2.7 Asal-usul Suku Gayo
Asal-usul suku Gayo sampai sekarang masih belum jelas. Belum pernah diadakan penelitian yang mendalam dan sungguh-sungguh oleh para ahli, tentang asal-
usul bangsa Gayo. Seorang sarjana Belanda Dr.C.Snouck Hurgronje pernah meneliti tentang asal-usul Bangsa Gayo, namun penelitian itu gagal, karena sampai saat ini
masih belum jelas asal-usul dari bangsa Gayo tersebut. Tulisan Dr. C.Snouck Hurgronje ini tidak terlepas dari maksud pemerintah Belanda ini, walaupun demikian tulisan
Snouck ini mempunyai nilai ilmu pengetahuan yang tinggi tentang tanah dan penduduk Gayo.
Masih sedikit dan miskin sekali bahan-bahan tertulis mengenai suku bangsa Gayo. Belum pula diketemukan benda-benda bersejarah peninggalan nenek moyang
yang bernilai dan berarti yang dapat dijadikan sebagai bahan bukti sejarah yang meyakinkan tentang asal-usul bangsa Gayo. Para ahli yang harus membuka tabir
sejarah asal-usul bangsa Gayo.
2.8 Kejurun di Tanah Gayo dan Alas
Di daerah Gayo dan Alas telah berdiri pemerintahan kejurun
45
45
Kejurun, adalah sebuah terminologi atau sebutan nama untuk daerah di daerah Gayo, yang memiliki wilayah-wilayah tertentu yang terdiri dari empat desa tradisional Gayo. Selain masyarakat
Gayo, istilah ini juga digunakan oleh kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera Timur untuk menentukan hal yang sama. Bagaimanapun istilah ini terdapat dalam masyarakat Karo dan Gayo.
yang dibagi dalam 8 daerah kejurun, yaitu 6 kejurun di daerah tanah Gayo dan 2 kejurun di daerah
Tanah Alas. Di daerah Gayo lebih dahulu berdiri 4 kejurun yaitu: 1 Kejurun Bukit yang mula-mula berkedudukan di Bebesan, kemudian dipindahkan ke kebayakan yang
tidak jauh dari Bebesan. 2 Selanjutnya terbentuk kejurun Linge yang berkedudukan di
Universitas Sumatera Utara
daerah Gayo Linge, 3 Kejurun Siah Utama yang berkedudukan di kampung Nosar di pinggir Danau Laut Tawar; dan 4 berdiri kejurun Petiamang yang berkedudukan di
Gayo Lues. Lama kemudian setelah berdirinya keempat kejurun di atas, baru berdiri pula kejurun kelima yaitu kejurun Bebesan yang berkedudukan di Bebesan di tempat
kedudukan kejurun Bukit semula. Keenam berdiri kejurun Abuk di daerah Serbejadi. Di daerah Tanah Alas berdiri 2 kejurun yaitu kejurun Batu Mbulen yang
berkedudukan di Batu Mbulen dan kedua kejurun Bambel yang berkedudukan di Bambel. Keempat kejurun di daerah Gayo Laut, Gayo Linge, dan Gayo Lues yaitu
kejurun Bukit, kejurun Linge, kejurun Siah Utama dan kejurun Patiamang mendapatkan pengesahan dari Sultan Aceh. Demikian juga halnya dengan 2 kejurun di
Tanah Alas, kedua-duanya mendapat pengesahan dari Sultan Aceh, tetapi kejurun Bebesan dan kejurun Abuk tidak mendapatkan pengesahan dari Sultan Aceh.
Berdirinya kejurun Bebesan seperti yang diterangkan di atas, adalah akibat dari kedatangan orang-orang Batak Karo ke 27 ke Tanah Gayo. Antara kejurun Bukit
dengan Batak Karo 27 terjadi suatu perselisihan, yang mengakibatkan terjadinya peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan berakhir dengan kemenangan di
pihak Batak 27 dan kekalahan kejurun Bukit. Dalam suatu perundingan damai, akhirnya kedudukan kejurun Bukit terpaksa dipindahkan dari Bebesan ke Kampung
Kebayakan. Sedang di Bebesan didirikan Raja Cik Bebesan yang berkedudukan di Bebesan yang dipimpin oleh Lebe Kader yaitu pemimpin pasukan Batak Karo 27,
yang menguasai daerah-daerah sekitarnya, dan membagi dua daerah kejurun Bukit. Setengah untuk kejurun Bukit dan separuh untuk Raja Cik penghulu Bebesan. Raja
Universitas Sumatera Utara
Cik Bebesan inilah yang kemudian berkembang dan menjadi Kejurun Bebesan sampai kedatangan Belanda tahun 1904 M.H. Gayo 1990:25.
Menurut cerita orang-orang Gayo dahulu, kelompok Cik berasal dari orang- orang Batak Tapanuli. Orang-orang Batak Tapanuli ini lebih popular disebut dengan
Batak ke 27 seperti asal-usul orang-orang dari kampung Bebesan Melalatoa, 1971:92. Pada waktu yang lampau mereka berasal usul dari 27 orang Batak Tapanuli yang
datang ke Aceh Tengah. Menurut cerita, orang-orang Batak Tapanuli ini kebanyakan dahulu bertempat tinggal dikampung yang sekarang disebut Bebesan. Karena
kedatangan Batak Tapanuli ini ke kampung Bebesan, maka orang-orang Kebayakan kemudian mengungsi dari kampung Kebayakan. Orang-orang Batak Tapanuli ke 27 ini
sebagian menikmati tinggal di kampung Kebayakan tadi, yang kemudian mereka menetap di Kampung Bebesan.
Selanjutnya orang-orang Bukit yang berasal dari orang-orang pantai Utara Aceh, seperti orang-orang dari kampung Kebayakan tadi. Menurut Melalatoa, orang-
orang kampung Bebesan dan orang-orang kampung Kebayakan mempunyai asal-usul yang sama. Karena kedua-duanya masih mengenal Belah
46
Jika diperhatikan dari segi perbedaan adat istiadat, maka akan tampak pula pada segi keseniannya, seperti kesenian Didong dan Pacuan Kudanya yang diselenggarakan
hampir setiap tahun, yang pada umumnya bertepatan dengan bulan Agustus untuk merayakan hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Pertandingan Didong
atau Klen, walaupun demikian nama-nama belah atau Klen itu tidaklah sama.
46
Belah merupakan Klen besar dari pengaruh perkembangan Sedere. Diantara mereka masih merasa dirinya mempunyai satu keturunan yang sama, satu masa lampau yang sama, dan satu sistem
sosial yang sama pula.
Universitas Sumatera Utara
dan Pacuan Kuda ini baru dianggap meriah apabila sudah berhadapan antara kesebelahan Cik yang diwakili oleh kampung Bebesan dengan kesebelasan kampung
Bukit yang diwakili oleh kampung Kebayakan. Dengan adanya asal-usul yang berbeda antara Cik dan Bukit, maka dapat
diperkirakan bahwa etnik Gayo berasal dari kedua asal-usul tadi, yaitu dari Batak Tapanuli dan dari Pesisir Aceh bagian Utara. Dalam waktu yang cukup lama migrasi
lokal antara kelompok Cik dan Bukit berlangsung secara Evolutif. Demikian juga dalam perkawinan campuran antara keduanya sering kali terjadi. Seiring dengan hal tersebut,
maka akulturasi di bidang adat-istiadat dan kehidupan sosial ekonominya mempunyai pola yang sama pada masyarakat Gayo di Aceh Tengah, walaupun di sana-sini masih
terdapat perbedaan. Penduduk asli masyarakat Gayo sebagai hasil campuran antara orang-orang Cik
dan Bukit tadi mempunyai gambaran fisik yang sedikit berbeda dengan masyarakat Aceh lainnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor
keturunan. Ciri-ciri fisik yang membedakan diantaranya yaitu penduduk asli mempunyai kulit agak kemerah-merahan, terutama di bagian wajah mereka, wajah
mereka umumnya berwarna merah seperti terkena sinar matahari. Bagian betis kaki mereka kelihatan tampak membesar. Hal ini mungkin disebabkan oleh seringnya
mereka berjalan kaki naik gunung dan turun gunung. Jika berjalan, dada tampak agak menonjol kedepan dan pinggul agak kebelakang, seakan-akan siap untuk menempuh
perjalanan yang mendaki. Bagi para wanita, biasanya mereka membawa barang-barang dari satu tempat ke tempat lain, seperti kayu api, padi, beras dan lain-lainnya, mereka
selalu menggendong dari belakang dengan menggunakan tali jangkat.
Universitas Sumatera Utara
2.9 Sistem Pemerintahan di Daerah Gayo