Unsur-Unsur Kesenian dalam Budaya Gayo

2.11 Unsur-Unsur Kesenian dalam Budaya Gayo

M.J. Melalatoa dalam sebuah penelitian ilmiahnya di tanah Gayo pada tahun tujuh puluhan mengatakan bahwa masyarakat Gayo tidaklah demikian kaya dengan variasi perwujutan artistik berupa hasil kebudayaan material, meskipun mereka mengenal seni arsitektur, ukir, relief, hias, dan perhiasan. Masyarakat Gayo pada umumnya lebih banyak memiliki dan menyenangi unsur-unsur kesenian sastra, seperti teka teki, perumpamaan, nyanyian, deklamasi, legenda dan sebagainya, yang bernuansa sastrawi. Keterangan dan literatur mengenai hasil kebudayaan material tesebut di atas banyak diungkapkan oleh sejumlah penulis Belanda. Dalam karya dan literatur terakhir, lebih banyak membicarakan hasil-hasil kesusastraan dan tari-tarian. Dalam hal seni arsitektur kita dapat melihat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus. Arsitektur rumah atau bahkan bangunan untuk tempat ibadah dan belajar seperti mersah dan joyah menunjukan adanya suatu bentuk keseragaman dari segi bangun dan bentuk. Bangunan-bangunan ini didirikan itu didirikan di atas tiang, sehingga secara keseluruhan tampak seperti panggung. Rumah anggota masyarakat biasa dengan rumah penguasa adat atau raja reje atau penghulu juga tidak terdapat perbedaan yang terlalu mencolok. Rumah yang berbeda hanyalah rumah time ruang dan rumah bubung, dan letak perbedaannya hanyalah pada jumlah ruangan yang ada dalam rumah saja. Rumah panggung seperti disebutkan di atas pada masa sekarang ini dapat dikatakan punah dari kehidupan budaya masyarakat Gayo Aceh Tengah. Rumah-rumah pada masa terakhir sudah merapat ke tanah. Bentuk atapnya sama dengan yang lama, Universitas Sumatera Utara tetapi ada juga berbentuk landai persegi dalam bahasa Gayo disebut bubung time Melalatoa 1975. Ukuran-ukuran yang terdapat pada rumah-rumah arsitektur lama juga terbatas pada tangga atau pada tiang penyangga bubungan. Menurut catatan M.J. Melalatoa dalam bukunya Kebudayaan Gayo 1983, seni ukir yang lain terdapat pada alat-alat rumah tangga yang terbuat dari tanah liat pottery yang umumnya berupa wadah, seperti kendi, labu, kiup, kekaklang, dan lain sebagainya. Seni hias dapat dilihat pada hasil kerajinan anyaman yang bahannya dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di rawa- rawa paya seperti kertan, benyet, cike, beldem, dan bengkuang. Pakaian mereka, terutama pakaian kaum wanita terdapat hiasan-hiasan ragi yang mempunyai macam- macam motif, seperti yang terlihat pada upuh-koi, ketawak, beberapa jenis ules. Dalam seni musik mereka mengenal beberapa alat musik dengan sistem pemakaian yang berbeda-beda, misalnya teganing, canang, bensi, rebana gegeden, serune, dan lain-lain. Teganing dibuat dari seruas bambu dengan mencungkil bambu itu sebagai senar dengan cara memukul-mukul dengan “tongkat” kecil, dari belahan bambu. Pada saat sisi bambu ini dilakukan yang dipukul-pukul dengan telapak tangan kiri, dengan fungsi sebagai gendang gegedem. Canang berarti seperangkat instrumen yang terdiri dari beberapa buah canang, sebuah memong, sebuah gong, sebuah gegedem atau rebana yang masing-masing dimainkan oleh satu orang. Instrumen seperti gong, bensi, serune, sarunai kalle suling adalah instrumen tiup. Gamang adalah instrumen yang didatangkan dari luar, yang kemudian sangat digemari oleh orang-orang kampung, terutama pemuda-pemuda bebujang. Instrumen ini tidak lain dari harmonika Hurgonje, 1903. Universitas Sumatera Utara Unsur kesenian yang paling menonjol dalam masyarakat seni sastra adalah seni sastra. Seni Satra ini terwujut dalam beberapa bentuk seperti kekitiken, kekeberen, guru didong, didong sa’er, dan lain-lain. Kekitiken merupakan seni berteka-teki yang dilakukan oleh anak-anak sebelum tidur. Biasanya dari soal teka-teki ini merupakan bentuk puisi Gayo yang cukup tua Ara, 1971:13. Pada masa akhir ini pekerjaan berteka-teki pengantar tidur itu sudah jarang dilakukan karena sudah diganti dengan kegiatan belajar. Kekeberen adalah salah satu bentuk prosa yang disampaikan secara lisan dan mendapat tempat yang luas dalam masayarakat Gayo di masa silam. Prosa inipun biasanya dituturkan pada malam hari menjelang tidur dari si penceritanya kepada pendengarnya, yang umumnya kalangan anak-anak mudanya. Tukang cerita ini mungkin seorang nenek yang bercerita kepada cucunya menjelang tidur, atau juga orang tua yang bercerita kepada para anak muda yang sedang berkumpul. Kisah ceritanya antara lain adalah tentang tema-tema cinta kasih, sinisme, nasehat kepada anak muda, patuh kepada orang tua, kesombongan, akal bulus, dan lain sebagainya. Minosar, 1961:15-17. Semua itu mengandung pesan-pesan yang bersifat pendidikan kepada anak-anak pendengarnya. Pada masa terakhir ini beberapa cerita rakyat telah dituliskan baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Gayo Melalatoa 1969; Kadir 1971; Harun 1971; Djenen 1972; dan lain-lainnya. Dalam pidato-pidato adat melengkan dan berbagai upacara masyarakat gayo melahirkan rasa seninya dalam bentuk kata-kata yang puitis. Pidato adat ini dilakukan secara berbalas-balasan oleh para pendengarnya, dan dari sini dapat di nilai para pemenangnya, hal ini dinilai dari siapa yang mahir dalam menjawab pidato tersebut. Di Universitas Sumatera Utara dalam suatu klen atau kampung tidak banyak orang yang mampu melakukan melengkan ini, sebagai contoh singkat yang masih dalam bahasa Gayo.Hakim, 1972:15-16, Salman Yoga S, 1997. Lain halnya lagi dengan guru didong yang biasanya dilakukan oleh dua orang laki-laki berpantun berbalas-balasan, tetapi sambil menari-nari. Pantun yang disampaikan itu dilakukan dengan semacam nyanyian. Sebuku resitasi adalah pengungkapan perasaan yang terjalin dalam puisi tertentuyang umumnya hanya dilakukan oleh seorang perempuan. Puisi sebuku ini ditembangkan dalam menghadapi kematian sebuku mate atau pada saat upacara perkawinan sebuku mungerje.

2.12 Sistem Kekerabatan Suku Gayo