148
5. Kelahiran Kembali
Giddens menyatakan bahwa detradisionalisasi memiliki dampak pada identitas diri di mana ketika individu tidak lagi memiliki panduan yang jelas dalam hidupnya
maka mereka berupaya menciptakan kembali identitas baru. Proses ini disebut refleksifitas atau proses ketika individu harus menyaring dan merenungi setiap
informasi dan pengetahuan yang mereka dapatkan dalam era globalisasi yang sesuai dengan kehidupan mereka dan secara rutin bertindak menurut proses penyaringan
tersebut. Atau dengan kata lain individu harus memilih setiap aspek dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan dirinya sekaligus mampu memberikan alasan mengapa
kita memilih hal tersebut. Dengan cara itulah individu terlibat secara aktif dalam mengembangkan identitas dirinya sendiri. Refleksifitas juga berarti individu harus
mengkonstruksikan biografinya sendiri. Pendapat Giddens di atas menjelaskan bagaimana seorang warga Bangkerep
memutuskan untuk bergabung dengan MTA yang secara drastis mengubah identitas mereka sebagai suatu proses negosiasi yang panjang dengan berbagai pengalaman
dan situasi di sekitarnya. Sebagian dari mereka menganggap bahwa kehidupan mereka di masa lalu sebelum bergabung dengan MTA adalah masa-masa kegelapan,
merujuk pada kehidupan sehari-hari mereka yang masih penuh dengan praktek atau ritual yang tidak mereka temukan dasarnya dalam Al Quran dan Hadits. Bagi mereka
situasi tersebut terjadi akibat ketidaktahuan pengetahuan atau ilmu yang mendasari
149
tindakan tersebut. Kemudian ketika mereka mendapatkan ilmu agama dari MTA, mereka mempertanyakan sekaligus meninggalkan praktek tradisional tersebut.
Situasi ini dialami Sudipo 60. Ia termasuk generasi pertama, bahkan perintis pertama MTA di Bangkerep bersama Wakidi. Lelaki ini mengaku dulunya tidak
hanya melaksanakan praktek tradisional, tetapi juga hal-hal lain yang dilarang agama. Namun ia menganggap hidupnya berubah setelah bergabung dengan MTA. Sudipo
mengatakan: Dulu saya ya sudah Islam. Tapi pengertian Islam itu bagaimana saya
belum tahu. Ikut-ikutan saja. Kadang-kadang dulu ya Islam tapi larangan Islam belum saya tinggalkan. Masih sering berjudi. Lalu
karena sudah dapat pengertian dari saudara saya dari MTA itu, o ternyata judi itu dilarang, minuman keras dilarang. Tapi minuman
keras saya belum pernah. Kalau main judi ya pernah, tapi kecil-kecilan saja. Tidak pernah sampai besar. Cuma pada saat ada orang punya
hajat. Lalu begitu datang MTA akhirnya dilarang. Ditunjukkan dasar- dasarnya di Al Quran. Akhirnya berhenti. Dulu kalau ada orang
kenduri juga ikut. Tapi waktu itu belum tahu. Tapi waktu itu belum tau. Makanya tadi saya katakan setelah memahami Al Quran dan
isinya bagaimana kita itu mengamalkan.
166
Selain itu proses refleksifitas juga terjadi tidak hanya akibat dari pengalaman hidup di Balong, tetapi juga ketika individu berhadapan dengan situasi dunia modern
di kota besar yang membuat mereka merasa tercerabut dari komunitas mereka sebelumnya. Proses ini terkait dengan perubahan infrastruktur yang memungkinkan
terjadinya mobilitas dari desa ke kota, baik untuk alasan pekerjaan atau pendidikan. Dalam situasi ini individu yang terbiasa hidup dalam ikatan komunal dan kental
166
Terjemahan wawancara dengan Sudipo, MTA, 27 Juni 2012
150
dengan kegotongroyongan harus berhadapan dengan kondisi masyarakat perkotaan yang individualistis dan berorientasi pada materi.
Seperti halnya yang dialami oleh Parwanto. Ia termasuk generasi kedua MTA Bangkerep, bersamaan dengan Suradi, Suwanto dan Susilo. Ia juga salah satu anggota
MTA dusun Bangkerep dengan tingkat pendidikan yang paling tinggi, yaitu SMA. Ketika MTA mulai berkembang di Bangkerep, Parwanto yang masih remaja diajak
oleh teman-temannya untuk mengaji di MTA. Ia kemudian tidak aktif mengikuti pengajian karena dilarang oleh orang tuanya dengan alasan ajaran MTA dianggap
menyalahi adat kebiasaan setempat. Parwanto kemudian merantau ke Jakarta selama beberapa tahun dan bekerja di sebuah perusahaan. Di Jakarta ia bahkan sempat
bersekolah sampai tingkat SMA dengan bantuan biaya dari pimpinan perusahaannya. Belakangan ia memilih pulang ke dusun Bangkerep dengan alasan bahwa kehidupan
di Jakarta tidak sesuai dengan keyakinannya. Parwanto menjelaskan alasan mengapa ia tidak betah hidup di Jakarta:
Alasan saya pulang dari Jakarta itu gara-gara diterima kerja bersama dengan banyak perempuan. Terus ditempatkan di mes asrama di situ
laki dan perempuan masih muda-muda. Kan saya sedikit-sedikit masih punya iman. Itu menyesalnya sampai sekarang, waktu berjabatan
tangan. Waktu itu baru pertama ketemu kepala cabang kantor itu perempuan ya mau tidak mau berjabat tangan. Sebenarnya ragu tapi
saya lakukan karena aturannya begitu. Akhirnya saya berfikir kalau saya seperti ini terus bisa hilang aqidah saya. Akhirnya saya putuskan
pulang. Dan saya melihat masyarakat sudah rusak. Teman-teman saya waktu SMA perilakunya tidak karuan. Saya tahu persis kehidupan di
Jakarta. Orang sudah tidak kenal agama. Bahkan orang melakukan pelacuran itu dijaga aparat keamanan.
167
167
Terjemahan wawancara dengan Parwanto, MTA, 28 Juni 2012
151
Menurut Parwanto, apa yang ia lihat di Jakarta tidak jauh beda dengan kehidupan di dusun saat ini. Parwanto mengatakan:
Masyarakat saat ini sangat jauh dari apa yang kita lakukan, terutama dengan kajian di MTA .Saya melihat karena saya sering ke pasar,
orang melakukan maksiat. Orang pasar itu mabuk, berzina itu sudah biasa. Bahkan lokalisasi di kecamatan Kunduran itu ada orang
bercerita itu dengan bangganya. Tanpa merasa berdosa. Tanpa merasa
bersalah. Ketika kita ada orang hajatan itu ada tayub diceritakan „tadi malam aku berjoget sambal mabuk‟ itu dengan bangganya. Dengan
tidak merasa bersalah berdosa sama sekali. Bahkan seolah-olah sudah menjadi rutinitas. Pokoknya kalo dihubungkan dengan agama sangat
jauh.
168
Situasi yang sama juga dialami oleh Suyatno 40. Ia sendiri tidak tinggal di Bangkerep, tetapi di dusun Balong. Tetapi Suyatno termasuk generasi pertama MTA
di Bangkerep dan termasuk salah satu dari 12 orang warga Bangkerep yang ikut bekerja untuk proyek pembangunan MTA di Surakarta dan akhirnya ikut bergabung
dengan MTA. Mata pencaharian Suyatno adalah petani, namun ia lebih banyak merantau ke Jakarta jika kondisi ekonomi keluarganya sedang memburuk. Biasanya ia
bekerja sebagai buruh bangunan selama seminggu atau satu bulan dan kemudian pulang kembali ke dusunnya. Di Jakarta ia melihat kondisi kehidupan yang jauh
berbeda dengan apa yang dia lihat di dusun dan membuatnya terbawa arus lingkungan pekerjaan. Misalnya setelah menerima bayaran ia diajak teman-temannya untuk
minum-minuman keras. Namun setelah ikut bergabung dengan MTA, ia merasa
168
Terjemahan wawancara dengan Parwanto, MTA, 28 Juni 2012
152
bahwa apa yang ia lakukan di masa lalu itu jauh dari tuntunan agama. Menurut Suyatno:
Lingkungan pekerjaan saya itu orangnya ya bermacam-macam. Kebanyakan kerja proyek, ya Ustadz Sukino bilang itu orang kafir.
Karena tidak sholat mengaku Islam. Kalau tidak pandai-pandai membawa diri ya bisa ikut-ikutan. Habis terima uang bayaran ya pada
mabuk. Itu hal yang biasa. Berjudi. Namanya saja orang tidak mengerti agama. Saya dulu tidak mengerti agama ya melakukan hal seperti itu.
Saya anggap biasa. Sekarang prinsipnya yang penting dia tidak mengganggu kita. Kalau kita melihat kemaksiatan itu harusnya sebagai
orang Islam ya mengingatkan. Tapi namanya di Jakarta kalau mengingatkan hal seperti itu malah sama saja mencari masalah. Saya
biarkan saja.
169
Selain itu, karakteristik utama dari refleksifitas menurut Giddens adalah perasaan yang cenderung pada pertimbangan operasional atau bagaimana cara praktis
melakukan suatu tindakan. Inilah yang didapatkan warga anggota MTA dari organisasi keagamaan yang bercirikan puritan, di mana segala persoalan harus
memiliki dasar hukum atau dalil. Sebagai sebuah organisasi keagamaan yang memiliki aturan pengamalan ajaran yang ketat dan disiplin, MTA menyediakan
jawaban atas berbagai pertanyaan menyangkut persoalan kehidupan sehari-hari, antara lain cara berpakaian, cara menjadi istri yang baik, cara bergaul dengan tetangga
dan sebagainya. Jawaban atas pertanyaan tersebut didapat dari para ahli sebagaimana Giddens mengatakan bahwa dunia modern modern memberi banyak pilihan yang
menuntut proses refleksifitas sekaligus pada saat yang sama memunculkan sistem ahli atau para ahli yang menawarkan
nasehat praktis atas berbagai pilihan tersebut.
169
Terjemahan wawancara dengan Suyatno, MTA, 28 Juni 2012
153
Gambaran refleksifitas yang ditandai dengan ahli yang berperan memberikan nasehat praktis bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anggota MTA
dalam setiap pengajian rutin. Dalam berbagai pengajian rutin, warga MTA menanyakan persoalan sehari-hari baik masalah pribadi, relasi dengan orang lain, dan
sebagainya kepada Ustadz Suradi atau Suwanto. Oleh Ustadz, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu dijelaskan dalam perspektif hitam putih, baik
buruk dan selalu dikembalikan kepada dalil yang ada dalam Al Quran dan Hadits. Antara lain berikut ini :
Ibu : “Kemarin pada hari Sabtu saya tidak datang gara-gara saya
diajak suami dan keluarga mengikuti menghadiri khitanan saudara ipar di Blora. Saya tidak tahu dari rumah saya kira
khitanan biasa. Ternyata di sana besar-besaran pakai campursari. Biduan pakai baju transparan. Hati saya menolak sebenarnya.
Tapi mau pulang jauh. Saya waktu itu melihat hati saya menolak terus. Saya terpaksa di sana. Saya mau meninggalkan karena itu
kemunkaran. Apakah itu saya termasuk itu munafik?
” Suradi :
“Ibu tidak munafik. Tapi salah. Saya menilai salah. Kalau kembali kepada satu hadits barang siapa melihat kemunkaran
maka ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu dengan lisanmu. Jika tidak mampu maka cukup dengan hatimu. Maka
itulah selemah-lemahnya iman. Selemah-lemahnya iman itu tidak suka. Tidak sukanya sudah bener. Tapi tanda tidak suka
yang belum nampak. Maka kita meninggalkan, menjauh. Panjenengan kan bisa dirumah saudara.
Ibu : “Yang saya menyesal itu meninggalkan pengajiannya itu.”
Suradi : “Kalau saya ketua cabang sudah saya hukum.. Campursari itu
tidak masalah. Tapi campur saru- nya itu yang tidak boleh. Biduan yang pakaiannya di atas lutut. Goyangannya. Disamping
itu ada minuman keras, laki perempuan joget bareng, dalam Islam tidak boleh.
”
170
170
Percakapan dalam pengajian khusus ibu-ibu di MTA Cabang Cepu, 26 April 2012
154
Dalam kesempatan lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz Suradi mengenai informasi apakah sakit seseorang bisa menebus kesalahan atau dosa
yang dia perbuat: Warga :
“Apa betul kalau seseorang sedang sakit dapat menebus kesalahan dan dosa-dosa kita. Mohon dijelaskan
.” Ustadz Suradi :
“Itu benar. Bahwa apa yang dirasakan sakit yang diberikan yang diujikan kepadanya itu menjadi Kafaroh
penebus. Sampai dikatakan Rasulullah. Walau tertusuk duri, sakitnya kecil. Maka dalam hadits Qudsi dikatakan „Hambaku
yang aku berikan cobaan kepadanya dia tidak sabar, maka keluarlah dari bumiku.‟ Maka kalau diuji sabar. Sabar itu
menjadi kafaroh dosa-dosa kita. Baik tertusuk duri sekalipun itu menjadi penebus dosa kita.
”
171
Dalam pengajian lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz Ngabdi mengenai hukum membicarakan kejelekan orang di masa lalu:
Warga : “Orang yang selalu membicarakan kejelekan orang di masa
lalu itu apakah termasuk dengki? ”
Ustadz Ngabdi : “Tidak boleh itu. Jangan kita mengungkit amalan
orang yang sudah meninggal. Kecuali kalau itu memang diberitakan oleh Allah. Setiap hari saya dan anda
membicarakan Firaun dan Karun padahal amalnya tidak baik. Abu Jahal Abu Lahab. Itu tidak membicarakan kejelekan orang
lain. Tapi kalau misalnya saudara kita atau orang lain tidak usah. Atau kalau kita mau mencontohkan tidak usah disebut
namanya.
”
172
Dalam pengajian lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz
Ngabdi bagaimana membicarakan kejelekan orang lain dengan istri sendiri: : Warga :
“Kalau kita membicarakan kejelekan orang tapi kita membicarakan dengan istri sendiri bagaimana? Kan dalam
hadits istri itu bagaikan baju kita sendiri? Itu dosa apa tidak? ”
171
Percakapan dalam pengajian MTA Cabang Kedung Tuban, 26 April 2012
172
Percakapan dalam pengajian MTA hari Selasa di Bangkerep, 26 Juni 2012
155
Ustadz Ngabdi: “Sebaiknya jangan. Apalagi istri tidak tahu diberitahu.
Itu si A senang bohong. Sebaiknya kita tidak usah membicarakan kejelekan orang lain kepada siapapun. Kecuali
kalau si A itu mau diperbaiki. Anda minta tolong kepada orang lain yang kira-kira bisa memperbaiki perilakunya. Itu tidak apa-
apa.
”
173
Dengan kata lain refleksifitas membuat ritual-ritual tradisional yang dulu pernah memberi makna tidak lagi dianggap mampu memberikan jawaban atas
persoalan praktis dan digantikan oleh aturan atau kepastian yang lebih terlembagakan dan baku yang mampu memberikan jawaban langsung atas berbagai persoalan yang
dihadapi individu. .
C. Kesadaran akan Resiko, Pencarian Stabilitas dan Keamanan Ontologis