| 38 Tabel. 1.12. Laporan RTRW rtrw

Bab I | 39 seperti tertib sopan santun didalam perkawinan dan lain-lain diserahkan menjadi urusan Maharani, yang dilambangkan dengan Putroe Phang Putri Pahang. Urusan reusam kebiasaan menjadi wewenang panglima kaum dan bentara-bentara di masing- masing tempat atau negeri. Hukom ngon adat lagee zat ngon sipheut adalah hukum dengan adat terjalin erat bagaikan zat dengan sifat. 2 Sifat Gotong Royong Konsep gotong royong dikalangan masyarakat Aceh dikenal dengan ungkapan Meuyo ka mufakat lampoh jeurat pih ta pengala, artinya kalau sudah mufakat, tanah kuburan keluargapun bisa kita gadaikan. Bagi masyarakat Aceh terutama perdesaan, tidak ada yang lebih berharga dari pada lampoh jeurat kuburan keluarga. Biarpun demikian, kalau sudah mufakat, kuburan keluarga yang sudah tidak ternilai harganyapun digadaikan. Ungkapan tersebut merupakan konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat Aceh terutama di perdesaan. Konsep ini sangat erat kaitannya dengan semangat gotong royong, baik gotong-royong tolong-menolong, kerja bakti maupun gotong royong secara spontan. Tekanan dari konsepsi tersebut di atas terletak pada mufakat dan musyawarah karena dari situ terselip unsur demokrasi. Azas demokrasi sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat pedesaan di daerah Aceh. Menurut pendapat mereka demokrasi adalah ikut serta bermufakat atau bermusyawarah, yang selanjutnya akan lahir kesepakatan keputusan. Dengan kata lain, kesepakatan lahir dari bawah dengan bermusyawarah, bukan dari atas yang dipaksakan oleh penguasa. 3 Kehidupan Religius Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan ajaran agama Islam, sehingga di setiap sendi-sendi kehidupan tidak Bab I | 40 pernah lepas dari pengaruh agama Islam. Dari prinsip hidup masyarakat Aceh itulah barangkali yang menjadi salah satu faktor penyebab lahirnya istilah daerah Aceh sebagai Serambi Mekkah, dan faktor itu pula sebagai salah satu ukuran untuk menjadikan Aceh sebagai Daerah Istimewa, yang berubah menjadi Nanggroe Aceh Darussalam NAD.

1.2.2. Potensi Bencana Alam

Gempa bumi yang diikuti gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 dan gempa susulan pada tanggal 28 Maret 2005, telah merusak sebagian besar pesisir wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara dengan korban lebih dari 126.602 jiwa meninggal dan 93.638 jiwa dinyatakan hilang dikutip dari Lampiran 1 PERPRES No 30 Tahun 2005 Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Bencana ini juga meninggalkan kerusakan fisik yang luar biasa mulai dari prasarana dan sarana serta permukiman. Salah-satu kota di wilayah NAD yang mengalami kerusakan akibat gempa dan tsunami adalah Kota Banda Aceh. Oleh karena itu, walaupun Kota Banda Aceh telah memiliki RTRWK dengan Qanun Nomor 03 tahun 2003, namun wilayah ini harus direncanakan dan ditata kembali mengikuti kaidah-kaidah dan norma-norma perencanaan yang tepat dengan memasukkan aspek mitigasi terhadap bencana alam dalam rangka meminimalkan resiko di kemudian hari dengan memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan implementasinya. Berdasarkan pengalaman kejadian gempa bumi dan gelombang tsunami yang pernah menimpa Kota Banda Aceh sebagaimana diuraikan pada pembahasan sebelumnya, hal ini mengindikasikan bahwa Kota Banda Aceh sangat rentan terhadap bencana alam. Potensi bencana alam dapat disebabkan antara lain sebagai berikut :