Ketika Tradisi Dipertanyakan Kondisi-kondisi Modernitatas dan Globalisasi serta Pengaruhnya Terhadap

137 menyebutnya sebagai pasifikasi internal yakni penundukan negara atas masyarakat dengan membangun ketaatan hukum dan politik. 156 Selain melalui proyek penyuluhan, kondisi ini bisa dilihat dari intervensi negara ke seluruh wilayah kehidupan sehari-hari penduduk desa melalui struktur birokrasi, di mana kepala desa adalah anggota Golkar sebagai mesin birokrasi yang berfungsi menjaga kendali atas kegiatan-kegiatan desa. Dengan demikian negara muncul sebagai otoritas dominan, menggantikan bentuk-bentuk tradisional. 157

2. Ketika Tradisi Dipertanyakan

Sebagai suatu dusun yang mulanya memiliki karakteristik tradisional, Bangkerep mengalami proses yang disebut Giddens sebagai proses detradisionalisasi yakni tersisihnya tradisi yang menjadi kerangka tafsir dan pemaknaan terhadap kehidupan. Detradisionalisasi terjadi sebagai akibat intervensi dari luar komunitas yang memungkinkan setiap individu di dalamnya bertemu dan menerima ide baru yang sama berbeda dengan tradisi dan tatanan yang selama ini mereka hidupi. Dalam konteks Bangkerep, detradisionalisasi terjadi melalui kebijakan pemerintah terutama di bidang keagamaan, serta mobilitas dan arus informasi yang member ruang terjadinya persinggungan beberapa individu dengan organisasi keagamaan lokal, seperti NU dan Muhammadiyah, dan kemudian MTA. 156 Anthony Giddens, Nation State and Violence, Vol II A contemporar Critique of Historical Materialism, Polity Press, 1985 157 Hassan, ibid, hal. 253 138 Intervensi dari luar berpengaruh terhadap esensi beberapa ritual di Bangkerep seperti sedekah bumi. Ritual yang mewakili apa yang disebut tradisi kecil memang masih dilakukan oleh warga Bangkerep, namun tidak lagi menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan. Adat istiadat lokal menjadi kebiasaan tak bermakna atau dalam bahasa Giddens menjadi relic atau semacam museum. Contoh nyata dari kasus ini sedekah bumi di bawah pohon besar. Sebelumnya, ritual sedekah bumi identik adalah ritual untuk memohon keselamatan kepada para danyang dan kekuatan gaib penunggu dusun dengan cara membakar kemenyan dan merang dan menggunakan doa-doa Jawa. Belakangan sejak kepala dusun dijabat oleh Pak Saji ia mengganti kemenyan dengan menabur garam di sekeliling pohon beringin. Ia juga mengganti doa Jawa dengan doa Islam. Perubahan ini diakui pak Kamituwo sejak adanya beberapa ceramah dari tokoh NU yang sering memberi pengajian rutin pasca konflik dengan warga MTA. Menurut pak Saji: Sebelumnya ya menggunakan kemenyan. Orang-orang tua sudah meninggal ganti generasinya. Saya menggantinya dengan garam. Maksudnya ya penolakan. Intinya sama. Kepercayaan. Kan kalau yang pakai kemenyan dianggap memuja. Ya menghindari, dirintis sedikit demi sedikit. Doanya ya saya sarankan memakai doa Islam. Dulu saya tidak tahu, kepercayaan masing-masing orang. Dulu yang tidak bisa berdoa pakai bahasa Islam ya pakai bahasa Jawa. Kalau yang orang Jawa tulen ya isinya penolakan roh-roh jahat, roh halus... 158 Karakteristik utama detradisionalisasi adalah bukan berarti hilangnya tradisi, tetapi tradisi menjadi lebih terbuka untuk dipertanyakan untuk kemudian berkembang 158 Terjemahan wawancara dengan Pak Kamituwo Saji, 17 April 2012 139 dalam konteks yang berbeda. Tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan sehingga ketika tradisi tidak lagi memberi jawaban yang memuaskan bagi keberadaan dirinya, seseorang bisa berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain. 159 Hal ini terjadi pada warga Bangkerep yang bergabung dengan MTA, di mana sebagian besar dari mereka sebelumnya pernah melakukan praktek-praktek tradisional di dusun mereka. Belakangan mereka kemudian mempertanyakan manfaat dari berbagai praktek tradisional tersebut. Sedekah bumi, pawai mengarak pengantin, dan praktek tradisional lainnya tidak lagi dianggap bermanfaat. Sebaliknya mereka memilikin kebebasan untuk mengkritisi praktik tersebut dan memilih panduan hidup lain yang lebih sesuai dengan kondisi mereka saat ini dalam bentuk tradisi yang sama sekali berbeda, yakni Al Quran dan Hadits. Wakidi adalah orang yang tahu persis bagaimana situasi awal di Bangkerep yang sepi dari kegiatan agama dan sebaliknya penuh dengan ritual-ritual kosmologis khas dusun. Ia juga mengakui dulunya ikut mengikuti ritual-ritual tersebut. Namun setelah berkenalan dengan nilai dari luar dusun, dalam hal ini ajaran MTA yang dibawa oleh Tumin atau ketika ia mengaji ke Todanan kepada tokoh Muhammadiyah, secara perlahan ia mempertanyakan praktek-paktek tradisional di Bangkerep. Meski demikian ia belum sepenuhnya meninggalkan semua praktek tersebut meninggalkan kebiasaan tersebut meski tidak secara langsung. Wakidi mengatakan: Tahun 1986 awal saya mulai kenal MTA. Sejarahnya dulu saya dengan pak Tumin bersama-sama dengan rekan-rekan di sini ngaji di mbah 159 I Wibowo, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http:www.unisosdem.org 140 mantan Lurah. Pak Tumin ikut orang tua di Solo. Setelah itu karena ngaji temannya sudah ndak banyak, agak malas, akhirnya akhirnya saya pindah ke guru dari Todanan namanya pak Iswandi itu 2,5 tahun...bersamaan dengan waktu-waktu itu pak Tumin setiap pulang di Bangkerep ngomong-ngomong masalah pengajian tapi tidak mengatakan MTA.Cuma ngaji Quran Sunah. Kan sama kalo waktu itu saya ngaji dengan Muhammadiyah, sama....ke Solo satu bulan sekali dua bulan sekali...tahun 1987 saya menikah, sudah ngaji Quran Sunah itu 1,5 tahun itu sudah bisa menimbang ini baik ini tidak...umumnya tradisi di masyarakat manten pria diantar ke sendang besar membawa tumpeng membawa tombak, mandi di situ yang putri di sana...waktu itu saya sudah berusaha maksimal tidak melaksanakan....Waktu itu saya masih nimbrung. Tahlilan yasinan masih mengikuti. Ya Cuma satu itu tidak mau ke sendang itu. 160 Begitu juga dengan Suradi. Sejak remaja ia mempelajari agama Islam bersama pamannya, Wakidi dan kemudian ia mulai kritis dengan berbagai praktek tradisional di dusunnya. Seperti kegiatan sedekah bumi, menurutnya warga dusun yang melakukan praktek tersebut sama sekali tidak tahu maksud dan tujuannya. Hal ini disampaikan Suradi: Orang tua saya dulu kan tidak solat. Saya sudah mengaji di MTA. Saya tanya sebenarnya yang di pohon besar kok dilaksanakan itu kenapa? Kata bapak begini, di pohon besar itu ada penunggunya. Yang mbahurekso. Yang menjaga kampung. Kalau tidak di beri sesaji itu nanti orang desa bisa kena bendana. Bisa saja tidak panen atau kena penyakit. Nah menurut saya itu kan sudah jelas-jelas mengarah pada kemusyrikan. 161 Suradi juga menceritakan bagaimana ia kritis terhadap pawai mengarak pengantin ke sumur atau sendang dusun. Ia menceritakan: 160 Terjemahan wawancara dengan Wakidi, MTA, 19 April 2012 161 Terjemahan wawancara dengan Suradi, MTA, 26 April 2012 141 Dulu waktu masih muda ya sering ikut pawai mengantar pengantin. Semua sudah lengkap. Waktu masih muda sudah lengkap mengikuti acara-acara itu. Belum tahu Islam ya senang. Sesudah tahu ya tapi masih ikutan, tapi sudah mulai menyepelekan. Dulu saya kalau ada pawai pengantin itu saya yang disuruh bawa tombak. Tombak itu tidak boleh dibawa seperti ini. Harus dipegang dengan benar. Tombak tidak boleh mengarah ke bawah. Saya kan kritis. Mulai mengaji. Saya bertanya: Kenapa harus membawa tombak pak? Kata bapak itu dulu mengantar pengantin ke sumur karena berjaga-jaga kalau ada harimau atau binatang buas. Saya bilang sekarang kan sudah tidak ada harimau kok masih pakai tombak? Kata bapak sudah tidak usah macam-macam. Lalu tombak saya buat mainan seperti kalau sedang bermain silat. Saya dimarahi warga. Tidak boleh, nanti kualat. Tombak dianggap ada penunggunya. Jin atau apa. Tombak dianggep ada yang menunggu. Jin atau apa. Kalau nanti membawanya tidak benar yang membawa marah. 162 Dengan kata lain, persinggungan dengan berbagai ide atau nilai lain dari luar dusun membuat sebagian individu merasa menjadi lebih mandiri dan tidak lagi terikat pada tradisi kosmologis yang pernah ada di kampung mereka. Mereka memiliki kebebasan untuk merefleksikan dan mengkritisi praktik tradisional dari leluhur dan memilih mana yang lebih sesuai dengan kondisi mereka saat ini, dalam hal ini adalah hanya melakukan praktek yang sesuai dengan ajaran agama secara murni dan memiliki dasar hukum, yaitu Quran dan Hadits.

3. Dari Ikatan Lokal ke Ikatan Komunitas MTA