32
Toli- toli
Gorontalo
Poso Palopo
Palu
Pare -
pare
Makassar
Takalar Bulukumb
a Watam
-pone Kolaka
Manado
Luwuk
Bau- bau
Kendari Bitung
Nasional Internasional
Nasional Internasional
Kalimantan Selatan dan
Timur
NTT NTB KTI: Maluku,
Irian
Nasional Nasional
Nasional Nasional
Gambar 2.4. Konsep dan Skenario Pengembangan Pulau Sulawesi Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Pulau
Sulawesi Depkimpraswil 2002.
2.5. Pola Keterkaitan Antar Industri
Pola keterkaitan antar industri dapat diukur dengan pengukuran kuantitatif menggunakan “connectance value,” yang didefinisikan sebagai jumlah
interaksi langsung dalam suatu jaring makanan dibagi dengan jumlah keseluruhan interaksi yang mungkin terjadi Hardy dan Graedel 2002. Nilai
keterkaitan C dihitung menggunakan rumus: C = 2 L [SS-1]
Dimana: -
S adalah jumlah spesies atau industri di dalam jaring makanan suatu kawasan tertentu.
- L adalah jumlah interaksi antar industri.
- C berkisar antara 13,5 - 84,6, dengan nilai median adalah 42,3.
Ilustrasi dari suatu ekosistem yang terdiri atas sembilan spesies adalah seperti pada Gambar 2.5. Hasil perhitungan dengan rumus di atas diperoleh
nilai C = 0,416 atau 41,6. Semakin tinggi nilai keterkaitan C tersebut diatas belum mengindikasikan
stabilitas ekosistem atau efisiensi de Ruiter et al 1995 dalam Hardy dan Graedel 2002. Oleh karena itu diperlukan perhitungan simbiosis lainnya.
33 Keterkaitan yang besar berarti bahwa aliran material sedang dipertukarkan
bukan dibuang. Itu tidak menyatakan tentang besaran aliran atau kepentingan lingkungannya. Namun, secara jelas terlihat bahwa, kuantitas yang lebih besar
yang digunakan secara simbiosis adalah lebih penting bagi lingkungan dibandingkan dengan kuantitas yang kecil. Dengan demikian, penggunaan
material yang secara potensial berbahaya secara lingkungan lebih penting dibandingkan dengan penggunaan material yang ramah lingkungan.
Gambar 2.5. Matriks komunitas spesies Keterangan: A, B, C, D, Y, E, F, X, dan G adalah spesies di
dalam komunitas 0 = tidak ada interaksi; 1 = ada interaksi
A B
Y C
E F
D
X G
M angs
a a
ta u
su m
b er
d a
ya Pemangsa atau konsumen
E F
X G
C D
Y A
B E
1 1
F 1
1 1
X 1
1 G
1 1
C 1
D 1
1 Y
1 1
1 A
B
34
III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Konseptual
3.1.1. Definisi Eco-Industrial Park yang digunakan
Model “eco-industrial park” EIP adalah “suatu sistem industri dimana terjadi pertukaran material dan energi secara terencana dan berupaya untuk
menurunkan penggunaan bahan baku dan energi, menurunkan limbah, dan membangun hubungan keberlanjutan antara ekonomi, ekologi, dan sosial” The
United States President’s Council on Sustainable Development dalam
3.1.2.1 Asumsi Dasar
Korhonen 2001.
3.1.2. Asumsi Dasar dan Batasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi dasar, yaitu sebagai berikut: a. Aplikasi Peraturan Pemerintah PP tentang Kawasan Industri dalam jangka
panjang akan bersifat efektif dan efisien. b. Regulasi pemerintah terkait dengan pengembangan industri bersifat
konsisten dan tidak anti-competitive. c. Tidak adanya resistensi terhadap penerapan rancangan model oleh
pemangku kepentingan. d. Setelah semua fasilitas penunjang AEIP Bitung selesai dibangun dengan
tahun initialawal 2010 maka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan keseluruhan pabrik adalah lima belas tahun.
3.1.2.2. Batasan Penelitian
1. Batasan penelitian ini adalah seperti yang dirumuskan di dalam tujuan umum, yaitu perancangan model pengembangan “agro-eco-industrial park”
AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara; dan ke-tiga tujuan khusus penelitian, yaitu mengevaluasi kondisi aktual dari aktivitas industri agro; menyusun
model pengembangan AEIP Bitung, dan menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model.
2. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk merancang desain tata letak, mendesain infrastruktur atau mendesain bangunan, dan fasilitas pendukung
Agro-eco-industrial park. 3. Model yang dibangun tidak memasukkan unsur teknologi sebagai variabel
dalam pemodelan.