seluruh wilayah Nusantara. Pada saat Sultan Ali Mughayatsyah memerintah Aceh, tahun 1514-1530, Kerajaan Aceh mencakup wilayah: Pasee, Peurlak Aru, Piedie,
dan Lamno Pemerintah Daerah Istimewa Aceh 1972:5. Kerajaan Aceh memiliki tentara yang kuat, maka tak heran daerah Melayu
Pesisir Timur Sumatera Utara sampai Melaka pernah menjadi daerah taklukannya pada abad keenam belas. Diperkirakan sebagian orang Aceh sudah migrasi ke
Sumatera Timur sejak adanya kontak antara kedua daerah ini, baik melalui penaklukan, perdagangan, dan penyebaran agama Islam. Ulama dari Sumatera Utara
yang terkenal menjadi bagian dari ulama Kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri yang berasal dari Pantai Barus Sumatera Utara.
2.2 Masyarakat Aceh
Secara umum, masyarakat Aceh terdiri atas kelompok-kelompok etnik suku bangsa, yaitu: 1 Aceh Rayeuk, 2 Gayo, 3 Alas, 4 Tamiang, 5 Kluet, 6
Aneuk Jamee, dan 7 Semeulue. Keenam kelompok etnik ini masing-masing mendiami daerah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya. Daerah kebudayaan
mereka ini adalah: 1 Aceh Rayeuk memiliki wilayah budaya di Utara Aceh, dengan pusatnya di Banda Aceh atau Kutaraja, 2 etnik Alas berdiam di Kabupaten Aceh
Tenggara dan sekitarnya, 3 etnik Gayo mendiami Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya, 4 etnik Kluet mendiami Kabupaten Aceh Selatan dan sekitarnya, 5
etnik Aneuk Jamee mendiami Kabupaten Aceh Barat dan sekitarnya, 6 etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara dan Kepulauan Semeulue dan
sekitarnya, serta 7 etnik Tamiang mendiami Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
Etnik Tamiang secara budaya mempergunakan beberapa unsur kebudayaan etnik Melayu Sumatera Utara, dan bahasa mereka adalah bahasa Melayu wawancara
dengan Ali Hasymi, 1995. Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang masuk bahasa
Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, diantaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunangan, Matang, dan Meulaboh, tetapi
yang sering kedengaran adalah dialek Banda. Dialek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru,
sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda ‘eu’ kebanyakan dipakai tanda pepet bunye. Keaneka Ragaman Suku dan Budata Di Aceh, 1998:8.
Rumah sebagai tempat tinggal orang Aceh merupakan rumah panggung yang didirikan setinggi lebih kurang 2,5 – 3 meter di atas tanah, berbentuk empat persegi
panjang atau bujur sangkar, dan memanjang dari Timur ke Barat. Maksud didirikannya rumah panggung atau rumah tinggi tersebut mempunyai maksud, agar mereka terhindar
dari serangan binatang buas dan adanya bahaya banjir, sehingga penghuni rumah dapat merasa aman. Sedangkan makna dari arah rumah yang menghadap ke arah Timur dan
Barat, mempunyai makna agar pendatang yang datang ke rumah orang Aceh, merasa langsung tahu, bahwa ke arah mana kiblatnya jika mereka ingin sholat, tanpa harus
bertanya kepada tuan rumah. Letak seperti ini dipengaruhi setelah kedatangan ajaran agama Islam ke daerah Aceh.
Rumah orang Aceh umumnya terdiri dari tiga ruangan, ruangan depan disebut seuramoe rinyeun serambi depan, kemudian seuramoe teungoh serambi tengah, dan
yang paling belakang adalah seuramoe likot serambi belakang. Pada umumnya dapur
Universitas Sumatera Utara
orangAceh berada pada bagian lain rumah, tetapi kadang-kadang seuramoe likot juga sekalian dijadikan dapur. Serambi depan dan serambi belakang tidak dibuat kamar-
kamar, namun tetap terbuka. Ruangan tersebut berfungsi sebagai tempat tidur bagi anak-anak yang belum menikah atau berumah tangga, tempat tidur para tamu dan
tempat tidur selama diadakannya upacara daur hidup. Ruangan tengah merupakan ruangan inti, yang sering didapati rumah inong kamar tidur satu atau dua kamar,
yang dinamakan anjong. Dalam rumah orang aceh, tidak ada ruangan yang disebut dengan rumah laki-laki.
Ditinjau dari sudut geografisnya, etnik Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, dan Semeulue tinggal di daerah pesisir pantai, sedangkan suku Gayo dan Alas mendiami
daerah pedalaman Aceh. Letak geografis ini mempengaruhi juga tingkat interaksi dengan berbagai budaya. Mereka yang tinggal di pesisir pantai cenderung lebih
banyak menerima unsur-unsur budaya lainnya, dibanding mereka yang tinggal di daerah pedalaman Aceh. Masing-masing etnik ini mempunyai ciri khas
budayanya. Asal-usul orang Aceh menurut Dada Meuraxa yang termasuk rumpun bangsa
Melayu, terdiri dari suku-suku Mante, Lanun, Sakai, Jakun, Senoi, Semang, dan lainnya, yang berasal dari pada Tanah Semenanjung Malaysia. Ditinjau secara
etologis mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang pernah hidup di Babilonia yang disebut Phunisia, dan daerah antara sungai Indus dan Gangga yang disebut
Dravida Dada Meuraxa, 1974:12. Hubungan antara Aceh dengan masyarakat Melayu juga terjalin dengan akrab.
Sultan pertama Negeri Deli, yaitu Gocah Pahlawan, adalah kepercayaan Sultan
Universitas Sumatera Utara
Aceh, untuk memerintah Deli. Menurut sumber-sumber Deli Gocah Pahlawan berasal dari India Pelzer, 1978:3. Penguasaan wilayah jalur pantai yang terletak
antara Kuala Belawan dan Kuala Percut sebagai jalur yang potensial bagi sumber ekonomi Deli oleh Gocah Pahlawan, menyebabkan posisi Deli semakin menonjol.
Selain itu, kekuasaan Gocah Pahlawan selaku wakil resmi Aceh didukung oleh kekuatan tentara Aceh Ratna, 1990:49.
44
2.3 Keadaan Geografis Blangkejeren