Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran

peruntukkan di Kepulauan Tanakeke, didapatkan bahwa kegiatan budidaya perikanan seperti rumput laut dan keramba jaring apung layak dikembangkan di Pulau Tanakeke dan Lantangpeo. 4. Saksono 2008 dengan judul “Kajian Pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulau an Seribu Berbasis Industri Perikanan”. Penelitian ini bertujuan menguji dan menganalisis interaksi antar faktor pembangunan Kabupaten danatau kota yang berbasis industri perikanan; dan merancang suatu model pembangunan bagi kabupaten administrasi Kepulauan Seribu berbasis industri perikanan. 5. Thamrin 2009 dengan judul “Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Secara Berkelanjutan Di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat – Malaysia” Studi Kasus Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang - Serawak, menyimpulkan bahwa model pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang dibangun dari empat sub model berdasarkan analisis sistem dinamik, yakni : sub model pengembangan wilayah, sub model budidaya pertanian, sub model pengembangan industri, dan sub model pengolahan dan pemasaran produk. Hasil identifikasi potensi wilayah, menunjukkan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang sangat potensial untuk pengembangan kawasan agropolitan terpadu. 6. Radarwati 2010 dengan judul “Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Di Perairan Jakarta, Provinsi DKI Jakarta” menyimpulkan bahwa tingkat keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta berada pada tahap pertumbuhan dan pengelolaan dalam kategori kurang baik dalam merespon faktor-faktor internal dan eksternal, alokasi optimum alat tangkap terbesar adalah bubu dengan 8.547 unit, sedangkan ruang yang dapat dimanfaatkan sebesar 52,89 dari luas perairan 748 ha dengan strategi standarisasi perikanan ukuran kecil menjadi prioritas utama untuk diimplementasikan. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah daratan meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sendimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran Soegiarto, 1984; Beatley et al., 1994. Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa “Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut ”; sedangkan “Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perair an dangkal, rawa payau, dan laguna”. Sumberdaya alam pesisir dan laut, dewasa ini sudah semakin disadari banyak orang bahwa sumberdaya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Di sisi lain, konsekuensi logis dari sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumberdaya milik bersama common property dan terbuka untuk umum open acces maka pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut dewasa ini semakin meningkat di hampir semua wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung melebih daya dukung sumberdaya over exploitation. Ghofar 2004, mengatakan bahwa perkembangan eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dewasa ini penangkapan, budidaya, dan ekstraksi bahan-bahan untuk keperluan medis telah menjadi suatu bidang kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar market driven terutama jenis- jenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mendorong eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dalam skala dan intensitas yang cukup besar. Sedangkan menurut Purwanto 2003, mengatakan bahwa ketersediaan stok sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan fishing ground di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris hilang dari perairan Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan jumlah armada penangkapan, penggunaan alat dan teknik serta teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Secara ideal pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus mampu menjamin keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha perikanan pantai yang ekonomis dan produktif. Keberlanjutan fungsi ekologis akan menjamin eksistensi sumberdaya serta lingkungan hidup ikan Anggoro, 2004. Wilayah pesisir memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan terpadu pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan Supriharyono, 2000. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh comprehensive assessment, merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan Bengen, 2004. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial- ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir stakeholders serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. Dalam dimensi keterpaduan ICM Integrated Coastal Management atau pengelolaan secara terpadu meliputi lima aspek, yaitu a keterpaduan sektor, yaitu antara berbagai sektor pembangunan di wilayah pesisir, seperti perikanan budidaya, pariwisata, pertambangan migas, perhubungan dan pelabuhan, pemukiman, pertanian pantai; b keterpaduan wilayahekologis, yaitu antara daratan dan perairan laut yang masuk dalam suatu sistem ekologis, c keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintah, yaitu dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder yang terdapat di wilayah pesisir dan juga adanya keterpaduan antara pemerintah pada berbagai level, seperti pusat, propinsi, dan kabupaten; d keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu, yaitu dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu terkait dengan pesisir dan lautan, seperti ilmu sosial-budaya, fisika, biologi, keteknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan; e keterpaduan antar negara, yaitu kerja sama dan koordinasi antar negara dalam mengelola sumberdaya pesisir, terutama yang menyangkut kepentingan seluruh umat manusia Cincin-Sain, 1993.

2.2 Strategi Pengembangan Wilayah

2.2.1 Pengembangan Wilayah dalam perspektif Development from Below

Pendekatan konsep pengembangan wilayah yang berbasis pada kekuatan ekonomi dan sumber daya lokal, merupakan suatu respon terhadap pendekatan yang bersifat top-down. Mekanisme pola ketergantungan dependency serta struktur hubungan produksi dan distribusi yang berbeda antara core dan periphery, yang sangat kontras dengan pemikiran sistem integrasi pusat-pusat dalam suatu lingkup sistem jaringan, tidak memungkinkan terjadinya proses „penjalaran‟ atau yang dikenal dengan trickling down effects. Berkaitan dengan dependency serta distorsi yang terjadi antara wilayah core dan periphery kesenjangan wilayah, Myrdall 1957, Hirschman 1958, dan Friedmann 1966, mengatakan bahwa ekonomi wilayah yang terintregasi dan terkait dengan basis ekonomi dunia yang tidak seimbang akan menimbulkan dua kecenderungan fenomena. Pertama, aktivitas pembangunan yang mengarah pada gejala polarisasi atau backwash effect. Kedua, leakages atas pemanfaatan sumber daya vital suatu wilayah untuk kepentingan metropolis core atau leading region maupun negara lain. Permasalahan juga ditekankan pada kesulitan untuk menstimulasi keterkaitan ekonomi antara industri-industri di pusat dengan daerah belakangnya, serta ketimpangan oportunitas yang dimiliki dalam segi skala ekonomi, potensi perubahan struktur sumber daya manusia dan teknologi oleh core dan periphery. Gejala yang umum terjadi adalah mobilitas kapital, tenaga kerja dan sumber daya terakumulasi di kutub-kutub pertumbuhan growth pole sementara akibat pengaruh leakages eksternal maupun internal yang terjadi, wilayah periphery makin tertinggal. Bertolak dari konsepsi pemikiran bahwa leakages atas proses produksi lokal akan meminimisasi pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, teori “development from below” mensyaratkan adanya suatu tahapan dalam internalisasi sumber daya untuk menghasilkan produk bagi pemenuhan konsumsi masyarakat lokal, misalnya melalui cara pengembangan industri padat karya skala kecil, atau secara ekstrim dapat dikatakan melakukan perubahan di dalam