67
C. Karakteristik Gerakan dan Model Dakwah MTA
1. Doktrin dan Ideologi Organisasi
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, berdirinya MTA tidak lepas dari gagasan pendirinya Abdullah Thufail yang melihat kemunduran umat Islam pada
tahun 1960 dan 1970 sebagai akibat dari kurangnya pemahaman dan pengamalan Islam secara benar. Selain itu, kemunduran tersebut merupakan akibat dari masih
dilakukannya praktek-praktek keagamaan yang bercampur dengan berbagai ajaran lain. Satu-satunya jalan untuk menuju pada kejayaan Islam adalah dengan
mengamalkan ajaran Islam berdasar Al Quran dan Hadits secara murni dalam seluruh aspek kehidupan, sekaligus meninggalkan berbagai praktek yang tidak ada sumber
hukumnya. Dalam konteks gerakan, MTA bisa dikategorikan sebagai gerakan purifikasi
agama yang berupaya menghapus elemen-elemen non-Islami dalam pemahaman dan praktek keagamaan yang secara umum dipengaruhi oleh pemikiran Ibn abd Wahhab.
Hal tersebut bisa dilihat dari ajaran MTA yang menolak berbagai praktek keagamaan yang lazim ditemui di masyarakat terutama di pedesaan, seperti ziarah kubur,
slametan, kenduri dan praktek lainnya. menurut MTA, praktek tersebut adalah bid‟ah
karena tidak ditemukan dalilnya baik dalam Al Quran maupun Hadits nabi.
68
MC Ricklefs menggolongkan MTA sebagai organisasi fundamentalis modernis.
121
Tujuan utama organisasi ini adalah mengajak umat Islam mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan Al Quran dan Hadits dengan penafsiran tekstual dan
menolak segala macam bentuk penafsiran kontekstual yang menghasilkan amalan ibadah yang dianggap bid‟ah yang dikhawatirkan bisa merusak ibadah seseorang.
Sementara menurut Quintan Wiktorowitz dalam konteks kategori gerakan salafi, MTA tergolong dalam kelompok Salafi purist, yakni tidak berkeinginan untuk
membentuk negara Islam tetapi lebih memilih untuk berdakwah di tingkatan masyarakat bawah dan berpendapat bahwa jika semua tingkat masyarakat memahami
Syariat Islam dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, Syariat Islam akan terwujud dengan sendirinya.
122
Sekilas, tujuan MTA sama seperti organisasi puritan lainnya di tanah air, semisal Muhammadiyah atau Persis yang juga mengajak umat Islam meninggalkan
praktek ibadah yang seperti bid‟ah dan khurafat takhayul.
123
Begitu juga dengan metode dakwah yang mengadopsi gagasan-gagasan yang lebih modern, misalnya
melalui pendirian sekolah serta penggunaan media baik cetak maupun elektronik. Namun, berbeda dengan organisasi puritan lainnya, MTA memiliki karakteristik yang
khas, antara lain model kepemimpinan yang hirarkis, pola kaderisasi dan keanggotaan
121
MC Ricklefs, Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and Contemporary Rhymes
dalam Greg Barton dan Sally White, ed. “Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia
”, Singapore, ISEAS, 2008, hal 126-127
122
Ricklefs, ibid,
123
Ahmad Sukina mengatakan bahwa Muhammadiyah terlalu lunak dalam menganjurkan amalan Islam yang bebas dari bidah kepada anggotanya. Lihat Muhammad Wildan, Mapping Radical Islamism in
Solo: A Study of the Proliferation of Radical Islamism in Central Java, Indonesia, Earlier version of paper in fellowship at ISIM, Leiden University, the Netherlands in March-April 2007
69
yang ketat, serta berbagai aturan yang berfungsi untuk mengatur perilaku sekaligus membangun loyalitas dan solidaritas organisasi.
Karakteristik MTA tersebut tidak lepas dari peran Abdullah Thufail membangun semacam kerangka dasar organisasi, yang kemudian menjadi landasan
dari MTA. Beberapa pemikiran MTA tersebut antara lain; pertama, konsep mengenai imamah dan jama‟ah. Bagi Abdullah Thufail, suatu gerakan atau organisasi umat
Islam harus disatukan oleh baiat dan imamah. Imam merupakan pemimpin yang wajib diiukuti oleh para jamaah. Kedua, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan umat
Islam dari keterbelakangan adalah dengan kembali mempelajari dan mengamalkan Al-Quran dan al-Sunnah. Ketiga, agar dakwah Islam Islam bisa terus berkembang
harus dilakukan dengan dua macam jihad, yaitu jihad dengan jiwa dan jihad dengan harta. Dalam hal ini, pengertian jihad dengan jiwa artinya bersungguh-sungguh
mengerahkan seluruh hidupnya untuk berdakwah.
124
Kerangka pemikiran tersebut mewarnai MTA sebagai sebuah organisasi dakwah sekaligus suatu komunitas dengan
berbagai aturan yang mengikat sekaligus menyatukan warga MTA di seluruh Indonesia.
Dalam konteks ajaran, MTA menyebut bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan organisasi Islam lainnya. Dalam menafsirkan Al Quran, mereka mengambil
referensi dari buku-buku tafsir yang sudah ada. Buku tafsir Al Quran yang mereka pelajari berasal dari terbitan Departemen Agama, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
124
Jinan, ibid
70
Abbas, dan Tafsir Al-Maraghi yang secara substansi juga dipakai oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia.
Meski demikian, dalam menafsirkan ayata-ayat Al Quran terlihat bahwa MTA menafsirkan al Quran sesuai dengan ideologi puritan mereka antara lain melalui
adanya penerbitan tafsir Majelis Tafsir Al Quran yang menunjukkan kentalnya ideologi puritan mereka.
125
Dalam prakteknya, pemahaman mereka terhadap tafsir tersebut sangat tekstual dan mengabaikan interpretasi diluar apa yang tertulis dari
referensi yang mereka pakai dan didasarkan pada pemahaman utama mereka mengenai upaya purifikasi agama dari ajaran atau pengaruh di luar Islam. Hal ini
berimplikasi pada pandangan bahwa praktek keagamaan yang dilakukan oleh MTA adalah benar, sementara yang dilakukan umat Islam di luar MTA salah dan
menyimpang, terutama mereka yang mengamalkan praktek-praktek keagamaan secara sinkretis.
2. Model Kepemimpinan dan Struktur Organisasi