160
VII. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai Perancangan Model Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” MP-AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi
Utara. Hasil yang diperoleh berupa diagram alir model dan simulasi terhadap variabel-variabel dominan dari model. Berdasarkan informasi yang diperoleh
tersebut, pada bab ini akan dibahas secara deskriptif implikasi dan rekomendasi kebijakan dalam rangka penerapan model.
7.1. Implikasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung
Diasumsikan bahwa MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari Kawasan Industri Bitung yang saat ini sedang dalam tahapan perencanaan.
Apabila industri yang akan dibangun di Kawasan Industri tersebut adalah industri berbasis perikanan laut dan kelapa maka dengan berdirinya MP-AEIP Bitung
kondisi kekurangan pasokan bahan baku kedua komoditas tersebut akan semakin besar. Tetapi, karena MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari
Kawasan Industri tersebut maka dapat diasumsikan bahwa hal itu tidak akan memperparah kondisi pasokan bahan baku.
MP-AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara yang terdiri atas sub-model industri berbasis perikanan laut, sub-model industri berbasis kelapa, sub-model
industri berbasis agro-kompleks, sub-model pembangkit listrik sumber energi terbarukan, dan sub-model limbah dan bahan ikutan, dibangun dalam rangka
memberikan gambaran tentang prospek pengembangan industri agro dalam kerangka ekologi-industri, yaitu suatu konsep yang mengintegrasikan aspek
ekonomi, ekologi dan sosial dalam pengembangan industri. Model ini dibangun dengan tujuan untuk memperlihatkan potensinya dalam rangka menurunkan
limbah industri dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan. Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut
menunjukkan bahwa dengan dibangunnya 3tiga unit industri besar dan 14 unit industri menengah dan kecil berbasis perikanan laut maka kekurangan pasokan
bahan baku ikan segar di Provinsi Sulawesi Utara akan menjadi ±240.000 sd 297.000 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar, namun kontribusi yang
diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut relatif kecil, yaitu sekitar ±13,60 persen
.
Data di atas menunjukkan bahwa selama ini sebagian besar kebutuhan bahan baku perikanan laut dipasok dari luar provinsi.
161 Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis
perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas produksi. Kondisi juga terjadi di hampir semua industri berbasis perikanan laut di
Indonesia Nikijuluw 2008. Diperkirakan bahwa saat ini industri berbasis perikanan laut sedang beroperasi pada level 70 dari kapasitas produksi
Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009. Hal ini mengundang keprihatinan pihak-pihak yang terkait karena sangat menghambat investasi dalam bidang
usaha tersebut. Fakta ini tidak sejalan dengan karakteristik Wilayah Pengelolaan Perikanan
WPP-714 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera, yang merupakan wilayah tangkap yang kaya akan jenis ikan pelagis
besar sehingga termasuk ke dalam wilayah yang banyak disebut sebagai golden fishing ground Anonim 2009. Sebagai contoh, pada tahun 2008, produksi
tangkap perikanan laut Sulawesi Utara adalah 204.169,9 ton atau meningkat 5,5 dibandingkan dengan tahun sebelumnya Lalu, Harian Manado Post 29
Januari 2009. Dari jumlah tersebut, yang diekspor ke luar negeri adalah 17,53 dengan nilai US 94,68, selebihnya dikonsumsi secara lokal dan dalam negeri.
Untuk Kota Bitung sendiri, produksi perikanan tangkap tahun 2000 adalah 119.896 ton dengan nilai Rp 692,7 juta atau merupakan 60 persen dari produksi
Provinsi Sulawesi Utara Anonim 2001. Potensi hasil tangkap tersebut di atas dapat diupayakan untuk ditingkatkan.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkap perikanan laut adalah menekan aktivitas perikanan IUU illegal, unreported,
unregulated Nikijuluw 2008 dan sekaligus penegakan hukum terhadap penjualan ikan ditengah laut kepada nelayan asing. Aktivitas perikanan IUU
menyebabkan kehilangan produksi tangkapan perikanan laut yang sangat besar. Handoko 2004 dalam Nikijuluw 2008 menduga jumlah devisa yang hilang
akibat perikanan IUU di Indonesia berkisar Rp 19 trilyuntahun. Karena jumlah kerugian tersebut sangat besar maka pengorbanan besar yang harus
dikeluarkan untuk mengatasinya mendapat legitimasi yang kuat. Nikijuluw 2008 menulis bahwa ada tujuh strategi yang dapat dilakukan
untuk memerangi perikanan IUU, yaitu: 1 pengembangan perikanan rakyat, 2 pengembangan industri perikanan terpadu, 3 kerjasama internasional, 4
regionalisasi pengelolaan perikanan, 5 perbaikan sistem perizinan, 6 pengembangan sistem pengawasan, dan 7 pengembangan sistem peradilan
162 perikanan. Pengembangan perikanan rakyat dimaksudkan agar nelayan lokal
memiliki kemampuan perkapalan penangkap ikan yang lebih baik sehingga aktivitasnya dapat sekaligus berperan sebagai pengawas laut dari illegal fishing.
Pengembangan industri perikanan terpadu dimaksudkan untuk melawan sistem yang sama tapi yang dipasok dengan bahan baku dari perikanan IUU.
Melalui sistem ini maka harga produk perikanan laut legal akan menjadi semakin kompetitif sehingga dapat mengurangi pangsa pasar produk perikanan dari
perikanan IUU. Kerjasama internasional harus dilakukan mengingat IUU merupakan
kejahatan lintas negara. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri dan efektif oleh Indonesia. Kerjasama tersebut terutama perlu dilakukan dengan negara
tetangga yang memiliki kesamaan visi dan kepentingan. Dilain pihak, regionalisasi pengelolaan perikanan diperlukan mengingat luasnya wilayah
perairan Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah juga perlu berperan dalam menekan perikanan IUU yang sangat merugikan keberlanjutan aktivitas sektor
industri manufaktur di daerah. Fakta menunjukkan bahwa selama ini, orientasi pemberian izin
penangkapan ikan adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Sistem perizinan tersebut perlu dirubah sehingga sesuai dengan tujuan pembangunan
dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Sistem pengawasan terhadap IUU sangat tergantung pada dua hal utama,
yaitu peralatan pengawasan dan manusia sebagai pengawas. Peralatan pengawasan dapat berupa kapal patroli atau pengawasan melalui sarana satelit
dan elektronik yang dikenal dengan vessel monitoring system VMS. Pengawasan juga dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat nelayan.
Dalam rangka mengefektifkan peradilan terhadap pelaku IUU maka sesuai dengan UU No. 312004 tentang Perikanan maka peradilan khusus perikanan
telah dibangun di lima tempat, yaitu: Belawan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung, dan Tual. Salah satu sasaran dari peradian ini adalah peradilan yang cepat dan
sanksi hukum yang tegas sehingga dapat memberikan efek jera. Penerapan Sertifikasi Hasil Tangkapan Catch Certification dari
Masyarakat Uni Eropa sejak 1 Januari 2010 perlu mendapat dukungan semua pihak. Regulasi ini menguntungkan dan memperkuat upaya Indonesia dalam
memerangi praktek “IUU Fishing” Nikijuluw 2008. Mekanisme yang dibangun
163 dalam Regulasi tersebut adalah dengan melarang masuknya produk perikanan
yang berasal dari kegiatan “IUU Fishing” ke pasar Uni Eropa. Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Kelapa menunjukkan
bahwa dengan dibangunnya 3 tiga unit industri besar berbasis kelapa dan 37 unit industri menengah dan kecil berbasis kelapa maka kekurangan pasokan
bahan baku kelapa setara kopra di Provinsi Sulawesi Utara akan berkisar antara 184.724 ton sd 269.089 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar,
namun kontribusi yang diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut relatif kecil, yaitu sekitar ±3,38 persen
.
Dengan kata lain
,
kondisi kekurangan pasokan bahan baku juga sedang dialami oleh industri berbasis kelapa yang
sedang beraktivitas di Provinsi Sulawesi Utara dan selama ini sebagian besar kebutuhan bahan baku dipasok dari luar provinsi.
Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas
produksi. Sama seperti pada industri berbasis perikanan laut, diperkirakan bahwa saat ini industri berbasis kelapa sedang beroperasi pada level 70 dari
kapasitas produksi Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009. Tidak seperti sektor perikanan laut yang dapat meningkatkan ketersediaan
bahan baku ikan segar dengan mengimport dan atau menekan IUU dan penjualan ikan di tengah laut, kekurangan pasokan kelapa secara siknifikan
hanya dapat diatasi dengan cara mengimpor kelapa dari luar Provinsi. Upaya- upaya lainnya seperti intensifikasi produksi dapat dilakukan tapi hanya akan
memberikan peningkatan produksi yang tidak siknifikan. Upaya ekstensifikasi usaha sulit dilakukan karena keterbatasan lahan yang dapat dikonversi menjadi
perkebunan. Kontradiktif, saat ini banyak lahan perkebunan kelapa yang mengalami konversi penggunaan menjadi permukiman dan bisnis karena
tuntuan kebutuhan. Karena pertimbangan kondisi pasokan bahan baku kelapa tersebut maka
orientasi industri berbasis kelapa perlu diubah ke arah industri produk non- konvensional, yaitu industri yang dapat memanfaatkan produk turunan kelapa
menjadi produk kesehatan atau perawatan tubuh. Jenis industri ini tidak mengandalkan pasokan bahan baku dalam jumlah besar. Produk-produk
demikian dapat meningkatkan nilai tambah kelapa beberapa kali lipat. Sebagai contoh, konversi arang tempurung menjadi arang aktif memberikan peningkatan
164 nilai tambah tiga sampai empat kali lipat Wawancara pribadi dengan Perera
2009. Dari hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Agro-Kompleks diketahui
bahwa Industri Peternakan Ayam dan Penggemukan Sapi menyerap pakan ternak yang dipasok oleh industri pakan ternak yang terdapat di dalam MP-AEIP.
Keterkaitan ini potensial menguntungkan kedua pihak industri karena berkurangnya biaya transportasi dan biaya sosial terhadap lingkungan karena
dimanfaatkannya bahan-bahan ikutan di dalam pembuatan pakan ternak. Sebagai pembanding, studi tentang penerapan Eco-Industrial Networks konsep
yang sama seperti EIP di Vancouver, Canada memprediksi bahwa lalu lalang kendaraan untuk semua keperluan kawasan industri angkutan produk, peralatan
dan mesin, tenaga kerja, dan lain lain akan berkurang sebesar 25 Anonim 2002. Penurunan lalu lalang kendaraan tersebut akan meningkatkan efisiensi
kawasan industri dan kualitas lingkungan secara keseluruhan. Selanjutnya, eksistensi Rumah Potong Hewan RPH sangat potensial meningkatkan nilai
tambah produk dan jaminan atas tingkat keamanan ternak potong serta dapat menciptakan peluang ekspor.
Industri pengomposan juga memberikan kontribusi pada pemeliharaan lingkungan karena pemanfaatannya terhadap kotoran dan urin yang dihasilkan
oleh Industri Peternakan Ayam, Industri Penggemukan Sapi, serta limbah cair, yaitu darah ikan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis Perikanan Laut. Kompos
yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau dan Taman yang terdapat di dalam kawasan industri. Kelebihan pasokan
kompos yang diproduksi dapat dijual kepada petani palawija, hortikultura, atau kepada rumah tangga-rumah tangga untuk budidaya dan atau pemeliharaan
tanaman pekarangan. Industri pengomposan memiliki prospek yang cerah karena meningkatnya kecenderungan penggunaan pupuk organik, sebagai
susbtitusi terhadap pupuk sintetis yang telah terbukti kurang ramah lingkungan. Hasil kajian terhadap Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi
Terbarukan menunjukkan bahwa potensi alam, seperti tenaga angin dan tenaga surya di Kota Bitung, dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik
terbarukan yang ramah lingkungan. Namun demikian, beberapa kajian terakhir menunjukkan bahwa pembangkitan energi tersebut belum menguntungkan
secara finansial, seperti yang dilaporkan oleh Ardana 2009 yang meneliti pembangkit listrik tenaga angin dan surya di Nusa Penida, Bali. Juga, Negara
165 China yang sementara membangun beberapa pembangkit dengan kapasitas 1,5
MW per kincir angin mengalami hal yang sama Prabowo 2009. Walaupun saat ini belum menguntungkan namun dalam jangka panjang, prospek pembangkit
listrik tenaga angin dan surya akan menjadi lebih baik. Ini akan terjadi pada saat bahan bakar fosil menjadi langka sehingga akan memicu peningkatan harganya.
Disamping itu, pembangunan pembangkit listrik terbarukan merupakan pernyataan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan karena secara nyata
akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca GRK, seperti NO
x
, CO
x
, dan SO
x
Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa bahan ikutan tempurung kelapa menunjukkan bahwa sejak tahun 2016, jumlah pasokan
. Hasil simulasi terhadap Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan memberikan
beberapa informasi penting yang terkait dengan pemanfaatan limbah dan bahan ikutan serta potensi manfaat lingkungan yang dihasilkan. Hasil simulasi terhadap
Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut menunjukkan bahwa bahan ikutan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis
Perikanan Laut dapat memenuhi hampir semua kebutuhan untuk pembuatan tepung ikan dan pakan ternak. Bahkan, di tahun 2024 ketika semua industri
berbasis perikanan laut telah selesai dibangun, sisa pasokan bahan ikutan yang tidak terserap oleh industri pengguna adalah sekitar 11 ribu ton. Informasi ini
menunjukkan bahwa pada tahun itu, kapasitas produksi industri tepung ikan dan pakan ternak dapat ditingkatkan.
Hasil simulasi terhadap produksi darah ikan dan urine ternak sapi menunjukkan bahwa tingkat penggunaannya masih rendah. Hal ini dapat diatasi
dengan cara meningkatkan penggunaannya pada Industri Pakan Ternak. Namun jumlah penggunaannya pada Industri Pakan Ternak sangat tergantung pada
kuantitas bahan ikutan yang dihasilkan oleh industri berbasis perikanan laut dan industri berbasis kelapa. Darah dan urine yang tidak termanfaatkan harus diolah
terlebih dahulu di Pusat Pengolahan Limbah Cair sebelum dibuang ke lingkungan.
Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa menunjukkan bahwa di tahun-tahun akhir dari simulasi, penggunaan
bahan ikutan air kelapa melampaui ketersediaan air kelapa yang dihasilkan oleh industri Kelapa Parut Kering KPK. Namun, kekurangan pasokan ini dapat
disuplai oleh industri KPK yang terletak di sekitar MP-AEIP Bitung yang belum memanfaatkan bahan ikutan air kelapa secara optimal.
166 tempurung kelapa setara arang tempurung tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku arang tempurung untuk industri arang aktif. Misalnya, di tahun 2024, kekurangan pasokan tempurung kelapa setara arang tempurung
adalah sebesar 1.512 ton. Namun, kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan sosialisasi yang lebih luas dan intensif kepada petani
kelapa untuk memasok tempurung kelapa. Sosialisasi yang baik yang disertai dengan jaminan pembelian bahan baku dengan harga yang kompetitif akan
meningkatkan secara siknifikan pasokan bahan baku dari petani kelapa. Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa feces ternak
sapi dan ayam dan urine ternak sapi menunjukkan bahwa pasokannya untuk industri pengomposan lebih kecil dari kebutuhan, dengan kisaran antara 132 ton
sd 395,3 ton per tahun. Sisa feces dan urine ternak untuk produksi kompos menjadi positif mulai tahun 2023. Kekurangan pasokan feces dan urine tersebut
dapat diatasi dengan cara menyesuaikan kapasitas produksi kompos atau mendatangkannya dari luar MP-AEIP Bitung. Pemanfaatan limbah tersebut
secara siknifikan akan menurunkan biaya penanganan limbah dan sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan.
Secara keseluruhan penerapan MP-AEIP Bitung akan menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan seperti yang tercantum pada Tabel
7.1. Tabel 7.1. Hasil Simulasi Penurunan Limbah dan Peningkatan
Penggunaan Bahan Ikutan di dalam MP-AEIP
No Komponen Peningkatan
Penggunaan bahan ikutan
Penurunan limbah cair
Ket 1
Darah ikan -
161.950 ltr 24,96
- 2
Urine ternak sapi -
161.950 ltr 6,25 -
3 Feces ternak sapi dan
ayam -
2.015.733 kg 94,40
- 4
Limbah cair total -
12.127.500 liter 1 dari limbah cair
total -
5 Bahan ikutan perikanan
laut 24.290.500 kg
93,59 -
- 6
Bahan ikutan air kelapa 11.803.600 liter
93,01 -
- 7
Bahan ikutan tempurung kelapa
2.160.000 kg 100
- Perlu
pasokan dari luar
167 Data di dalam Tabel 7.1. menunjukkan bahwa walaupun penurunan limbah
cair dan peningkatan penggunaan bahan ikutan cukup siknifikan namun secara keseluruhan hanya berkontribusi pada penurunan limbah cair total sebesar 1
dari kuantitas limbah cair yang dihasilkan oleh kawasan industri. Kecilnya persentasi penurunan limbah cair tersebut disebabkan oleh sangat besarnya
kuantitas limbah cair yang dihasilkan terutama oleh industri perikanan laut. Sebagai contoh, setiap kilogram ikan segar membutuhkan air cuci sebanyak 20
liter. Data hasil simulasi Tahun 2024 menunjukkan bahwa total limbah cair yang
dihasilkan oleh kawasan industri adalah 1.329.844 m
3
atau sebesar 3.594 m
3
hari. Data ini hampir dua kali lipat dibandingkan dengan limbah cair yang dihasilkan Eco-industrial networks EIN di Vancouver, Canada, yaitu sebesar
740.915 m
3
Sesuai dengan prinsp-prinsip ekologi industri maka keberlanjutan aktivitas industri dapat diupayakan dengan beberapa cara. Pertama, kerjasama antar
perusahan dalam hal pertukaran materi dan limbah sehingga produksi limbah industri dan bahan ikutan dapat diupayakan seminimal mungkin. Hasil simulasi
MP-AEIP Bitung menunjukkan bahwa kerjasama antar industri berpotensi menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan secara
siknifikan. Kedua, sistem produksi industri di dalam MP-AEIP Bitung yang mempertimbangkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan juga akan
tahun Anonim 2002. Limbah cair di EIN tersebut diprediksi dapat diturunkan sampai sebesar 25 atau jauh lebih besar dibandingkan dengan
hasil simulasi dalam MP-AEIP Bitung. Ini berarti perlu dilakukan upaya untuk menurunkan penggunaan air cuci atau memanfaatkan limbah cair sebelum atau
sesudah diolah di Pusat Pengolahan Limbah Cair. Upaya tersebut dapat berupa inovasi teknologi untuk menurunkan penggunaan air per satuan berat bahan
baku dan atau pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan tertentu.
7.2. Implikasi terhadap Keberlanjutan Aktivitas Industri Agro