143
yang rasional, di mana sebuah organisasi semakin mampu menghubungkan satu wilayah tertentu dengan wilayah lain di dunia yang saling berjauhan sehingga dengan
demikian organisasi modern dapat menjangkau dan mempengaruhi banyak orang. Ketika seorang warga anggota MTA di dusun Bangkerep melepaskan diri dari ikatan
tradisional dengan meninggalkan praktik-praktik leluhur mereka, pada saat yang sama mereka mendefinisikan diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar,
yaitu umat Islam yang melaksanakn ajaran Islam secara murni dan Kaffah. Struktur hirarkis MTA sebagai organisasi modern memungkinkan
pengendalian anggotanya yang tersebar di seluruh Indonesia termasuk di Bangkerep melalui berbagai aturan yang ketat. Seorang warga MTA di dusun Bangkerep cukup
menjadi bagian dari komunitas Islam yang murni tanpa harus bertemu dengan rekannya sesama anggota di tempat lain. Jadi lokalitas dipengaruhi oleh aktifitas di
kejauhan, dan apa yang membentuk lokal itu tidak hadir dalam aktifitas sosial individu atau masyarakat yang bersangkutan. Jarak ditiadakan antara Bangkerep
dengan Surakarta, karena mereka menjadi satu bagian dari komunitas yang lebih
besar. Sementara berbagai aturan dan kode etik anggota membuat seseorang warga
MTA di Bangkerep mematuhi perintah dari dunia luar dirinya.
4. Antara Kamituwo dan Ustadz
Pak Saji menjadi Kamituwo pada tahun 2002. Sebagai Kamituwo, pak Saji berperan tidak hanya dalam konteks administrasi, tetapi lebih sebagai status kultural.
144
Ia yang memimpin upacara sedekah bumi, bersama dengan mbah Modin. Dalam konteks tatanan masyarakat tradisional, mereka adalah penjaga guardian, yakni
orang yang dianggap dan dipercaya memiliki akses terhadap kebenaran dan makna dari suatu kepercayaan kosmologis tertentu.
Salah satu ciri sekaligus dampak dari modernitas adalah mekanisme pencabutan disembedement yang salah satunya ditandai kemunculan sistem ahli.
Tokoh kultural tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan, justru sebaliknya muncul tokoh yang memiliki keahlian
tertentu. Dalam hal ini ahli direpresentasikan oleh ustadz atau guru yang memiliki kemampuan dan pengetahuan agama. Di Bangkerep, kehadiran ahli direpresentasikan
oleh Ustadz Suradi dan Ustadz Suwanto, selain di tingkatan pusat adalah ketua MTA Ustadz Ahmad Sukino. Sebagi pemimpin organisasi, keduanya memiliki otoritas
formal yang menjalankan organisasi dan mengawasi anggotanya selain bertugas untuk memberi ceramah di Bangkerep dan desa-desa lain yang memiliki anggota MTA.
Dalam konteks ini berlaku apa yang dimaksud Giddens sebagai ciri modernitas yakni otoritas tradisional sebagai penjaga digantikan oleh Ustadz yang
ahli agama. Ustadz dalam konteks MTA sebagai gerakan purifikasi adalah expert system. Posisi mereka berbeda dengan kiai dalam arti kultural karena Ustadz lebih
berfungsi sebagai pihak yang menginterpretasikan teks secara harfiah atau literal. Dalam pandangan Weber, puritanisme adalah rasionalisasi yang ditandai dengan dua
hal, yakni disenchanment yaitu penghilangan semua prosedur magis serta methodism,
145
yaitu pencarian jalan hidup yang ketat dan konsisten.
164
Seorang puritan adalah orang yang merasionalkan segala tindakannya dan melepaskan diri dari ritual-ritual non
rasional dan kos mologis, yang disebut Weber sebagai “rationalization of conduct
within the world, but for the sake of the world beyond”.
165
Expert system dalam pandangan Giddnes merefleksikan tema utama dari Pencerahan Eropa yang
didasarkan pada pengetahuan sains dan rasionalitas yang menjinakkan dunia dan mengatasi dogma tradisi Giddens, 1991:14-21, 28.
Menurut Giddens, pada dasarnya penjaga dan ahli memilik kesamaan. Namun ada perbedaan yang tegas antara penjaga dengan ahli. Ketika pak Saji memimpin
sedekah bumi, ia berdoa sambil memegang seikat merang di bawah pohon besar. Doanya tidak diikuti oleh warga yang lain yang hanya diam menunggu, di mana
dalam hal ini hal ini seorang penjaga adalah otoritas yang memiliki kualitas dan akses yang tidak dikomunikasikan ke pihak lain, dalam hal ini para pengikut.
Penjaga memiliki karakter yang tidak dimiliki ahli, yakni status, sementara ahli lebih menitikberatkan pada kompetensi Giddens, 1994:65. Kamituwo bukan
semata jabatan struktural yang membutuhkan kemampuan manajerial, tetapi juga orang yang menduduki posisi kultural dan menjadi yang dituakan sesepuh di dusun.
Itulah sebabnya dalam konteks kompetensi ada warga sering mempertanyakan kepemimpinan Pak Kamituwo yang dianggap lamban dalam mengurus suatu masalah.
164
Harry Redner, Ethical Life: The Past and Present of Ethical Culture, Oxford, 2001, Rowman and Littlefield Publisher, hal. 171-172
165
James Peacock, Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian Islam,,California, 1978, University of California Press, hal. 2
146
Sementara karakter Ustadz sebagai ahli adalah “kompetensi” dalam hal keagamaan. Dalam konteks MTA sebagai organisasi hirarkis, Ustadz Suradi yang
pernah belajar agama di MTA meski dalam waktu singkat ditunjuk oleh pimpinan MTA pusat karena dianggap lebih mumpuni pengetahuan keagamaannya. Ini yang
disebut Giddens di mana posisi ahli bisa dimiliki oleh siapapun yang memiliki waktu dan sumber daya untuk dilatih menjadi ahli. Selain itu ia memiliki tingkat pendidikan
yang lebih baik dibanding warga MTA lainnya. Tidak hanya mampu menjawab setiap persoalan keagamaan, ia juga memiliki kemampuan orasi yang baik dalam
meyakinkan pendengarnya. Lebih jauh lagi posisi Ustadz MTA sebagai sistem ahli dalam konteks
masyarakat modern bisa dilihat dari sistem keahlian yang memiliki ciri ketercabutan, yakni tidak tergantung pada tempat dan menyebar decentred serta akses bukan pada
kebenaran terformulasi melainkan pada pengetahuan. Karakter tidak terpusat decentred bukan berarti bahwa ahli tidak memiliki pusat otoritas, namun dalam hal
ini peran mereka adalah menjaga kode-kode pengetahuan tertentu yang sudah menjadi kesepakatan. Dalam hal ini para Ustadz berperan untuk menjaga kode-kode yang
sudah digariskan oleh struktur MTA mengenai cara menjalankan Islam secara murni dan benar. Ciri ketercabutan juga bisa dilihat dari peran Ustadz Suradi dan Suwanto
yang tidak hanya menjadi pemimpin MTA atau berceramah di dusun Bangkerep saja, tetapi juga berkeliling ke dusun dan desa-desa lain yang memiliki anggota MTA.
Dalam hal ini Giddens mengatakan “...as decentred system, „open‟ to whosever has
147
the time, resources and talent to grasp them, they can be located anywhere. Place is not in any sense a quality relevant to their validity...”, Giddens, 1994: 85. Kondisi
ini tentu berbeda dengan posisi Pak Saji selaku Kamituwo atau Mbah Nurhasim sebagai Modin yang hanya diakui di Bangkerep saja dan tidak bisa menggunakan
otoritasnya di dusun lain. Giddens menyamakan sistem ahli dengan sistem otoritas rasional-legal dalam
pemikiran Weber yang berlawanan dengan otoritas tradisional dalam konteks di mana keduanya menggantikan sistem patrimonial. Otoritas rasional-legal melekat pada
organisasi birokratis dan cenderung mengatur disiplin dan kontrol ketat terhadap organisasi dan anggotanya Giddens, 1994: 82-83. Dalam hal ini posisi Ustadz
Suradi dan Ustadz Suwanto adalah kepanjangan tangan dari struktur hirarkis pusat MTA, di mana tugas mereka tidak sekedar sebagai pemimpin agama, melainkan juga
orang yang mengontrol perilaku anggotanya dalam hal pelaksanaan praktek keagamaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, jika ada anggota
yang melanggar aturan organisasi, bisa mendapat sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Dalam hal ini Giddens menyebutnya sebagai karakter khas keahlian
yang membedakannya dengan otoritas formal-birokratis atau pemerintah, yakni ahli mampu mengubah keterampilan menjadi kewajiban.
148
5. Kelahiran Kembali