aktivitas siswa jauh lebih meningkat karena sudah mencapai kategori sangat baik.
Data respon siswa terhadap pembelajaran didapat dari hasil jurnal harian siswa selama proses pembelajaran. Tujuannya untuk melihat respon siswa
selama proses pembelajaran dengan model experiential learning. Respon siswa selama siklus I sudah terlihat positif meskipun masih terdapat siswa
yang memberikan respon negatif dan netral. Ada beberapa siswa yang menyatakan bahwa pembelajarannya menyenangkan karena belum pernah
diterapkan sebelumnya dan pengalaman yang berbeda membuat mereka semangat, adapula yang menyatakan kurang menyenangkan karena masalah
yang disajikan terlalu sulit dan mereka belum terbiasa memecahkan soal non- rutin. Pada siklus II respon positif siswa meningkat, sedangkan respon negatif
dan netral menurun. Ada beberapa siswa yang menyatakan bahwa pembelajaran
menyenangkan dan
membuat siswa
lebih berani
mengemukakan pemikiran dan mudah memahami masalah matematik. Wawancara ditujukan pada guru mata pelajaran selaku observer dan juga
pada siswa yang memiliki kemampuan rendah, sedang dan tinggi, dan dilakukan di akhir siklus. Tujuannya untuk memperkuat kebenaran data hasil
observasi dan jurnal harian dengan keadaan yang sebenarnya. Dari hasil wawancara tersebut siswa merasa pembelajaran lebih aktif dan membuat
siswa lebih mudah memahami pelajaran dan memecahkan masalah. Data hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa yang diperoleh dari
tes formatif akhir siklus selanjutnya dilakukan penskoran sesuai dengan pedoman penskoran yang telah ditetapkan sebelumnya, hal ini dilakukan
supaya skornilai yang diperoleh siswa bersifat objektif. Untuk soal berbentuk essay setiap nomor soal ditentukan terlebih dahulu langkah-langkah
sistematis dari jawaban dan skor maksimalnya, kemudian dilakukan proses perhitungan berdasarkan nomor soal. Setiap butir soal dijumlahkan hasil
penskorannya sesuai dengan jumlah butir soal setiap indikator dan dihitung persentasenya. Dari hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik
siswa pada siklus I nilai rata-rata tes siswa masih kurang dari 70, sedangkan pada siklus II nilai rata-rata tes siswa meningkat sudah melebihi dari 70.
Dari keempat instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar observasi, jurnal harian, wawancara dan tes kemampuan pemecahan masalah
matematik, telah terbukti keabsahannya. Karena menunjukkan adanya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dengan
diterapkannya model experiential learning pada pembelajaran matematika.
C. Hasil Temuan Penelitian
Pembahasan ini dilakukan atas hasil pengamatan melalui lembar observasi aktivitas siswa dalam belajar matematika, mengetahui respon siswa dengan
jurnal harian, mengetahui pendapat siswa dan guru atas tindakan penelitian melalui wawancara, dan mengalisis hasil tes kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa melalui lima butir soal essay tes akhir siklus. Dari hasil wawancara guru pada observasi awal sebelum tindakan, diketahui bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa tergolong rendah, dikarenakan siswa jarang dihadapkan pada soal-soal pemecahan masalah, dan
hampir tidak ada. Siswa juga tergolong pasif dalam mengungkapkan pemikirannya, siswa hanya memperhatikan dan mendengarkan penjelasan
guru dan mengandalkan catatan yang dibuat guru mata pelajaran. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah siswa masih rendah. Sehingga peneliti menghendaki untuk memperbaiki proses pembelajaran matematika, yaitu dengan
menerapkan model experiential learning pada pembelajaran matematika, agar kemampuan pemecahan masalah matematik siswa meningkat. Karena
experiential learning mampu melibatkan siswa dalam pengalaman nyata kemudian merefleksi dan mengkonsep rumusan yang bersandar pada
pengalaman, dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Model experiential learning yang terdiri atas empat tahap. Concrete
experience; tahap ini mampu melibatkan siswa untuk mewujudkan pengalaman siswa secara langsung, mampu mengaktifkan siswa secara
motorik dan bekerja sama dalam kelompoknya. Reflection observation; tahap ini mampu mengaktifkan siswa secara pemikiran maupun pernyataan atas
gagasan, dan mampu mengaktifkan siswa dalam bertukar pikiran sesama anggota kelompok dari apa yang mereka pahami melalui pengalaman.
Abstract conseptualization; tahap ini mengaktifkan siswa secara algoritmik untuk membentuk suatu rumusan atau teori. Active experimentation; tahap ini
mampu mengaktifkan siswa secara pemahaman teori, perencanaan dan penerapan rumusan matematika, dan penyelesaian atas masalah.
Berdasarkan data yang diperoleh pada siklus I dan siklus II, setelah diberikan tindakan secara keseluruhan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa mengalami peningkatan. Rata-rata tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada siklus II meningkat menjadi
82,45, dibanding dengan hsil tes pada siklus I hanya 69,85. Pada pra penelitian hanya 27,5 siswa yang mencapai KKM, meningkat pada siklus I
menjadi 52,5 siswa yang mencapai KKM, kemudian pada siklus II meningkat kembali menjadi 97,5 siswa yang mencapai KKM. Hal ini tidak
terlepas dari perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh peneliti pada segala aspek. Seperti perbaikan pada anggota kelompok yang membuat diskusi
kelompok menjadi lebih optimal, pemberian reward kepada siswa yang aktif mempresentasikan hasil pemikirannya, dan merubah rancangan experiential
learning pada LKS dengan cara melepaskan tiga tahapan terakhir dijadikan tugas individu setelah bekerja sama mewujudkan pengalaman pada tahap
pertama. Temuan menarik yang diperoleh peneliti selama penelitian berlangsung
yaitu kemampuan pemecahan masalah matematik siswa meningkat setelah diterapkan model experiential learning. Namun peneliti menemukan hal yang
spesifik yang terjadi pada beberapa siswa, terdapat dua siswa yang skornya naik cukup tinggi yang pada mulanya di bawah 70 menjadi lebih dari sama
dengan 90. Peningkatan skor yang cukup besar ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa tersebut tergolong sangat
baik. Dari jawaban siswapun terlihat sudah mampu menginterpretasikan soal