2.10 Tempat Pemukiman Suku Gayo
Pola pemukiman etnik gayo biasanya mengelompok di tempat-tempat yang agak tinggi. Pemukiman etnik Gayo dikelilingi oleh areal persawahan. Kadang-kadang
terdapat pula kebun-kebun kopi, jeruk dan advokat. Diantara mereka ada pula anggota warganya yang berpindah-pindah tempat dari tempat kediamannya rumah ke ladang-
ladang kopi atau sawah. Di ladang kopi atau sawah mereka tinggal disebelah jamur
47
gubuk sebagai tempat tinggal sementara mereka, selama mereka mengerjakan perladangan kopi atau persawahan. Hampir tiap-tiap persawahan terdapat satu serak
48
Di setiap kampung terdapat sebuah mersah tali air untuk mengisi persawahan mereka. Setelah panen selesai, maka mereka akan
kembali ke kampung mereka masing-masing.
49
langgar untuk laki-laki dan sebuah joyah
50
langgar untuk wanita, sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah atau tempat berkumpul para warga kampung pada saat-saat tertentu, sedangkan mesjid
selalu terdapat pada tiap-tiap pemukiman. Kadang-kadang ditempat tertentu juga didirikan pula bebalen
51
Pada setiap kampung terdapat umah , yaitu tempat berteduh atau tempat bersembahyang. Bebalen
ini pada umumnya dibuat pada tempat-tempat yang ada airnya dan berdekatan dengan jalan, yang terletak jauh dari perkampungan.
52
47
Jamur artinya secara harfiah adalah gubuk.
rumah. Pada waktu dulu umah ini terdiri dari beberapa keluarga yang masih satu keturunan, yang dalam bahasa Gayonya disebut
48
Serak, artinya dalam bahasa Indonesia adalah tali air, untuk kepentingan irigasi.
49
Mersah, langgar untuk laki-laki sebagai tempat beribadah untuk laki-laki.
50
Joyah, langgar untuk wanita sebagai tempat beribadah untuk kaum wanita.
51
Bebalen adalah suatu istilah suku Gayo untuk tempat berteduh atau tempat bersembahyang di perkampungan.
52
Umah Timeruang terdiri terdiri atas beberapa buah bilik, tiap-tiap bilik didiami oleh satu keluarga batih yang ada pertalian kekerabatan. Gabungan keluarga batih disebut sedere
Universitas Sumatera Utara
sedere. Tiap-tiap keluarga menempati sebuah bilik tempat tidur dan sebelah bilik dapur. Bentuk umah Gayo ini relative besar dan memanjang. Rumah seperti ini oleh orang
Gayo disebut umah timeruang. Perkembangan sedere di dalam umah timeruang tidak dapat disamakan dengan perkembangan warga adat di dalam rumah gadang
Minangkabau Bachtiar, 1964:54-55. Karena tiap warga adat masyarakat desa Minangkabau dianggap mempunyai sebuah rumah Gadang. Kegiatan-kegiatan adat
seperti perkawinan, pertemuan dengan keluarga dilaksanakan di dalam rumah gadang, sedangkan umah timeruang di Gayo didasarkan atas tali perhubungan darah murni,
bukan didasarkan pada kegiatan adat sebagai tempat upacara perkawinan dan pertemuan dewan keluarga.
Namun saat ini tiap-tiap keluarga batih banyak yang ingin memisahkan diri dari ikatan umah timeruang dengan cara membangun rumah baru. Akan tetapi, sering kali
mereka juga masih berada di dalam satu kelompok perkampungan dengan sedere- sederenya dan ada pula yang mendirikan rumah kedalam kelompok perkampungan
yang lain. Dengan demikian, pola perkampungan pada masyarakat Gayo sekarang tidak lagi di huni oleh suatu belah atau klen. Akan tetapi sudah terjadi percampuran
antara beberapa belah. Percampuran ini juga terdapat dari sistem perkawinan exogam
53
Pendirian rumah baru yang dilakukan oleh keluarga batih tadi, tampaknya cenderung untuk memilih pola perumahan seperti di kota-kota. Rumah mereka tidak
lagi didirikan di atas panggung tiang, melainkan mereka memilih mendirikan rumah dengan menggunakan semen sebagai lantai dan dinding-didndingnya terbuat dari
tembok. Dengan adanya rumah-rumah model baru inilah, maka umah timeruang pada
53
Exogam adalah suatu istilah pada suku Gayo, yang merupakan adat perkawinan masyarakat Gayo, yang melarang keras diantara mereka kawin dengan belahnya sendiri atau satu belah.
Universitas Sumatera Utara
saat sekarang sudah mulai berkurang di tempat pemukiman masyarakat Gayo, bahkan di pemukiman yang dekat dengan kota umah timeruang ini sudah sangat jarang sekali
kelihatan. Antara pemukiman yang satu dengan pemukiman yang lainnya, dihubungkan
oleh jalan yang dapat dilalui oleh kenderaan bermotor dan sepeda. Jalan-jalan yang ada di kampng-kampung ini pada umumnya, adalah hasil kerja swadaya masyarakat
setempat dan kebanyakan dari jalan-jalan tersebut belumlah diaspal. Oleh karena itu, mobil-mobil besar seperti truck dilarang oleh mereka untuk melewati jalan-jalan
tersebut, terutama pada saat musim hujan, yang menyebabkan jalanan nantinya akan menjadi becek dan hancur jika dilalui oleh truck-truck tersebut. Akan tetapi jalan-jalan
yang menghubungkan kota dan ibukota Aceh Tengah dengan Bireuen sudah diaspal pada saat itu.
Di samping perhubungan melalui darat, orang Gayo di kabupaten Aceh Tengah juga memanfaatkan perhubungan lewat laut dan danau, untuk menghubungkan kota
Takengon dengan daerah-daerah pesisir danau Laut Tawar seperti Toweran, Blang Bintang, Nosar dan lain-lain, kebanyakan alat-alat perhubungan ini memakai perahu
bermesin atau yang disebut dengan kapal. Transportasi dengan perahu ini lebih cepat dari pada berjalan kaki, karena jika
berjalan kaki agak jauh dilalui, terpaksa mengelilingi danau dengan naik gunung turun gunung yang membatasi antar daerah pemukiman yang satu dengan pemukiman yang
lainnya. Mengenai alat-alat transportasi yang lainnya, seperti mobil atau truck belum dapat melewati jalan-jalan yang menuju kedaerah-daerah pesisir danau tersebut. Rusdi
dkk. 1998:81-83.
Universitas Sumatera Utara
2.11 Unsur-Unsur Kesenian dalam Budaya Gayo