Perumusan Masalah Development of marine culture-based minapolitan model in Kupang Regency

melibatkan berbagai disiplin ilmu terkait dengan pesisir dan lautan, seperti ilmu sosial-budaya, fisika, biologi, keteknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan; e keterpaduan antar negara, yaitu kerja sama dan koordinasi antar negara dalam mengelola sumberdaya pesisir, terutama yang menyangkut kepentingan seluruh umat manusia Cincin-Sain, 1993.

2.2 Strategi Pengembangan Wilayah

2.2.1 Pengembangan Wilayah dalam perspektif Development from Below

Pendekatan konsep pengembangan wilayah yang berbasis pada kekuatan ekonomi dan sumber daya lokal, merupakan suatu respon terhadap pendekatan yang bersifat top-down. Mekanisme pola ketergantungan dependency serta struktur hubungan produksi dan distribusi yang berbeda antara core dan periphery, yang sangat kontras dengan pemikiran sistem integrasi pusat-pusat dalam suatu lingkup sistem jaringan, tidak memungkinkan terjadinya proses „penjalaran‟ atau yang dikenal dengan trickling down effects. Berkaitan dengan dependency serta distorsi yang terjadi antara wilayah core dan periphery kesenjangan wilayah, Myrdall 1957, Hirschman 1958, dan Friedmann 1966, mengatakan bahwa ekonomi wilayah yang terintregasi dan terkait dengan basis ekonomi dunia yang tidak seimbang akan menimbulkan dua kecenderungan fenomena. Pertama, aktivitas pembangunan yang mengarah pada gejala polarisasi atau backwash effect. Kedua, leakages atas pemanfaatan sumber daya vital suatu wilayah untuk kepentingan metropolis core atau leading region maupun negara lain. Permasalahan juga ditekankan pada kesulitan untuk menstimulasi keterkaitan ekonomi antara industri-industri di pusat dengan daerah belakangnya, serta ketimpangan oportunitas yang dimiliki dalam segi skala ekonomi, potensi perubahan struktur sumber daya manusia dan teknologi oleh core dan periphery. Gejala yang umum terjadi adalah mobilitas kapital, tenaga kerja dan sumber daya terakumulasi di kutub-kutub pertumbuhan growth pole sementara akibat pengaruh leakages eksternal maupun internal yang terjadi, wilayah periphery makin tertinggal. Bertolak dari konsepsi pemikiran bahwa leakages atas proses produksi lokal akan meminimisasi pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, teori “development from below” mensyaratkan adanya suatu tahapan dalam internalisasi sumber daya untuk menghasilkan produk bagi pemenuhan konsumsi masyarakat lokal, misalnya melalui cara pengembangan industri padat karya skala kecil, atau secara ekstrim dapat dikatakan melakukan perubahan di dalam institusi dan keterkaitan hubungan struktur ekonomi. Hal ini didukung pendapat Hirschman 1958, bahwa pengembangan wilayah atas suatu periphery hanya dapat dilakukan dengan melindunginya dari pengaruh polarisasi wilayah. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi wilayah, usaha internalisasi yang dilakukan dalam bentuk komponen elemen-elemen produksi sumber daya maupun investasi dimaksudkan untuk memaksimalkan efek mulitiplier lokal terhadap sektor-sektor perekonomian wilayah melalui kontrol backwash effects yang terjadi dengan bertumpu pada karakter dasar wilayah tersebut. Proses internalisasi potensi lokal wilayah merupakan awal bagaimana suatu wilayah dapat berkembang. Menurut perspektif teori ini, terdapat berbagai strategi pendekatan pengembangan wilayah, yaitu pendekatan pengembangan territorial, fungsional, dan pendekatan minapolitan. Secara umum pendekatan- pendekatan tersebut memfokuskan pada upaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap wilayah pusat. Pendekatan-pendekatan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah saat ini, yakni kebijakan pengembangan ekonomi dan pembiayaan usaha kelautan dan perikanan Kemenko Ekonomi, 2010 yang tertulis dalam strategi utama pembangunan 2010-2014, dimana pembangunan harus berdimensi kewilayahan pengklasteran dan ditopang oleh penguatan ekonomi lokal. Berikutnya akan dibahas mengenai pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan melalui sistem pengklasteran minapolitan.

2.2.2 Konsep Pengembangan Minapolitan

Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang penting bagi hajat hidup masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penggerak utama prime mover perekonomian nasional. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, industri di sektor perikanan memiliki keterkaitan backward and forward linkage yang kuat dengan industri-industri lainnya. Ketiga, industri perikanan berbasis sumberdaya lokal atau dikenal dengan istilah resources-based industries dan keempat, Indonesia memiliki keunggulan comparative advantage yang tinggi di sektor perikanan sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber daya ikannya. Dengan potensi tersebut sumber daya perikanan sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif untuk menjadi sektor unggulan. Walaupun sektor perikanan memiliki peran dan potensi sebagai prime mover ekonomi nasional, akan tetapi sampai saat ini peran dan potensi tersebut masih terabaikan dan belum teroptimalkan dengan baik. Keunggulan komparatif yang kita miliki belum mampu untuk kita transformasikan menjadi keunggulan kompetitif. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya kinerja sektor ekonomi berbasis perikanan serta munculnya berbagai permasalahan yang membutuhkan sebuah penanganan yang cepat dan tepat. Beberapa permasalahan yang sering dihadapi seperti biaya produksi yang masih tinggi, lemahnya permodalan, lemahnya kemampuan pembudidayaan ikan, baik benih, pakan, penyakit, pengelolaan lingkungan budidaya dan penanganan pasca panen. Selain itu dengan semakin terbukanya pasar pada masing-masing negara menjadi tantangan bagi pembangunan perikanan nasional. Bila permasalahan-permasalahan tersebut tidak ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin dapat menghambat peningkatan daya saing sektor perikanan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster. Di beberapa negara, industri yang berbasis klaster telah terbukti mampu menunjukkan kemampuannya secara berkesinambungan dalam menembus pasar. Strategi klaster menawarkan upaya pembangunan ekonomi yang lebih efektif dan komprehensif. Strategi ini memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat antara berbagai stakeholders yang terkait dengan sektor perikanan. Pendekatan klaster dalam pengembangan sumberdaya perikanan selanjutnya disebut klaster minapolitan dapat diartikan sebagai suatu bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu Porter, 2000. Upaya ini dilakukan guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas dengan menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu komoditi. Bentuk pemusatan yang dilakukan adalah dimana dalam suatu kawasan tersedia subsistem-subsistem dalam agribisnis perikanan dari subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang. Adanya pemusatan aktivitas tersebut dapat mengurangi biaya-biaya terutama biaya transportasi antar subsistem yang terfokus pada komoditas perikanan tersebut. Efisiensi dan efektifitas yang diciptakan, dengan sendirinya akan mampu meningkatkan daya saing produk perikanan baik pada skala domestik maupun internasional. Dalam mengembangkan klaster perikanan minapolitan, berbagai aspek baik dari subsistem hulu, subsistem hilir maupun jasa penunjang haruslah saling mendukung satu sama lainnya Friedmann, 1966. Klaster Minapolitan yang baik dicirikan oleh tingginya tingkat keterkaitan berbagai kegiatan yang saling