai dengan bentuk dan spesifikasi teknis yang standar dan lazim diperdagangkan sebagai produk primer (Deperind 2005).
2.2.2. Visi dan Misi Pembangunan Industri
Visi pembangunan industri nasional dalam jangka panjang adalah membawa Indonesia untuk menjadi “Sebuah negara industri tangguh di dunia,” dengan visi antara, yaitu: “Pada tahun 2030 Indonesia menjadi Negara Industri Maju Baru.” Dengan visi tersebut maka sektor industri antara lain mengemban misi untuk “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui pengembangan dan pengelolaan sumber bahan baku terbarukan.” Untuk mencapai misi tersebut maka institusi pembina industri mengemban misi antara lain “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam secara optimal dan pemanfaatan sumber bahan baku terbarukan agar lebih menjamin kehidupan generasi yang akan datang secara mandiri.”
(30)
9
2.2.3. Kebijakan Pembangunan Industri
Salah satu dari tujuan pembangunan industri jangka pendek (2004-2009) adalah untuk meningkatkan penyebaran industri. Hal ini dirumuskan mengingat bahwa aktivitas industri saat ini sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa (Tabel 2.1.). Tujuan pembangunan sektor industri jangka panjang (2010-2025) meliputi: (a). memperkuat basis industri manufaktur agar industri yang tergabung dalam kelompok ini mampu menjadi industri kelas dunia (world class industry); (b).meningkatkan peran industri prioritas agar menjadi modal penggerak perekonomian nasional; dan (c). meningkatkan peran sektor industri kecil dan menengah terhadap struktur industri, sehingga terjadi keseimbangan peran antara industri besar dengan industri kecil dan menengah (Deperind 2005).
Tabel 2.1. Persebaran Industri di Indonesia
No WILAYAH/PROVINSI 1988 2003
Unit Usaha*) (%) Unit usaha*) (%)
I Jawa 1.418.895 61,95 1.893.78 62,50
1 DKI Jakarta 22.436 1,01 23.733 0,78
2 Jawa Barat dan Banten 314.014 13,71 387.983 12,80
3 Jawa Tengah 556.748 24,31 798.814 26,36
4 DIY 75.131 3,28 133.613 4,41
5 Jawa Timur 450.566 19,67 549.625 18,14
II Luar Jawa 871.394 38,05 1.136.342 37,50
1 Sumatera 288.829 12,61 381.611 12,60
2 Kalimantan 97.738 4,27 694.844 4,83
3 Bali/NTB/NTT 212.680 9,29 333.989 11,02
4 Sulawesi 173.543 7,58 246.614 8,14
5 Maluku/Papua 19.604 4,31 27.684 0,91
Indonesia (%) 2.290.289 100,00 3.030.116 100,00
Sumber: Deperind (2005).
*) unit usaha kumulatif
2.2.4. Strategi Pembangunan Industri
Strategi operasional pembangunan industri antara lain dilakukan dengan fokus pada pemberian dorongan untuk pertumbuhan klaster industri prioritas. Selanjutnya, untuk mengatasi ketimpangan persebaran industri maka ditetapkan strategi operasional, yaitu penetapan prioritas persebaran pembangunan industri ke daerah-daerah mendekati sumber bahan baku yang kegiatan industrinya belum banyak berkembang, di daerah luar Pulau Jawa khususnya di Kawasan Timur Indonesia dan daerah perbatasan (prioritas eco-regional).
2.2.5. Regulasi tentang Kawasan Industri
Peraturan perundangan tentang Kawasan Industri telah mengalami beberapa kali perubahan. Pertama, adalah Keppres No. 53 tahun 1989, kemudian berubah menjadi Kappres No. 41 tahun 1996, dan yang terakhir
(31)
adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 2009. Khusus yang disebut terakhir, diundangkan tanggal 3 Maret 2009, dan sesuai dengan Pasal 32 dari PP tersebut, mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.
Berikut dijelaskan mengenai definisi kawasan industri, perusahan industri, kawasan peruntukan industri, dan tujuan pembangunan kawasan industri seperti yang dimaksudkan di dalam PP No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahan Kawasan Industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Perusahan kawasan industri adalah perusahan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan industri. Perusahan ini adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri di wilayah Indonesia. Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan (PP No.24/2009).
Di dalam PP 24/2009 dinyatakan bahwa pembangunan Kawasan Industri bertujuan untuk (a). mengendalikan pemanfaatan ruang, (b). meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan, (c). mempercepat pertumbuhan industri di daerah, (d). meningkatkan daya saing industri, (e). meningkatkan daya saing investasi, dan (f). memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antara sektor terkait.
Selanjutnya disebutkan di dalam PP 24/2009, pembangunan suatu kawasan industri baru harus terintegrasi ke dalam pembangunan daerah dan rakyat setempat. Pengembang harus melibatkan dan memprioritaskan masyarakat yang lahannya dibebaskan untuk mendapatkan kesempatan berusaha ditempat tersebut serta turut menikmati hasil pembangunannya. Konversi lahan tidak perlu dalam bentuk pemberian uang tapi bisa dalam bentuk saham kepada pemiliknya. Jadi, pendekatan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan komunitas (community development).
Dari sudut pandang manajemen, kawasan industri dibagi menjadi kawasan industri nonmanajemen dan kawasan industri manajemen. Kawasan industri nonmanajemen mempunyai bentuk lahan Peruntukan Industri, Kantong Industri, dan Sentra Industri Kecil. Dalam sistem ini, masing-masing perusahan industri
(32)
11 mengelola industrinya sendiri-sendiri. Kawasan industri manajemen ditandai oleh manajemen pengelola kawasan industri yang dibedakan menurut skala usaha industrinya, yaitu: Kawasan Industri (industrial estate), Kawasan Berikat (export processing zone), dan kompleks industri (industrial complex); dan Usaha industri kecil, yang bentuknya berupa Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK), Permukiman Industri Kecil (PIK), dan Lingkungan Industri Kecil (LIK).
Pengelola Kawasan Industri adalah perusahan pengelola kawasan industri, yang berkewajiban melakukan kegiatan: penyediaan/penguasaan tanah, penyusunan rencana tapak tanah, rencana teknis kawasan, penyusunan AMDAL, penyusunan tata tertib kawasan industri, pematangan tanah, pemasaran kavling industri, dan pembangunan serta pengadaan prasarana dan sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan.
2.2.6. Perkembangan Kawasan Industri
Kemajuan industri di banyak negara antara lain disumbang oleh eksistensi kawasan industri. Ada dua hal yang harus menjadi pokok perhatian dalam pengembangan kawasan industri, yaitu pengembang dan kebijakan pengembangan kawasan industri (Dirdjojuwono 2004). Peran pemerintah pusat dalam pengembangan kawasan industri di beberapa Negara Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Thailand sangat dominan (Tabel 2.2.).
Tabel 2.2. Peran Pemerintah dan Swasta dalam Pengembangan Kawasan Industri di Beberapa Negara Asia
Negara Pemerintah Swasta
Malaysia, 285 KI Jepang
Korea Selatan, 300 KI Taiwan
Singapura Thailand, 27 KI
Filipina, 20 KI Indonesia, 203 KI
78% (pusat dan lokal) 85%
70% (pusat dan lokal) 90%
85% 48%
30% (pusat dan lokal) 6% (pusat dan lokal)
22% 15% 10% 10% 15% 52% (kerjasama pemerintah dan swasta)
70% 94%
Sumber: ULI (1975) dalam Dirdjojuwono (2004)
Ket: persentasi menyatakan kontribusi dalam bentuk penanaman modal
Pengembangan industri di luar negeri dilakukan dengan beberapa alasan: (1) Kawasan Industri merupakan alat pemerataan (over population di kota-kota besar dan kurang di daerah pinggiran), (2) Pemerintah beranggapan bahwa investasi di kawasan industri sama dengan investasi fasilitas umum, dan (3)
(33)
Swasta lebih berorientasi profit dan tidak mungkin dibebani tugas-tugas pemerataan dan fasilitas umum (ULI 1975 dalam Sagala 2003). Di Indonesia, pengembangan kawasan industri dimulai sejak tahun 1970, dengan mengemban dua misi besar, yaitu: (1) merangsang tumbuhnya iklim industri, (2) menjadi sarana bagi pengaturan ruang (Sagala 2003).
Tingkat utilitas Kawasan Industri yang masih rendah di Indonesia karena pengembangannya masih berorientasi real estate (profit). Hal ini terlihat dari perbandingan harga jual lahan dengan harga pokok sebesar 4-6 kali. Di Korea, pemerintah menetapkan harga jual lahan di dalam kawasan industri tidak lebih dari 1,2 kali harga pokok. Secara umum dinegara industri, harga jual lahan ditetapkan 1,2-1,3 kali harga pokok (Sagala 2003).
Setelah diundangkannya Keppres 53/1989, dunia usaha dalam dan luar negeri diperbolehkan mengembangkan kawasan industri. Oleh karena itu terjadi “rush” sehingga direncanakan dibangun 203 KI dengan luas 66.771 ha di 20 Provinsi. Namun, bagi sebagian provinsi, rencana pengembangan kawasan industri hanya merupakan euphoria belaka (Tabel 2.3.).
Tabel 2.3. Jumlah dan Luas Kawasan Industri (s/d 2000)
No Provinsi
Jumlah Kawasan
Industri
Luas (ha)
Rencana Terkuasai Dimatang-kan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimanan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya 2 11 1 19 1 1 4 103 14 1 33 1 2 2 2 2 1 1 1 1 470 2.578 150 14.517 1.442 300 1.149 32.986 3.186 50 7.044 117 495 190 730 243 100 703 120 200 0 1.262 108 1.236,5 0 126,8 1.009,3 12.681,63 955,78 0 1.933,51 0 0 0 230 0 76 265,5 0 0 0 980 108 281,5 0 126,8 1.009,3 7.522,39 619,78 0 1.233 0 0 0 51,5 0 76 203 0 0 Jumlah 203 66.771 19.885,02 12.741,28
(34)
13
Sesuai dengan data pada Tabel 2.3., bagi daerah-daerah tertentu, termasuk Provinsi Sulawesi Utara, permintaan yang terjadi sampai dengan tahun 1995 masih merupakan euphoria belaka dalam menyambut dibukanya kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan industri.
Data sampai dengan Tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah Kawasan Industri yang aktif di Indonesia berjumlah 88 buah dengan total areal 27.250 ha yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan tingkat utilitas 42% (8.000 ha) dan jumlah industri 6.000 buah atau 10% dari total industri yang ada di Indonesia (Jawa Post Online, 21 September 2006). Dengan diundangkannya PP No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri diharapkan akan meningkatkan utilitas kawasan industri dan merangsang munculnya kawasan-kawasan industri baru di seluruh provinsi yang ada di Indonesia.
Upaya penyebaran industri ke luar Pulau Jawa menghadapi beberapa masalah dan kendala, yaitu (Deperind 2005):
• Adanya kecenderungan peningkatan harga lahan yang tinggi jika diindikasikan rencana kegiatan pembangunan kawasan;
• Infrastruktur pendukung kawasan industri di daerah seperti: jaringan jalan, pelabuhan, penyediaan listrik, air bersih, fasilitas pengolahan limbah, telekomunikasi, penyediaan tenaga kerja dan permodalan belum memadai;
• Transportasi darat, laut dan udara untuk kelancaran arus barang masih belum effisien sehingga seringkali menimbulkan biaya tinggi, atau mengurangi minat penanaman modal;
• Belum ada insentif khusus bagi pengembang kawasan industri maupun industri yang berlokasi di dalam kawasan industri;
• Belum ada peraturan yang jelas mengatur kewenangan pusat dan daerah dalam pengembangan kawasan industri;
• Keterkaitan antar zona industri sering terganggu oleh peraturan daerah masing-masing.
Itu sebabnya, hingga saat ini persebaran unit usaha industri masih sangat timpang antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Lebih dari 90% unit usaha industri berlokasi di KBI, terutama di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Provinsi lain yang memiliki unit usaha cukup besar adalah Sumatera Utara (6%), sedangkan
(35)
provinsi di KTI yang mempunyai unit usaha yang cukup besar adalah Sulawesi Selatan (Dirdjojuwono 2004).
2.2.7. Pengembangan Industri di Kota Bitung
Menurut Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan Kawasan Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung, 2007). Koridor Bitung-Kema merupakan bagian dari Koridor Manado-Bitung yang telah mendapat perhatian pemerintah secara serius, antara lain dengan dibentuknya Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Manado-Bitung. Visi yang diemban oleh institusi ini adalah merealisasikan kawasan ekonomi terpadu Manado-Bitung sebagai pusat pengembangan industri, komersial, dan jasa.
Tabel 2.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Persebaran Industri dan Pengembangan Kawasan Industri
Kegiatan Pemerintah Pusat Pemda Swasta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Menetapkan WPPI dan
Zona Industri √ √ √
2 Menetapkan tata ruang
regional √
3 Menyusun pedoman
teknis KI √
4 Menetapkan lokasi KI √
5 Menerbitkan ijin KI √ √
6 Membentuk konsorsium
pendanaan (DN dan LN) untuk pembangunan
√ √ √
7 Membangun infrastruktur
(jaringan jalan, aliran listrik, telepon, gas, pengolahan air)
√ √ √ √ √ √ √
8 Membangun kemitraan
dengan berbagai kegiatan dalam klaster industri
√ √ √ √ √
9 Menjamin kelancaran arus
barang dan keamanan √ √ √
10 Menjamin ketersediaan
lahan dan keamanan
kawasan √ √
11 Memantau dan
mengawasi KI √ √
12 Membina KI √ √ √
Sumber: Deperind (2005).
Keterangan:1 = Departemen Perindustrian 6=Departemen PU (Kimpraswil) 2 = Departemen Perdagangan 7=Departemen ESDM
3 = Departemen Dalam Negeri 8=Provinsi
4 = Departemen Perhubungan 9=Kabupaten/Kota 5 = Departemen Keuangan
(36)
15
Misi KAPET Manado-Bitung antara lain adalah untuk merealisasikan kawasan tersebut sebagai pusat industri agro dan industri manufaktur. Strategi yang digunakan untuk mencapai misi tersebut adalah wilayah Manado-Bitung difokuskan untuk pengembangan industri skala menengah dan besar. Disamping itu, mengembangkan industri yang berorientasi bahan baku sehingga dapat berkompetisi dengan wilayah lainnya di Indonesia (KAPET Manado-Bitung 2007).
Di Koridor Bitung-Kema direncanakan untuk dibangun Kawasan Industri pada satu hamparan lahan seluas 98 ha yang terletak di Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari. Status lahan adalah tanah Milik Negara. Lahan tersebut merupakan lahan dengan topografi relatif datar dan subur, ditandai oleh pertumbuhan tanaman kelapa dan palawija yang produktif. Luasan lahan masih mungkin untuk diperbesar hingga mencapai 512 hektar karena lahan disekitarnya saat ini masih dimanfaatkan sebagai kebun kelapa milik masyarakat.
2.2.8. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan Kawasan
Industri
Keberhasilan dari program penyebaran industri ke luar Pulau Jawa dapat dicapai antara lain apabila terdapat koordinasi yang baik antara pemangku kepentingan. Secara rinci peran masing-masing pemangku kepentingan dalam rangka persebaran industri dan pengembangan kawasan industri adalah seperti pada Tabel 2.4.
2.2.9. Lokasi Kawasan Industri
Bentuk lokasi industri yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah lahan peruntukan industri dan kawasan industri untuk industri skala menengah dan besar, sedangkan untuk industri kecil/kerajinan adalah perkampungan industri kecil (PIK) (Dirdjojuwono 2004). Bagi industri menengah dan besar, pengembangan lokasi industri terjadi sejalan dengan permintaan lahan. Pada tahap awal, alokasi lahan akan berupa peruntukan lahan industri. Apabila permintaan lahan bertambah maka peluang untuk membangun kawasan industri akan muncul.
Menurut Sagala (2004), peluang pengembangan kawasan industri di Kabupaten/Kota dapat terealisasi apabila tingkat realisasi investasi di daerah tersebut mencapai 6-10 buah per tahun. Suatu kawasan industri yang lengkap
(37)
dengan infrastrukturnya layak dikembangkan pada lahan seluas 20 ha dengan waktu pengembalian 3 tahun atau dengan tingkat permintaan lahan 7-10 ha per tahun atau identik dengan pertumbuhan industri 5-7 buah per tahun (REI Indonesia). Bagi daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan investasi di bawah itu, kemungkinan pengembangan yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk lahan peruntukkan industri (Sagala 2004).
2.2.10. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Penjelasan mengenai KEK di bawah ini diangkat dari UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Insentif yang diberikan adalah fasilitas PPh, pengurangan PBB kepada penanam modal, dan fasilitas barang impor. Pengembangan KEK bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Kawasan tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria: (a) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung; (b) pemerintah provinsi/kabupaten /kota yang bersangkutan mendukung KEK; (c). terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan internasional atau dekat dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya unggulan; dan (d). mempunyai batas yang jelas.
KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, yaitu (a) pengolahan ekspor; (b) logistik; (c). industri; (d). pengembangan teknologi; (e). pariwisata; (f). energi; dan/atau, (g) ekonomi lain.
(38)
17
2.3. Ekologi Industri
2.3.1. Pengertian Ekologi Industri
Ekologi industri (industrial ecology) merupakan suatu konsep yang “provocative” dan “oxymoronic” (frase yang mengkombinasikan dua kata yang kelihatannya bertentangan satu dengan lainnya) (Lifset and Graedel 2002). White (Lifset and Graedel 2002) mendefinisikan ekologi industri sebagai “studi tentang aliran-aliran materi dan energi dari aktivitas industri dan konsumen, dan dampak dari aliran-aliran tersebut terhadap lingkungan, dan pengaruh dari faktor-faktor ekonomi, politik, regulasi, dan sosial terhadap aliran, penggunaan, dan transformasi dari sumberdaya.” Elemen kunci ekologi industri adalah (Lifset and Graedel 2002):
• analogi biologi
• penggunaan perspektif sistem
• peran dari perubahan teknologi
• peran perusahan/industri
• dematerialisasi dan eco-efisiensi, dan
• penelitian dan aplikasi yang berorientasi masa depan.
Elemen-elemen kunci tersebut dapat diintegrasi ke suatu gambaran yang lebih luas, misalnya dari segi operasional ekologi industri pada beberapa level (Gambar 2.1.).
Gambar 2.1. Elemen dari ekologi industri yang beroperasi pada beberapa level (Lifset and Graedel 2002)
Indigo Development (ID) (2005) menyatakan bahwa ekologi industri (EI) masih dalam tahapan formulasi, dengan beragam definisi dan area aplikasi yang
Keberlanjutan
Ekologi Industri
Level industri: • desain untuk lingkungan
• pencegahan pencemaran
• eco-efisiensi
• akuntansi “hijau”
Antar industri: • eco-industrial parks
(industrial symbiosis) • siklus hidup produk
• inisiatif sektor industri
Regional/global: • budjet dan siklus
• studi aliran materi dan energi
• dematerialisasi dan dekarbonisasi
(39)
bervariasi. Suatu konsensus telah dicapai pada beberapa isu, tetapi masih ada perbedaan yang kritis di beberapa area diantara ahli-ahli ekologi industri. Beberapa definisi dari ekologi industri menurut Indigo Development (2005) adalah:
- EI adalah suatu pendekatan sistem menggunakan metode-metode ilmu sistem untuk analisis dan sintesis.
- Pendekatan sistem ini memiliki fokus pada interaksi sistem industri dan sistem ekologi (lokal sampai global).
- EI berupaya untuk mendisain ulang aktivitas industri untuk mengurangi dampak ekologi dari aktivitas manusia ke level yang dapat diterima oleh sistem alam.
- EI adalah interdisipliner, menghubungkan penelitian dan perencanaan di banyak bidang ilmu, termasuk ekologi, enjinering, ekonomi, manajemen bisnis, administrasi dan hukum publik, dan lainnya.
- EI mempelajari aliran materi dan enersi didalam ekonomi, yang berkisar dari industri dan fasilitas publik ke planet. Ia mencari strategi untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak dari aliran tersebut (studi ini biasanya disebut “industrial metabolism”).
- EI mencari transformasi dari ekonomi linear yang banyak limbahnya ke sistem produksi dan konsumsi yang tertutup. Dalam sistem ini, buangan industri, pemerintah, dan konsumen akan digunakan kembali, didaur ulang, dan dibuat kembali ke nilai tertinggi yang mungkin.
- EI memungkinkan pembuatan inovasi jangka pendek dengan pertimbangan dampak jangka panjangnya. Sama halnya, itu memungkinkan pengambil keputusan lokal mempertimbangkan dampak regional maupun global.
- EI adalah suatu cara untuk menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan kelangsungan hidup ekonomi dan bisnis. Keseimbangan ini harus dinamis, dan adaptif terhadap pengetahuan baru tentang dampak industri dan respons alam.
EI adalah suatu komponen utama dalam “ilmu keberlanjutan” dengan peran untuk mendisain jalur transisi untuk aktivitas industri. Itu memberikan suatu landasan tujuan (walaupun kompleks) untuk mengkoordinasi disain dari kebijakan publik dalam realitas lingkungan dan teknik.
(40)
19
2.3.2. Tujuan Ekologi Industri
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan ekologi industri adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas lingkungan (Lifset and Graedel 2002). Ekologi industri menekankan pada optimasi aliran sumberdaya. Bidang ilmu ekologi industri adalah positif dan sekaligus normatif. Positif-ekologi industri mencoba untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan, tapi bukan untuk merubahnya. Normatif-untuk beberapa derajat tertentu membaiknya interaksi manusia dengan lingkungan merupakan bagian dari tujuan ekologi industri.
Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai ekologi industri khususnya dalam cakupan dan penekanannya (Indigo Development2005).
- Skala waktu: beberapa ahli ekologi industri menekankan pada perubahan yang perlahan dalam sistem yang ada, yang lain menghendaki transformasi yang lebih luas dalam industri dan kemasyarakatan.
- Model ekosistem: bagi beberapa ahli, tema yang sangat populer adalah modeling sistem industri berdasarkan prinsip dan dinamika dari ekosistem. Tetapi, beberapa ahli ekologi industri dan insinyur mempertanyakan kegunaan dari pendekatan itu.
- Aliran material: beberapa ahli ekologi industri memberi fokus pada tugas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan dampak dari aliran material pada industri dan masyarakat. Pada beberapa artikel, keseluruhannya membahas lebih dari itu.
- Lingkup aplikasi: banyak diskusi berkonsentrasi pada perubahan dalam industri manufaktur sementara yang lain menyatakan EI sesuai untuk pertanian, jasa, dan industri finansial, termasuk desain dan manajemen dari kebijakan publik, infrastruktur dan operasional fasilitas. Beberapa ahli memperluas domain dari EI ke bidang perilaku konsumen.
- Konsep keanekaragaman, daya dukung, dan restorasi mendapat penekanan dari peneliti universitas tetapi jarang disinggung oleh ahli ekologi industri yang lebih berorientasi teknis.
- Beberapa ahli melihat perubahan institusi sebagai komponen fundamental dari EI. Yang lain menekankan pada inovasi teknis.
- Pilihan material: perpindahan dari material sintetis tidak terbarukan menjadi bio-material yang terbarukan merupakan pusat perhatian dari beberapa ahli
(41)
ekologi. Yang lainnya lebih menekankan pada peningkatan kinerja lingkungan dari material berbasis minyak bumi dan bahan sintetis lainnya.
Ekologi industri merupakan penelitian saintifik dan juga suatu kerangka untuk mendesain dan mengambil keputusan pada sektor publik dan pemerintah. Kedua aspek ini harus dilihat sebagai sesuatu yang saling melengkapi bukan yang berbeda. Keduanya perlu dihubungkan dengan erat untuk memastikan suatu basis yang baik untuk aplikasi dan penelitian yang berlanjut dari hasil-hasil proyek-proyek EI.
2.3.3. Peran Ekologi Industri
Keterbatasan sumberdaya di masa yang akan datang - yang tidak dapat diatasi oleh kemajuan teknologi - memberi kesadaran atas kebutuhan untuk peningkatan yang siknifikan atas efisiensi penggunaan sumberdaya alam. Peningkatan level konsumsi sampai batas kapasitas bumi membutuhkan peningkatan yang dramatis dalam efisiensi penggunaan sumberdaya. Pengurangan yang substantif dalam jumlah sumberdaya yang digunakan per unit output disebut dematerialisasi (dematerialization). Salah satu strategi yang sedang dipelajari untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya, seperti yang dilakukan di Jerman, adalah ecological tax reform (Peck 1996). Hasil
Gambar 2.2. Proses munculnya prasarana ekologi industri (Peck 1996)
Prasarana industri eksisting Prasarana ekologi industri Waktu P em e nu ha n k et e nt u an In is ia tif d au r ul an g s e bag ia n P en gem ba ng an p er a la ta n m ana jem en D aur ul a ng y an g t er ba ng un s em pur na P er u ba h an s ik ni fi k an d al am pr o duk da n pe ng em as a n Li n gk u ng an y an g t er int egr as i pe nu h d i da lam bu day a per us ah a n P e ng em ba n ga n ek os is tem in du s tr i da n s ine rgi k Ek ol o gi i nd us tr i pe nu h
(42)
21 kajian menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumen pada tahun 2040, perlu peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya sampai 90%. Sebagai contoh, bila sebuah mobil saat ini mempunyai rasio penggunaan bahan bakar 1 liter untuk 100 km jarak tempuh, maka pada tahun 2040 diperlukan kendaraan yang memiliki efisiensi penggunaan bahan bakar sebesar 1 liter untuk 1000 km jarak tempuh. Ekologi industri merupakan pendekatan yang potensial untuk melakukan dematerialisasi ekonomi global (Peck 1996).
Ekologi industri menekankan pada perumusan kebijakan publik, sistem teknologi dan manajerial yang memfasilitasi dan mempromosi produksi dalam bentuk yang lebih koperatif. Mengimplementasi ekologi industri meliputi life
cycle analysis, prosesing tertutup, penggunaan kembali dan daur ulang,
mendisain lingkungan dan pertukaran limbah. Diasumsikan bahwa ekonomi yang efisien yang beroperasi secara harmoni dengan sistem alam tidak akan menghasilkan limbah. Gambar 2.2. mengilustrasikan perubahan proses industrialisasi ke prasarana ekologi industri secara penuh (Peck 1996).
Tabel 2.5. Empat Tipe Teknologi Lingkungan yang Diperlukan untuk Memfasilitasi Pencapaian Tingkat Infrastruktur Ekologi Industri
Tititk penerapan Karakteristik Contoh-contoh
Teknologi
remediasi •
Gejala
• Sumberdaya dan lingkungan yang mengalami kerusakan
• Setelah fakta terjadi
• mahal
• berkisar antara teknologi rendah sampai teknologi tinggi
• Remediasi tanah
• Pembersihan lahan yang tercemar
• Perlakuan air
Teknologi Penanggulangan
• Akumulasi limbah atau perlakuan end-of-pipe
• Akumulasi atau perlakuan terhadap limbah sebelum dibang
• Memakan modal, energy, dan sumberdaya
• Menghasilkan aliran limbah
• Agak mahal
• Penghilangan gas sulfur
• Pusat pengolahan limbah cair
• catalytic mufflers
Teknologi pencegahan pencemaran
• desain proses industri
• desain produk atau komposisi
• Merubah produk atau proses atau mengurangi atau menghindari limbah
• Biaya lebih hemat dibanding metode penanggulangan
• Mengurangi aliran limbah
• Kertas bebas klorin
• Elektroplating bebas sianida
• Bahan bakar bebas timbal
• Desai proses industri Teknologi
berkelanjutan
• produk atau jasa alternatif
• Manfaat ganda: efisiensi lingkungan, ekonomi, sosial, dan sumberdaya
• Penerangan yang efisien
• Daur ulang kertas
• Energi terbarukan
• Kosmetik dan obat dengan bahan dasar alami
Sumber: Thompson Gow and Associates, 1995 Environmental Scan. Winnipeg: Canadian Council of Ministers on the Environment, 1995) dalam Peck (1996).
Seperti salah satu definisi ekologi industri yang dikemukakan sebelumnya disebutkan bahwa ekologi industri merupakan pertukaran material diantara sektor industri yang berbeda dimana limbah dari suatu industri menjadi input
(43)
untuk yang lainnya. Sebagai contoh, ekses dari fasilitas generator listrik dapat digunakan sebagai input oleh industri sement portland (Gambar 2.3.).
Peck selanjutnya menyatakan bahwa untuk mencapai level prasarana ekologi industri, diperlukan adanya kemajuan teknologi. Empat generasi teknologi lingkungan telah diidentifikasi, yaitu: remediasi, penanganan, pencegahan pencemaran, dan teknologi berkelanjutan (Tabel 2.5.).
Gambar 2.3. Ekosistem industri di Kalundborg, Denmark (Peck 1996).
2.3.4. Ekologi Industri dan Klaster Industri
Desrochers (2001) menyebutkan klaster industri sebagai salah satu sebutan lain dari konsep eco-industrial parks (EIPs). Namun, berdasarkan
content analysis dari definisi-definisi klaster industri maupun ekologi industri di
atas dapat disimpulkan bahwa kedua konsep bukan merupakan konsep yang sama. Selanjutnya, merujuk pada definisi yang digunakan oleh Departemen Perindustrian RI, maka dapat disimpulkan bahwa EIP dapat merupakan bagian dari klaster industri. Hal ini karena, dari segi luasan areal, satu klaster industri dapat meliputi beberapa kota yang terfragmentasi dengan cakupan wilayah yang sangat luas; sedangkan EIP dipersyaratkan sebagai hamparan lahan yang kompak dengan luasan minimal 20 ha atau lebih. Disamping itu, dalam konsepsi
(44)
23 klaster industri tercakup institusi seperti perbankan atau institusi terkait lainnya yang bukan merupakan bagian dari industri manufaktur.
Dengan demikian, penelitian ini berangkat dari argumentasi bahwa konsep klaster industri dan ekologi industri bukan merupakan konsep yang sama tetapi saling menunjang, dimana ekologi industri sebagai suatu metode yang dapat memperkuat atau menunjang pendekatan klaster industri. Yang disebut terakhir merupakan pendekatan yang sedang digunakan oleh Departemen Perindustrian dalam pengembangan industri pengolahan/manufaktur nasional.
2.3.5. Ekologi Industri dan Produksi Bersih
Produksi bersih (clean atau cleaner production) adalah suatu pendekatan manajemen lingkungan yang bertujuan untuk merangsang proses, produk dan jasa baru yang lebih bersih dan lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya. Konsep ini memberi tekanan pada pendekatan pencegahan dan memperhatikan dampak yang ditimbulkan pada seluruh siklus hidup dari produk dan jasa (Jackson dalam Ayres and Ayres 2002).
Ada resonansi yang jelas antara ekologi industri dan produksi bersih. Keduanya dimotivasi oleh perhatian terhadap dampak lingkungan yang semakin meningkat dari sistem ekonomi industri. Keduanya muncul pada saat yang hampir bersamaan sebagai hasil dari proses evolusi manajemen lingkungan. Survei terhadap literatur menegaskan adanya tumpang tindih antara kedua model tersebut. Produksi bersih mengklaim bahwa ekologi industri merupakan bagian dari model tersebut.
Penekanan yang diberikan oleh produksi bersih (seperti yang terdapat dalam program United Nation Environmental Program, UNEP) terletak pada teknologi proses, seperti pencegahan pencemaran dan minimalisasi limbah (Jackson dalam
Perbedaan akan jelas apabila melihat interpretasi yang sempit dari kedua konsep. Sementara kedua konsep menekankan pada efisiensi material, produksi bersih memberi peran yang setara pada reduksi bahan beracun berbahaya (B3) melalui substitusi, dengan menyarankan pengurangan atau Ayres and Ayres 2002). Di lain pihak, ekologi industri memberi perhatian pada penggunaan atau penggunaan kembali limbah yang dihasilkan oleh satu industri untuk digunakan sebagai input bagi industri lainnya. Tujuan dari ekologi industri adalah untuk mengurangi dampak sistem industri terhadap lingkungan atau untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Di bawah definisi yang luas ini, kedua model sangat mirip.
(45)
pelarangan penggunanaan beberapa bahan toksik. Selanjutnya, produksi bersih diasumsikan dilakukan secara mandiri oleh industri secara individual. Ekologi industri lebih menekankan pada hubungan yang lebih kuat antara industri, dan karenanya memerlukan kerangka kerjasama yang erat diantara para pelaku.
Produksi bersih telah mendapatkan peran khusus di dalam sistem regulasi. Di lain pihak, ekologi industri tidak sedang diarahkan oleh inisiatif regulasi, tapi beroperasi dengan dasar kerjasama industri, yang terutama dipicu oleh keuntungan ekonomis dari penggunaan kembali sumberdaya.
Kedua konsep dapat saling belajar dari satu sama lain. Sebagai contoh, ekologi industri dapat belajar dari produksi bersih tentang pentingnya kerangka “substitusi.” Di lain pihak, bergantung sepenuhnya pada strategi pencegahan pencemaran secara individual sepertinya tidak akan mengarahkan pada efisiensi material atau dematerialisasi pada sistem yang luas atau level makro ekonomi. Jadi, produksi bersih dapat belajar dari ekologi industri tentang pentingnya hubungan kerjasama antara industri untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Kedua konsep berargumen memberikan strategi operasional untuk pembangunan berkelanjutan. Namun yang penting adalah bagaimana membangun dan mengoperasionalkan konsep masing-masing untuk mencapai tujuan tersebut.
2.3.6. Eco-Industrial Parks (EIPs)
Ekosistem industri regional dapat didefinisikan sebagai “eco-industrial
parks” atau biasa disingkat EIPs. Dengan kata lain, EIP merupakan aplikasi dari
konsep ekologi industri. The United States President’s Council on Sustainable
Development menyatakan EIP sebagai “suatu sistem industri dimana terjadi
pertukaran material dan enersi secara terencana dan berupaya untuk menurunkan penggunaan bahan baku dan enersi, menurunkan limbah, dan membangun hubungan keberlanjutan antara ekonomi, ekologi, dan sosial” (Korhonen 2001).
Konsep EIP masih dalam tahapan awal pengembangan. Gibbs and Deutz (2005) menyatakan bahwa membangun EIP merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Di negara maju seperti Amerika Serikat, pengembangannya baru dimulai sejak tahun 1995. Studi yang dilakukan tahun 2002 mencatat ada sekitar 34 buah ”eco-industrial park” di Amerika Serikat, dimana yang beroperasi sebanyak
(46)
25 6 kawasan, dalam tahap konstruksi 5 kawasan, dalam tahap perencanaan sebanyak 7 kawasan, sedangkan yang dinyatakan gagal (atau kembali menjadi kawasan industri konvensional) sebanyak 16 kawasan (Gibbs and Deutz 2005). Adanya kegagalan diatas antara lain disebabkan oleh dominasi pemerintah dalam pembangunan tersebut (public-planning). Padahal, pembangunan “eco-industrial park” yang ”kiblatnya” adalah ekosistem industri di Kalunborg, Denmark, dibangun oleh karena adanya kesepakatan antara perusahan-perusahan dengan orientasi keuntungan (private-planning) (Desrochers 2001). Sebagai jalan tengah, Desrochers mengusulkan perpaduan antara kedua sistem perencanaan diatas, yaitu kombinasi antara public planning dan private planning.
Tingkat keberhasilan dari implementasi konsep EIPs di negara-negara maju antara lain disebabkan oleh fasilitasi pemerintah, regulasi lingkungan yang mengikat, konsistensi peraturan, tingkat sosial-ekonomi masyarakat yang tinggi, kesadaran masyarakat yang tinggi, dan lain-lain. Model yang berhasil diterapkan di negara-negara maju tersebut belum serta merta akan berhasil apabila diterapkan di negara berkembang, seperti Indonesia. Chiu dan Yong (2004) menyarankan negara-negara berkembang di Asia yang berencana mengadopsi model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan meramu strategi yang paling tepat sebelum mengembangkan dan menerapkan konsep tersebut. Kedua penulis selanjutnya menyatakan bahwa penelitian perlu terus dilakukan untuk meningkatkan daya adaptasi dan aplikasi model terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang terus berubah di negara-negara berkembang Asia.
Suatu EIP akan cenderung lebih berhasil jika konsep tersebut menjadi bagian dari inisiatif komunitas dalam kisaran yang lebih luas (Chiu dan Yong 2004), yaitu:
- pembangunan perumahan untuk pekerja dari bisnis EIP
- pembuatan rencana stategis komunitas untuk mengurangi jumlah sampah (penduduk, komersial, publik, dan industri).
- pembangunan pertukaran produk ikutan regional yang efektif, memberi pasar untuk material yang dibuang sebagai limbah.
- penguatan perencanan pembangunan ekonomi untuk merangsang bisnis yang cocok dengan profil yang dibutuhkan oleh EIP atau yang merubah limbah menjadi produk dan lapangan kerja.
(1)
213 Sambungan Lampiran 12
(2)
214 Sambungan Lampiran 12
(3)
215 Sambungan Lampiran 12
(4)
216 Sambungan Lampiran 12
(5)
217 Sambungan Lampiran 12
(6)
218 Sambungan Lampiran 12