Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi Pasca Konflik

119 Perbedaan lainnya adalah ketika shalat Jumat, Khotib penceramah di Masjid Baitun Nahdliyin menggunakan bahasa Jawa. Sementara Khotib di Masjid Al Furqon menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu jika di Masjid Baitun Nahdliyin khotbah Jumat biasanya disampaikan oleh khotib yang berbeda-beda, sementara di masjid milik warga MTA hanya memiliki satu khotib, yaitu Ustadz Suradi yang merupakan ketua MTA Perwakilan Blora yang juga warga di dusun tersebut.

3. Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi Pasca Konflik

Situasi Dusun Bangkerep yang terlihat normal paska konflik beberapa tahun sebelumnya sebenarnya hanya terjadi di permukaan. Di tingkatan bawah warga sebenarnya masih memendam konflik. Menurut Pak Kamituwo Saji, meski kelihatan adem ayem, antara warga dengan warga MTA sebenarnya masih saling plirik-plirikan saling curiga satu sama lain. Dalam beberapa hal, situasi tersebut memang bisa dilihat dalam relasi dan interaksi sehari-hari antara warga dengan warga MTA. Ketika pihak dusun menggelar sedekah bumi di bawah pohon beringin, Pak Kamituwo Saji berinisiatif menggelar acara kesenian di malam hari dengan menampilkan musik rebana yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan tradisi dan nilai keagamaan. Pak Kamituwo meminta seluruh kepala keluarga tanpa kecuali untuk iuran sebagai biaya sewa peralatan dan keperluan lainnya. Di rumah Pak Kamituwo Saji, salah seorang ibu yang bertugas menarik iuran melapor bahwa warga anggota MTA menolak memberikan iuran tersebut, padahal menurutnya kalau ada warga 120 anggota MTA sakit atau meninggal mereka tersebut juga mendapat sumbangan dari warga. Beberapa hari kemudian Wakidi selaku tokoh MTA menemui Pak Kamituwo Saji untuk menjelaskan bahwa warga MTA tidak akan memberikan dana untuk keperluan yang masih ada hubungannya dengan sedekah bumi yang menurut MTA mengandung unsur kemusyrikan. Salah seorang warga, Pak Yatno mengatakan, “Orang Islam kok dimintai sedekah kok tidak mau. Urusan dipakai untuk apa itu terserah.” Sementara warga lainnya, Mas Ratno mengatakan bahwa orang MTA itu tidak bisa hidup bermasyarakat. Di sisi lain, kedua masjid sebagai pusat ibadah masing-masing selain membedakan pemahaman keagamaan yang berbeda juga menjadi tempat untuk bertugar gagasan dalam lingkup internal kelompok tanpa melibatkan pihak lain. Seusai sholat, warga di Masjid Baitun Nahdliyin bercengkerama sambil berbicara banyak hal, mulai dari situasi dusun, pertanian, dan sebagainya. Begitu juga dengan Masjid Al Furqon, di mana warga MTA seusai sholat juga berkumpul dan mengobrol mengenai peristiwa sehari-hari yang mereka alami. Tidak hanya masjid yang berbeda, bahkan warung kopi yang di Bangkerep menjadi ruang publik bersama seolah juga menjadi tempat yang membedakan orientasi keagamaan mereka. Laki-laki Bangkerep umumnya menghabiskan waktu mereka di warung kopi di sebelah selatan dusun. Sementara laki-laki anggota MTA memilih untuk menikmati kopi di sebuah warung yang berdekatan dengan Masjid Al Furqon milik MTA. Jika warga dusun pada umunya menikmati kopi sambil menonton 121 televisi sampai larut malam, merokok, bahkan berjudi kecil-kecilan, warga anggota MTA hanya menikmati kopi dan mengobrol seperlunya lalu pulang kembali ke rumah masing-masing. Bagi warga MTA merokok adalah larangan. Dalam kesehariannya, jika ada warga anggota MTA yang berpapasan dengan warga dusun, mereka hanya menyapa tanpa berbicara banyak. Selain itu, sebagaimana nanti akan dijelaskan di bagian selanjutnya mengenai solidaritas warga MTA, warga MTA juga memilih untuk meminta tolong kepada warga MTA lainnya, misalnya pinjam meminjam barang, uang atau kebutuhan lainnya. Namun dalam beberapa situasi, antara warga dengan warga MTA juga terjadi proses integrasi dan saling memahami perbedaan masing-masing. Dalam upacara pemakaman, misalnya dalam pemakaman Mbah Kariyem, warga MTA yang jelas- jelas menolak kajatan karena tidak ada tuntunannya dalam Islam tetap menunjukkan solidaritasnya. Warga MTA laki-laki memilih untuk menggali kuburan dengan warga lainnya sehingga mereka tidak terlibat dalam prosesi kenduri sebelum pemakaman. Sementara perempuan anggota MTA seusai melayat biasanya langsung pulang ke rumah masing-masing. Integrasi juga terjadi dalam transaksi dan mata pencaharian utama, yaitu bertani. Lazimnya dalam masyarakat, roda ekonomi digerakkan oleh kebutuhan jasa untuk memanen hasil bumi. Ketika warga hendak ndodos atau memanen ubi jalar, biasanya menggerakkan tenaga kerja yang cukup banyak, termasuk warga MTA, begitu pula 122 sebaliknya. Obrolan atau saling tolong menolong biasanya terjadi antara warga dengan warga MTA yang kebetulan sawah atau ladangnya berdekatan. Selain itu, relasi yang lebih akrab antara warga dengan warga MTA biasanya juga mudah terjalin antar ibu atau perempuan warga dusun dengan perempuan anggota MTA. Mereka biasanya berkumpul di gardu dekat rumah Pak Kamituwo Saji untuk mengobrol dan mengasuh anak dan berbicara satu sama lain dengan akrab dan hangat.

4. Konsolidasi MTA Bangkerep sebagai Pusat MTA di Wilayah Blora