pengelolaan perikanan meliputi berbagai aspek dan sifatnya dinamis sesuai dengan perkembangan lingkungan.
2.1.2 Komponen Pendukung Usaha Perikanan Tangkap
Komponen pendukung merupakan komponen yang dibutuhkan sehingga suatu usaha dapat berkembang lebih baik. Dalam perikanan tangkap, komponen
pendukung tersebut dapat mencakup : a
Perilaku kapal penangkap ikan Mentaati kaidah-kaidah internasional untuk pencegahan terjadinya tabrakan
di laut dan tidak membuang limbah yang membahayakan biota perairan merupakan perilaku baik yang harus diperihara oleh kapal penangkap ikan.
Bila perilaku ini dapat dikendalikan dengan baik, maka berbagai kasus pelanggaran dapat diminimalisir dan keberlanjutan usaha perikanan tangkap
lebih terjamin. b
Catatan tentang kegiatan kapal ikan dimana kapal penangkap ikan harus memiliki log book dan melapor kepada pihak yang berkewenang.
c Pemeliharaan hasil tangkapan artinya mutu hasil tangkapan harus
diperhatikan mulai dari processing, handling dan packing yang memenuhi standar.
d Jaminan asuransi, para pemilik kapal ikan wajib menyediakan asuransi
perlindungan kecelakaankematian bagi setiap anak buah kapalnya. e
Pemindahan muatan, dalam hal ini pemindahan hasil tangkapan diatur dan perlu dicacat dalam log book agar mudah dalam pengontrolan dan
pengawasan pengelolaan serta konservasi.
2.2 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap
Pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan seiring dengan permintaan pasar terhadap produk perikanan yang terus meningkat. Disamping
itu, Indonesia mempunyai perairan laut yang luas, sehingga sangat wajar bila usaha
perikanan tangkap
dikembangkan dalam
rangka meningkatkan
kesejahteraan nelayan. Menurut Depkominfo 2007, permintaan pasar dunia untuk konsumsi ikan akan terus menguat, dimana beberapa negara maju
diperkirakan akan menjadi importir bersih produk perikanan pada tahun 2030, dengan volume impor mencapai 21 juta ton. Pasar ekspor ke China juga dinilai
potensial dengan konsumsi diprediksi akan naik, dari 33 juta ton pada 1997 menjadi 53 juta ton pada 2020. Prospek pasar tersebut dapat diraih salah satunya
dengan memberdayakan nelayan, sehingga mereka menjadi lebih terampil, mandiri, dan inovatif dalam mengelola usaha perikanan tangkap yang
dimilikinya. Dalam kaitan ini juga, pemerintah hendaknya membantu dan memfasilitasi
masyarakat nelayan dalam berbagai kebutuhan pengelolaan yang dibutuhkan termasuk dalam pengembangan pasar produk. Menurut DKP 2010, Purba
2009, dan Imron 2008, produksi perikanan tangkap Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, meskipun tidak terlalu besar. Pada tahun 2005
total produksi perikanan tangkap mencapai 4,705 juta ton, tahun 2006 naik menjadi 4,769 juta ton, dan pada tahun 2007 menjadi 4,942 juta ton atau naik 3
dibanding tahun 2006. Sedangkan di tahun 2010, total produksi perikanan tangkap mencapai 5,075 juta ton.
Tabel 1 Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2003 – 2009
Tahun Produksi Perikanan Tangkap ton
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009
Perairan Laut 4.383.103 4.320.241 4.408.499 4.468.010 4.734.280 4.701.933 4.690.760
Perairan Umum 309.693 330.880 297.369 301.150 310.457 494.395 385.200
Sumber: BPS 2010 dan DKP 2010
Menurut Dahuri 2001 dan Purba 2009, kendala terbesar untuk pengembangan usaha perikanan tangkap terutama dari aspek produksi adalah
kurangnya peningkatan teknologi, perluasan pasar yang lambat, kurangnya modal untuk biaya operasional yang tinggi, terutama bahan bakar yang mencapai
60 biaya produksi, dan konflik pemanfaatan yang selalu terjadi di daerah lokasi penangkapan ikan. Untuk itu diperlukan kontribusi dari berbagai pihak untuk
menyediakan modal usaha atau modal operasional yang dapat meringankan nelayan. Depkominfo 2007 menyatakan bahwa hingga saat ini banyak lembaga
keuangan yang masih membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama usaha perikanan tangkap.
Di samping itu, usaha perikanan tangkap juga harus diberi bantuan teknologi sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas hasil tangkapannya.
Menurut Depkominfo 2007, ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha di bidang perikanan tangkap, yaitu :
a. Pemasaran Produk perikanan mudah rusak dan tidak tahan lama highly perishable,
sehingga pelaku usaha perikanan tangkap skala kecil selalu berada pada posisi sulit untuk berkembang akibat harga jual produk yang diterima
sangat rendah dan cenderung tidak sebanding dengan resiko maupun biaya yang telah dikeluarkannya.
b. Produksi. Usaha perikanan tangkap di laut sangat berbeda dengan bidang-bidang
lainnya. Usaha perikanan tangkap di laut relatif lebih sulit diprediksi keberhasilannya karena sangat peka terhadap faktor eksternal musim dan
iklim serta faktor internal teknologi, sarana dan prasarana penangkapan ikan dan modal. Kerentanan dalam proses produksi inilah yang
mengakibatkan adanya fluktuasi dalam perolehan hasil tangkapannya. c. Organisasi.
Kelembagaan dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah masih berada dalam taraf mencari bentuk kelembagaan yang
tepat di dalam mengelola sumberdaya, baik ditinjau dari aspek aturan main yang bersifat pribadi maupun organisasi. Konsekuensi dari
organisasi dan aturan main yang belum kuat tersebut memberikan dampak pada lemahnya posisi usaha skala kecil ini dalam melakukan negosiasi
dengan pihak lain. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka menguatkan aspek organisasi ini, sehingga terciptalah pola-
pola kemitraan antara pelaku usaha skala kecil dengan mitranya. d. Keuangan dan Permodalan.
Salah satu masalah pokok yang krusial dan selalu menjadi momok pada usaha perikanan tangkap skala kecil adalah permasalahan keuangan dan
permodalan. Keterbatasan sumber modal ini bukan disebabkan oleh karena tidak adanya lembaga keuangan , namun disebabkan oleh karena
kurang beraninya lembaga keuangan berkecimpung pada kegiatan usaha ini. Kondisi tersebut memang beralasan bila ditinjau dari sisi ekonomi
karena kegiatan usaha perikanan tangkap tradisional ini dipengaruhi oleh ketidakpastian dalam memperoleh hasil tangkapannya. Sangat wajar
apabila lembaga keuangan memiliki rasa takut yang besar terhadap resiko kredit macet. Dalam kasus seperti ini biasanya lembaga keuangan
menetapkan syarat agunan collateral yang mana cukup sulit untuk dapat dipenuhi oleh para pelaku usaha perikanan tangkap.
2.3 Perkembangan Perkreditan di Indonesia
Menurut Tanjung 2008, fokus utama dari kegiatan perkreditan adalah menghimpun dan menyalurkan dana dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang
memerlukan dana untuk investasi, modal kerja, dan konsumsi. Sementara pihak yang menerima kredit mendapatkan nilai tambah dari pengembangan investasi
modal kerja tersebut. Penyediaan modal dalam pemberian kredit pinjaman dari suatu lembaga pembiayaan telah mengalami berbagai perkembangan selama dua
periode yang berbeda, yaitu periode sebelum dan periode sesudah deregulasi perbankan.
a. Periode Sebelum Deregulasi Perbankan Jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1895, sudah muncul
kesadaran pentingnya mendirikan lembaga keuangan yaitu yang diberi nama Bank Priyayi. Demikian juga pada masa penjajahan Belanda telah dirintis pelayanan
kredit untuk masyarakat pedesaan yaitu dengan didirikannya Bank Desa dan Lumbung Desa yang dapat digolongkan sebagai Bank Perkreditan Rakyat.
Setelah kemerdekaan Indonesia, jumlah Bank Desa dan Lumbung Desa mengalami penurunan yang cukup drastis sebagai akibat sistem manajemen
organisasi lembaga keuangan tersebut kurang mampu menyesuaikan dengan perkembangan sistem ekonomi. Kemudian pemerintah mengembangkan lembaga
keuangan baru seperti Bank Karya Produksi Desa BKPD tahun 1967 dan Lembaga Perkreditan Kecamatan LPK tahun 1970-1980 di Jawa Barat, Bank
Kredit Kecamatan BKK di Jawa Tengah, Kredit Umum Rakyat Kecil KURK di Jawa Timur, Lumbung Pitih Nagari LPN di Sumatera Barat, dan Lembaga
Pembangunan Desa LPD di Bali. Menurut Frederiko 2010, adanya kewenangan pejabat yang mewakili
kreditur atau debitur dalam bentuk badan hukum untuk membuat perjanjian dengan pihak lain memberi ruang berkembang dan meningkatnya peran bank
dengan layanan nasabah khsusus, misalnya Bank Rakyat Indonesia BRI. BRI cukup berpengalaman melayani masyarakat pedesaan yaitu Bank Rakyat
Indonesia. Peranan BRI dimulai sejak dipilih sebagai pemasok dana dan pelaksana penyaluran kredit Bimas pada tahun 1965. Pada waktu itu Program
Bimas ditujukan secara kelompok. Pelaksanaan penyaluran kredit Bimas mempunyai banyak kelemahan seperti : prosedur yang berbelit, kredit tidak sesuai
dengan kebutuhan petaninelayan, keterlambatan penerimaan kredit oleh petaninelayan, pengawasan sulit karena areal terus bertambah, adanya kredit
fiktif dan tingginya tunggakan karena kelemahan pengawasan. Pada tahun 1969 terjadi perubahan Program Bimas menjadi Bimas Unit Desa yang penyalurannya
melalui BRI Unit Desa BRI Udes dan ditujukan kepada individu. Selain Bimas, jenis kredit lain yang dikembangkan pemerintah yaitu
Kredit Investasi Kecil KIK dan Kredit Modal Kerja Permanen KMKP tahun 19731974, Kredit Candak Kulak KCK tahun 1976, Kredit Tebu Rakyat
Intensifkasi TRI, Kredit Pencetak Sawah, Kredit Peternakan, Kredit Perikanan dan sebagainya.
Jenis kredit tersebut merupakan kredit program yang disalurkan melalui bank pemerintah dan dananya bersumber dari Kredit Likuidasi Bank Indonesia
KLBI dengan tingkat bunga rendah. Kredit program ini ternyata mengandung banyak kelemahan dan masalah. Masalah utama yang dihadapi adalah besarnya
tunggakan pengembalian kredit. Banyak faktor yang menjadi penyebab masalah tersebut antara lain kelalaian petugas dan pembina penyaluran kredit, kelalaian
pengguna kredit, maupun faktor-faktor lain di luar kedua faktor tersebut. Masalah lain yaitu adanya pemanfaatan kredit oleh yang bukan merupakan sasaran dari
kredit ini karena penyaluran dan pelayanan yang terlalu mudah, realisasi kredit
yang tidak tepat jumlah dan waktu. Hal ini dapat mengganggu kinerja perkreditan terutama kredit kreditur yang selalu beritikad baik Frederiko, 2010
Adanya masalah dan kelemahan tersebut dan juga ditambah dengan semakin merosotnya penerimaan negara akibat turunnya harga minyak pada tahun
1980-an, maka pemerintah mengambil langkah untuk mengurangi dan menghapus kredit program seperti KIK dan KMKP secara bertahap. Selanjutnya pemerintah
mengeluarkan kebijaksanaan deregulasi perbankan pada tanggal 1 Juni 1983. Kebijaksanaan
tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan
serangkaian kebijaksanaan sebagai penjabarannya, seperti Pakto 1988, Pakmar 1989 dan
Pakjan 1990. Diberlakukannya deregulasi perbankan dengan tujuan menciptakan perbankan yang sehat. Dengan kondisi perbankan yang sehat maka efisiensi
alokasi dana dan peningkatan mobilitas dana diharapkan dapat terwujud, dan kreditur maupun debitur mendapatkan keuntungan yang layak, serta dana yang
dihimpun dari masyarakat menjadi bermanfaat Tanjung, 2008. b. Periode Sesudah Deregulasi Perbankan
Dengan deregulasi perbankan 1983, campur tangan pemerintah dalam mengatur kredit dikurangi dan bank-bank diberi kebebasan untuk menetapkan
suku bunga agar bank-bank tersebut mampu meningkatkan efisiensi dan profesionalisme. Paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 memberikan kemudahan
perijinan membentuk bank-bank baru dan atau kantor cabang . Kebijaksanaan ini memberikan dampak positif yaitu peningkatan mobilisasi dana dan pemberian
kredit. Pakto 1988 bila ditinjau dari sudut pengembangan perekonomian nasional,
secara lengkap mempunyai tiga tujuan penting yaitu: 1 merupakan upaya meningkatkan kegiatan ekonomi menuju penyempurnaan pada sistem keuangan
modern ; 2 memobilisasi dana di pedesaan dan 3 meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan melalui pemberian kredit yang dapat memacu kegiatan
ekonomi di pedesaan. Pakto 1988 disempurnakan dengan dikeluarkan Paket Kebijaksanaan
Januari 1990 Pakjan 1990. Pakjan 1990 mengharuskan bank-bank pemerintah dan swasta untuk menyalurkan 20 persen dari total portofolio kredit kepada usaha
kecil atau disebut Kredit Usaha Kecil KUK yang besarnya maksimal Rp 200
juta. Pakjan 1990 didasari juga adanya kecenderungan bank-bank tidak mau menyalurkan kredit kepada usaha kecil dengan alasan resiko tinggi.
Apabila ditinjau dari alokasi kredit untuk usaha kecil, ternyata deregulasi 1983 belum mampu mendorong peningkatan kredit usaha kecil. Data yang
dikumpulkan BI menunjukkan bahwa pada tahun 1984-1986 persentase alokasi kredit usaha kecil hampir tidak berubah yaitu sekitar 16 persen. Bahkan angka
ini lebih kecil bila dibandingkan dengan tahun 1981-1983 18-19. Peningkatan penyaluran kredit kepada usaha kecil baru terjadi setelah Pakto 1988 dan 1990.
2.4 Sumber dan Skema Pembiayaan Usaha Bagi Usaha Perikanan
Menurut Cahyono 1995 dan Dahuri 2001, sumber pembiayaan untuk usaha perikanan tangkap dapat berasal dari :
a. Perbankan : 1 Skema Komersial
2 Skema Syariah 3 Skema Kredit Program Bersubsidi
b. Non Perbankan : 1 Keuntungan BUMN
2 Pembiayaan ventura 3 Permodalan Nasional Madani
c. APBN d. Bantuan Luar Negeri
e. Sumber lainnya: 1 Individu
2 Koperasi 3 Perusahaan
4 Yayasan 5 Bursa Efek
6 Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan 7 Swadaya Masyarakat