Penggunaan saman di Blang Kejeren Aceh mencakup berbagai aktivitas, seperti: memeriahkan suasana pesta nikah kawin, memeriahkan suasana pesta khitanan,
akikah, menabalkan nama anak, perayaan Idul Fitri, perayaan Idul Adha, festival- festival budaya, dan lain-lain.
3.3.2.1 Upacara Pesta Kawin
Pada masyarakat Gayo ada tiga bentuk perkawinan yaitu, anggo atau juelen, kawin ungkap dan kawin kuso kuni. Dalam perkawinan anggo atau juelen pihak suami
seakan-akan membeli wanita yang bakal akan menjadi istrinya, maka si istri dianggap masuk kedalam belah suaminya. Oleh karena itu anak-anaknya akan mengenal prinsip
patrilineal, karena ia dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ungkap nasap dan bentuk ungkap sentaran. Bentuk ungkap nasap adalah suami masuk kedalam belah
keluarga istri, dan jika keluarga istri tidak ada keturunan laki-laki. Maka menantu laki- laki disebut dengan menurip-nurip peunanaum mate memelihara semasa hidup dan
menguburkan waktu mertua mati. Oleh karena itu anak-anaknya seakan-akan menganut matrilineal karena ikut belah ibunya. Sedangkan bentuk perkawinan
sentarau, suami dalam jangka waktu tertentu menetap dalam belah istrinya sesuai dengan perjanjian pada saat dilakukan penunangan. Keadaan ini berlangsung selama
suami belum melunasi semua persyaratan seperti mas kawin. Status anak dalam perkawinan ini tetap menganut prinsip keturunan matrilineal.
Bentuk perkawinan yang ketiga adalah bentuk perkawinan kuso-kuni kesana kemari. Bentuk perkawinan ini seperti memberikan kebebasan kepada suami istri
untuk memilih tempat menetap, ke belah suami atau ke belah istri. Bentuk perkawinan inilah yang paling banyak terjadi pada saat ini. Hal ini sering di lakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Gayo, karena perkawinan tersebut memberikan kebebasan untuk memilih tempat menetap.
Sehubungan dengan mata pencaharian penduduk Gayo yang bercocok tanam di sawah, ladang, dan kebun, mereka juga mempunyai tradisi sebagai warisan
kepercayaan yang mereka lakukan secara turun temurun, yaitu upacara agar panen berhasil, mendapat banyak hujan dan menangkis bahaya yang mengancam mereka,
melakukan upacara kenduri uluh ni wih, kenduri kanji pada saat berumur satu sampai dua bulan. Dalam masyarakat Gayo kenduri ini di lakukan pada saat jika datangnya
serangan, misalnya hama tikus, yang dipimpin oleh Kejuruen Belang. Dalam menggarap sawah, ladang dan kebun sebagian mereka masih
menggunakan cara tradisional yaitu menggunakan binatang kuda dan kerbau sebagai alat untuk membajak tanah. Membajak tanah ini biasanya di lakukan oleh keluarga baik
ayah, ibu dan anak-anak dan kadangkala di lakukan dengan cara bergotong royong antara penduduk desa meujelbang. Mereka juga saling bantu membantu menanami
sawah ladang mereka secara bergantian manomang dan bersama-sama pula berganti- ganti kerja dari sawah ladang yang satu ke sawah ladang yang lain. Untuk memetik
hasil mereka menuling. Disini selain terlihat sikap tolong menolong ini, terlihat ketika suatu keluarga hendak mengadakan pesta perkawinan, masyarakat secara sukarela akan
membantu pelaksanaan pesta tersebut hingga selesai, gotong royong ini dalam masyarakat Gayo disebut dengan mengerji .
Dalam kebudayaan masyarakat Gayo, pernikahan merupakan kegiatan yang bersifat keagamaan dan adat sekaligus. Pernikahan secara konseptual, adalah
penyatuan jasmani dan rohani antara lelaki dan perempuan yang diabsahkan sama ada
Universitas Sumatera Utara
oleh agama maupun norma-norma sosial. Dalam kebudayaan masyarakat Gayo Aceh Darussalam pada upacara nikah kawin ini terdapat beberapa tahapan kegiatan:
peminangan, menyorong tanda, kenduri, pernikahan menurut agama, berinai, peresmian secara adat, dan menghantar pengantin lelaki bersanding.
Penggunaan seni saman dalam upacara pernikahan adalah pada saat kedua mempelai duduk di atas pelaminan. Biasanya disertai dengan dipertunjukan seni
barzanji, marhaban, rateeb, dan nasyid.
3.3.2.2 Upacara Pesta Khitan Sunat Rasul