Simulasi 3. Dampak Peningkatan DAU 10 terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah

pendapatan. Di kabupaten distribusi pendapatan semakin memburuk, sedangkan di kota semakin membaik. Hal ini diduga disebabkan oleh lebih siapnya SDM maupun institusi kota merespon otonomi daerah. Dengan kata lain institusi dan SDM di kabupaten lebih rentan terhadap perubahan atau goncangan pada perekonomian dibandingkan dengan kota. Temuan ini berbeda dengan Usman 2006, dimana dampak peningkatan BHP dan BHSDA terhadap distribusi pendapatan secara nasional membaik dengan catatan di Kawasan Barat Indonesia memburuk dan Kawasan Timur Indonesia membaik. Sedangkan temuan Saefudin 2005 kurang lebih serupa dengan Usman 2006, dimana dampak peningkatan BHP dan BHSDA terhadap distribusi pendapatan di Riau membaik Riau daratan memburuk dan Riau kepulauan membaik. Temuan Sinaga dan Siregar 2005 menunjukkan bahwa peningkatan BHP berdampak baik terhadap distribusi pendapatan. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Nanga 2006 dimana peningkatan BHP distribusi pendapatan berdampak buruk terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan.

7.2.3. Simulasi 3. Dampak Peningkatan DAU 10 terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah

Dana Alokasi Umum adalah salah satu Dana Perimbangan terpenting yang bersifat equalizing transfer dan juga menjadi salah satu sumber penerimaan utama bagi pemerintah daerah. Sumbangan DAU terhadap Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi tidak kurang dari 71 selama periode penelitian, dan tidak kurang dari 74 terhadap Dana Perimbangan Pemerintah kabupaten dan kota Tabel 54. Tabel 54. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum 10 Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah No Peubah Endogen Wilayah Kab Kota 1 Pajak Daerah TAXDA 6.56 35.9 2 Retribusi RETRIB -9.44 -3.76 3 Pendapatan Asli Daerah PAD 1.13 0.86 4 Dana Alokasi Umum DAU 10.00 10.00 5 Bagi Hasil Pajak BHP 1.96 1.46 6 Penerimaan Pemerintah TGREV 7.65 6.82 7 Fiskal gap FISGAP 6.74 9.57 8 Pengeluaran Rutin RUEXP 8.76 8.68 9 Pengeluaran Pembangunan DEVEXP 2.71 2.57 10 Pengeluaran Pemerintah TGEXP 6.66 6.51 11 Investasi INVDA 0.31 0.16 12 Pembangunan Infrastruktur INFRAS 1.80 2.56 13 Produk Domestik Regional Bruto PDRB 4.49 4.54 14 Kesempatan Kerja BKERJA 3.56 3.23 15 Tingkat Inflasi INFLADA 0.59 0.31 16 Distribusi Pendapatan DISTRIB 7.04 -3.35 Peningkatan DAU pada umumnya berakibat positif baik bagi kinerja fiskal PAD daerah kabupaten dan kota kecuali retribusi yang mengalami penurunan. Temuan ini berbeda dengan Nanga 2006, Usman 2006, Sinaga dan Siregar 2005, Sumedi 2005 dan Saefudin 2005 dimana peningkatan DAU di Indonesia akan meningkatkan PAD. Namun bila DAU ditingkatkan sebesar 10 maka Retribusi menurun di wilayah kabupaten 9.4 dan kota 3.76, dan Fiskal Gap meningkat di kabupaten 6.74 dan kota 9.57. Penurunan Retribusi terjadi sebagai akibat dari fenomena kemalasan fiskal, yang pada gilirannya akan meningkatkan fiskal gap tersebut. Kebijakan peningkatan DAU 10 akan secara logis meningkatkan penerimaan pemerintah daerah kabupaten dan kota, dan pada gilirannya pada saat yang sama meningkat pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan dan pengeluaran pemerintah . Studi Nanga 2006 , Usman 2006 di level nasional juga menunjukkan hasil serupa, dan Sinaga dan Siregar 2005 di Sulawesi Selatan , Pakasi 2005 di Sulawesi Utara, Sumedi 2005 di Jawa Barat dan Saefudin 2005 di Riau. Peningkatan DAU 10 akan meningkatkan investasi dan Infrastruktur di kabupaten dan kota. Hasil serupa ditemukan oleh Pakasi 2005 di Sulawesi Utara, Saefudin 2005 di Riau dan Sumedi 2005 di Jawa Barat hanya infrastruktur. PDRB dan Kesempatan Kerja membaik bila DAU ditingkatkan. Temuan ini serupa dengan temuan Nanga 2006; Usman 2006 pada level nasional. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa dari sisi distribusi pendapatan kebijakan peningkatan DAU kurang menguntungkan daerah kabupaten , sebaliknya menguntungkan daerah kota. Hal ini disebabkan oleh SDM dan sistem kelambagaan di kota lebih responsif dibandingkan dengan kabupaten. Temuan tadi didukung temuan Nanga 2006 dimana distribusi pendapatan dan kemiskinan di pedesaan jauh lebih buruk dibandingkan dengan perkotaan. Bahkan lebih lanjut Nanga 2006 menemukan bahwa tingkat kemiskinan semakin membesar di sektor pertanian maupun non pertanian seiring dengan memburuknya distribusi pendapatan. Sedangkan Usman 2006 menunjukkan ada indikasi masih perlu dibuktikan bahwa DAU memperbaiki distribusi pendapatan secara nasional. Dampak pemerataan DAU yang beragam tersebut serupa dengan Suryaningtyas 2006 12 dimana 62 responden menyatakan keyakinannya bahwa pelaksanaan otonomi daerah membuat daerah mereka semakin baik. Keyakinan itu ditopang pula dengan fakta di masyarakat, dimana 66 responden hidup lebih baik atau tetap baik, sementara hanya 31 yang merasa hidupnya memburuk atau tetap buruk. Meski masih dibebani berbagai persoalan, harapan bahwa otonomi daerah pada akhirnya mampu memperbaiki kehidupan masyarakat rupanya masih cukup tinggi. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa peningkatan DAU akan memacu inflasi. Namun inflasi yag terjadi relatif kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sehingga secara real pertumbuhan ekonomi masih relatif tinggi 3.9 di kabupaten dan 4.2 di kota. 7.2.4. Simulasi 4: Dampak Kenaikan Pajak Daerah sebesar 15 terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Sebagaimana dijelaskan, Pajak Daerah bersama-sama Retribusi adalah dua unsur utama Pendapatan Asli Daerah. Pajak Daerah ini menyumbang tidak kurang dari 40 terhadap PAD pada pemerintah kabupaten dan kota. Bahkan untuk pemerintah provinsi Sumatera Utara sumbangan Pajak Daerah terhadap PAD tidak kurang dari 75. Pajak selalu bersifat kontraktif terhadap perekonomian dan bersifat crowdingout effect . Temuan empiris menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan Pajak Daerah berakibat buruk pada PDRB. Di Kabupaten PDRB turun -1,77 12 Jajak Pendapat Kompas, Senin 20 Maret 2006 dan Kota turun -2.35 bila Pajak Daerah naik 15. Disaat yang sama Kesempatan Kerja di Kota turun -5.74 dan di Kabupaten turun -1.35 Tabel 55. Tabel 55. Dampak Peningkatan Pajak Daerah 15 Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No PeubahEndogen Wilayah Kab Kota 1 Pajak Daerah TAXDA 15.00 15.00 2 Retribusi RETRIB -14.79 -17.49 3 Pendapatan Asli Daerah PAD 3.08 4.95 4 Dana Alokasi Umum DAU 0.80 -0.63 5 Bagi Hasil Pajak BHP -0.77 -2.73 6 Penerimaan Pemerintah TGREV 2.46 10.22 7 Fiskal Gap FISGAP 74.26 49.08 8 Pengeluaran Rutin RUEXP 5.23 4.16 9 Pengeluaran Pembangunan DEVEXP -0.89 3.94 10 Pengeluaran Pemerintah TGEXP 3.73 6.96 11 Investasi INVDA 1.52 -3.72 12 Pembangunan Infrastruktur INFRAS -0.43 3.19 13 Produk Domestik Regional Bruto PDRB -1.77 -3.50 14 Kesempatan Kerja BKERJA -1.35 -5.74 15 Tingkat Inflasi INFLADA 0.10 0.24 16 Distribusi Pendapatan DISTRIB -2.96 0.12 Fenomena serupa memang jamak ditemui dibelahan daerah lain di Indonesia, sebagaimana oleh Sinaga dan Siregar 2005 di Sulawesi Selatan, Pakasi 2005 pada sebagian kabupaten di Sulawesi Utara dan Saefudin 2005 di Riau. Hasil tadi berbeda dengan temuan Usman 2006 di Indonesia, Sumedi 2005 di Jawa Barat, Pakasi 2005 pada sebagian kabupaten di Sulawesi Utara. Usaha Pemungutan Pajak tax effort untuk meningkatkan PAD, telah menjadi kontra produktif bagi perekonomian karena sararan dan pelaksanaannya kurang tepat khususnya di kawasan kota. Hal ini terutama disebabkan berbagai Peraturan daerah yang bermasalah seiring dengan usaha peningkatan Pajak dan juga retribusi. Misalnya, pada November 2005, sebanyak 13.520 PERDA pajak dan retribusi daerah yang diterbitkan oleh 30 provinsi dan 370 kabupatenkota beberapa diantaranya bermasalah. Menurut Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah 2005 bahwa dari 1 025 PERDA yang diteliti, 714 PERDA 70 dinyatakan bermasalah ,sisanya hanya 311 30 jenis PERDA yang dinilai tidak bermasalah. Departemen Keuangan misalnya merekomendasi 100 peraturan daerah soal pajak dan retribusi dicabut. Sementara Departemen Dalam Negeri, hingga akhir 2005 , telah mencabut 200 lebih peraturan daerah. Karena selain menghambat investasi, peraturan-peraturan daerah itu juga bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi 13 . Selain itu sering ditemukan pajak tumpang tindih antara pajak pusat dan daeran Komoditi Perkebunan dengan PBB, Pajak Pengolahan Migas dengan PPN . Gejala ini pulalah disinsentif bagi investasi yang mendorong pemerintah pusat kembali mengatur penerbitan Perda-Perda yang cenderung disinsentif bagi perekonomian. Misalnya saja,Departemen Keuangan merekomendasikan 700 buah dari 13 520 perda untuk dibatalkan 14 . Disisi lain, temuan berbeda di kabupaten, dimana usaha peningkatan pajak tidak mengganggu masuknya investasi, bahkan meningkatkan investasi. Hal ini karena Pajak Daerah yang dikeluarkan pemerintah daerah kabupaten lebih kepada ekstensifikasi pajak daripada intensifikasi pajak, sehingga relatif kurang membebani investor. Apalagi bagi investor, sesungguhnya faktor kepastian 13 Tempo Interaktif 24 Maret 2006 14 Jajak Pendapat Harian Kompas, Senin 20 Maret 2006 berusaha yang direpresentasikan oleh Tingkat Suku Bunga lebih berpengaruh dibandingkan dengan faktor pajak itu sendiri terhadap investasi. Namun demikian kebijakan meningkatkan Pajak Daerah tidak melulu berakibat buruk pada perekonoian. Hasil studi menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dapat memperbaiki distribusi Pendapatan di wilayah Kabupaten di Sumatera Utara dan juga di Kawasan Timur Indonesia Usman 2006. Menurut buku teks ekonomi makro, sepanjang pajak yang ditarik dari perekonomian disuntikan kembali kepada perekonomian dalam bentuk pengeluaran pemerintah dalam jumlah yang sama, akan meningkatkan volume perekonomian sebesar nilai pajak yang ditarik karena multiplier effect pengeluaran pemerintah lebih besar dari multiplier effect pajak . Apakah multiplier effect pengeluaran pemerintah lebih besar dari multiplier effect pajak di Sumatera Utara, dapat dilihat pada simulasi berikut?

7.2.5. Simulasi 5: Peningkatan Pajak Daerah 15 dan Pengeluaran Pemerintah 0.6.