KEBIJAKAN DIVIDEN Izin Kegiatan Operasional

376 Halaman ini sengaja dikosongkan 377

XIV. PERPAJAKAN

Perpajakan atas Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek diatur di dalam: 1. Pasal 4 ayat 2 huruf c Undang-Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang - Undang No. 36 tahun 2008 UU Pajak Penghasilan, 2. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1994 tertanggal 23 Desember 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1997 tertanggal 29 Mei 1997, 3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 282KMK.041997 tertanggal 20 Juni 1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek, 4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-07PJ.421995 tertanggal 21 Februari 1995 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan SE-06PJ.41997 tertanggal 27 Juni 1997. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek, ditetapkan sebagai berikut: 1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan sebesar 0,1 dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham dan bersifat final. Pembayaran dilakukan dengan cara pemotongan oleh penyelenggara bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham. 2. Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5 bersifat final dari seluruh nilai saham pendiri yang dimilikinya pada saat Penawaran Umum Perdana Initial Public OfferingIPO. Besarnya nilai saham tersebut adalah nilai saham Emiten pada saat IPO. Penyetoran tambahan Pajak Penghasilan atas saham pendiri wajib dilakukan oleh Emiten atas nama pemilik saham pendiri sebelum penjualan saham pendiri, selambat-lambatnya satu 1 bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia BEI. Yang dimaksud dengan “pendiri” adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam anggaran dasar Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan OJK dalam rangka IPO menjadi efektif. 3. Pemilik saham pendiri diberikan kemudahan untuk memenuhi kewajiban pajaknya berdasarkan perhitungan sendiri sesuai ketentuan di atas. Namun apabila pemilik saham pendiri memilih untuk tidak memanfaatkan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 tersebut di atas, maka atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif yang berlaku umum berdasarkan Pasal 17 UU Pajak Penghasilan. Perpajakan atas Dividen Berdasarkan Pasal 4 ayat 3 huruf f UU Pajak Penghasilan, dividen atau bagian laba yang diterima oleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dikecualikan dari objek pajak penghasilan dengan syarat: 1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25 dari jumlah modal yang disetor. Dividen dari saham yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia dikecualikan dari objek pajak penghasilan sesuai dengan Pasal 4 ayat 3 huruf h UU Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan No. 234PMK.032009 tertanggal 29 Desember 2009 tentang Bidang 378 Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan kepada Dana Pensiun yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak Penghasilan. Dividen yang dibayarkan atau disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain yang diatur di dalam Pasal 4 ayat 3 huruf f dan huruf h UU Pajak Penghasilan tersebut di atas, dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15 dari jumlah bruto dividen oleh pihak yang wajib membayarkan Perseroan. Sesuai Pasal 23 ayat 1 huruf a UU Pajak Penghasilan, dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh dividen tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 dari pada tarif pajak yang seharusnya dikenakan sehingga menjadi sebesar 30 dari jumlah bruto dividen. Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 10 dari jumlah bruto dan bersifat final sesuai dengan Pasal 17 ayat 2 huruf c UU Pajak Penghasilan dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2009 tertanggal 9 Februari 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 111PMK.032010 tertanggal 14 Juni 2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10 tersebut dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen pada saat dividen disediakan untuk dibayarkan. Dividen yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh Perseroan kepada Wajib Pajak Luar Negeri WPLN dipotong Pajak Penghasilan dengan tarif 20 sesuai dengan Pasal 26 ayat 1 huruf a UU Pajak Penghasilan atau dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan tarif yang lebih rendah dalam hal pembayaran dilakukan kepada pemilik manfaat Beneficial Owner dari dividen yang juga merupakan penduduk suatu negara yang telah menandatangani Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda “P3B” dengan Indonesia sepanjang tidak terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-62PJ2009 tertanggal 5 November 2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-25PJ2010 tertanggal 30 April 2010. Dalam rangka penerapan tarif sesuai ketentuan P3B, WPLN juga diwajibkan untuk memenuhi persyaratan administratif sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-61PJ2009 tertanggal 5 November 2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-24PJ2010 tertanggal 30 April 2010, termasuk menyampaikan Surat Keterangan Domisili SKDCertificate of Tax Residence dalam format sebagai berikut: 1. Form DGT-1 untuk WPLN selain yang tercantum di nomor 2 di bawah ini. 2. Form DGT-2 untuk WPLN bank, WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B Indonesia dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B Indonesia dan WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia selain bunga dan dividen. 3. Form SKD yang lazim disahkan atau diterbitkan oleh negara mitra P3B dapat digunakan dalam hal pejabat yang berwenang di negara mitra P3B tidak berkenan menandatangani Form DGT-1Form DGT-2. Form SKD tersebut diterbitkan menggunakan Bahasa Inggris dan harus memenuhi persyaratan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-24PJ2010. Dalam hal ini, WPLN penerima penghasilan harus tetap melengkapi Form DGT-1Form DGT-2 tersebut dan menandatanganinya pada tempat yang telah disediakan. Form DGT-1Form DGT-2 tersebut harus disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.