Kenduri di bawah beringin

95 Tidak hanya itu, warung kopi menyediakan cara melepas penat dengan cara judi kecil-kecilan. Pada hari-hari tertentu, pemilik warung menyediakan kupon yang berhadiah rokok. Warga membelinya dan jika beruntung mendapatkan sebungkus rokok. Judi kecil-kecilan juga dilakukan jika ada pertandingan bola di televisi.

c. Kenduri di bawah beringin

Hari itu, kesibukan tampak terlihat di Dusun Bangkerep. Dari atap rumah- rumah yang sebagian besar berdinding papan dan berlantai tanah itu mengeluarkan asap pertanda pemilik rumah memasak istimewa. Warga dusun bersiap menggelar upacara sedekah bumi sebagai cara untuk mengungkapkan rasa syukur atas panen melimpah yang mereka terima tahun ini. Acara ini dilaksanakan sekitar satu bulan setelah panen pertama, dan selalu mengambil hari Rabu dan bertepatan dengan hari Pahing dalam penanggalan Jawa. Sayur lodeh dan ayam menjadi masakan wajib di rumah-rumah, selain jajanan pasar yang akan dipersiapkan sebagai pelengkap upacara. Menjelang siang, jalanan Bangkerep dipenuhi warga yang membawa bungkusan atau rantangan makanan untuk diberikan kepada keluarga atau kerabat. Namun acara belum dimulai. Sekitar jam dua siang, pak Kamituwo Saji memukul kentongan yang menandakan acara akan segera dimulai. Jalanan di dusun yang biasanya lengang itu menjadi ramai oleh laki-laki atau perempuan dewasa membawa 96 tampah berisi nasi yang dibungkus daun jati dan jajanan pasar seperti kue pasung, lapis, jadah dan lainnya. Mereka berjalan menuju sebuah tanah lapang kecil di tengah persawahan di sebelah timur dusun. Di tanah lapang yang hanya berukuran sekitar 20 meter persegi, tumbuh sebuah pohon beringin tua. Di lokasi inilah acara sedekah bumi akan dilangsungkan. Menurut cerita, pohon beringin tempat berlangsungnya lokasi sedekah bumi adalah tempat keramat. Dalam kepercayaan yang umumnya diyakini warga Bangkerep, lokasi pohon beringin tersebut pada mulanya merupakan kandang kuda sembrani atau kuda bersayap yang sakti di mana setiap kuda tunggangan atau kuda penarik dokar yang melewati tempat itu pasti mati. Konon katanya pernah seorang Adipati Blora pada zaman dahulu secara khusus datang ke dusun Bangkerep hanya untuk membuktikan mitos tersebut dan akhirnya kuda sang Bupati mati berkelahi dengan kuda sembrani. Pak Kamituwo Saji dan Mbah Modin Nurhasyim menjadi orang yang pertama kali hadir di lokasi upacara. Pak Saji membawa seikat merang yang didalamnya berisi sejumput kecil garam yang kemudian ia letakkan di bawah pohon beringin. Setelah membaca doa dengan perlahan, ia lalu membakar merang tersebut. Beberapa orang warga yang datang belakangan melakukan hal sama, membawa ikatan merang berisi garam yang dibakar dan diletakkan di bawah pohon beringin. Di atas tanah yang berumput itu, nasi bungkus daun jati dan jajanan pasar yang dibawa oleh warga diletakkan bertumpukan satu sama lain. Masing-masing 97 orang berebut lauk atau jajanan pasar yang dibawa oleh warga lainnya. Sebagian besar warga yang memenuhi tanah lapang itu adalah bapak-bapak dan pemuda, sementara ibu-ibu dan remaja perempuan hanya mengikuti acara dari jalan kampung yang berjarak sekitar 50 meter dari pohon beringin tersebut. Acara dimulai dengan pidato Pak Saji yang mengajak warga untuk memanjatkan doa dan mengucapkan niat acara tersebut sebagai ungkapan rasa syukur atas panen padi yang mereka dapatkan tahun ini sekaligus untuk berdoa kepada Allah warga Bangkerep senantiasa diberi keselamatan dan terhindar dari bencana. Setelah itu, Mbah Modin Nurhasyim memulai doa yang diucapkan dalam campuran antara bahasa Arab dan Jawa, menyebut arwah-arwah dan danyang dusun. Saat modin membacakan doa, warga yang hadir terlihat mulai tidak sabar untuk melakukan ritual yang paling ditunggu, yaitu saling melempar nasi. Saat modin mengakhiri doa, warga langsung berteriak “Amiiiinnn…” disusul dengan teriakan “Horeeee…. ” saat itulah ritual yang paling ditunggu dimulai. Masing-masing orang melempar nasi bungkus atau apa saja yang ada didekatnya ke udara atau melemparkannya kepada orang lain. Acara yang tadinya penuh keheningan segera berubah menjadi semacam tawuran kecil dan kumpulan warga menjadi berhamburan saling menyelamatkan diria masing-masing dengan berlari meninggalkan lokasi. Acara sedekah bumi siang itupun selesai. 98

d. Ayam panggang di depan jenazah