Catatan, Isu, dan Prospek Kelompok Seni Pertunjukan

10.3. Catatan, Isu, dan Prospek Kelompok Seni Pertunjukan

Sebagaimana yang ditulis dalam situs depdiknas.go.id, yaitu: di masa kini, fenomena seni pertunjukan di Indonesia termasuk seni tari, ternyata berkembang semakin kaya dan beranekaragam selaras dengan keanekaragaman budaya suku bangsa yang berada di Bumi Nusantara ini. Seni pertunjukan yang selama ini berada di bawah aura sosial budaya lama, baik merupakan hasil maha karya wibawa bangsawan yang berkembang menjadi seni ʺklasikʺ tradisi maupun berkembang dari masyarakat pertanian dan menjadi seni pertunjukan ʺrakyatʺ tradisi, kedua macam seni pertunjukan ini disebut sebagai seni pertunjukan ʺlokalʺ (Umar Kayam, 2000: 21‐22).

Format sajiannya hingga kini cenderung masih tampak konvensional dengan memanfaatkan teknologi yang relevan dalam jangkauan lokal. Adapun peristiwa ‐peristiwa pertunjukannya lebih menekankan pada ketahanan budaya atau bernilai sosial dari pada bernilai komersial. Dengan demikian, untuk Format sajiannya hingga kini cenderung masih tampak konvensional dengan memanfaatkan teknologi yang relevan dalam jangkauan lokal. Adapun peristiwa ‐peristiwa pertunjukannya lebih menekankan pada ketahanan budaya atau bernilai sosial dari pada bernilai komersial. Dengan demikian, untuk

Masalah klasik dan umum yang kerap terjadi pada hampir semua koreografer di Indonesia juga utamanya menyangkut pada persoalan proses kreatif. Dan, persoalan pentingnya proses kreatif itu nyaris terlupakan dan diremehkan oleh koreografer . Sering kali seorang koreografer, ketika mendapat undangan festival, hanya beberapa hari saja berproses karena mereka melihat dulu berapa besar dananya. Jadi mereka pun tidak mampu memberikan hasil pementasan yang berkualitas, tetapi dengan mutu yang biasa‐biasa saja. Selain persoalan proses kreatif, persoalan ruang pun ikut memberikan andil besar kepada seorang koreografer menjadi eksis dan besar.

Menyoal tari kontemporer, karya yang muncul dan lahir karena kejenuhan atas karya ‐karya klasik. Realitas dari karya tari kontemporer itu bisa pula berarti kekinian. ʺMarta Graham dari Amerika Serikat adalah tokoh tari balet modern karena karya‐karyanya kekinian,ʺ katanya. Karya‐karya tari kontemporer di Indonesia banyak yang muncul dan dikembangkan di kampus‐kampus. Tari kontemporer boleh dibilang sebagai gerakan pemberontakan terhadap standardisasi gerak tari klasik, termasuk tari klasik keraton. Jadi, karya tari kontemporer itu hendak membebaskan penata tari dari standardisasi gerak. Tampilan karya‐karya tari kontemporer yang dikedepankan haruslah jauh lebih baik dan jangan sampai terjadi justifikasi atas karya tari kontemporer yang ditampilkan di DKS itu. Tarian kontemporer yang mulai banyak dipentaskan di berbagai tempat di kota‐kota besar sudah mulai dapat menarik animo penonton. Walaupun pada umumnya para penonton berasal dari para seniman juga. Oleh karena itu perlu dicari cara serta topik dan pengemasan pementasan yang kiranya dapat menarik khalayak ramai untuk mulai mau serta tertarik datang mengunjungi pementasan tarian kontemporer.

Globalisasi sebagai suatu budaya baru yang semakin mencuat wahananya dewasa ini, antara lain telah menampakkan identitasnya ke arah yang komersial. Munculnya budaya baru atau budaya global, pada dasarnya dipengaruhi oleh sistem perdagangan bebas dan terbuka, sehingga muncul pula yang disebut ekonomi industri yang di dalamnya termasuk industri budaya. Oleh karena itu, sintesis budaya baru dengan sistem kekuasaan demokratis dan sistem ekonomi pasar dan uang telah membangun seni pertunjukan menjadi kemasan‐kemasan yang diorganisasi dalam ʺunit‐unitʺ bisnis besar atau kecil (Op. cit.: 23). Dalam era globalisasi ini, bukan tenaga dan pemikiran saja yang dijual, melainkan komitmen dan loyalitas dari senimannya. Kesadaran berekspresi seniman Globalisasi sebagai suatu budaya baru yang semakin mencuat wahananya dewasa ini, antara lain telah menampakkan identitasnya ke arah yang komersial. Munculnya budaya baru atau budaya global, pada dasarnya dipengaruhi oleh sistem perdagangan bebas dan terbuka, sehingga muncul pula yang disebut ekonomi industri yang di dalamnya termasuk industri budaya. Oleh karena itu, sintesis budaya baru dengan sistem kekuasaan demokratis dan sistem ekonomi pasar dan uang telah membangun seni pertunjukan menjadi kemasan‐kemasan yang diorganisasi dalam ʺunit‐unitʺ bisnis besar atau kecil (Op. cit.: 23). Dalam era globalisasi ini, bukan tenaga dan pemikiran saja yang dijual, melainkan komitmen dan loyalitas dari senimannya. Kesadaran berekspresi seniman

Mengenai kondisi perkembangan budaya lokal yang semula hidup dan dipertunjukkan dalam lingkaran komunikasi sosial atau tidak mengarah pada komersial, dewasa ini tertembus pula oleh arus kuat budaya global. Oleh karena itu, tidak sedikit karya‐karya seni pertunjukan tradisi yang dianggap menarik dikemas kembali untuk dipertunjukkan secara komersial. Seperti dikatakan oleh Umar Kayam, berbagai seni pertunjukan klasik dan rakyat tradisional dipentaskan pula secara komersial, baik di dalam negeri maupun di luar negeri (2000: 26). Pengkemasan‐pengkemasan seni pertunjukan tradisi ini pun menembus pula ke dalam dunia seni tari pertunjukan, sehingga muncullah istilah sebagai ʺtarian tradisi yang global atau tarian lokal yang globalʺ. Tatanan kemasan tarian lokal yang global juga terdapat dua macam, yakni ada yang dikemas dengan tidak mengurangi essensi dari nilai ketradisiannya dan ada pula yang dikemas dengan tanpa mempertimbangkan nilai ketradisiannya dengan dalih asal laku dijual.

Kondisi kehidupan seni tari di era global ini, ternyata disemarakkan di berbagai kabupaten dan kota dengan munculnya penyangga atau ʺkantong‐kantong industri ʺ seni tari, di antaranya ada yang disebut sanggar, studio, home production, dan jenis entertainment lainnya yang siap melayani pesanan tari pertunjukan secara komersial, baik untuk melayani pertunjukan tari di dalam negeri maupun pertunjukan tari di luar negeri. Selain itu didukung pula dengan terbentuknya ʺkantong‐kantong pariwisataʺ yang siap melayani turis domestik dan mancanagara untuk menonton secara komersial berbagai kemasan tari pertunjukan.

Sementara itu dalam situs direktoral jenderal pos dan telekomunikasi (12 Juli 2007) tertulis bahwa I Made Bandem mengatakan, perkembangan tari di

Indonesia ada beberapa tahap, antara lain perkembangan tari yang bersifat sakral, dimana umumnya bersifat komunitas dengan anggotanya masyarakat itu sendiri dan digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti tari Sahyang di Bali. Perkembangan tari yang bersifat klasik, seperti tari Legong Kraton yang merupakan tari klasik di Bali dimana tarian tersebut memiliki filosofi, peraturan dan ada struktur dramanya. Kedua tari tersebut masih ada dan masih terus berkembang sampai sekarang dan menjadi seni pertunjukan. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mengemasnya menjadi menarik, dengan menambahkan pemasaran tari bisa melalui pasar‐pasar seni, festival, musium dan yayasan seni.

Dia juga menyayangkan belum adanya lembaga khusus yang menangani pementasan tari untuk acara‐acara festival, padahal banyak acara festival di negara ‐negara lain dibuka oleh tarian tradisional dari Indonesia. Masalah lain yang timbul dalam pemasaran tari di Indonesia adalah kurangnya data base tari tradisional di seluruh Indonesia. Ia juga menyarankan kepada para koreografer tari untuk terus mencipta dan mengemas tarian agar lebih menarik.

Sementara itu, Guru Besar ISI Surakarta Rahayu Supanggah mengatakan tarian dan musik tradisional memiliki keistimewaan dan keunggulan tertentu. Masyarakat di luar Indonesia semula menganggap seni musik Indonesia hanya sesuatu hal yang eksotis. Sekarang, mereka menganggap musik Indonesia sebagai sumber inspirasi, materi, bahasa dan daya tarik potensial untuk menyegarkan musik di berbagai dunia.Namun, menurutnya, masalah yang dihadapi dalam perkembangan musik tradisional dengan tari tradisional hampir sama dengan segi pendukung atau pelaku memiliki latar belakang pendidikan, sosial ekonomi dan pergaulan yang terbatas.

Kebutuhan juga menjadi faktor penting dalam pemasaran produk seni, artinya menciptakan dan mengemas tarian dan musik harus mengetahui kebutuhan dan selera masyarakat. Jejaring juga menjadi salah satu kunci sukses pemasaran seni tari dan musik Indonesia.

Rasanya tak berlebihan jika dikatakan prospek seni pertunjukan di Indonesiaa cukup cerah, sebab potensi yang ada seperti pemain yang berbakat, gedung yang representatif, dan penonton yang antusias sudah mulai kita miliki walaupun masih belum memenuhi berbagai kriteria standar yang harus dipenuhi. Disinilah peran pemerintah untuk dapat berperan lebih jauh dalam mendorong bertumbuhnya seni pertunjukan di Indonesia agar dapat lebih bergairah kembali. Pemerintah dapat membantu dengan membangun gedung‐gedung seni pertunjukan yang lebih representative sehingga dapat menarik perhatian penonton untuk datang. Berbagai pelatihan serta dukungan dapat diberikan kepada para pelaku agar lebih kreatif lagi dalam mengemas pertunjukan sesuai dengan apa yang menarik bagi pasar. Mereka juga dapat dilatih dari segi kewirausahaannya. Eksibisi serta berbagai insentif yang mendukung juga dapat dikedepankan untuk bertumbuhnya masyarakat yang lebih peduli pada seni pertunjukan Indonesia.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24