129
Dengan model organisasi yang hirarkis, Suradi dan Suwanto sebagai ustadz menjadi fenomena yang sangat menarik. Hal ini karena usia keduanya yang masih
sangat muda, sementara warga MTA yang mengikuti pengajian banyak yang berusia lebih tua dari mereka. Bahkan banyak warga MTA di Blora yang berasal dari
kalangan pejabat maupun birokrat baik di kantor kecamatan maupun kabupaten. Apalagi Suradi secara formal hanya berpendidikan SMP, meski kemudian
melanjutkan ke Kejar Paket C dan saat ini sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Blora. sementara Suwanto juga lulusan SMP, dan sehari-harinya berprofesi
sebagai petani. Selama pengajian, keduanya dipanggil dengan sebutan Ustadz.
f. Pengajian Ahad pagi
Sama seperti warga MTA lainnya, warga MTA Bangkerep juga menghadiri pengajian Ahad Pagi Jihad Pagi yang diselenggarakan di Surakarta. Acara yang
dipimpin langsung oleh ketua umum MTA Ahmad Sukina ini menjadi semacam puncak pertemuan warga MTA di seluruh Indonesia. Hampir seluruh warga MTA
Bangkerep hadir dalam acara ini bersama-sama dengan warga MTA dari berbagai cabang di seluruh Kabupaten Blora.
Yang menarik adalah ketika pengajian berlangsung di Surakarta yang juga disiarkan secara langsung melalui radio MTA FM ke seluruh Indonesia, warga
anggota MTA Bangkerep yang tidak berangkat mengikuti Jihad Pagi juga menyiarkan siaran radio pengajian tersebut melalui pelantang suara dari masjid MTA hingga
130
terdengar ke seluruh dusun. Tidak heran jika pada awalnya warga dusun Bangkerep lainnya sempat terganggu dan acapkali tersinggung dengan materi pengajian yang
banyak menyoroti berbagai praktek keagamaan yang bercampur dengan tradisi yang masih banyak terjadi di masyarakat. Namun lama kelamaan, warga dusun
menganggap biasa siaran radio tersebut.
g. Solidaritas dalam Kelompok
Malam sehabis sholat Isya‟ 2882012 saya mengikuti pertemuan kelompok di rumah Paiman, salah seorang warga MTA yang tinggal di Dusun Balong. Seharusnya
yang datang sebanyak 6 orang, namun 2 dari anggota kelompok ijin karena pergi ke desa sebelah. Tidak banyak yang dibicarakan pada malam itu, selain informasi bahwa
akan ada gotong royong untuk menyiapkan tempat pelaksanaan pengajian MTA sekaligus peresmian beberapa cabang MTA yang akan dipusatkan di Blora kota.
Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, perbedaan MTA dibanding organisasi Islam lainnya adalah model kepemimpinan yang hirarkis dan sentralistik,
serta ditunjang dengan aturan organisasi yang mengikat dan berfungsi untuk menjaga loyalitas anggotanya. Kelompok adalah tingkatan terkecil dalam struktur organisasi di
MTA di mana setiap kelompok rata-rata terdiri dari 5-7 orang. Setiap kelompok diharuskan menggelar pertemuan seminggu sekali dengan acara utama berupa
pendalaman materi pengajian, dilanjutkan dengan pengumuman atau informasi dari organisai, serta diskusi dan tukar pikiran mengenai berbagai hal, terutama
131
menyangkut perkembangan organisasi. Pertemuan kelompok ini biasanya digelar secara bergiliran di rumah masing- anggota kelompok.
Setiap anggota MTA harus bergabung dalam kelompok tanpa kecuali, bahkan meski ia mempunyai posisi atau jabatan tertentu dalam organisasi. Suwanto misalnya,
meski secara struktur menjadi pengurus dan juga salah satu ustadz yang memiliki hak untuk memberikan ceramah untuk MTA di seluruh Blora, dia tetap tergabung dalam
kelompok bersama dengan warga MTA lainnya yaitu Paryanto dan Yatmin yang merupakan warga Dusun Bangkerep serta Yatno dan Paiman yang berasal dari Dusun
Balong. Selain mengkaji ilmu agama dan sarana untuk berdiskusi, kelompok juga
berfungsi untuk membangun solidaritas antar warga MTA, khususnya dalam kelompok tersebut, terutama jika ada anggota yang membutuhkan pertolongan, baik
yang sifatnya mendesak seperti sakit, meninggal, butuh pinjaman uang, atau juga berupa informasi mengenai pekerjaan dan sebagainya. Sebagai contoh, Paiman yang
berprofesi sebagai pemborong hasil bumi berupa padi atau singkong biasanya mencari informasi tentang siapa saja orang yang akan panen dan menjual hasilnya dari
pertemuan kelompok tersebut.
132
BAB IV REKONSTRUKSI IDENTITAS
A. Pendahuluan
Berbagai studi tentang agama dan globalisasi dijelaskan bahwa kemajuan dunia modern dibarengi dengan gejala tumbuhnya identitas keagamaan dan
meningkatnya gairah keagamaan di beberapa kalangan dengan karakter ortodoks dan doktrin yang ketat. Modernitas dan globalisasi dengan segala persoalan yang
mengikutinya menciptakan reaksi berupa menguatnya kecenderungan untuk kembali ke otentisitas teks suci dan menerapkannya dalam berbagai aspek kehidupan sebagai
konsekuensi dari pencarian stabilitas dan identitas diri. Bab Dua menjelaskan bagaimana globalisasi menciptakan gerakan
kebangkitan Islam dalam skala global sebagai reaksi atas berbagai persoalan sosial yang muncul. Gerakan tersebut menyebar ke seluruh pelosok dunia melalui instrumen
dari globalisasi yaitu kebijakan negara serta teknologi komunikasi informasi dan transportasi yang memungkinkan tersebarnya ide dan gagasan mengenai globalisasi.
Sementara Bab Tiga menjelaskan mengenai tatanan tradisional di Dusun Bangkerep yang secara perlahan mengalami perubahan sosial menuju kondisi-kondisi yang
mengarah pada memudarnya kepercayaan terhadap tradisi lama dan upaya sebagian