Tahap observasi dan analisis data siklus I
respon siswa terhadap pembelajaran. Pengisian jurnal dilakukan diakhir kegiatan belajar mengajar dan dikumpulkan pada saat itu juga. Respon
siswa terhadap pembelajaran pada setiap siklus dikategorikan menjadi respon positif, netral dan negatif. Respon pada siklus I dapat dilihat dalam
tabel sebagai berikut:
Tabel 4.2 Rata-rata Persentase Respon Siswa pada Siklus I
Pertemuan Ke- Kategori
Positif Netral
Negatif Jml
Jml Jml
I 27
67,5 8
20 5
12,5 II
30 78,95
6 15,79
2 5,26
III 29
80,56 3
8,33 4
11,11 IV
34 87,18
3 7,69
2 5,13
Rata-rata 78,55
12,95 8,5
Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa rata-rata persentase siswa yang memberikan respon positif selama empat kali pertemuan sebesar
78,55, siswa yang bersikap netral sebesar 12,95 sedangkan siswa yang memberikan respon negatif 8,5. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar dari siswa menyukai pembelajaran yang telah dilakukan oleh peneliti. Penerapan pembelajaran model experiential learning masih perlu
dikembangkan, karena masih terdapat siswa yang merespon negatif dan netral. Respon-respon siswa tersebut baik yang positif, netral, maupun
negatif akan dijadikan bahan refleksi untuk tindakan pembelajaran berikutnya.
Selain lembar observasi dan jurnal harian, peneliti juga melakukan wawancara kepada siswa pada akhir siklus I untuk mengetahui tanggapan
mereka terhadap pembelajaran model experiential learning. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi hasil dari pemblajaran yang telah dilakukan
pada siklus I dan sebagai bahan untuk melakukan perbaikan dalam tindakan pelaksanaan tahap berikutnya. Berikut ini adalah hasil wawancara yang
dilakukan pada siklus I:
Tabel 4.3 Hasil Wawancara pada Siklus I
No Hal yang Dibicarakan
Pendapat Siswa
1. Model experiential
learning -
Siswa menyukai pembelajaran matematika dengan model experiential learning, bahwasannya terlibat
langsung dalam pengalaman yang dirancang oleh peneliti menciptakan suasana yang menyenangkan.
- Siswa merasa terbantu dalam memahami lebih
bermakna rumusan atau teori matematika, karena mereka belajar dari pengalaman kemudian belajar
merefleksi pengalaman dan mengkonsep sendiri rumusan tersebut.
2. Diskusi kelompok
- Setelah mendapatkan rumusanteori dari pengalaman
langsung, siswa merasa antusias dalam mengerjakan lembar active experimentation dengan kemampuan
mereka sendiri, namun dalam hal menjelaskan rumusan matematik saat diskusi dari masalah
tersebut mereka masih perlu bimbingan. -
Siswa merasa mudah memahami materi, karena apabila ada hal yang belum dimengerti lebih leluasa
untuk menanyakannya kepada teman kelompok.
3. Pekerjaan rumah PR
tidak banyak siswa yang suka saat diberi PR walaupun mereka sadar itu akan membantu mengingatkan dan
melatih pemahaman materi pelajaran yang telah dibahas.
4. Rangkuman
siswa lebih tertarik melihat rangkuman daripada membaca ulang uraian materi pelajaran di buku
pelajaran dari penjelasan awal sampai akhir, apalagi saat mengerjakan PR cukup membantu untuk melihat
kembali rumusan yang sesuai dengan masalah yang diminta.
5. Soal pemecahan
masalah matematik Siswa memberikan saran agar soal yang diberikan
jangan terlalu susah, karena mereka tidak sering mendapati soal-soal pemecahan masalah matematik
dipembelajaran sebelumnya.
Wawancara juga dilakukan peneliti pada guru matematika observer, adapun hasil wawancaranya sebagai berikut:
1 Dalam pembelajaran ini guru mata pelajaran berpendapat bahwa model
experiential learning cukup menarik dan siswapun merespon dengan baik, akan tetapi peneliti disarankan untuk merancang tahapan disalah
satu tahapan dalam LKS dimana siswa bekerja sendiri lepas dari kelompok, agar kemandirian siswapun terlatih khususnya saat
berhadapan dengan soal-soal pemecahan masalah matematik. 2
Saran lainpun diutarakan, peneliti diminta lebih memperhatikan siswa yang tertinggal dalam memahami materi maupun masalah, supaya
tujuan indikator yang sudah direncanakan dapat tersampaikan secara menyeluruh.
Dari hasil wawancara terlihat bahwa sebagian besar siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran matematika menggunakan model
experiential learning. Dari bebarapa pertanyaan yang peneliti ajukan saat wawancara, peneliti mendapatkan beberapa hal yang masih harus diperbaiki
yaitu; instrumen tes dimana soal-soal pemecahan masalah yang peneliti buat harus disesuaikan dengan kemampuan rata-rata siswa, dan pada model
experiential learning tahapannya dirancang kembali agar siswa dapat kesempatan bekerja sendiri.
Adapun kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada siklus I akan terlihat dari hasil ulangan harian yang disusun dengan 5 butir soal
pemecahan masalah matematik. Dari tiap butir soal akan dinilai sesuai dengan indikator kemampuan pemecahan masalah matematik, yakni dari
segi; memahami masalah, melakukan rencana, melakukan perhitungan, dan yang terakhir mengecek kembali penyelesaian yang telah didapat.
Berikut akan disajikan hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada siklus I:
Tabel 4.4 Tabel Distribusi Frekuensi Nilai Hasil Tes Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematik Siswa pada Siklus I
Nilai Frekuensi
46 – 52
1 2,5
1 2,5
53 – 59
3 7,5
4 10
60 – 66
11 27,5
15 37,5
67 – 73
9 22,5
24 60
74 – 81
13 32,5
37 92,5
82 – 88
1 2,5
38 95
89 - 95 2
5 40
100
Berdasarkan perhitungan hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa Lampiran 19 diperoleh skor rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa siklus I sebesar 69,85. Nilai tertinggi yang diperoleh siswa pada siklus I ini sebesar 90 dan nilai terendahnya yaitu
46. Adapun hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada siklus I ini disajikan dalam bentuk diagram sebagai berikut:
Frekuensi Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah pada Siklus I
Berdasarkan poligon 4.1 dapat dilihat hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada siklus I menunjukkan bahwa yang mencapai
KKM tidak lebih banyak hanya 21 siswa, sedangkan siswa yang belum mencapai KKM terdapat 19 siswa. Jika dilihat dari nilai rata-rata kelas
sebesar 69,85 belum mencapai indikator keberhasilan kinerja yang telah ditentukan oleh peneliti yaitu
≥ 70. Sedangkan masing-masing indikator kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa dapat dilihat berdasarkan hasil persentase skor yang diperoleh pada siklus I, sebagai berikut:
Tabel 4.5 Persentase Skor Tiap Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa pada Siklus I
No. Indikator Pemecahan Masalah
Matematik Skor
Ideal Rata-
rata Persentase
1. Memahami Masalah MM
10 6,88
68,75 2.
Melakukan Rencana MR 20
14,98 74,88
3. Melakukan Perhitungan MP
10 8,30
83 4.
Mengecek Kembali MK 10
4,78 47,75
2 4
6 8
10 12
14
Fr ek
u en
si
Nilai Siswa
Poligon 4.1
45,5 52,5 59,5 66,5 73,5 81,5 88,5 95,5
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa dari keempat indikator kemampuan pemecahan masalah matematik siswa hanya satu indikator yang
mencapai kategori sangat baik yaitu kemampuan melakukan perhitungan. Untuk tahap melakukan rencana penyelesaian masalah siswa mencapai
kategori baik, dan saat memahami masalah matematika siswa hanya mencapai kategori cukup. Sedangkan kemampuan untuk mengecek kembali
penyelesaian yang sudah didapat siswa masih kurang dan masih perlu diperbaiki untuk penelitian ini.
Hal ini menunjukkan bahwa umumnya siswa kelas VIII-5 lebih menguasai 2 indikator dari keempat yang ada. Pada kemampuan memahami
masalah secara algoritma tergolong kurang, dikarenakan siswa sudah pesimis terlebih dahulu saat melihat soal pemecahan masalah matematik
yang bergambar sedikit rumit atau berkalimat panjang, sehingga diperlukan perbaikan proses untuk membiasakan tiap siswa lebih sering berhadapan
dan memahami soal pemecahan masalah matematik dan tidak mengandalkan teman yang lainnya. Selanjutnya, sebagian siswa cenderung
mengabaikan tahap mengecek kembali hasil penyelesaian, menyebabkan kemampuan mereka pada tahap tersebut dikategorikan kurang, hal ini
dikarenakan siswa tidak terlatih untuk teliti saat menyelesaikan soal dan merasa puas diawal saat menemukan nilai penyelesaian tanpa mengecek
tepat tidaknya. Pada tahap ini yang paling rendah pencapaiannya hanya 47,75 kategori sangat kurang.