70
Abbas, dan Tafsir Al-Maraghi yang secara substansi juga dipakai oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia.
Meski demikian, dalam menafsirkan ayata-ayat Al Quran terlihat bahwa MTA menafsirkan al Quran sesuai dengan ideologi puritan mereka antara lain melalui
adanya penerbitan tafsir Majelis Tafsir Al Quran yang menunjukkan kentalnya ideologi puritan mereka.
125
Dalam prakteknya, pemahaman mereka terhadap tafsir tersebut sangat tekstual dan mengabaikan interpretasi diluar apa yang tertulis dari
referensi yang mereka pakai dan didasarkan pada pemahaman utama mereka mengenai upaya purifikasi agama dari ajaran atau pengaruh di luar Islam. Hal ini
berimplikasi pada pandangan bahwa praktek keagamaan yang dilakukan oleh MTA adalah benar, sementara yang dilakukan umat Islam di luar MTA salah dan
menyimpang, terutama mereka yang mengamalkan praktek-praktek keagamaan secara sinkretis.
2. Model Kepemimpinan dan Struktur Organisasi
Salah satu karakter yang membedakan MTA dengan organisasi lain adalah pola kepemimpinan yang hirarkis dan model keanggotaan yang ketat. Pola tersebut
berfungsi untuk menjaga komitmen terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip Islam sesuai dengan Al Quran dan Hadits sekaligus membangun solidaritas dan ketaatan terhadap
organisasi sebagai manifestasi dari menjadi seorang muslim yang utuh.
125
Sunarwoto, Antara Tafsir dan Ideologi Telaah Awal atas Tafsir Al Quran MTA, Jurnal Refleksi, Vol XII No 2 Oktober 2011, hal 128
71
Model kepemimpinan MTA terdiri dari kepengurusan yang berjenjang dari tingkat pusat, kemudian perwakilan setingkat kabupaten, disusul cabang setingkat
kecamatan, dan tingkatan paling bawah adalah yaitu kelompok. Pimpinan di masing- masing tingkatan tidak hanya dalam konteks manajerial, tetapi juga sebagai orang
yang dimintai jawaban atas segala persoalan, baik agama atau kehidupan sosial ekonomi. Keputusan-keputusan strategis dan instruksi-instruksi yang berkaitan
dengan kemajuan organisasi diambil oleh pengurus pusat dan harus dipatuhi oleh seluruh anggota sampai di tingkat paling bawah.
Secara hirarkis, pola kepemimpinan MTA dikendalikan oleh kepengurusan pusat yang berada di Surakarta. Ketua umum bertindak selaku posisi tertinggi di
organisasi sekaligus pada saat yang sama menjadi imam tertinggi yang menjadi rujukan untuk masalah keagamaan bagi seluruh warga MTA. Dengan demikian, bisa
dikatakan MTA menganut model kepemimpinan yang tunggal dan sentralistik.
126
Di tingkatan selanjutnya adalah perwakilan yang merupakan organisasi setingkat
kabupaten atau wilayah. MTA perwakilan ini membawahi MTA Cabang atau organisasi setingkat setingkat kecamatan. Kelompok menjadi struktur paling kecil,
yang terdiri dari 3-7 orang. Dengan pola organisasi yang hirarkis, MTA perwakilan, cabang atau bahkan
kelompok tidak bisa mengambil keputusan penting sendiri-sendiri, tetapi harus melalui konsultasi dan koordinasi dengan kepengurusan pusat. Begitu juga setiap
126
Jinan, ibid
72
persoalan yang dihadapi organisasi atau yang dialami anggota baik untuk urusan keagamaan maupun persoalan lainnya dipecahkan secara berjenjang di masing-
masing kelompok, lalu jika tidak selesai di bawa ke tingkat cabang, selanjutnya perwakilan sampai ke pusat.
127
Selain itu, model kepemimpinan MTA juga sangat berbeda dengan organisasi puritan modern lainnya. MTA tidak mengenal pemilihan ketua atau pengurus secara
periodik. Hal tersebut mengikuti pola kepemimpinan nabi dan para sahabat, di mana pimpinan ditunjuk berdasarkan kapasitas.
128
Hal tersebut bisa dilihat dari proses peralihan kepemimpinan dari Abdullah Thufail ke Ahmad Sukina.
3. Kegiatan dan Rekrutmen Anggota