Tujuan dan Manfaat Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

8

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian: 1. Mengetahui sejauh mana fenomena globalisasi di bidang ekonomi, sosial, dan budaya berpengaruh terhadap latar belakang perubahan orientasi keagamaan masyarakat Dusun Bangkerep dari masyarakat yang sebelumnya masih teguh menjaga tradisi lokal Abangan ke Islam puritan 2. Mengetahui makna perubahan dan konsekuensi individu maupun sosial dari perubahan orientasi keagamaan masyarakat dusun Bangkerep dalam konteks identitas baru mereka sebagai umat Islam yang mengamalkan keyakinan mereka secara murni yang bersumber dari sumber utama Islam, yaitu Al Quran dan Hadits. Manfaat Penelitian : 1. Memberi gambaran dan pemahaman tentang pola perubahan orientasi keagamaan dalam suatu komunitas dalam relasi mereka dengan dunia. 2. Memberi gambaran sejauh mana globalisasi berdampak pada upaya suatu komunitas dalam memelihara, mempertahankan atau bahkan meninggalkan tradisi yang ada di komunitas mereka. 3. Memberi sumbangan pada kajian akademik yang berhubungan dengan agama, masyarakat dan perubahan-perubahan di tingkatan global. 9

D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

Wacana kembali ke Al Quran dan Hadits secara murni serta penerapan nilai- nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan menjadi tema pokok dalam gerakan Islam di Indonesia maupun global. Dalam berbagai literatur, fenomena tersebut ditandai dengan munculnya berbagai kelompok yang mengusung tema Islam dengan bermacam sebutan seperti puritanisme Robert D Lee, 1997; Khaled Abou El Fadl, 2005, revivalisme John Esposito, 1992; RH Dekmejian, 1988, fundamentalisme Oliver Roy, 1994, Islam politik Graham R Fuller, 2003 dan sebagainya. Ide pemurnian Islam yang mendasari fenomena kebangkitan Islam dalam skala global merujuk pada munculnya gerakan kaum Wahhabi di Arab Saudi yang terinspirasi dari pemikiran Muhammad ibn Abd al Wahhab w.1206 H1792 M. Gerakan ini sangat gencar dalam memerangi tradisi-tradisi masyarakat Arab yang mereka anggap bid‟ah menyimpang serta berbagai perilaku umat Islam yang tidak mencerminkan nilai Islami. Gerakan ini kemudian mendasari munculnya gerakan reformisme oleh Jamaludin Al Afghani 1839- 97, Muhammad „Abduh 1849-1905 dan muridnya Rashid Rida 1865-1935 yang mendukung pemikiran modernisme dalam Islam. Pada periode berikutnya, pada rentang waktu 1970 sampai 1980, terjadi fenomena kebangkitan Islam yang berorientasi politik yang dipelopori oleh Hasan Al Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir 1906-1948 atau Abu A‟la Al Mawdudi 1903-1978 yang mendirikan Jamaat-i Islami di Pakistan. Gerakan ini 10 terutama menginginkan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, terutama di bidang politik. Melalui beberapa tahapan dan diwakili oleh munculnya berbagai gerakan atau kelompok, fenomena kebangkitan Islam global memiliki benang merah yaitu ketika dihadapkan pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat global. Menurut Ira M Lapidus, gerakan Islam kontemporer merupakan respon sekaligus reaksi terhadap kondisi-kondisi modernitas, -sentralisasi kekuasaan negara atau perkembangan ekonomi kapital serta kemajuan teknologi- di mana penekanan pada nilai-nilai keislaman bukanlah cara untuk kembali ke masa lalu tetapi sebaliknya usaha untuk mengatasi persoalan sosial kontemporer dengan cara peneguhan kembali pada nilai- nilai prinsip dalam Islam Lapidus: 1997. Sementara Robert D. Lee melihat bahwa gerakan purifikasi muncul bukan semata karena aspek doktrinal Islam tetapi dipengaruhi oleh faktor sosio-politik umat Islam di mana kebutuhan penemuan kembali Islam di negara-negara ketiga merupakan jawaban atas kegagalan developmentalisme, liberalisme dan modernism, di mana kalangan yang menolak ketiga isme tersebut berusaha untuk melawan dengan berpegang pada konsep keotentikan atau kemurnian Lee, 1997:2-3. Dalam konteks Indonesia, puritanisme terkait erat dengan tarik-menarik antara upaya untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam dengan pihak yang bersikap akomodatif terhadap budaya lokal. Sebagai wilayah dengan keragaman dan kekayaan budaya, maka Islam dianut oleh masyarakat Indonesia dengan beragam ekspresi, 11 terutama pemahaman dan praktek Islam yang akomodatif terhadap budaya lokal. Gerakan puritanisme muncul sebagai reaksi terhadap situasi tersebut, yang dimulai ketika sejumlah orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan memiliki akses terhadap ajaran Islam yang dianggap asli. Kaum puritan ini berupaya untuk mengajak umat Islam kembali ke sumber dasar utama Islam yakni Al Quran dan Hadits dan meninggalkan berbagai praktek yang tidak Islami seperti bid ‟ah inovasi, khurafat mistisisme dan takhayul. Dalam perkembangannya gerakan puritanisme tidak hanya upaya pemurnian Islam dengan dari budaya lokal, tetapi berkembang ke arah proses revitalisasi Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk politik praktis. Kajian tentang gerakan puritanisme yang cukup komprehensif di Indonesia dijelaskan oleh Yon Machmudi yang menjelaskan gerakan puritanisme di Indonesia muncul dalam beragam model, yakni revivalisme, modernisme dan konservatisme. Gerakan revivalisme berupaya melakukan purifikasi tanpa kompromi dalam menjalankan praktek Islam yang sesuai dengan sumber hukum Islam Al Quran dan Hadits. Gerakan ini diwakili oleh Gerakan Padri di Sumatera Barat yang dengan keras menentang adat yang bertentangan dengan Islam termasuk dengan menghukum siapapun yang menolak menjalankan aturan atau syariat Islam. Pada masa berikutnya yakni tahun 1923 di Bandung berdiri organisasi Persatuan Islam Persis yang mendeklarasikan sebagai agen pemurnian Islam melalui dakwah dan pendidikan. Sebagai organisasi kader, Persis berupaya membangun komunitas Islam yang 12 berkomitmen menjalankan Islam secara murni tanpa terkontaminasi elemen di luar Islam. Sementara kelompok modernis melakukan upaya purifikasi dengan mengajak umat Islam meninggalkan praktek-praktek non-Islami yang tidak rasional dan menggunakan Al Quran dan Hadits sebagai dasar untuk menjalani kehidupan di dunia modern. Di Indonesia kelompok ini direpresentasikan oleh Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 di Yogyakarta. Dengan kata lain penerimaan terhadap kehidupan modern mensyaratkan ijtihad, yakni penggunaan akal dalam melakukan tafsir terhadap kedua sumber hukum tersebut. Dalam prakteknya, Muhammadiyah banyak bergerak di bidang pendidikan dan layanan sosial. Kelompok konservatif adalah mereka yang berasal dari gerakan revivalis yang bertujuan mempraktekkan Islam secara ketat sesuai dengan model kehidupan Nabi Muhammad dan sahabatnya. Mereka juga disebut kelompok Salafi. Mereka menciptakan kantong-kantong komunitas enklaf yang ekslusif untuk hidup sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi dan sahabatnya, termasuk dalam hal berpakaian, berkeluarga, makan dan minum. Dalam perkembangannya kemudian muncul kelompok Jamaah Tarbiyah yang berupaya mempromosikan ajaran Islam dalam berbagai aspek dan mewujudkannya melalui politik praktis. Jamaah Tarbiyah ini merupakan embrio dari Partai Keadilan PK yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera PKS. 4 Fokus tesis ini adalah perubahan sosial atau globalisasi sebagai faktor yang mengubah orientasi beragama dan identitas suatu komunitas atau individu. Hipotesis 4 Yon Machmudi, Islamising Indonesia, The Rise of Jamaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party., edisi digital library http:press.anu.edu.autitlesislam-in-southeast-asiaislam_indo_citation , ANU Press: 2008, hal 53-63 13 yang penulis kemukakan adalah bahwa globalisasi menghilangkan kepercayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau individu dan digantikan dengan cara lain di mana mereka memperoleh kepastian atau keamanan di tengah kehidupan global. Di sisi lain, globalisasi juga berpengaruh terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku merupakan cara untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut. Ada beberapa teori yang membahas globalisasi dan identitas, makna dan dampaknya terhadap masyarakat. Roland Robertson 1992 mengatakan globalisasi adalah the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole. 5 Globalisasi membuat dunia menjadi tempat yang tunggal dan menghilangkan otonomi aktor dan segala sesuatu yang berada dalam pusaran globalisasi dibatasi untuk memposisikan diri dan mendefinisikan identitasnya. 6 Oliver Ray 2007 mengatakan bahwa globalisasi menciptakan dunia yang lebih kompleks dan cair di mana hidup di era globalisasi menciptakan suatu identitas campuran. John Tomlinson 1999 menjelaskan bagaimana : “… the globalization of mundane experience may make a stable sense of “local” cultural identity including national identity increasingly difficult to maintain, as our daily lives become more and more interwoven with, and penetrated by, influences and experiences that have their origins far away. 7 Globalisasi juga mengubah koneksi antara identitas dengan tempat geografis yang sebelumnya saling berkaitan dan mengubah hal tersebut lewat 5 Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London: 1992, Sage, hal. 8 6 Roberston, ibid, 29 7 John Tomlison, Localization and Culture, Cambridge: 1999, Polity Press, hal. 113 14 penyebaran kebudayaan yang berbeda-beda, mobilisasi orang dari satu tempat ke tempat lain, serta mekanisme pasar yang memudarkan kebudayaan lokal dan kemudian mengubah identitas individu. Namun alih-alih menghancurkan, globalisasi adalah kekuatan penting dalam menumbuhkan identitas kultural. 8 Manuel Castells 1997 mengatakan bahwa kehidupan saat ini dibentuk oleh kecenderungan konflik antara globalisasi dan identitas. 9 Globalisasi menciptakan apa yang disebut „the widespread surge of powerful expressions of collective identity that challenge globalization. ” 10 Identitas menurut Castells adalah sumber makna dan pengalaman. 11 Untuk menjelaskan faktor penyebab meningkatnya gairah keagamaan masyarakat bercorak Abangan di pedesaan menjadi Islam puritan dan pemaknaan identitas mereka, penelitian ini didasarkan pada pemikiran Anthony Giddens tentang masyarakat post-tradisional sebagai konsekuensi dari modernitas dan globalisasi yang mempengaruhi masyarakat dan tradisi yang mereka miliki. Giddens 1991 mendefinisikan globalisasi sebagai „the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa‟. Konsep Giddens mengenai time-space distanciation menjelaskan bahwa interaksi dan relasi sosial di dunia pada hari ini tidak tergantung pada kehadiran fisik dalam lokasi tertentu, sejak teknologi memfasilitasi dan membuat relasi serta interaksi di dunia tidak lagi tergantung pada 8 John Tomlison, Globalization and cultural identity, Held D dan Mc Grew, A, “The Global Transformations Reader ”, Oxford: 2003, Polity Press, hal 269-277. 9 Manuel Castells, The Power of Identity Malden. MA: 1997, Blackwell, hal. 1 10 Castells, ibid, hal 2 11 Castells, ibid, hal 6 15 kehadiran fisik dalam lokasi tertentu dan membuat hubungan yang semakin erat antara “…orang lain yang “tidak hadir”, yang secara lokasi berjauhan pada situasi apappun” 12 Dalam Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age 1991, Giddens menjelaskan bahwa modernitas adalah suatu tatanan post- tradisional di mana pertanyaan “bagaimana seharusnya saya hidup” merupakan pertanyaan yang harus dijawab dan diputuskan dalam kehidupan sehari-hari tentang bagaimana berperilaku, pakaian apa yang harus dikenakan, apa yang harus dimakan dan pertanyaan-pertanyaan lainnya serta bagaimana memaknainya dalam proses perkembangan identitas diri yang terus berlangsung. 13 Masyarakat post-tradisional adalah masyarakat yang mempertanyakan nilai-nilai dan sudut pandang tradisional; “Apa yang harus dilakukan? Bagaimana seharusnya bertindak? Harus menjadi apa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan hal yang penting bagi setiap orang yang hidup dalam situasi modern. 14 Dengan kata lain, masyarakat post-tradisional adalah masyarakat yang mengalami “ketidakpastian yang diciptakan” sebagai konsekuensi dari modernitas. Situasi ini merujuk pada ketidakpastian yang dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan serta intervensi manusia terhadap kehidupan sosial dan alam –terutama melalui kemajuan teknologi 12 Anthony Giddens, The Consequences of Modernity. Cambridge: 1990, Polity Press, hal. 18 13 Anthony Giddens, Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age. Cambridge: 1991, Polity Press, hal. 14 14 Giddens, ibid, 70 16 komunikasi- sehingga menciptakan masyarakat kosmopolitan yang terhubung satu sama lain globalizing cosmopolitan society dan pada akhirnya menyebabkan tradisi yang sebelumnya menjadi pegangan di masyarakat menjadi terbuka untuk dipertanyakan. 15 Lalu ketika globalisasi menghilangkan nilai-nilai tradisional, maka identitas ”..has to be created and recreated on a more active basis than before”. 16 Pada tahap inilah muncul yang disebut oleh Giddens sebagai fundamentalisme, yakni ketika individu mencari atau menciptakan ulang tradisi lain sekaligus meneguhkan identitas diri mereka di tengah pusaran globalisasi. Kelompok fundamentalis menurut Giddens berkeinginan untuk kembali kepada teks-teks suci dan membacanya secara literal dan berupaya menerapkan doktrin tersebut dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. 17 Ada beberapa kata kunci dari pemikiran Giddens mengenai masyarakat post- tradisional yang akan digunakan dalam tesis ini, antara lain; modernitas dan globalisasi, kepercayaan, resiko dan keamanan ontologis, detradisionalisasi dan refleksifitas. 1. Modernitas dan Globalisasi Modernitas menurut Giddens adalah suatu kondisi masyarakat pasca tradisional yang dicirikan oleh tiga hal, yaitu pemisahan ruang dan waktu; 15 Chantal Mouffe, On The Political, Thinking in Action. Routledge, 2005, hal. 242. 16 Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil dari http:news.bbc.co.ukhienglishstaticeventsreith_99week3week3.htm. Tulisan ini merupakan salah satu dari beberapa kuliah Anthony Giddens yang kemudian dibukukan dengan judul Runaway world: How Globalization Reshaping Our Lives. Di Indonesia diterbitkan dengan judul Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S., Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 17 Giddens, ibid, paragraf 31 17 keterlepasan dari institusi sosial yang ditandai dengan adanya pertukaran simbolik uang dan sistem ahli, serta refleksifitas institusi. 18 Dalam masyarakat pramodern, waktu selalu berkaitan dengan ruang dan biasanya tidak ada ketepatan dalam pengukuran waktu, sementara dalam masyarakat modern ukuran waktu dibakukan standardized dan hubungan antara ruang dan waktu menjadi terputus. 19 Dalam masyarakat pramodern, ruang ditentukan oleh kehadiran secara fisik, sementara modernitas membuat ruang dilepaskan dari tempat sehingga memungkinkan orang masih bisa berhubungan meski berjauhan secara fisik. 20 Giddens menyebutkan istilah phantasmagoric , yaitu “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat terjadinya peristiwa itu”. 21 Sementara keterlepasan disembedding menurut Giddens berarti “terangkat”nya hubungan sosial dari konteks lokal dan perubahannya yang melintasi ruang dan waktu yang tak terbatas. 22 Keterlepasan ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu tanda simbolik dan sistem keahlian. 23 Contoh tanda simbolik yang paling terkenal adalah uang yang memungkinkan setiap orang berhubungan dalam konteks ekonomi meski berjauhan. Sementara 18 Giddens, Modernity and Identity, 20 19 Ritzer, G Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Tr. Alimandan. Jakarta: 2004, Kencana, hal. 555 20 Ritzer, Goodman, ibid, 555 21 Ritzer, 555; lihat juga Giddens, Consequences of Modernity, 19 22 Giddens, Consequences of Modernity, 21. 23 Ibid, 22 18 sistem keahlian bisa dilihat dari beragamnya profesi seperti pengacara, dokter, insinyur yang menciptakan mesin dan seterusnya. Refleksifitas sebagai ciri modernitas bermakna “praktek sosial yang terus menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis dan dengan demikian mengubah ci ri modernitas itu”. 24 Dengan kata lain, dunia modern memiliki kecenderungan untuk memahami seluruh aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh pengalaman diri sendiri dan orang lain yang mempengaruhi sudut pandang dan pemahaman terhadap dunia itu sendiri. Konsekuensinya, apa saja menjadi terbuka untuk direfleksikan dan dipertanyakan, sehingga terjadi ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat modern. Dalam tahap selanjutnya, modernitas kemudian menyebar luas. 25 Proses penyebarluasan modernitas itu disebut globalisasi, yaitu intensifikasi atau penguatan relasi-relasi sosial di seluruh dunia yang menyambungkan lokalitas-lokalitas melalui suatu cara di mana momen-momen yang terjadi di wilayah yang berjauhan saling mempengaruhi satu sama lain. 26 Globalisasi adalah suatu proses yang mempengaruhi atau secara dialektis berhubungan dengan aspek kehidupan sehari-hari dari kehidupan manusia, yang disebut 24 Ibid, 38 25 Ibid, 63 26 Ibid, 64 19 Giddens sebagai keintiman, yang mempunyai peran penting dalam relasi- relasi personal yang dipengaruhi oleh situasi-situasi global. 27 Selain ekonomi, globalisasi terjadi pada seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu politik, teknologi dan budaya yang tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi yang dimulai sejak akhir abad 1960. 28 Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tidak hanya mempermudah hubungan masyarakat, tetapi juga mengubah keseluruhan kehidupan masyarakat global sampai pada lingkupnya yang paling kecil, yaitu individu. Menurut Giddens, globalisasi bukanlah fenomena “diluar sana”, jauh dan terpencil dari individu, melainkan fenomena “di sini” yang mempengaruhi kedekatan dan aspek personal dalam kehidupan manusia. 29 Sebagai contoh, globalisasi mempengaruhi tatanan keluarga tradisional yang bertransformasi, seperti misalnya perubahan peran perempuan dalam keluarga menjadi lebih setara sebagai suatu fenomena yang sangat luar biasa dan revolusioner dalam sejarah masyarakat. 30 Dalam aspek budaya, globalisasi telah menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan sirkulasi barang-barang dan konsumsi di seluruh dunia. Fenomena tersebut menurut Giddens bisa dilihat 27 Anthony Giddens, Living in Post Traditional Society, Beck, Giddens Lash, ed. “Reflexive Modernization” Cambridge: Polity, 1994, hal. 95 28 Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 12, diambil dari http:news.bbc.co.ukhienglishstaticeventsreith_99week1week1.htm. 29 Ibid, paragraph 17 30 Ibid, paragraph 17 20 dari adanya kesamaan minat orang-orang dalam bidang musik, makanan, fashion, olahraga dan sebagainya. 31 2. Kepercayaan trust, Resiko risk dan Keamanan Ontologis ontological security. Kepercayaan merupakan hal penting bagi kehidupan masyarakat modern. Giddens mendefinisikan kepercayaan sebagai “...kepercayaan terhadap keandalan realiability seseorang atau sistem yang berhubungan dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu dan kepercayaan itu menyatakan keyakinan terhadap kejujuran atas kecintaan orang lain atau terhadap kebenaran prinsip- prinsip abstrak pengetahuan teknis”. 32 Dalam hal ini, kepercayaan terjadi melalui adanya pemisahan ruang dan waktu serta sistem abstrak pertukaran simbolik dan keahlian sebagai ciri modernitas yang dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh adalah penggunaan uang sebagai alat tukar yang membutuhkan kepercayaan dari orang-orang yang menggunakannya. Pada sisi lain, kepercayaan masyarakat modern juga dibayang-bayangi oleh resiko. Globalisasi sebagai perluasan modernitas memunculkan kesadaran terhadap resiko. Menurut Giddens, modernitas adalah kultur yang beresiko, di mana modernitas pada satu sisi mengurangi resiko pada bidang 31 Anthony Giddens, Sociology, Fifth Edition. Cambridge: 2005, Polity Press, hal. 63 dan 130 32 Giddens, The Consequences of Modernity, hal 34 21 dan gaya hidup tertentu tetapi pada saat yang sama memperkenalkan parameter resiko baru yang sebagian besar tidak pernah dikenal pada era sebelumnya. 33 Resiko menurut Giddens pada bahaya yang secara aktif diperkirakan berkaitan dengan kemungkinan yang akan terjadi, hanya ada dalam masyarakat yang berorientasi ke masa depan, yang melihat masa depan sebagai wilayah yang harus ditaklukkan atau dikuasai, masyarakat yang aktif berusaha melepaskan dirinya dari masa lalu. 34 Konsep resiko menurut Giddens merupakan pengganti dari berbagai konsep tentang nasib, keberuntungan atau takdir pada masyarakat tradisional. Ada dua jenis resiko menurut Giddens, yaitu resiko eksternal yang berasal dari alam, sementara resiko yang diciptakan mengacu pada dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan campur tangan manusia dalam kehidupan. 35 Kepercayaan yang dibangun masyarakat modern dibutuhkan untuk meminimalisir resiko yang mungkin timbul dan selanjutnya menciptakan apa yang disebut Giddens sebagai Keamanan Ontologis Ontological Security. Menurut Giddens, keamanan ontologis adalah suatu „keyakinan yang dimiliki manusia terhadap kontinuitas identitas diri dan stabilnya lingkungan material 33 Giddens, Modernity and Self-Identity, 3-4 34 Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 2 Risk, BBC Reith Lecture, paragraph 7, diambil dari http:news.bbc.co.ukhienglishstaticeventsreith_99week2week2.htm 35 Ibid, paragraph 14 22 dan sosial yang melingkupi tindakan manusia. 36 Menurut Giddens, pencapaian terhadap kepercayaan dibutuhkan seseorang untuk memelihara kesejahteraan psikologis dan menghindari kecemasan eksistensial. 37 3. Detradisionalisasi. Dunia saat ini semakin tanpa batas sebagai akibat dari kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga masyarakat mendapatkan banyak informasi. Akibatnya, tradisi yang semula bagi masyarakat menjadi kerangka tafsir dan pemaknaan terhadap kehidupan menjadi tersisih. Giddens menyebutnya sebagai proses detradisionalisasi. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi, tetapi tradisi masih tetap ada bahkan hidup dan berkembang dalam konteks yang berbeda. 38 Tegasnya, tradisi bukan lagi satu- satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan-istilah Giddens- status baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain. 39 Tradisi sendiri menurut Giddens berkaitan dengan ingatan –mengutip Maurice Halbwachs ingatan kolektif. Tradisi melibatkan ritual dan berkaitan dengan gagasan formulaik tentang kebenaran, memiliki para penjaga dan 36 Giddens Consequence hal 92 37 Giddens, Modernity and Self Identity, hal 38-39 38 Ibid, hal 100 39 I Wibowo, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http:www.unisosdem.org 23 memiliki daya ikat terhadap kandungan moral dan emosional. 40 Sumbangan yang khas dari Giddens tentang tradisi adalah berkaitan dengan ruang dan waktu. Bagi Giddens, tradisi adalah cara mengontrol waktu melalui tindakan, atau menghadirkan masa lalu di masa sekarang melalui ritual-ritual. Dengan kata lain, tradisi adalah cara untuk mengorganisir masa lalu, kini dan masa depan dalam konteks masyarakat tradisional. Sebaliknya, globalisasi adalah tindakan mengendalikan ruang dengan cara mengendalikan waktu. Globalisasi dengan demikian meniadakan jarak, atau menurut Giddens adalah suatu “tindakan di ruang yang berjauhan”. 41 Tradisi menurut Giddens juga media identitas. 42 Identitas disini terkait dengan pemaknaan, baik secara personal atau kolektif. Identitas adalah suatu proses menciptakan keterhubungan antara masa lalu dengan masa depan yang akan datang. Dalam semua masyarakat, memelihara identitas personal dalam kaitannya dengan identitas sosial merupakan kebutuhan utama demi menjaga keamanan. Ancaman kepada integritas tradisi merupakan ancaman kepada integritas personal tersebut. 43 40 Anthony Giddens, Living in a Post-Traditional Society, 63 41 Ibid, 96 42 Ibid, 80 43 Ibid., 24 4. Refleksifitas reflexifity. Refleksitas berarti proses diri individu yang melakukan monitoring dan refleksi atau permenungan terus menerus terhadap berbagai informasi mengenai berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupannya. Menurut Giddens, refleksifitas dalam kehidupan sosial modern, “consists in the fact that social practices are constantly examined and reformed in the light of incoming information about those very practices, thus constitutively altering their character‟ Anthony Giddens, 1990: 38. Menurut Giddens, refleksifitas merupakan karakteristik mendasar dari semua aktifitas manusia. Giddens menyebutkan istilah Tindakan Monitoring Refleksif Reflexive Monotoring Action dalam arti semua manusia selalu bersentuhan atau berurusan dengan dasar dari setiap tindakannya sebagai suatu elemen integral dari tindakan tersebut. 44 . Monitoring refleksif merujuk pada kemampuan agen untuk memonitoring tindakan sekaligus konteks dan latar belakang dari tindakannya tersebut. Monitoring sebagai karakter esensial dari agen berarti merasionalkan atau mengevaluasi keberhasilan dari setiap upaya yang dia lakukan. Rasionalisasi dalam hal ini terkait dengan pengetahuan, merujuk pada kompetensi atau kemampuan agen dalam mencari alasan dari setiap tindakannya. 44 Giddens, The Consequences of Modernity, hal. 36 25 Proses permenungan reflexivity ini berpengaruh terhadap pembentukan identitas. Proses konstruksi identitas diri menurut Giddens merupakan suatu proyek yang mensyaratkan bahwa identitas senantiasa dibentuk dan berubah. Identitas diri bukanlah hasil dari sistem tindakan individu, melainkan sesuatu yang harus terus menerus diciptakan dan dipelihara dalam tindakan permenungan individu. Giddens, 1991:52 Identitas diri menurut Giddens juga bukanlah sifat atau karakter, melainkan pemahaman permenungan yang dimiliki individu mengenai biografinya sendiri Giddens 1991: 53. Identitas seseorang juga tidak bisa ditemukan dari perilaku atau reaksi terhadap keberadaan liyan, melainkan kemampuan untuk to keep a particular narrative going. Giddens 1991: 54. Dengan kata lain Giddens menekankan pada tantangan yang dihadapi individu dalam hal banyaknya pilihan yang dihadapi yang kemudian berpengaruh terhadap identitas diri melalui pembentukan narasi tentang dirinya sendiri. Narasi mengenai identitas ini terutama berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukan, dan harus menjadi siapa. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut individu berusaha mengkonstruksi cerita yang saling berkesinambungan di mana „diri membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu untuk menuju masa depan‟Giddens, 1991:75. 26 Di sisi lain, refleksifitas menurut Giddens juga cenderung pada perasaan lebih ke pertimbangan operasional, bagaimana cara untuk ini dan itu? Proses ini sangat terkait dengan detradisionalisasi yang dijelaskan sebelumnya. Ketika tujuan dan makna hidup tidak lagi didapat dari kode tradisional, maka individu berpaling pada hal yang lebih pasti. Pada tahap kekosongan ini individu mengkonstruksikan dirinya melalui pilihan-pilihan tujuan kehidupan yang diciptakan kehidupan modern. Dengan kata lain dalam kehidupan tradisional berbagai kehidupan seperti pekerjaan menikah pendidikan anak, hiburan dan lainnya diatur secara rutin tetapi penuh makna melalui kode moral tradisional, tetapi dalam masyarakat yang mengalami detradisionalisasi semua mekanisme pengaturan sosial terhadap individu menjadi lemah, dan orang dipaksa menghadapi situasi yang memaksa mereka membuat pilihan, untuk memutuskan karir, gaya hidup, cara mendidik anak dan sebagainya. Lalu “…Ketika tradisi tergeser, dan pilihan gaya hidup merajalela, identitas-diri diciptakan dan dibuat ulang dalam bentuknya yang lebih aktif dari sebelumnya.” 45 Penelitian ini akan dikembangkan dalam kerangka teori tersebut di atas, di mana perubahan orientasi keagamaan masyarakat di dusun Bangkerep yang memiliki kencenderungan budaya abangan atau muslim nominal beralih menjadi Muslim 45 Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 3 Tradition, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil dari http:news.bbc.co.ukhienglishstaticeventsreith_99week3week3.htm 27 puritan dipahami dalam kerangka sebagai berikut; 1 bahwa perubahan sosial politik dan ekonomi yang terjadi dalam konteks global dan nasional mempengaruhi tatanan dan ikatan tradisional di Bangkerep yang selama ini menjadi acuan dalam kehidupan individu di dalamnya. Proses perubahan sosial tersebut terjadi melalui instrumen- instrumen yang menjadi ciri dari modernitas dan globalisasi antara lain kebijakan pembangunan dari negara serta didukung oleh perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan ide dan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. 2 Perubahan tersebut membuat sekelompok individu di Bangkerep mengalami kegamangan dan mempertanyakan berbagai tatanan tradisional yang selama ini mereka yakini untuk selanjutnya menjadikan tradisi lain –dalam hal ini pemahaman dan praktek keagamaan yang ketat- sebagai upaya mencari stabilitas dan menemukan identitas baru dalam kehidupan modern saat ini.

E. Metodologi Penelitian