Ringkasan Kinerja Fiskal Kabupaten dan Kota

terdesentralisasi dengan pengeluaran pemerintah yang dikuasai oleh pemerintah daerah lebih dari 50 Bank Dunia 2005. Tabel 31. Persentase Pengeluaran dan Penerimaan Daerah terhadap Pusat Di berbagai Wilayah No Wilayah Pengeluaran Daerah Penerimaan Daerah 1 2 3 4 Negara Berkembang Negara Transisi Negara OECD Indonesia 13.78 26.12 32.41 33.24 9.27 16.59 19.13 6.65 Sumber: Bank Dunia 2005

5.2. Ringkasan Kinerja Fiskal Kabupaten dan Kota

Kemampuan Fiskal Pemerintah Provinsi Sumatera Utara secara meyakinkan mengalami perbaikan yang nyata. Proporsi PAD terhadap penerimaan terus mengalami peningkatan. Disisi lain peranan transfer dari pemerintah pusat turun .Dengan kata lain pemerintah daerah provinsi Sumatera Utara semakin mandiri dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat Lampiran 10 Tabel 1. Alokasi Pengeluaran Pemerintah provinsi Sumatera Utara dominan kepada Pengeluaran Rutin. Selama periode penelitian, Pengeluaran Rutin menghabiskan lebih dari 50 per tahun dari Pengeluaran Pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah provinsi lebih konsumtif dibanding investasi dalam penggunaan uangnya. Walau dengan trend yang menurun, proporsi Pengeluaran Pembangunan ke pos Pengeluaran Rutin yang diatas 50 akan mengakibatkan kurangnya akumulasi modal pembangunan di daerah akan menurunkan produktivitas daerah. Dengan situasi seperti ini, maka motor pertumbuhan ekonomi lebih mengharapakan sektor swasta dibanding sektor pemerintah. Alokasi Pengeluaran Pembangunan selama periode penelitian dominan dan cenderung meningkat digunakan untuk pembangunan bidang ekonomi. Dengan demikian pelayanan sosial yang seharusnya lebih banyak dilakukan oleh pemerintah kalah oleh pelayanan pembangunan dibidang ekonomi. Padahal pembangunan di bidang sosial tidak kalah penting dibandingkan bidang ekonomi, karena berhubungan langsung dengan pembantukan modal sosial dan mutu sumber daya manusia social and human capital Kemampuan fiskal daerah pemerintah kabupaten dan kota relatif kecil dan cenderung menurun. Lebih dari 80 setiap tahun kebutuhan fiskal pemerintah daerah kabupaten kota berasal dari pemerintah pusat. Dengan kata lain pemerintah daerah kabupaten “sangat tidak mandiri” dan semakin tergantung pada pusat dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Bagi pemerintah kabupaten dan kota, otonomi daerah lebih pada otonomi tugas pelayanan dan bukan pada menghimpun penerimaan dan penggunaan anggaran Lampiran 10 Tabel 2. Alokasi Pengeluaran Pemerintah, sebagaimana pemerintah provinsi, lebih banyak kepada pos Pengeluaran Rutin dibandingkan Pengeluaran Pembangunan. Dengan demikian maka relatif sulit untuk mengandalkan pemerintah kabupaten dan kota sebagai motor pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara. Alokasi Pengeluaran Pembangunan kepada bidang sosial cenderung meningkat,walau kurang dari 50, khususnya pada tiga tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal. Pindahnya tugas-tugas pelayanan dari pusat provinsi ke daerah pada tiga tahun desentralisasi fiskal, seiring dengan naiknya alokasi anggaran ke bidang sosial. Dimana alokasinya mencapai rata-rata 40 per tahun. Hal ini sejalan dengan menurunnya porsi alokasi ke bidang sosial pada level pemerintah provinsi yang menurun hanya rata-rata 24 dari Pengeluaran Pembangunannya. Kinerja Penerimaan maupun Pengeluaran fiskal di beberapa daerah secara umum menunjukkan perilaku serupa dengan Sumatera Utara yaitu terjadi peningkatan. Sinaga dan Siregar 2005 menunjukkan Penerimaan fiskal Pendapatan Asli daerah maupun Dana Perimbangan Sulawesi Selatan dalam lima tahun 1998-2002 meningkat. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2001 sebesar 79.9. Sumber utama penerimaan daerah Sulawesi Selatan sebagaimana di Sumatera Utara adalah transfer pusat ke daerah, yang dalam periode 1999-2000 memberikan kontribusi 77.5, meningkat menjadi rata-rata 79.9 pada periode 2001-2002. Sedangkan kontribusi PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak masing-masing kurang dari 10. Temuan serupa juga ditemukan di Sulawesi Utara dimana penerimaan daerah fiscal available kabupatenkota meningkat. Peningkatan terbesar berasal dari DAU, dimana kontribusinya terahadap penerimaan daerah sebesar 41-90 pada awal desentralisasi fiskal menjadi 66-93 pada tahun kedua desentralisasi fiskal. Studi-studi yang dilakukan Saefudin 2005 di Riau, Sumedi 2005 di Jawa Barat juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada penerimaan daerah, hanya dengan persentase yang berbeda-beda. Pengeluaran Sulawesi Utara mengalami peningkatan hingga 300 sesudah desentralisasi fiskal Pakasi 2005, sedangkan di Sulawesi Selatan pada tahun 2001 pengeluaran rutin bertumbuh sebesar 89.3 dan pengeluaran pembangunan tumbuh 66.0 Sinaga dan Siregar dalam Sinaga dan Siregar 2005. Hasil serupa juga ditemukan di Jawa Barat Sumedi 2005, dan Provinsi Riau Saefudin 2005. Walau terjadi penigkatan penerimaan, namun karena pengeluaran yang semakin besar , sebagaimana di Sumatera Utara, ketergantungan pemerintah Sulawesi Selatan, pemerintah Sulawesi Utara, Riau, Jawa Barat pada transfer pemerintah pusat untuk menutupi biaya operasional pemerintah relatif besar.

VI. HASIL ESTIMASI MODEL DESENTRALISASI FISKAL

SUMATERA UTARA Setelah dilakukan respesifikasi berulang kali terhadap model ekonometerika “normatif” Desentralisasi Fiskal Sumateara Utara sebagaimana dipaparkan pada Bab Metodologi Penelitian, maka diperoleh hasil estimasi sebagaimana terdapat pada bagian ini. Hasil estimasi yang diperoleh adalah yang dianggab terbaik dan telah memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrika secara berarti. Secara faktual hasil estimasi model yang dianggab terbaik tidak sama persis dengan model normatifnya. Peubah bebas yang secara normatif dianggab berpengaruh terhadap peubah tak bebasnya terpaksa diamputasi jika itu menjadi pilihan terakhir untuk memperbaiki kriteria ekonomi, statisitik dan ekonometrikanya secara berarti meaningfull.

6.1. Keragaan Umum Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara

Menurut hasil pendugaan model dengan metoda 2SLS persamaan- persamaan perilaku memiliki nilai koefsien determinasi R 2 yang cukup besar 0.65, kecuali persamaan Investasi yang nilai R 2 berkisar antara 0.23 Tabel 32. Nilai-nilai F-hitung pada semua persamaan bernilai lebih besar dari 13.00. Berarti mayoritas peubah penjelas mempunyai hubungan yang cukup tinggi terhadap peubah endogennya. Secara bersama-sama semua variabel penjelas dapat menjelaskan variabel endogennya secara signifikan, yang ditunjukkan oleh nilai Prob F seluruh persaman adalah 0.0001.