116
Setelah beberapa kejadian konflik terbuka tersebut, upaya rekonsiliasi dilakukan oleh aparat keamanan bersama pihak pemerintahan. Berangsur-angsur warga MTA
yang berada di Solo kembali ke Bangkerep, termasuk Wakidi yang dianggap warga sebagai tokoh MTA di dusun tersebut.
2. Satu Dusun Dua Masjid
Pasca konflik tahun 2003, kehidupan Bangkerep berjalan seperti biasa. Perselisihan yang berujung bentrokan fisik tidak terjadi lagi. Namun bukan berarti
perbedaan pendapat mengenai hal yang berkaitan dengan praktek keagamaan dan tradisi selesai begitu saja. Apalagi, perdamaian yang terjadi antara warga MTA dan
warga Bangkerep lebih karena pendekatan keamanan, terutama ancaman pihak kepolisian yang akan menahan siapapun yang memulai keributan.
Konflik laten antar warga dan warga MTA berujung pada berdirinya Masjid Al Furqon bahasa Arab: Pembeda yang dibangun oleh warga MTA yang hanya
berjarak puluhan meter dari Masjid Baitun Nahdliyin milik warga umum. Dua masjid dalam satu dusun dengan jarak yang berdekatan merupakan hal yang tidak biasa
dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam, apalagi di dusun kecil seperti Bangkerep.
155
Sementara dalam sejarah MTA, Bangkerep adalah satu-satunya tempat
155
Tempat ibadah dalam Islam biasanya dibedakan dari kapasitas dan fungsinya. Langgar atau mushola hanya dipakai untuk menjalankan ibadah sholat lima waktu dan digunakan oleh komunitas kecil,
sementara masjid umumnya juga dipakai untuk menjalankan shalat Jumat dan digunakan oleh komunitas yang besar. Dalam pandangan kitab-kitab keagamaan klasik Islam Sunni yang umumnya
dianut masyarakat Indonesia, salah satu syarat untuk bisa menjalankan sholat Jumat adalah jumlah jamaah minimal sebanyak 40 orang yang tinggal menetap di tempat berdirinya masjid tersebut.
117
di seluruh perwakilan atau cabang MTA di seluruh Indonesia yang memiliki masjid sendiri karena MTA memang tidak pernah memerintahkan warganya untuk
menjalankan ibadah terpisah dari warga dengan faham keagamaan yang berbeda lainnya.
Berdirinya Masjid Al Furqon milik warga MTA berawal dari masih adanya warga yang tidak suka dengan pemahaman warga MTA. Saat itu warga MTA masih
menjalankan shalat di masjid Baitun Nahdliyin, namun menurut Wakidi, seringkali warga MTA mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari beberapa warga.
Misalnya sandal milik warga MTA disembunyikan atau dibuang di selokan depan masjid. Masjid Baitun Nadhliyin sendiri awalnya bernama Baitun Nur. Ketika konflik
terbuka antara warga dusun dengan warga anggota MTA sedang mencapai puncaknya, salah seorang kiai NU dari kecamatan mengganti nama masjid menjadi
Masjid Baitun Nahdliyin. Beberapa waktu kemudian warga dusun secara terang-terangan meminta
warga anggota MTA untuk tidak lagi shalat di Masjid Baitun Nahdliyin. Warga beralasan karena pemahaman dan praktek keagamaan mereka berbeda sehingga tidak
usah lagi bersama-sama dalam urusan menjalankan ibadah. Atas penolakan tersebut, warga anggota MTA untuk sementara menjalankan ibadahnya di sebuah rumah yang
menjadi semacam kantor atau pusat kegiatan mereka. Bersamaan dengan itu pula, pengurus MTA setempat kemudian mengajukan surat pemberitahuan dan perijinan
kepada pihak pemerintah dan kantor urusan agama setempat untuk mendirikan masjid
118
sendiri. Setelah mendapatkan ijin dari pihak berwenang setempat, maka pada tahun 2009 warga MTA pun memiliki masjid sendiri yang diresmikan oleh Ketua Umum
MTA Ahmad Sukina, Ketua MUI Drs. Amidhan, dan Bupati Blora Drs Yudhi Sanchoyo melalui sebuah acara peresmian dan pengajian yang cukup meriah.
Kontras dengan Masjid Baitun Nahdliyin yang menempati bangunan semi- permanen sederhana, Masjid Al Furqon berdiri megah dengan model bangunan
modern dan berukuran jauh lebih besar. Berjarak satu rumah dari Masjid Al Furqon berdiri bangunan lain yang juga besar dan modern yang menjadi kantor Perwakilan
MTA di Blora sekaligus menjadi pusat kegiatan dari organisasi tersebut. Dengan adanya dua masjid yang saling berdekatan tersebut tak heran terjadi
semacam kontestasi dalam memperebutkan pengaruh dan otoritas keagamaan yang tercermin dari berbagai kegiatan dan ciri khas di masing-masing masjid. Saat waktu
shalat tiba, panggilan adzan menggunakan pelantang suara terjadi hampir bersamaan. Namun warga mudah membedakan mana panggilan adzan dari Masjid Baitun
Nahdliyin maupun Al Furqon. Panggilan adzan dari Masjid Baitun Nadliyin beirama atau menggunakan cengkok seperti adzan pada umumnya, sementara Masjid Al
Furqon tidak memiliki irama dan lebih tegas. Seusai adzan, Muadzin orang yang melakukan adzan di Masjid Baitun Nahdliyin melantunkan bacaan pujian berbahasa
Jawa atau Arab, sementara Masjid Al Furqon menganggap bacaan pujian tidak memiliki dalil atau tuntunannya dalam Islam.
119
Perbedaan lainnya adalah ketika shalat Jumat, Khotib penceramah di Masjid Baitun Nahdliyin menggunakan bahasa Jawa. Sementara Khotib di Masjid Al Furqon
menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu jika di Masjid Baitun Nahdliyin khotbah Jumat biasanya disampaikan oleh khotib yang berbeda-beda, sementara di masjid
milik warga MTA hanya memiliki satu khotib, yaitu Ustadz Suradi yang merupakan ketua MTA Perwakilan Blora yang juga warga di dusun tersebut.
3. Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi Pasca Konflik