Model Experiential Learning Deskripsi Teoritik

kegiatan dan Refleksi analisis dampak kegiatan terhadap perkembangan individu. Ketiganya merupakan kontribusi penting dalam tercapainya tujuan pembelajaran. Relasi dari ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut: 18 Bagan 2.1 Relasi antara EL dengan Aspek Pembelajaran Sedangkan dalam merancang experiental learning, ada 4 tahapan yang harus dilalui yaitu: 1. Experiencing : tantangan pribadi atau kelompok, 2. Reviewing : menggali individu untuk mengkomunikasikan pembelajaran dari pengalaman yang didapat, 3. Concluding : menggambarkan kesimpulan dan kaitan antara masa lalu dan sekarang, serta 4. Planning : menerapkan hasil pembelajaran yang dialaminya. 3 Peran Fasilitator Di dalam proses belajar dengan model experiential learning, pengajar berfungsi sebagai seorang fasilitator. Artinya pengajar hanya memberikan arah guide tidak memberikan informasi secara sepihak dan menjadi sumber pengetahuan tunggal. Setelah peserta didik melakukan suatu aktivitas, selanjutnya peserta didik akan mengabstraksikan sendiri pengalamannya. Permasalahan yang dihadapi, bagaimana cara menyelesaikan masalah, apa yang dapat 18 Ibid., h. 2. dipelajari untuk memperbaiki diri dimasa depan. Jadi, pengajar lebih menggali pengalaman peserta itu sendiri. Untuk itu kemampuan yang diperlukan untuk menjadi fasilitator adalah mengobservasi perilaku peserta didik, menghidupkan suasana aktif partisipatif, bersikap netral dan percaya atas kemampuan peserta didik untuk memecahkan persoalannya sendiri. 4 Tahap-tahap Experiential Learning Model Experiential Learning sebagai pembelajaran dapat dilihat sebagai sebuah siklus yang terdiri dari dua rangkaian yang berbeda, memiliki daya tangkap dalam pemahaman dan memiliki tujuan yang berkelanjutan. Bagaimanapun, kesemua itu harus diintegrasikan dengan urutan untuk mempelajari apa yang terjadi. Daya tangkap dalam memahami sesuatu sangat dipengaruhi oleh pengamatan yang dialami lewat pengalaman, sementara tujuan yang berkelanjutan berhubungan dengan perubahan dari pengalaman. Komponen- komponen tersebut harus saling berhubungan untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain dapat disingkat sebagai beriku t “pengamalan yang dilakukan sendirian tidak cukup dijadikan pembelajaran, harus dilakukan secara terperinci dan perubahan yang dilakukan sendiri tidak dapat mewakili yang dibutuhkan pembelajaran, untuk itu diperlukan perubahan yang dibutuhkan dalam pembelajaran”. David Kolb, mengembangkan Model Experiential Learning yang dapat digambarkan seperti berikut ini: 19 19 Ilham Budiman, Model Pembelajaran Experiental Learning, 2011, h. 4, http:fisikasma-online.blogspot.com. 06 Desember 2011, 11:48 WIB. Bagan 2.2 Siklus Model Experiential Learning David Kolb Mengacu pada bagan di atas, pada dasarnya pembelajaran Model Experiential Learning ini sederhana dimulai dengan melakukan do, refleksikan reflect dan kemudian terapkan apply. Jika dielaborasi lagi maka akan terdiri dari lima langkah, yaitu mulai dari proses mengalami experience, berbagi share, analisis pengalaman tersebut proccess, mengambil hikmah atau menarik kesimpulan generalize, dan menerapkan apply. Begitu seterusnya kembali ke fase pertama, alami. Siklus ini sebenarnya tidak pernah berhenti. Masing-masing tujuan dari rangkaian-rangkaian tersebut kemudian muncullah langkah-langkah dalam proses pembelajaran, yaitu: Concrete experience, Reflective observation, Abstract concep- tualization, Active experimentation. Bagan 2.3 Siklus empat langkah dalam Experiential Learning David Kolb. 20 20 Ibid. Adapun penjabaran dari langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Concrete experience feeling: Belajar dari pengalaman- pengalaman yang spesifik. Peka terhadap situasi. Individu mempunyai pengalaman langsung yang konkrit. 2. Reflective observation watching: Mengamati sebelum membuat suatu keputusan dengan mengamati lingkungan dari perspektif- perspektif yang berbeda. Memandang dari berbagai hal untuk memperoleh suatu makna. Kemudian ia mengembangkan observasinya atau merefleksikannya. 3. Abstract conceptualization thinking: Analisa logis dari gagasan- gagasan dan bertindak sesuai pemahaman pada suatu situasi. Dari itu dibentuk generalisasi dan abstraksi. 4. Active experimentation doing: Kemampuan untuk melaksanakan berbagai hal dengan orang-orang dan melakukan tindakan berdasarkan peristiwa. Termasuk pengambilan resiko. Implikasi itu yang diambilnya dari konsep-konsep itu dijadikan sebagai pegangannya dalam menghadapi pengalaman-pengalaman baru. 21 Kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata kemudian direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang telah dilakukannya tersebut. Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian-pengertian baru atau konsep-konsep abstrak yang akan menjadi petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau perilaku-perilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi dikategorikan sebagai proses penemuan finding out, sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikategorikan dalam proses penerapan taking action. 21 S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, cet. 14, h. 111. Menurut experiential learning theory, agar proses belajar mengajar efektif, seorang siswa harus memiliki 4 kemampuan, yakni: 22 Tabel 2.1 Empat Kemampuan Menurut Teori Experiential Learning Kemampuan Uraian Pengutamaan 1 Concrete Experience CE Siswa melibatkan diri sepenuhnya dalam pengalaman. Feeling perasaan 2 Reflection Observation RO Siswa mengobservasi dan merefleksikan atau memikirkan pengalaman dari berbagai segi. Watcing mengamati 3 Abstract Conceptuali zation AC Siswa menciptakan konsep-konsep yang mengintegrasikan observasinya menjadi teori yang sehat. Thinking berpikir 4 Active Experimentation AE Siswa menggunakan teori untuk memecahkan masalah-masalah dan mengambil keputusan. Doing berbuat Untuk menentukan gaya belajar orang, Kolb menciptakan suatu Learning Style Inventory LSI dan membedakan 4 tipe gaya pelajar, yaitu: 23 1. “Converger”. Pelajar ini lebih suka belajar bila dihadapinya soal yang mempunyai jawaban tertentu. Bila mereka menghadapi tugas atau masalah, mereka segera berusaha menemukan jawaban yang tepat. Kemampuan utama mereka adalah AC dan AE. Orang serupa ini termasuk tak-emosional dan lebih suka menghadapi benda daripada manusia. Biasanya minat mereka terbatas dan cenderung untuk mengkhususkan diri dalam ilmu pengetahuan alam dan engineering. 2. “Diverger”. 22 Ibid., h. 112. 23 Ibid., h. 112-114. Pelajar serupa ini lebih mengutamakan CE dan RO, kebalikan dari “converger”. Kekuatan mereka terletak pada kemampuan imajinasi mereka. Mereka suka memandang sesuatu dari berbagai segi dan menjalin berbagai hubungan menjadi suatu keseluruhan yang bulat. Mereka disebut “divergers” karena subur dalam melahirkan ide-ide baru dan trampil dalam “brainstorming”. Mereka ini suka menghadapi manusia. Bidang spesialisasi mereka sering bahasa, kesusastraan, sejarah, dan ilmu-ilmu social lainnya. Bidang pekerjaan yang sesuai dengan tipe ini antara lain, konseling, urusan personalia, dan pengembangan organisasi. 3. “Assimilator”. Cara belajar kelompok ini terutama bersifat AC dan RO. Mereka menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam menciptakan model teori. Mereka disebut assimilator, karena mereka suka mengasimilisasikan berbagai ragam hal menjadi suatu keseluruhan yang bulat. Mereka kurang perhatian kepada menusia dan lebih tertarik kepada konsep-konsep yang abstrak. Mereka juga kurang mengindahkan penerapan praktis dari ide-ide. Bidang studi yang mereka sukai ialah science dan matematika dan pekerjaan yang sesuai bagi mereka ialah perencanaan dan penelitian. 4. “Accomodator”. Mereka ini bertentangan minatnya dengan assimilator. Mereka ini justru tertarik pada pengalaman yang konkrit CE dan eksperimentasi aktif AE. Mereka suka akan pengalaman baru dan melakukan sesuatu. Mereka berani mengambil risiko dan disebut accommodator, karena mereka mampu menyesuaikan diri dalam berbagai situasi yang baru. Mereka intuitif dan sering melakukan cara “trial-and-error” dalam memecahkan masalah-masalah. Mereka kurang sabar dan ingin segera bertindak dan bila dihadapkan dengan teori yang tidak sesuai dengan fakta, mereka cenderung untuk mengabaikannya saja. Bidang studi yang serasi bagi mereka ialah lapangan usaha dan teknik dan menyukai pekerjaan dalam penjualan dan pemasaran. Hubungan antara keempat tipe itu dapat digambarkan dalam bagan yang berikut: Bagan 2.4 Learning Style Inventory dan 4 Tipe Gaya Pelajar Peter Honey dan Alan Mumford mengembangkan sistem cara belajar mereka sebagai variasi pada model Kolb. Empat tahap yang dikembangkan oleh Honey dan Mumford secara langsung saling terkait, karena berbeda dari model Kolb dimana cara belajar yang merupakan produk kombinasi pembelajaran tahapan siklus. Yang khas dari presentasi Honey dan Mumford tentang gaya masing-masing tahapan pada lingkaran atau empat tahap berhubung dengan putaran arus diagram. Tahap1: Having an Experience, mempunyai sebuah Pengalaman dan berperan sebagai Activis gaya 1, baik di sini maupun sekarang. Selain itu, orang dengan ciri ini juga suka berteman, mencari tantangan dan pengalaman, berpikiran terbuka, dan merasa bosan dengan implementasi. Tahap2: Reviewing the Experience, mengulas pengalaman dan berperan sebagai Reflectors gaya 2. Orang dengan tipe ini berusaha mengarah ke belakang, mengumpulkan data, mempertimbangkan dan menganalisis, menunda mencapai berbagai kesimpulan, mendengarkan sebelum berbicara, dan penuh pertimbangan. Tahap3: Concluding from the Experience, menyimpulkan dari pengalaman dan bersikap Theorists gaya 3. Orang dengan tipe ini memikirkan segala hal melalui langkah-langkah yang logis, mengasimilasi berbagai fakta yang berbeda ke dalam teori-teori yang koheren secara rasional dan objektif, serta menolak subjektivitas, juga sembrono dalam berbicara. Tahap4: Planning the next steps, merencanakan langkah selanjutnya dan bersikap Pragmatists gaya 4. Orang dengan tipe ini berusaha mencari dan menguji coba ide baru, praktis, membumi, menikmati pemecahan masalah dan membuat keputusan dengan cepat, serta bosan dengan pembicaraan yang panjang. 24 Dari tahapan di atas, ada kesamaan yang kuat antara Honey dan Mumford tahapan yang sesuai dan gaya belajar Kolb: 25 Activistc= Accommodating, Reflectorc= Diverging Theoristc= Assimilating, Pragmatist = Converging Bagan 2.5 24 Dina Indriana, Mengenal Ragam Gaya Pembelajaran Efektif, Jogjakarta: Diva Press, 2011, h. 129. 25 Budiman, op. cit., h. 6. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa model pembelajaran experiential learning merupakan model pembelajaran yang memperhatikan atau menitikberatkan pada pengalaman yang akan dialami peserta didik. Dengan terlibat langsung dalam proses belajar dan mengkonstruksi sendiri pengalaman-pengalaman yang didapat sehingga menjadi suatu pengetahuan. Seperti halnya model pembelajaran lainnya, dalam menerapkan model experiential learning guru harus memperbaiki prosedur agar pembelajarannya berjalan dengan baik. Menurut Oemar Hamalik, mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiential learning adalah sebagai berikut: 26 1. Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pegalaman belajar yang bersifat terbuka open minded mengenai hasil yang potensialmemiliki seperangkat hasil-hasil alternatif tertentu. 2. Guru memberikan rangsangan dan motivasi pengenalan terhadap pengalaman. 3. Siswa dapat bekerja secara individualbekerja dalam kelompok- kelompok kecilkeseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman. 4. Para siswa di tempatkan di dalam situasi-situasi nyata pemecahan masalah, bukan dalam situasi pengganti. 5. Siswa aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membuat keputusan sendiri, dan menerima konsekuensi berdasarkan keputusan tersebut. 6. Keseluruhan kelas menyajikan pengalaman yang telah dipelajari sehubungan dengan mata pelajaran tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman guru melaksanakan pertemuan yang membahas bermacam-macam pengalaman tersebut. 26 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, cet. 11, h. 213. Berdasarkan pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran experiential learning disusun dan dilaksanakan dengan berangkat dari hal-hal yang dimiliki oleh peserta didik. Prinsip inipun berkaitan dengan pengalaman di dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta dalam cara-cara belajar yang biasa dilakukan oleh peserta didik. 5 Tujuan Experiential Learning Experiential learning dapat didefinisikan sebagai tindakan untuk mencapai sesuatu berdasarkan pengalaman yang secara terus menerus mengalami perubahan guna meningkatkan keefektifan dari hasil belajar itu sendiri. 6 Manfaat Experiential Learning Beberapa manfaat model experiential learning secara individual antara lain adalah: 1 Meningkatkan kesadaran akan rasa percaya diri. 2 Meningkatkan kemampuan berkomunikasi, perencanaan dan pemecahan masalah. 3 Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan untuk menghadapi situasi yang buruk. 4 Menumbuhkan dan meningkatkan komitmen dan tanggung jawab. 5 Mengembangkan ketangkasan, kemampuan fisik dan koordinasi. Sedangkan manfaat model experiential learning dalam membangun dan meningkatkan kerjasama kelompok antara lain adalah: 1 Mengembangkan dan meningkatkan rasa saling ketergantungan antar sesama anggota kelompok. 2 Meningkatkan keterlibatan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. 3 Mengidentifikasi dan memanfaatkan bakat tersembunyi dan kepemimpinan. 4 Meningkatkan empati dan pemahaman antar sesama anggota kelompok.

3. Pembelajaran Konvesional

Pembelajaran konvensional merupakan suatu istilah yang lazim diterapkan dalam pengajaran matematika. Konvensional adalah sebuah pembelajaran secara klasikal yang biasa digunakan oleh setiap pendidik untuk mendidik peserta didiknya. Dalam pembelajaran konvensional, guru memiliki peranan yang sangat penting. Guru dituntut untuk menjelaskan materi dari awal hingga akhir pelajaran untuk menjamin materi tersebut dapat dipahami oleh semua peserta didik, jadi pada proses pembelajaran konvensional lebih berpusat pada guru. Pembelajaran konvensional menyebabkan peserta didik menjadi pasif dalam proses pembelajaran, karena pembelajaran yang berlangsung lebih berpusat pada guru dan komunikasi yang terjadi adalah komunikasi satu arah. Hal ini menyebabkan kurangnya interaksi yang terjadi antara guru dengan peserta didik. Peserta didik lebih banyak mendengarkan, mencatat, dan akhirnya menghafal penjelasan yang diberikan oleh guru. Dalam proses pembelajaran peserta didik hanya sekali-kali bertanya mengenai hal-hal yang disampaikan oleh guru dan biasanya hal tersebut dilakukan oleh peserta didik yang sama. Sehingga proses pembelajaran yang berlangsung menjadi kurang efektif. Menurut Nasution menjelaskan bahwa ciri-ciri pembelajaran biasa adalah: 1 Tujuan tidak dirumuskan secara spesifik dalam bentuk kelakuan yang dapat diamati dan diukur. 2 Bahan pelajaran disajikan kepada kelompok, kepada kelas sebagai keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individual. 3 Kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis, dan media lain menurut pertimbangan guru. 4 Siswa umumnya pasif karena dominan mendengarkan uraian guru. 5 Dalam hal kecepatan belajar, semua siswa harus belajar dengan kecepatan yang umum ditentukan oleh kecepatan guru mengajar. 6 Keberhasilan belajar umumnya dinilai oleh guru secara subjektif. 7 Diharapkan bahwa hanya sebagian kecil saja yang menguasai bahan pelajaran secara tuntas, sebagian lain akan menguasainya sebagian saja, dan ada lagi yang gagal. 8 Guru terutama berfungsi sebagai penyalur pengetahuan sebagai sumber informasipengetahuan. 27 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika secara konvensional adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada umumnya dimana guru mendominasi kelas dengan metode ceramah dan tanya jawab, peserta didik hanya menerima saja apa yang disampaikan oleh guru, sehingga aktivitas peserta didik dalam pembelajaran menjadi pasif dan proses belajar peserta didik menjadi kurang bermakna. Perbedaan antara experiential learning dengan pelatihan dan pengajaran konvensional direpresentasikan secara sederhana seperti pada tabel di bawah ini: 28 Tabel 2.2 Perbedaan antara Experiential Learning dengan Pelatihan dan Pengajaran Konvensional Pelatihan Konvensional Experiential Learning Pelatihan terpusat terfokus dan teoritis. Pembelajaran terpusat terfokus dan benar- benar melakukannya. Menentukan desain dan isi mata pelajaran yang tetap. Kemunkinan terbuka dan fleksibel. Untuk kebutuhan-kebutuhan eksternal organisasi, ujian, dan sebagainya. Untuk pertumbuhan dan penemuan internal. Tranfer menjelaskan pengetahuan keterampilan. Mengembangkan pengetahuan keterampilan emosi melalui pengalaman. 27 S. Nasution, Op. cit., h. 209-211. 28 Indriana, Op. cit., h. 90. Pengiriman fasilitasi yang terstruktur dengan tetap. Tidak dikirimkan, minimal fasilitasi dan tidak tertsrukturkan. Komponennya dapat diukur dengan ikatan waktu. Tidak ada ikatan waktu, lebih susah untuk diukur Cocok untuk kelompok dan hasil yang tetap. Terarah pada individu, hasilnya fleksibel. B. Hasil Penelitian yang Relevan 1 Nanik Lestariningsih, dalam: Pembelajaran Berbasis Pengalaman Experiential Learning pada Bioteknologi di SMP NEGERI 3 UNGARAN. Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: hasil belajar siswa kelas IXD, IXE dan IXG diatas rata-rata KKM yang ditentukan di SMP N 3 Ungaran yaitu 65. Rata-rata hasil belajar siswa kelas IXD adalah 91,54, kelas IXE adalah 86,28 dan kelas IXG adalah 91,42. Optimalnya nilai yang diperoleh kelas IXD, IXE dan IXG dipacu oleh laporan eksperimen dalam proses pembelajaran yang tinggi. Nilai rata-rata laporan eksperimen siswa yaitu 93,06 untuk kelas IXD dan kelas IXE, dan 90,59 untuk kelas IXG. Adanya eksperimen siswa yang tinggi memberikan efek yang positif terhadap tanggapan siswa pada proses eksperiential learning, siswa lebih tertarik, termotivasi, lebih aktif, lebih paham, dan materi lebih tersampaikan dan memberikan pengalaman. Kesimpulan hasil penelitian menjelaskan bahwa penerapan pembelajaran berbasis pengalamanexperiential learning pada materi bioteknologi di SMP N 3 Ungaran mampu mengoptimalkan hasil belajar dan aktivitas siswa. 29 2 Erwan Sutarno, dalam: Penerapan Siklus Belajar Experintial Learning untuk Menigkatkan Kompetensi Dasar Fisika Siswa Kelas X di SMA N 2 Singaraja. Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: terjadi peningkatan nilai rata-rata hasil belajar siswa dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor; dan juga peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan 29 Nanik Lestariningsih, “Pembelajaran Berbasis Pengalaman Experiential Learning pada Bioteknologi di SMP NEGERI 3 UNGARAN”, Under Graduates thesis pada Universitas Negeri Semarang, 2011, http:lib.unnes.ac.id. 06 Desember 2011, 12:13 WIB. modul praktikum fisika. Hasil analisis terhadap respon siswa menunjukkan bahwa siswa memiliki respon positif terhadap pembelajaran. 30 3 Isah Cahyani, dalam: Peran Experiential Learning dalam Meningkatkan Motivasi Pembelajar BIPA. Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil penerapan metode Experiential Learning ditanggapi dalam bentuk angket mahasiswa satu kelas sebanyak 50 orang. Adapun tanggapan pembelajar terhadap penerapan EL pengajaran menulis yaitu pembelajar merasa termotivasi dan terdapat variasi metode sebanyak 50 orang. Hal ini menunjukkan bahwa 100 pembelajar menikmati penerapan metode EL dalam pengajaran menulis karena menyenangkan dan mereka dapat belajar bekerja sama serta saling mengenal teman, dan berbagi rasa serta dapat mengekspresikan diri dalam bentuk tulisan. 31

C. Kerangka Konseptual Intervensi Tindakan

Tujuan umum pendidikan matematika ditekankan untuk memiliki; kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika, pelajaran lain, ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata. 32 Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu bentuk kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi karena dalam kegiatan memecahkan masalah matematika terangkum kemampuan matematika lainnya seperti; penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, pemahaman konsep, koneksi dan komunikasi siswa. Experiential learning menyediakan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif, pengalaman mempunyai peranan sentral dalam proses belajar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengajaran berdasarkan pengalaman memberikan para siswa 30 Erwan S utarno, “Penerapan Siklus Belajar Experintial Learning untuk Menigkatkan Kompetensi Dasar Fisika Siswa Kelas X di SMA N 2 Singaraja, skripsi pada Fakultas MIPA Universitas Pendidikan Ganesha, www.undiksha.ac.id. 06 Desember 2011, 13:25 WIB. 31 Isah Cahyani, Peran Experiential Learning dalam Meningkatkan Motivasi Pembelajar BIPA, 2011, www.ialf.edukipbipapapersCahyaniIsah.doc. 06 Desember 2011, 13:30 WIB 32 Suherman, dkk., Op. cit., h. 58.

Dokumen yang terkait

Upaya peningkatan pemahaman konsep matematika siswa dengan pendekatan belajar bermakna (meaningful learning): penelitian tindakan kelas di SMP Waskita Madya Kota Tangerang

0 10 96

Meningkatkan pemahaman konsep zat adiktif pada makanan yang terintegrasi nilai melalui pendekatan pemecahann masalah (problem solving)

1 3 155

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Aljabar Berbasis TIMSS Pada Siswa SMP Kelas VIII

0 3 9

UPAYA MENINGAKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING DI KELAS VIII SMP NEGERI 1 BADIRI.

0 2 19

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA ALJABAR BERBASIS TIMSS PADA SISWA SMP KELAS VIII Analisis kemampuan pemecahan masalah matematika aljabar berbasis timss pada siswa kelas viii Semester gasal SMP Negeri 1 Mojosongo Tahun 2015/2016.

0 4 17

Upaya Peningkatan Kreativitas Memecahkan Masalah Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Upaya Peningkatan Kreativitas Memecahkan Masalah Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning pada Siswa Kelas VIII SMP Neg

0 3 16

Upaya Peningkatan Kreativitas Memecahkan Masalah Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning pada Siswa Kelas VIII Semester Genap Upaya Peningkatan Kreativitas Memecahkan Masalah Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning pada Siswa Kelas VIII SMP

0 6 9

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Dengan Model Pembelajaran Inquiry Learning Pada Siswa Kelas VII A Semester Genap SMP Negeri 2 Kartasura Tahun Ajaran

0 2 13

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Dengan Model Pembelajaran Inquiry Learning Pada Siswa Kelas VII A Semester Genap SMP Negeri 2 Kartasura Tahun Ajaran

0 2 16

PENINGKATAN KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA MELALUI DISCOVERY LEARNING PADA SISWA Peningkatan Keterampilan Pemecahan Masalah Matematika Melalui Discovery Learning Pada Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Negeri 1 Bulukerto Tahun Ajaran 2014/201

0 3 17