Pengembangan Kebijakan Alternatif Analisis Kebijakan 1. Skenario – Skenario Kebijakan

179

4.6.4.2. Pengembangan Kebijakan Alternatif

Analisis kebijakan adalah pengetahuan tentang cara – cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model. Simulasi model adalah tiruan perilaku sistem nyata. Dengan menirukan perilaku sistem nyata tersebut maka proses analisis akan lebih cepat, bersifat holistik, hemat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini akan diuraikan tentang bagaimana melakukan analisis kebijakan tersebut secara teknis dan operasional dengan simulasi model Muhamadi 2001. Analisis kebijakan ini dilakukan dengan melakukan intervensi fungsional dan intervensi struktural. Intervensi fungsional adalah intervensi terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter. Intervensi struktural adalah intervensi dengan mengubah unsur, mengubah hubungan yang membentuk struktur model atau intervensi dengan menambahkan sub model penghubung ke dalam model awal. Fasilitas intervensi adalah dengan menggunakan fungsi – fungsi khusus seperti : IF, STEP, GRAPH, Sinus, S etengah sinus, Trend, Ramp, Pulsa, Random dan Forecast. Penggunaan fasilitas ini sesuai dengan antisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam dunia nyata. Gambar 105. Pertambahan jumlah sampah berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk Pertama – tama dilakukan intervensi fungsional terhadap parameter penduduk yaitu dengan kebijakan menurunkan fraksi pertambahan jumlah penduduk dari 3,27 menjadi 2 . Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan fraksi pertumbuhan jumlah penduduk dapat menurunkan jumlah sampah dari 72.780,79 ton menjadi 62.126,09 ton pada tahun 2042 Gambar 105. Penelitian ini memperkuat simpulan Kholil 2005, bahwa upaya penurunan produksi sampah akan dapat berhasil secara efektif bila kebijakan yang ditempuh 180 adalah dengan mengurangi pertumbuhan penduduk. Secara teknis penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk dapat ditempuh melalui beberapa kebijakan misalnya pembatasan migrasi, pembatasan usia nikah, dan sosialisasi program KB secara besar – besaran. Pertambahan penduduk merupakan faktor pengungkit leverage factor hal ini memperkuat simpulan Neto et al. 2006 pertambahan populasi dan perkembangan industri sejalan dengan meningkatnya pencemaran air dan degradasi lingkungan. Sedangkan pembatasan kaum imigran dari luar Kabupaten Jayapura dapat dilakukan melalui kebijakan PEMDA dengan pengembangan pusat – pusat bisnis, industri, pertanian, perkebunan dan perumahan di wilayah penyangga kabupaten hinterland Jayapura yaitu Kabupaten Keerom dan Kabupaten Sarmi, sehingga terjadi perpindahan mobilisasi penduduk dari Kabupaten Jayapura ke daerah hinterland tersebut. Jumlah feses berkurang dari 3.125,17 ton menjadi 2.463,17 ton setelah diadakan kebijakan penurunan fraksi pertambahan penduduk dari 3,27 menjadi 2. Secara teknis penurunan pertambahan jumlah penduduk di dalam Danau dapat ditempuh melalui beberapa kebijakan misalnya penerapan penegakan hukum pada wilayah pemukiman di sempadan sungai 50-100 meter dan danau 50 -100 meter dari titik pasang tertinggi Kepres No 32 Tahun 1990 pasal 16 – 18. Teknis kebijakan lain adalah pembangunan pemukiman baru perumahan di kawasan yang layak lingkungan sesuai RTRW. Kebijakan penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk berdampak pada perlambatan habisnya ketersediaan lahan hutan, sehingga pada tahun 2042 lahan hutan masih tersisa 5.175,30 ha. Apabila tanpa intervensi fungsional maka luas hutan akan habis 0 ha pada akhir simulasi tersebut Gambar 106. Apabila luas hutan dan pemukiman dijumlahkan, maka kebijakan penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk berdampak pada penurunan total luas pemukiman dan pertanian. Pada akhir simulasi total luas pemukiman dan pertanian berkurang dari 31.801,85 ha menjadi 27.146,24 ha Gambar 106. 181 Gambar 106. Penurunan luas hutan berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk Gambar 107. Penurunan total luas hutan dan pemukiman berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk Dampak dari kebijakan penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk adalah terjadi penurunan luas lahan terpakai baik lahan pemukiman maupun lahan pertanian dan akhirnya berpengaruh pada penurunan erosi pemukiman serta erosi pertanian. Pada akhir simulasi luas pemukiman berkurang dari 22.965,12 ha menjadi 19.603 ha dan luas lahan pertanian yang terpakai berkurang dari 8.836,73 ha menjadi 7.543,08 ha. Pada akhir simulasi erosi pemukiman berkurang dari 4,33 x 10 8 ton menjadi 3,7 x 10 8 ton dan erosi pertanian berkurang dari 4,63 x 10 10 ton menjadi 3,95 x 10 10 ton Gambar 108 dan Gambar 109. 182 Gambar 108. Penurunan luas pemukiman berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk Gambar 109. Penurunan luas pertanian berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk ternyata berdampak pada penurunan jumlah limbah yaitu limbah KJA, limbah ternak babi, limbah ternak sapi, limbah feses manusia, jumlah sampah, serta berpengaruh pada penurunan erosi pemukiman serta erosi pertanian. Hasil simulasi menunjukkan jumlah limbah KJA berkurang dari 379,65 ton menjadi 345,51 ton, limbah babi berkurang dari 91.034,71 ton menjadi 77.707,74 ton, limbah ternak sapi berkurang dari 334.309,48 ton menjadi 285.368,45 ton, limbah tinja penduduk berkurang dari 3.125,17 ton menjadi 2.463,17 ton, jumlah sampah berkurang dari 72.780,79 ton menjadi 62.126,09 ton, serta erosi pemukiman berkurang dari 4,33 x 10 8 ton menjadi 3,7 x 10 8 ton dan erosi pertanian berkurang dari 4,63 x 10 10 ton menjadi 3,95 x 10 10 ton pada akhir simulasi. Total sumber pencemar adalah penjumlahan dari jumlah masing – masing limbah dan erosi. Pada akhir simulasi total sumber pencemar berkurang dari 4,68 x 10 10 ton menjadi 3,99 x 10 10 ton Gambar 110. 183 Gambar 110. Penurunan total sumber pencemar berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk Secara bersama – sama perlu juga dilakukan kebijakan intervensi dalam bentuk intervensi struktural terhadap jumlah jumlah KJA, luas pemukiman, luas pertanian, jumlah sapi, dan jumlah babi. Sedangkan untuk menekan berkurangnya jumlah sampah maka perlu diadakan sosialiasasi guna meningkatkan partisipasi masyarakat. Sedangkan untuk menekan pertambahan pemukim danau maka perlu penegakan regulasi berkaitan dengan pemukiman di sempadan dan di dalam danau. Intervensi struktural dilakukan dengan menggunakan fungsi STEP, yaitu dengan cara menurunkan jumlah KJA, luas pemukiman, luas pertanian, jumlah sapi, dan jumlah babi masing – masing sebesar 10 . Hasil simulasi model setelah dilakukan intervensi struktural menunjukkan total sumber pencemar berkurang dari 4,68 x 10 10 ton menjadi 3,59 x 10 10 ton pada akhir simulasi. Upaya pemecahan masalah tanpa diduga memiliki dampak buruk terhadap sektor lain, seperti intervensi menurunkan jumlah KJA, luas pertanian, jumlah sapi dan jumlah babi dapat berdampak buruk terhadap penghidupan atau ekonomi penduduk, hal ini memberikan petunjuk bahwa upaya pemecahan masalah melalui intervensi STEP tersebut mengikuti bentuk struktur Archetype Shifting the Burden. Perbandingan hasil simulasi model antara tanpa intervensi, intervensi fungsional menurunkan fraksi pertambahan penduduk 2, dan intervensi struktural menurunkan sumber pencemar 10 masing – masing adalah : 4,68 x 10 10 ton, 3,99 x 10 10 ton dan 3,59 x 10 10 ton Gambar 111. Ternyata intervensi struktural tidak berpengaruh nyata dalam menurunkan total sumber pencemar, hal ini berarti juga tidak berpengaruh nyata terhadap beban pencemaran dan kapasitas asimilasi. 184 Gambar 111. Penurunan total sumber pencemar berdasarkan intervensi fungsional dan struktural Hasil simulasi model setelah dilakukan intervensi struktural melalui fungsi STEP dengan cara menurunkan luas pemukiman dan luas pertanian sebesar 10 yang dimulai pada tahun 2009, ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap waktu habisnya luas hutan 0 ha. Jika tanpa intervensi ternyata luas hutan habis terpakai pada tahun 2042, dengan intevensi fungsional menurunkan fraksi pertumbuhan penduduk 2 maka luas hutan habis terpakai pada tahun 2044, dan dengan intervensi struktural menurunkan luas pemukiman dan pertanian 10 ternyata luas hutan habis pada tahun 2048. Jika dibandingkan hasil simulasi antara tanpa intervensi, intervensi fungsional dan intervensi struktural maka sisa luas hutan pada tahun 2042 berturut – turut sisanya adalah 0 ha, 5.175,30 ha dan 12.262,48 ha. Seiring dengan penurunan total luas pemukiman dan pertanian maka mengakibatkan menurunnya luas hutan Gambar 112. Gambar 112. Hubungan Penurunan total luas pemukiman dan pertanian terhadap luas hutan berdasarkan intervensi dan tanpa intervensi 185 Secara teknis penurunan jumlah KJA dapat ditempuh melalui beberapa kebijakan misalnya penegakan regulasi pembatasan luas KJA sebesar 1 dari Luas Danau 96,3 ha. Teknis kebijakan dalam upaya memperlambat peningkatanan luas pemukiman ditempuh melalui pelarangan ijin mendirikan bangunan IMB di kawasanan yang tidak sesuai RTRW, IMB BTN susun, rumah panggung, pemberian pengharggaan bagi developer yang mengikuti persyaratan ekologis pasal 7 UU No. 4 Tahun 1992, penegakan hukum melalui Kepres No. 32 Tahun 1990 pasal 16 – 18 tentang pelarangan pembangunan pemukiman di daerah sempadan. Upaya memperlambat peningkatan laju luas pertanian dapat ditempuh melalui teknis kebijakan intensifikasi pertanian, agroforestry wanatani, teknik konservasi pertanian, dan pelarangan pembakaran hutan lahan pertanian. Upaya penurunan erosi karena penggunaan lahan dapat ditempuh dengan pembatasan penambangan galian C, teknik konservasi penanaman searah kontur, terras, reboisasi dan pelarangan perambahan hutan. Secara teknis penurunan jumlah ternak sapi dan babi sulit diterapkan karena menyangkut sumber pendapatan ekonomi penduduk. Teknis kebijakan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan limbah ternak misalnya kompos dan sumber energi biogas dengan pendekatan Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Participation 4R + P. Hal ini merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat dalam hal penanganan sampah Kabupaten Jayapura.

4.6.4.3. Analisis Kebijakan Alternatif