50
Ketika Orde Baru mulai berkuasa pada tahun 1966, dinamika Islam di Indonesia diwarnai dengan munculnya berbagai organisasi dan kelompok Islam yang
secara umum memiliki kesamaan agenda yaitu mengajak umat Islam untuk kembali mengamalkan nilai-nilai Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan. Fenomena ini tidak
hanya terkait dengan kebangkitan Islam di dunia internasional, namun juga berkaitan dengan dinamika sosial politik di Indonesia selama kurun waktu 1970 sampai 1980-
an, dalam hal ini adalah kebijakan pembangunan dan pasang surut hubungan pemerintah dengan umat Islam.
b. Islam di masa Orde Baru
Sama seperti fenomena kebangkitan Islam di dunia internasional, fenomena “kebangkitan Islam” berupa maraknya simbol ataupun aktifitas keagamaan juga
terjadi di Indonesia pada rentang waktu 1970 dan 1980. Hal tersebut terlihat dari tumbuhnya komunitas-komunitas kecil yang berkeinginan untuk mengikuti perilaku
Nabi Muhammad dan generasi pertama umat Islam Salafi yang dianggap ideal dan murni sekaligus menawarkan alternatif dan perlawanan terhadap nilai dan paham dari
Barat. Komunitas-komunitas tersebut tumbuh melalui kelompok diskusi dan pengajian di masjid-masjid dan kampus-kampus umum. Ciri khas kelompok ini
adalah penampilan yang Islami, yaitu jilbab panjang bagi perempuan, baju gamis dan
Lihat Merle C. Ricklefs, Six Centuries of Islamization in Java , Nehemia Levtzion, ed. “Conversion to
Islam”, New York: Holmes Meier Publishers, Inc., 1979, hal 120 dalam Muhammad Ali, Muslim diversity: Islam and local tradition in Java and Sulawesi, Indonesia, IJIMS, Indonesian Journal of
Islam and Muslim Societies, Volume 1, Number 1, June 2011: 1-35
51
jenggot bagi kaum laki-laki.Hassan, 2006:31. Tidak hanya di perkotaan, gelombang kesalehan juga terjadi di wilayah pedesaan yang identik dengan budaya abangan pada
tahun 1980 dan 1990-an Hefner, 2000; 122. Fenomena kebangkitan gairah keagamaan dan munculnya komunitas-
komunitas dakwah Islam tersebut tidak lepas dari kebijakan depolitisasi Orde Baru terhadap umat Islam Perlu diingat bahwa kebijakan Orde Baru dibawah
kepemimpinan Soeharto mencanangkan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang ditandai dengan masuknya investasi asing dan bantuan dari negara-negara industri
maju yang didukung dengan booming minyak pada tahun 1970-an.
75
Pasca hancurnya PKI tahun 1966, Orde Baru merasa bahwa kelompok Islam menjadi kelompok
potensial yang bisa melawan Soeharto, terutama kelompok yang berbasis di akar rumput karena bisa menghalangi kebijakan pembangunan yang mensyaratkan adanya
demobilisasi politik di masyarakat.
76
Soeharto kemudian memberlakukan kebijakan marginalisasi dan depolitisasi aktor Islam dan organisasipartai Islam, salah satunya
adalah membatasi aktifitas politik tokoh Islam dan pada tahun 1973 mengeluarkan kebijakan peleburan atau fusi partai politik Islam ke dalam wadah tunggal yaitu Partai
Persatuan Pembangunan PPP.
77
75
Vedi Hadiz, Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia, CRISE Working Paper No.74, 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity, hal. 7
76
Hadiz, ibid, hal. 8
77
Tokoh Islam merasa Orde Baru membatasi kepentingan umat-Islam, ditandai dengan meningkatnya pengaruh militer dan birokrat yang identik dengan kaum abangan misal Ali Mortopo di jajaran
pemerintahan dan kedekatan dengan kelompok bisnis China, juga kelompok Katholik CSIS. Muncul aksi-aksi kekerasan seperti Komando Jihad, Bom di Borobudur, juga bom di BCA yang dianggap
sebagai representasi dari kelompok bisnis China pada tahun 1986. Ketegangan Islam Politik dengan pemerintah Orde Baru meningkat dengan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal di tahun
52
Tersumbatnya saluran politik membuat aktifis-aktifis Islam melakukan konsolidasi dan membangun basis gerakan melalui strategi dakwah, dalam hal ini
melalui dunia pendidikan dan media massa. Strategi tersebut membuat kelompok- kelompok Islam berkembang pesat tanpa menimbulkan kecurigaan dari rezim Orde
Baru, terutama di kampus dan kaum menengah perkotaan. Selain itu, pesatnya berbagai gerakan Islam pada masa tersebut juga didukung oleh sumber daya berupa
aliran dana dari Timur Tengah terutama Arab Saudi pasca booming harga minyak tahun 1970-an. Dalam hal ini, Arab Saudi berkepentingan membendung kebangkitan
Syiah pasca Revolusi Iran tahun 1979. Kelompok Islam yang mendapatkan pengaruh langsung dari Timur Tengah
dan kemudian menjadi embrio berbagai kelompok Islam puritan adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia DDII, organisasi dakwah yang dibentuk oleh
Muhammad Natsir dan para mantan pemimpin Masyumi pada tahun 1967.
78
Organisasi ini didirikan sebagai strategi setelah Soeharto yang naik ke tampuk kekuasaan menolak keinginan Masyumi untuk kembali menjadi partai politik.
79
DDI sebagai perwakilan Rabithah Alam Islami organisasi yang didanai Arab Saudi
memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa Indonesia untuk belajar di Timur Tengah, terutama Arab Saudi.
80
Persinggungan mahasiswa yang belajar di luar negeri
1980-an. Kemudian muncul ICMI pada tahun 1990 –didirikan oleh Habibie- yang dekat dengan
kekuasaan sebagai representasi kelompok Islam birokrat dan teknokrat yang berupaya mengimbangi Islam politik yang oposan terhadap Orde Baru. Lihat Hadiz, Political Islam
78
Hassan ibid, hal. 45
79
Hassan, ibid
80
Wahid, ed., ibid,
53
membuat mereka bertentangan dengan genealogi dan ideologi yang sama dengan Wahhabi seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir.
81
Selain itu, DDII juga berperan dalam mengembangkan lembaga pendidikan yaitu LIPIA Lembaga Ilmu
Pengetahuan Islam dan Arab yang mencetak kader-kader yang aktif mengembangkan faham puritanisme Timur Tengah, serta mendistribusikan berbagai buku karya para
ideolog Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Abu A‟la Al Maududi dan pemikir-pemikir Islam lainnya yang beraliran Wahhabi.
82
Selain depolitisasi, Soeharto juga menerapkan kebijakan ganda terhadap umat Islam dengan cara menumbuh-suburkan praktik ritual dan kesalehan individu.
Menurut Hefner rezim Orde Baru sangat jeli melihat agama sebagai basis bagi moralitas publik dan benteng untuk melawan pengaruh liberalisasi Barat dan lawan
dari komunisme.
83
Situasi tersebut membuat Orde Baru mengeluarkan kebijakan building up atau pembinaan keagamaan yang terutama ditujukan di daerah-daerah
abangan di pedesaan.
84
Kebijakan tersebut antara lain dilakukan dengan kewajiban setiap warga negara untuk memeluk agama resmi mnenurut konstitusi, yaitu Islam,
Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Hefner menyebut kebijakan ini sebagai “religionization”.
85
Kebijakan ini memicu konversi besar-besaran masyarakat jawa
81
Wahid, ed. ibid,
82
M Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Yogyakarta, 2008, LKiS, hal 90-91
83
Robert Hefner, Civil Islam: Muslim and Democratization In Indonesia, Princeton, 2008, Princeton University Press, hal. 59
84
Hefner, ibid, 84
85
Lihat Robert W Hefner, Where Have all the Abangan Gone? hal. 71-79
54
abangan ke islam dan Kristen.
86
Selain itu, pemerintah juga mewajibkan pengajaran agama kepada setiap anak di sekolah-sekolah. Kebijakan ini membuat jumlah umat
Islam berkembang sementara praktek-praktek kelompok Abangan atau Islam nominal perlahan menghilang.
87
Kelas menengah-bawah yang menjadi sasaran dari kebijakan pembinaan agama inilah yang nantinya mengambil peran besar dalam kebangkitan aktifitas dan
penciptaan kantong-kantong Islam politik di kota-kota besar. Menurut Hassan 2005 kebijakan pembangunan Orde Baru seperti pemberantasan buta huruf, pembangunan
infrastruktur sekolah-sekolah terutama di desa terpencil yang bersamaan dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi membuat para orang tua bisa menyekolahkan
anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, stasiun pembangkit listrik dan pusat kesehatan membuat desa-desa pun terhubung
dengan dunia luar yang memicu gelombang urbanisasi dan meningkatnya tingkat pendapatan, ditandai dengan kemampuan penduduk desa membeli radio dan televisi
yang memicu pola hidup baru dan konsumerisme. Sementara keluarga mampu bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi di kota, pemuda-pemuda desa
yang miskin yang tidak bersekolah beramai-ramai meninggalkan desa demi harapan hidup yang lebih baik dan mendapat pekerjaan sebagaimana yang mereka lihat di
86
Untuk kajian ini baca Robert W Hefner “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.”
1987 dalam The Journal of Asian Studies 3:46:533- 554 atau Robert W Hefner “The Political Economy
of Islamic Conversion in Modern East Java.” In William R. Roff ed., Islam and the Political Economy of Meaning: Comparative Studies of Muslim Discourse, pp.53-78. Berkeley: University of
California Press
87
Hefner, Civil Islam, hal 84
55
media elektronik. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, kebanyakan dari mereka menjadi buruh pabrik atau pekerja di sektor informal.
88
Pada saat yang kebijakan ekonomi Orde Baru telah menciptakan kesenjangan sosial dan korupsi. Kebijakan ekonomi Orde Baru sendiri bercirikan industrialisasi,
meningkatnya kelompok pemodal yang kuat Robison 1986, berkembangnya kelas pekerja yang berada di perkotaan dengan upah rendah Hadiz 1997, juga kelas
menengah profesional, serta konsumen yang berorientasi pada gaya hidup Robison 1993.
89
. Pada titik inilah, anak-anak muda baik yang bersekolah di kampus-kampus atau bekerja di sektor informal menghadapi situasi yang tidak mereka duga seperti
perilaku masyarakat kota yang individualistis, persaingan hidup yang keras, kesenjangan yang mencolok, gaya hidup yang mewah berbau barat serta godaan
produk-produk yang melambangkan kehidupan modern. Ketidakmampuan mengakses atau menikmati semua hal tersebut pada akhirnya membuat mereka frustasi dan
membuat apa yang disebut Hassan 2005 sebagai “identitas yang terguncang”. Pada saat itulah mereka mendapatkan perlindungan dari komunitas-komunitas keagamaan
yang mulai muncul di perkotaan yang menawarkan suasana kehidupan yang sama sekali berbeda melalui diskusi-diskusi, pengajian yang menawarkan alternatif Islam
sebagai solusi bagi semua persoalan sosial yang mereka hadapi.
90
88
Hassan, Laskar jihad, hal. 251-258
89
Vedi R. Hadiz, Political Islam in Post- Authoritarian Indonesia,CRISE WORKING PAPER, No. 74, February 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity, hal.24
90
Hassan, ibid
56
Di akhir tahun 1980-an, kebijakan Orde Baru terhadap umat Islam berubah drastis. Soeharto mencoba untuk membangun kembali relasi politik dengan
kelompok-kelompok Islam.
91
Caranya adalah dengan menekankan penggunaan simbol-simbol Islam dalam wacana publik dan akomodasi terhadap kekuatan-
kekuatan sosial politik kelompok keagamaan.
92
Strategi tersebut oleh para pengamat merupakan cara Soeharto untuk mengamankan kekuasaannya. Kedekatan tersebut
dimulai dengan didirikannya Pengadilan agama, perbankan Islam serta serta keputusan presiden untuk kompilasi hukum Islam.
93
Bahkan pada tahun 1991 Soeharto menampilkan citra diri sebagai seorang santri Islam dengan menunaikan
ibadah haji ke Mekkah dan mengganti namanya menjadi Haji Muhammad Soeharto.
94
Pemerintah juga memberi dukungan finansial untuk membentuk perguruan tinggi Islam, membangun masjid-masjid, dan kebijakan pengajaran agama di lembaga
pendidikan umum, pencabutan larangan berjilbab di sekolah, serta mendukung berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ICMI
95
pada tahun 1990. Kebijakan-kebijakan tersebut membuat simbol-simbol dan identitas keislaman tampil
semarak di ruang publik.
96
91
Noorhaidi Hasan, Faith and politics: the rise of the Laskar Jihad in the era of transition in Indonesia, Jurnal Indonesia, No.73, 2002, p.163.
92
Hasan, ibid 162
93
Hasan, ibid
94
Andreas Ufen, Mobilising Political Islam: Indonesia and Malaysia Compared, Journal Commonwealth Comparative Politics Vol. 47, No. 3, 308
–333, July 2009, hal. 17
95
Ufen, ibid
96
Kebijakan tersebut bukan tanpa maksud mengingat Soeharto kemudian mengajak DDII sebagai mitra untuk menumpas kelompok oposisi pro-demokrasi yang menjadi ancaman baru bagi Orde Baru
57
c. Islam pasca Orde Baru