Suku Gayo ETNOGRAFI MASYARAKAT GAYO

banyak korban yang berjatuhan dan korban kelaparan karena bahan makanan terbatas Melalatoa, 1995. Pada tahun 1990 kabupaten Aceh Tengah berdasarkan kutipan M.J. Melalatoa dan kantor Statistik kabupaten Aceh Tengah, tahun 1991, penduduknya berjumlah 199.729 jiwa, di mana jumlah orang Gayo diperkirakan 900. Pada tahun-tahun belakangan ini jumlah suku Gayo pertumbuhannya sangat pesat dibandingkan suku Gayo dahulunya.

2.5 Suku Gayo

Suku Gayo menurut daerah kediaman dan tempat tinggalnya dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu: 1 Gayo laut, atau disebut dengan Gayo laut Tawar, yang mendiami sekitar danau Laut Tawar. 2 Gayo Deret atau Gayo Linge, yang mendiami daerah sekitar Linge dan Isaq, 3 Gayo Lues yang mendiami daerah sekitar Gayo Lues, dan Gayo Serbejadi, yang mendiami daerah sekitar Serbejadi dan Sembuang Lukup, termasuk ke dalam daerah Aceh Timur. 4 Sedang suku Alas berdiam di daerah Alas yang berbatasan dengan daerah Gayo Lues. Pada saat ini Etnik Gayo merupakan masyarakat asli yang mayoritas mendiami wilayah kabupaten Aceh Tengah, propinsi Daerah Istimewa Aceh. Letak wilayahnya berada di pedalaman. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara, sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Aceh Timur, dan sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Aceh Utara dan sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Aceh Barat. Keadaan alam yang bergunung-gunung merupakan bagian dari rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatera, tepatnya berada pada garis lintang Universitas Sumatera Utara 4 o 12’-4 o 54’ Lintang Utara dan 96 o 30’-97 o Krueng Peusangan yang berasal dari danau Laut Tawar mengalir di tengah- tengah kota Takengon. Suhu udara di Takengon cukup dingin, yaitu rata-rata antara 12 18’ Bujur Timur Melalatoa, 1972 : 60 . Keadaan yang bergunung-gunung, menyebabkan pasar Kota Takengon sebagai ibukota Kabupaten, keadaan tanahnya tidak rata. Tampak ada yang tinggi tempatnya dan ada yang rendah. Dipinggiran sebelah Timur kota Takengon terhampar danau Laut Tawar. o C-13 o Secara administratif kabupaten Aceh Tengah terbagi menjadi 7 buah kecamatan. Tiap kecamatan terbagi lagi dalam beberapa pemukiman. Beberapa pemukiman dibagi lagi menjadi beberapa kegecikan. Daerah administratif kegecikan ini kemudian disamakan dengan nama desa dan nama nama desa itu juga disamakan dengan istilah kampung. C. Daerah Aceh Tengah berada pada ketinggian sekitar 1300 meter di atas permukaan laut, yang merupakan daerah dataran tinggi di Aceh yang disebut dengan dataran tinggi tanah Gayo. Suhu udara yang sangat dingin biasanya jatuh pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember, yang diiringi dengan hujan rintik-rintik setiap harinya. Musim penghujan dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan April. Musim ini disebut dengan musim Barat, karena anginnya berhembus dari Barat ke Timur dengan membawa hujan. Masyarakat etnik Gayo adalah seluruh penduduk Aceh Tengah yang dikurangi dengan suku bangsa pendatang seperti etnik Aceh, Jawa, Minangkabau dan orang-orang Cina. Percampuran dengan suku-suku bangsa lain ini banyak terjadi sekitar tahun 1950- an, dimana pada saat itu terjadi migrasi spontan dari kota-kota lain di Aceh Tengah. Mereka tertarik dengan pola penghidupan yang lebih baik karena daerah Aceh Tengah Universitas Sumatera Utara sebagai daerah yang subur bagi pertanian, sedangkan Etnik Minangkabau dan orang- orang Cina pada umumnya bekerja sebagai pedagang. Mengenai adat istiadat etnik Gayo dapat dibedakan menjadi tiga kelompok adat, yaitu kelompok adat Cik dari Linge Isaq, kelompok adat Bukit dari Pesisir danau Laut Tawar dan kelompok adat Blangkejeren dari Kuta Cane. Kelompok adat Blangkejeren ini sering kali disebut dari kelompok Gayo Alas. Kemudian terjadi pemisahan masyarakat Gayo Alas menjadi kabupaten sendiri, maka kelompok adat di Aceh Tengah bagi masyarakat Gayo menjadi dua kelompok, yaitu kelompok adat Cik dan kelompok adat Bukit. Sebelum penyerbuan Belanda ke daerah Gayo–Alas tahun 1904, kedua daerah ini termasuk ke dalam daerah wilayah kerajaan Islam Aceh. Rakyat Gayo–Alas hidup tenteram sebagai rakyat yang merdeka di lingkungan kerajaan Islam Aceh yang merdeka. Rakyat Gayo dan Alas sebagaimana rakyat Aceh seluruhnya adalah pemeluk agama Islam yang taat. Di sebahagian besar perkampungan terdapat mesjid, meunasah, atau langgar tempat beribadah. Qur’an dan Hadis Nabi diajarkan di mana-mana. Kebudayaan yang bernafaskan Islam mewarnai seluruh kehidupan masyarakat Gayo dan Alas. Penghidupan penduduk Gayo dan Alas sebelum penyerbuan Belanda ke daerah mereka, pada umunya adalah bercocok tanam. Mereka hidup dari bersawah, berkebun kopi, tembakau, kebun pisang, tebu dan lain-lain. Dari hasil hutan seperti kayu, rotan, ijuk, kulit kayu manis, kemenyan, dari peternakan seperti kerbau, sapi, kambing, biri- biri, dari barang-barang perdagangan seperti cula badak, gading gajah, kulit binatang dan sebagainya. Industri pada saat itu belum dikenal, kecuali kerajinan tangan seperti Universitas Sumatera Utara pandai besi untuk membuat pisau, parang, pedang, tombak, dan senjata-senjata perang. Selain dari itu, terdapat juga kerajinan perak, emas, anyam-anyaman tikar, dan sebagainya. Penduduk Suku Gayo Laut, Gayo Lues, dan Alas, terkenal sebagai penanam tembakau, kopi, dan peternak kerbau di seluruh Aceh, Sumatera Timur, Karo, dan Tanah Batak. Tembakau Gayo sedap rasanya, halus irisannya, harum baunya, dan sangat digemari di pasaran nasional dan internasional. Kopi Arabica hanya tumbuh khusus di daerah Gayo Laut, dan terkenal seluruh Aceh, Sumatera Timur, dan daerah- daerah lain. Rasanya lebih enak dibandingkan dengan kopi Robusta. Di zaman kependudukan Belanda kopi Arabica dari Gayo Laut ini dijadikan barang ekspor, sedang dimasa Indonesia merdeka, kopi Arabica menjadi barang ekspor penting di samping tembakau dan lain-lain. Dalam kesehariannya, masyarakat Gayo pada umumnya, selain menggunakan bahasa Indonesia melayu, mereka memakai bahasa Aceh, Gayo dan Alas. Bahasa ini digunakan pada berbagai aktivitas sosial dan budaya masayarakatnya seperti pada khutbah, pengajian, dan pelajaran agama Islam. Tulisan pelajaran maupun tulisan buku- buku dilakukan dengan tulisan tangan yang menggunakan huruf Arab, bahasa Melayu, dan kadang-kadang bahasa Aceh. Huruf Latin belum begitu dikenal pada masa itu. Namun demikian, rakyat Gayo dan Alas telah mengenal huruf Arab sejak masuknya Islam ke Tanah Aceh, Gayo dan Alas, melalui ajaran Qur’an dan Hadits Nabi. Oleh karena itu, banyak rakyat Aceh, Gayo, dan Alas yang buta huruf Latin. Mereka lebih bisa membaca tulisan Arab daripada tulisan Latin, pada umumnya. Universitas Sumatera Utara

2.6 Kebudayaan Suku Gayo