dan sebagainya. Setelah menamatkan pendidikannya di Pesantren-Pesantren tersebut, mereka akan kembali ke tanah asalnya dan membawa banyak perubahan pada
masyarakat Gayo, terutama mereka umumnya banyak yang mendirikan sekolah-sekolah keagamaan di kampung mereka.
Lapisan rakyat merupakan lapisan sosial yang dominan. Mereka kebanyakan hidup sebagai petani, seperti menanam padi, palawija, buah-buahan dan sebagainya.
Seseorang yang berada di lapisan rakyat ini dapat pula menembus kelapisan di atasnya seperti pengusaha atau penguasa asal berjuang keras, ulet, dan mampu. Akan tetapi,
untuk membuka lahan perkebunan kopi yang baru agak sulit, karena lahan garapan untuk itu sudah semangkin sempit. Rusdi dkk: 1998:88-90.
2.14 Upacara Tradisional Suku Gayo
Upacara tradisioanl yang sering dilaksanakan oleh masyarakat Gayo selalu berkaitan dengan mata pencaharian hidup masyarakatnya, adat istiadat dan
agamakepercayaan suku Gayo. Dalam bidang pertanian upacara biasanya dilakukan selalu dikaitkan dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Ketika hendak turun ke
sawah, diadakan kenduri yang disebut dengan ku ulu noih, yaitu upacara yang dilakukan pada sumber mata air yang dipergunakan untuk pertanian. Upacara tersebut
dipimpin oleh Kejurun Blang. Biasanya disertai dengan kegiatan membersihkan tali air secara bergotong royong. Pada waktu itu oleh Kejurun Blang, akan diumumkan saat
mulai akan menyemai bibit. Penanaman bibit padi untuk setiap musim tanam selalu di mulai pada petak sawah milik Kejurun Blang dan kemudian baru akan diikuti oleh
masyarakat lainnya. Selesai panen baru akan di mulai lagi dengan kenduri Lues Blang,
Universitas Sumatera Utara
dan pada saat inilah biasanya terdapat hiburan tari saman dilakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai hiburan rakyat. Acara tersebut dimaksudkan untuk menyatakan rasa
syukur mereka kepada Tuhan Yanag Maha Esa, atas karunia yang telah diberikan Allah kepada masyarakat suku Gayo.Kenduri ini biasanya mereka lakukan bersamaan dengan
kenduri tulak bele
54
Dalam bidang kepercayaan masyrakat etnik Gayo juga mempercayai adanya kekuatan gaib dan kekuatan sakti. Mengenai wujud dari kekuatan-kekuatan gaib
tersebut dapat dilihat dalam bentuk kegiatan talak bele menolak bahaya. Jika ada wabah penyakit yang melanda daerah mereka, maka masyarakat setempat akan
bersama-sama untuk melakukan upacara tolak bele, agar mereka terhindar dari penyakit tersebut. Upacara ini dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap angker atau
keramat, misalnya dibawah pohon besar atau di tepi Danau Laut Tawar. Upacara ini dilakukan dengan cara menyediakan sesaji berupa makanan agar balum bidi dan telege
sumur Reje Linge tidak mengambil atau menelan orang yang mandi di sungai atau di danau Laut Tawar tersebut.
, karena menurut anggapan kebanyakan penduduk setelah panen, biasanya akan banyak berjangkit demam panas pada masyarakat suku Gayo. Dan pada
saat ini kenduri Lues Blang dan tulek bele sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Gayo Abdullah, 1994 : 32
Upacara keagamaan pada hari-hari besar Islam juga dirayakan, seperti upacara Maulid Nabi sebagai upacara bersejarah bagi umat Islam yang dilakukan pada setiap
tahunnya pada bulan Rabiulawal. Dahulu setiap mersah melakukan upacara ini dengan mengundang tamu-tamu dari mersah lainnya. Bagi mereka yang cukup mampu, selalu
54
Tulak bele adalah tolak bala untuk mengusir penyakit dari kampung mereka.
Universitas Sumatera Utara
membawa hidangan makanan untuk dimakan pada acara tersebut, dan bagi mereka yang kurang mampu akan melakukan kerjasama dengan rumah-rumah lain untuk sama-
sama membuat sebuah hidangan untuk disajikan pada acara itu juga. Pelaksanaan upacara selalu dipimpin oleh Imam mersah masing-masing. Setelah upacara selesai,
maka akan disertai dengan zikir sampai selesai, dan pada akhir acara tersebut, tibalah saatnya untuk makan bersama-sama. Sekarang proses upacara yang besar seperti ini
sudah sangat jarang sekali dilakukan pada masyarakat suku Gayo. Saat ini, mereka hanya melakukan upacara Maulid Nabi SAW dengan acara sederhana tanpa ada acara
hiburan rakyat lagi, mereka memperingati acara tersebut dengan sangat sederhana, Begitu juga dengan upacara-upacara lainnya. Rusdi dkk., 1998:91-92.
2.15 Senjata Tradisional Suku Gayo