110
mulai terasa di Bangkerep. Pada tahun 2000, warga mendirikan masjid semi permanen secara swadana
Belakangan, kegiatan keagamaan mulai menguat, terutama sejak munculnya organisasi Majelis Tafsir Alquran MTA yang berorientasi puritan dan gencar
menolak sinkretisme dan penyimpangan elemen non-Islam. Munculnya organisasi Islam MTA yang bercorak puritan di Dusun Bangkerep yang masih kental dengan
tradisi-tradisi leluhur pada akhirnya menimbulkan perbedaan pemahaman di bidang keagamaan yang berujung pada konflik terbuka antar warga dan mewarnai relasi antar
warga di Bangkerep sampai sekarang ini.
C. Awal dan Perkembangan MTA di Bangkerep
1. Konflik
Pada tahun 1987, Tumin, seorang warga Bangkerep yang lama merantau di Solo pulang ke dusun. Tidak diketahui persis apa pekerjaan atau kegiatan Tumin
selama di perantauan. Tak lama setelah kembali ke dusun, ia kemudian berinisiatif mengadakan pengajian di langgar dusun. Saat itu, pengajian masih bersifat umum.
Warga Bangkerep yang memang masih kurang dalam pengetahuan agama pun menyambut baik kegiatan tersebut. Saat itu, sekitar 70 orang mengikuti pengajian
yang diselenggarakan oleh Tumin. Namun kemudian, mulai tahun 1989 terjadi beda pendapat antara peserta
pengajian dengan materi pengajian yang disampaikan Tumin. Perselisihan mereka
111
antara lain menyangkut soal Qunut doa saat shalat subuh. Warga yang mendapat pengaruh dari NU menganggap doa Qunut adalah sunah Nabi, sementara Tumin
mengatakan bahwa hal tersebut tidak ada ajarannya dalam Islam. Begitu juga mengenai jumlah Tarawih Shalat Sunah di malam hari di bulan Ramadhan, di mana
warga umumnya melaksanakannya sebanyak 23 rekaat, namun Tumin menganjurkan sebanyak 11 rekaat. Perbedaan tersebut mengakibatkan banyak anggota keluar dari
pengajian. Namun perbedaan tersebut belum menimbulkan gejolak di masyarakat pada umumnya.
150
Pada tahun 1990-1994, kegiatan pengajian sempat berhenti. Namun Tumin dan beberapa warga yang menjadi anggota pengajian masih aktif datang ke Solo.
Mereka antara lain Wakidi, kawan dekat Tumin dan Sudipo, salah seorang tokoh Bangkerep yang juga masih memiliki hubungan kekerabatan. Kemudian pada tahun
1994, pengajian kembali diselenggarakan dan mulai dikenalkan istilah MTA, yang dilaksanakan di mushola dusun. Pada tahap inilah mulai muncul perbedaan dengan
pemuka agama di dusun dan mulai muncul benih konflik yang nantinya berujung pada konflik fisik yang mengoyak ketenteraman di dusun kecil tersebut. .
Mulai tahun 2000 warga mulai menunjukkan ketidaksenangannya dengan jamaah MTA karena ajarannya dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat di
Dusun Bangkerep. Ketidaksenangan tersebut bahkan sampai menimbulkan perpecahan di keluarga, misalnya ancaman akan menceraikan istri atau tidak
150
Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002
112
mengakui sebagai anak jika ikut MTA.
151
Sementara menurut pak Saji, konflik bermula ketika menyangkut masalah kenduri, karena anggota MTA tidak mau
menerima nasi berkat yang biasa dibagikan setelah selesai kenduri. Keresahan itu menyebabkan perangkat desa mengumpulkan tokoh dan warga MTA untuk mendapat
pengarahan, tetapi tidak berhasil. Bahkan timbul perselisihan yang berujung pada bentrok fisik yang terjadi beberapa kali.
Bentrokan pertama terjadi pada bulan September 2001. Saat itu warga Bangkerep hendak membangun masjid setelah sebelumnya hanya berupa langgar
kecil dari papan. Dalam sebuah pertemuan di balai desa, salah seorang anggota MTA bernama Wakidi menyinggung asal-usul kayu jati yang digunakan oleh warga dusun
Bangkerep untuk membuat masjid. Pertanyaan tersebut membuat warga dusun bernama Sarmin dan Bagiyo tersinggung. Oleh warga, pertanyaan Wakidi tersebut
ditafsirkan bahwa warga MTA akan melaporkan kepada pihak kehutanan. Pasca pertemuan di balai desa, Sarmin dan Bagiyo bermaksud menemui
Wakidi di rumahnya untuk mengklarifikasi pertanyaan Wakidi di Balai Desa. Saat itu Wakidi kebetulan sedang mengikuti pengajian di rumah anggota MTA lainnya yaitu
Sodipo. Saat menunggu pengajian selesai, banyak warga yang bergabung dengan Sarmin dan Bagiyo. Lalu ketika pengajian selesai Wakidi pergi ke rumah kakaknya
Kasiyem, sehingga Sarmin dan Bagiyo beserta warga beramai ikut ke rumah Kasiyem bermaksud menanyakan pernyataan Wakidi soal kayu.
151
Dokumen desa, Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002
113
Namun para anggota MTA menyangka warga hendak membubarkan pengajian. Lalu terjadi keributan dan bentrok fisik sehingga Bagiyo mengalami luka
serius dan dirawat di rumah sakit. Pihak desa melaporkan ke polsek Kunduran lalu penanganannya diserahkan ke pihak polsek.
152
Pasca kejadian tersebut, beberapa anggota MTA meninggalkan Bangkerep menuju kantor pusat MTA di Solo. Menurut
versi anggota MTA, mereka diusir dari kampung halamannya, meski menurut warga dusun tidak ada kasus pengusiran terhadap anggota MTA. Menurut warga dusun, jika
ingin tetap tinggal Bangkerep maka anggota MTA harus menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat.
Konflik berikutnya terjadi sepanjang tahun 2001-2002. Selang 4 bulan pasca kejadian pertama, beberapa warga Bangkerep yang juga anggota MTA pergi ke Solo
unruk bekerja, namun warga dusun curiga mereka akan mengembangkan MTA lagi di Bangkerep. Bulan September 2002, Mbah Modin Nurhasyim dan salah seorang warga
bernama Sarmin menerima undangan dari MTA pusat, tetapi Sarmin dan Nurhasyim tidak datang ke Solo karena tidak memahami maksud dan tujuan dari undangan
tersebut. Kemudian pada bulan Oktober 2002, beberapa pengurus MTA pusat datang ke Kecamatan Kunduran untuk mengklarifikasi undangan yang mereka buat kepada
kedua warga Bangkerep tersebut. Camat Kunduran menugaskan seorang stafnya dan anggota polisi dari Polsek Kunduran bernama Sugito bersama seorang anggota tim
MTA menjemput Sarmin dan Nurhasyim untuk menerima penjelasan dari pengurus
152
Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002
114
MTA mengenai undangan yang mereka sampaikan. Namun oleh Sarmin dan beberapa warga Bangkerep penjemputan itu ditafsirkan lain sehingga mereka beramai-ramai
datang ke kantor balai desa untuk memberi dukungan moril kepada Nurhasyim dan Sarmin.
Pasca kejadian tersebut, warga Bangkerep mengadakan pertemuan yang memutuskan bahwa Wakidi harus pergi dari dusun Bangkerep dan tidak boleh pulang
ke Bangkerep karena menjadi penyebab kekisruhan. Selain Wakidi, anggota MTA yang lain bisa pulang ke dusun Bangkerep asal bisa menyesuaikan dengan adat
istiadat kembali. Beberapa warga anggota MTA di Solo kemudian pulang antara lain Sutrisno, Parno, Sarmani, Nyamin Sujak dan Sarno. Sementara Wakidi dan beberapa
warga lainnya sebanyak 24 orang masih berada di Solo.
153
Tahun 2003 menjadi pucak eskalasi konflik antara warga Bangkerep dengan warga anggota MTA. Pada hari sabtu, 13 Desember 2003, anggota MTA Bangkerep
yang sebelumnya berada di Solo paska konflik sebelumnya bermaksud pulang kembali ke Bangkerep. Mereka diantar oleh pengurus MTA dengan menggunakan
beberapa kendaraan, jumlah rombongan lebih kurang 80 orang. Mereka datang tidak melewati jalan utama desa yang melewati Dusun Balong, tetapi melewati jalan
alternatif yang langsung menuju Dusun Bangkerep. Rombongan tersebut tidak memberitahukan kedatangannya terlebih dulu kepada perangkat desa, sehingga saat
rombongan tiba dan langsung menuju rumah anggota MTA bernama Loso.
153
Dokumen desa Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong,
115
Warga dusun terkejut dan menanyakan maksud kedatangan mereka karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan dari perangkat desa. Warga mengajak warga
MTA untuk pergi ke balai desa di Balong. Namun anggota MTA menolak dengan alasan mereka pulang ke rumah sendiri sehingga tidak perlu ke balai desa sehingga
terjadi ketegangan dan perkelahian fisik antar mereka. Keadaan tak terkendali karena massa makin banyak dan warga MTA akhirnya naik kendaraan menuju ke balai desa
dan diarak ke balai desa oleh ratusan warga Bangkerep. Tiba di balai desa, warga melarang wakil rombongan menemui kepala desa. Namun, kepala desa bersama
aparat keamanan tetap menemui rombongan MTA tersebut dan menyatakan bahwa dengan alasan keselamatan mereka diminta kembali ke Solo. Warga anggota MTA
pun akhirnya kembali ke Solo.
154
Kejadian penolakan warga terhadap warga MTA yang hendak pulang ke Bangkerep tersebut terjadi sampai tiga kali. Kedua belah pihak bersikukuh dengan
prinsip masing-masing. Di satu sisi, warga tetap bersikeras agar warga MTA mau menjalankan tradisi. Menurut Pak Kamituwo Saji:
Nek warga, nak gelem kajatan yo ora popo. Mbok teko ngomah berkate pakakne pitik ora popo. Kono atine kan mboten purun. Sampai matipun
nggak mau ”.
Kalau bagi warga, kalau tidak mau ikut kenduri tidak apa-apa. Kalau sampai rumah nasinya diberikan kepada ayam pun tidak apa-apa. Mereka anggota
MTA tidak mau. Sampai mati pun tidak mau menerima.
154
Dokumen desa, Laporan penolakan kedatangan warga MTA di dusun Bangkerep oleh warga setempat, tertanggal 15 September 2003
116
Setelah beberapa kejadian konflik terbuka tersebut, upaya rekonsiliasi dilakukan oleh aparat keamanan bersama pihak pemerintahan. Berangsur-angsur warga MTA
yang berada di Solo kembali ke Bangkerep, termasuk Wakidi yang dianggap warga sebagai tokoh MTA di dusun tersebut.
2. Satu Dusun Dua Masjid