Wawancara juga dilakukan terhadap subjek penelitian untuk mengetahui pendapat siswa setelah diterapkannya model experiential
learning, bahwasannya siswa merasa antusias dalam mengikuti pembelajaran matematika dengan model experiential learning yang diberikan peneliti
karena setiap pertemuan mereka akan mewujudkan pengalaman yang berbeda, mereka juga merasa senang dengan bimbingan yang peneliti
diberikan. Saat berkelompok, siswa merasa terbantu oleh teman lainnya apabila ada hal yang belum dimengerti, lebih leluasa untuk bertanya. Pada
siklus II kerja kelompok masih diterapkan akan tetapi hanya pada tahap concrete experience kemudian pada tahap berikutnya dikerjakan secara
individu, hal ini tidak menyurutkan keaktifan siswa dalam berdiskusi. Dengan diterapkannya pembelajaran model experiential learning yang melatih siswa
untuk terbiasa membentuk rumusan dari pengalaman yang diwujudkan langsung sehingga mereka berpendapat lebih mudah untuk memahami teori,
dan melatih siswa untuk memahami masalah matematik sehingga siswa merasa lebih mudah untuk mencari pemecahannya.
3. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa
Adapun peningkatan rata-rata pada tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa tiap siklus dalam penelitian ini dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4.13 Statistik Deskriptif Peningkatan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematik Siswa
Statistik Siklus I
Siklus II Nilai Tertinggi
90 96
Nilai Terendah 46
68 Rata-rata
69,85 82,45
Standar Deviasi 9,21
6,02
Berdasarkan tabel 4.13 di atas diketahui bahwa rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematik siswa mengalami peningkatan,
yaitu sebesar 12,6. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan perbaikan yang dilakukan pada siklus II dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematik, dan penyebaran dari peningkatan ini mendekati sifat homogen, hal ini ditunjukkan oleh nilai standar deviasi yang kecil.
Sedangkan rekapitulasi
peningkatan persentase
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada tiap indikator siklus I dan siklus II
dapat terlihat pada diagram berikut:
Diagram 4.3 Perbandingan Rata-rata Persentase Indikator Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematik Siswa
Berdasarkan diagram di atas menunjukkan bahwa indikator kemampuan pemecahan masalah matematik siswa secara umum mengalami
peningkatan. Siswa lebih mengusai indikator melakukan perhitungan, hal ini disebabkan siswa lebih berorientasi pada hasil yang mana ketepatannya tidak
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Memahami Masalah
Melakukan Rencana
Melakukan Perhitungan
Mengecek Kembali
Siklus I 68.75
74.88 83
47.75 Siklus II
90.75 86.88
85 62.75
Pe rsenta
se
dicek kembali. Hal ini terlihat dari persentase indikator melakukan perhitungan yang hampir stabil dari siklus I sampai siklus II hanya meningkat
2, dan untuk indikator mengecek kembali yang mana semenjak siklus I sangat kurang sampai pada siklus II setelah melalui perbaikan meningkat
15 mencapai kategori cukup. Peningkatan persentase yang cukup tinggi terjadi pada indikator memahami masalah sebesar 22 mencapai kategori
sangat baik. Hal ini berdampak pula pada peningkatan indikator melakukan rencana yang meningkat sebesar 12 mencapai kategori sangat baik juga.
Dari interpretasi di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa meningkat dari siklus I ke siklus II pada
semua indikator. Hal ini menunjukkan keberhasilan kinerja atas penerapan model experiential learning berlangsung selama dua siklus.
B. Pemeriksaan Keabsahan Data
Selain tes akhir siklus berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematik, peneliti juga menggunakan lembar observasi, wawancara dan
jurnal harian. Untuk mendapatkan data yang absah dilakukan teknik triangulasi terhadap ketiga instrumen tersebut. Teknik triangulasi merupakan
teknik yang dapat meningkatkan keakuratan hasil penelitian sehingga menghasilkan penelitian yang benar-benar validabsah. Melalui triangulasi,
peneliti memeriksa hasil pengamatan terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dengan model experiential learning, apakah
menunjukkan peningkatan atau tidak. Selanjutnya data-data yang diperoleh peneliti, diorganisir dan diklasifikasikan berdasarkan urutan waktu tindakan
penelitian, supaya mudah dalam mendekripsikan data dan diperoleh kesimpulan yang tepat. Selain itu, untuk memperkuat data aktivitas belajar
matematika siswa peneliti mengambil data lain berupa dokumentasi foto selama penelitian berlangsung.
Data lembar observasi siswa didapat dari penilaian observer terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Dari hasil penilaian tersebut
terlihat bahwa aktivitas siswa cukup baik pada saat siklus I. Pada siklus II