Rekonstruksi identitas diri dan masyarakat : studi tentang anggota Majelis Tafsir Al Quran (MTA) Di Blora Jawa Tengah.

(1)

ix

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fenomena gairah kebangkitan Islam yang dialami penduduk di sebuah desa di Blora, Jawa Tengah yang bergabung ke dalam organisasi Islam Puritan yaitu Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang berpusat di Solo, Jawa Tengah. Fokus tesis ini mencoba mendapatkan informasi mengenai faktor yang membuat seseorang yang semula meyakini kepercayaan dan melaksanakan praktek-praktek tradisi lokal berubah menjadi seseorang yang sangat religius dan taat dalam menjalankan ajaran Islam yang murni yang bersumber dari Al Quran dan Hadits. Selain itu tesis ini juga mengeksplorasi sejauh mana proses perubahan orientasi beragama tersebut mempengaruhi identitas diri mereka dalam memaknai dunia yang ada di sekitar mereka.

Kesimpulan dari tesis ini adalah bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam skala global dan berlangsung amat cepat menjadi alasan dibalik perubahan orientasi beragama warga di pedesaan Blora tersebut. Fenomena globalisasi sebagai gejala modernitas telah menghilangkan kepercayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau individu dan digantikan dengan cara lain di mana mereka memperoleh kepastian atau keamanan di tengah berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, globalisasi juga berpengaruh terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku merupakan cara untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut.


(2)

x

ABSTRACT

This study aims at illustrating the rise of puritan religious movement amongst the villagers in Blora, Central Java. The research attempts to investigate the supporting

factors of one‟s belief from the local-sincretic religious practice to a pure religious practice merely based on Quran dan Hadith guidance. Moreover, the research attempts to explore to what extent the transformation affects their self-identity in perceiving the surrounding society.

This thesis conclude that the social transformation and the globalization as the main

factors which change the individual‟s and community‟s religious orientation and self

-identity. The researcher‟s argumentation which also being described in hypothesis that globalization often eliminates people‟s belief on the traditional values and shifts into the more secure and exact values to live in the global world. In addition, globalization gives an impact on the self-identity so that tough and firm religious


(3)

i

REKONSTRUKSI IDENTITAS DIRI DAN

MASYARAKAT

Studi tentang anggota Majelis Tafsir Alquran (MTA)

di Blora Jawa Tengah

TESIS

Diajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk memperoleh gelar

Magister Humaniora (M.Hum.)

Oleh:

SAEFUDIN AMSA

106 322 003

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

(7)

v

KATA PENGANTAR

Tema agama dan pengalaman manusia menjadi hal yang menarik bagi saya. Dalam sejarahnya, agama -baik sebagai institusi atau pengalaman spiritual- banyak bersinggungan dengan berbagai dimensi dalam kehidupan manusia, antara lain politik, kekuasaan, ekonomi, seni dan sebagainya. Selama itu pula persinggungan tersebut menjadi bagian dari proses pembentukan identitas diri manusia.

Dalam beberapa dekade terakhir terjadi perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat. Kehidupan masyarakat global masuk dalam kondisi-kondisi modern dan menjangkau ke seluruh belahan bumi. Globalisasi –suatu fenomena perubahan yang terjadi secara cepat dan merupakan ciri dari modernitas- mempengaruhi tatanan masyarakat serta diri manusia di dalamnya. Agama kemudian menjadi semacam tempat pelarian, terbukti dari maraknya gerakan atau kelompok keagamaan dengan berbagai varian, namun memiliki ciri dan agenda yang sama yakni memperbaiki diri dan masyarakat sebagai respon atas berbagai persoalan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi dan kehidupan modern. Itulah yang menjadi salah satu dasar dari pembuatan tesis ini yakni keberadaan Majelis Tafsir Al Quran (MTA) sebagai organisasi Islam puritan dengan struktur organisasi yang kuat mampu berkembang pesat dan menjangkau masyarakat, terutama di pedesaan.

Sebagai sebuah karya untuk mendapatkan gelar Magister, saya merasa bahwa tesis ini masih jauh dari target dan harapan. Banyak hal yang tidak maksimal karena


(8)

vi

berbagai kendala selama proses penelitian atau di tengah proses penulisan. Meski demikian saya mengapresiasi tesis ini sebagai proses akademis yang akan terus diperbaiki di masa mendatang. Tesis ini juga merupakan hasil dari kerja keras dan dukungan berbagai pihak dan kepada mereka semua saya ingin mengucapkan terimakasih dan mempersembahkan karya ini.

Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada seluruh dosen dan karyawan Universitas Sanata Dharma khususnya program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB). Secara khusus ucapan terimakasih dan penghargaan saya sampaikan kepada dosen sekaligus pembimbing tesis yakni Dr. St. Sunardi. Adalah suatu kebanggaan dan keuntungan tersendiri bagi penulis selama proses penulisan tesis ini karena mendapat bimbingan dari seorang intelektual terkemuka dengan reputasi dan keluasan ilmu di bidang humaniora. Terimakasih yang tulus juga untuk Dr. B Hari Juliawan SJ yang sempat memberi bimbingan di awal penulisan, juga kepada Dr. FX Baskara T Wardaya SJ, Dr. G Budi Subanar SJ, Dr. A Budi Susanto SJ, Dr. Haryatmoko SJ, Dr. Hari Susanto SJ, Prof. Dr. A Supratiknya Dr. Katrin Bandel, Dr. George J Aditjondro, dan seluruh dosen pengampu di IRB. Terimakasih yang sebesar-besarnya untuk mbak Desi di sekretariat IRB yang terus mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan tesis dan memberi dukungan sampai di menit terakhir sebelum ujian.

Tesis ini adalah karya berharga yang bisa saya persembahkan untuk keluarga. Sembah bakti dan doa penulis kepada almarhum ayahanda KH AF Marzuqi yang


(9)

vii

telah mengajarkan dengan caranya sendiri bahwa ilmu pengetahuan adalah kenikmatan paling lezat di muka bumi ini. Terimakasih dan doa kebaikan untuk ibunda Hj. ibunda Siti Zaenab yang senantiasa tekun mendaraskan restunya atas pilihan-pilihan yang saya ambil dalam kehidupan ini. Semoga Allah Swt melimpahkan kebahagiaan dan ketentraman serta melindungi beliau dari segala mara bahaya. Terimakasih juga untuk saudara-saudaraku terkasih dan seluruh keponakan serta kerabat keluarga besar KH AF. Marzuqi untuk doa dan dukungannya.

Lebih khusus lagi, tesis ini saya persembahkan untuk kekasih Ida Fitri Dianingrum untuk pertemanannya di hari-hari yang panjang selama ini. Juga untuk kesabaran dan permaklumannya ketika kuliah dan tesis ini mengorbankan banyak kesempatan dan waktu bersama. Terimakasih untuk bintang kecilku Freya Naury yang tumbuh besar saat penulis sedang menjalani hari-hari di IRB, juga untuk si kecil Kafaa Marzuqi yang hadir di tengah proses penulisan tesis ini.

Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada teman-teman seperjuangan IRB angkatan 2010; mas Windarto yang menjadi satu-satunya hadirin dalam ujian tesis saya, Zuhdi Sang yang diam-diam saya kagumi, kawan Irfan yang hajinya baru sekali, Alwi Atma untuk puisi-puisi dahsyatnya, Mas Benny untuk obrolan-obrolan yang tidak pernah selesai, Gintani dan Lisis yang sering menjadi teman saat terlambat kuliah, pak Mardison dengan khotbah subversifnya, bang Pongkot yang rajin, bang Armando yang mengingatkan saya untuk menggambar lagi, juga Nelly dan Nana serta seluruh teman-teman IRB dari berbagai angkatan lainnya.


(10)

viii

Ucapan terimakasih yang tulus juga saya sampaikan kepada seluruh warga dan perangkat desa Balong, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora Jawa Tengah yang menjadi lokasi penelitian ini. Secara khusus terimakasih kepada Pak Saji selaku Kamituwo dusun Bangkerep dan keluarga yang telah memberikan persinggahan yang nyaman dan ramah, serta kepada warga dusun Bangkerep yang dengan tangan dan hati terbuka menerima keberadaan penulis selama proses penelitian. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pengurus dan keluarga besar Majelis Tafsir Al Quran (MTA) di dusun Bangkerep maupun MTA Pusat atas kesediannya berbagi informasi dan pengalaman yang secara langsung terkait dengan penelitian ini.

Selanjutnya terimakasih kepada keluarga besar Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia yang selama beberapa tahun memberi banyak inspirasi dan energi luar biasa untuk menjaga keseimbangan antara berkarya dan belajar menganalisis persoalan kemanusiaan saat ini. Tesis ini juga saya persembahkan kepada kawan-kawan seperjuangan di Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) seluruh Indonesia, semoga tetap menjadi militan sambil bekerja. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada teman-teman dan keluarga besar SOS Children‟s Village Semarang, yang memberi dukungan di saat-saat akhir tesis ini.

Semarang, 11 September 2014


(11)

ix

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fenomena gairah kebangkitan Islam yang dialami penduduk di sebuah desa di Blora, Jawa Tengah yang bergabung ke dalam organisasi Islam Puritan yaitu Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang berpusat di Solo, Jawa Tengah. Fokus tesis ini mencoba mendapatkan informasi mengenai faktor yang membuat seseorang yang semula meyakini kepercayaan dan melaksanakan praktek-praktek tradisi lokal berubah menjadi seseorang yang sangat religius dan taat dalam menjalankan ajaran Islam yang murni yang bersumber dari Al Quran dan Hadits. Selain itu tesis ini juga mengeksplorasi sejauh mana proses perubahan orientasi beragama tersebut mempengaruhi identitas diri mereka dalam memaknai dunia yang ada di sekitar mereka.

Kesimpulan dari tesis ini adalah bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam skala global dan berlangsung amat cepat menjadi alasan dibalik perubahan orientasi beragama warga di pedesaan Blora tersebut. Fenomena globalisasi sebagai gejala modernitas telah menghilangkan kepercayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau individu dan digantikan dengan cara lain di mana mereka memperoleh kepastian atau keamanan di tengah berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, globalisasi juga berpengaruh terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku merupakan cara untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut.


(12)

x

ABSTRACT

This study aims at illustrating the rise of puritan religious movement amongst the villagers in Blora, Central Java. The research attempts to investigate the supporting

factors of one‟s belief from the local-sincretic religious practice to a pure religious practice merely based on Quran dan Hadith guidance. Moreover, the research attempts to explore to what extent the transformation affects their self-identity in perceiving the surrounding society.

This thesis conclude that the social transformation and the globalization as the main

factors which change the individual‟s and community‟s religious orientation and self

-identity. The researcher‟s argumentation which also being described in hypothesis that globalization often eliminates people‟s belief on the traditional values and shifts into the more secure and exact values to live in the global world. In addition, globalization gives an impact on the self-identity so that tough and firm religious


(13)

xi

DAFTAR ISI

COVER i

HALAMAN PENGESAHAN ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iv

KATA PENGANTAR v

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Manfaat 8

D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 9

1. Modernitas dan Globalisasi 16

2. Kepercayaan, Resiko dan Keamanan Ontologis 20

3. De-tradisionalisasi 22

4. Refleksifitas 24

E. Metodologi Penelitian 27

1. Jenis Penelitian 27

2. Subyek dan Wilayah Penelitian 28

3. Jenis dan Sumber Data 29

4. Metode Pengumpulan Data 30

5. Metode Analisis Data 31

BAB II: MTA DAN FENOMENA GERAKAN KEBANGKITAN ISLAM DALAM KONTEKS GLOBALISASI

A. Pengantar 33

B. MTA dan Dinamika Islam di Tingkat Lokal, Nasional dan

Internasional 36

1. Puritanisme dan Kebangkitan Islam Global 39

2. Orde Baru dan Kebangkitan Islam di Indonesia 46

3. MTA sebagai Gerakan Purifikasi Agama di Tingkat Lokal 58

C. Karakteristik Gerakan dan Model Dakwah MTA 67

1. Doktrin dan Ideologi Organisasi 67

2. Model Kepemimpinan dan Struktur Organisasi 70

3. Kegiatan dan Rekrutmen Anggota 72

4. Pola Interaksi dan Solidaritas Antar Angggota 77

5. Jihad Harta dan Jihad Diri 79


(14)

xii

BAB III: DINAMIKA BANGKEREP: ANTARA TRADISI, MODERNITAS DAN PURITANISME

A. Pengantar 82

B. Agama, Tradisi dan Modernitas di Bangkerep 83

1. Kehidupan Sosial Ekonomi Bangkerep 86

2. Bangkerep dan Tradisi Masyarakat Petani 90

3. Perubahan Sosial di Bangkerep 107

C. Awal dan Perkembangan MTA di Bangkerep 110

1. Konflik 110

2. Satu Dusun Dua Masjid 116

3. Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi

Pasca Konflik 119

4. Konsolidasi MTA Bangkerep sebagai Pusat MTA di Wilayah Blora 122

BAB IV: REKONSTRUKSI IDENTITAS

A. Pendahuluan 132

B. Kondisi-kondisi Modernitas dan Globalisasi serta Pengaruhnya

Terhadap Tatanan Masyarakat Di Bangkerep 134

1. Kapitalisme dan Kebijakan Orde Baru 134

2. Ketika Tradisi Dipertanyakan 137

3. Dari Ikatan Lokal ke Ikatan Komunitas MTA 141

4. Antara Kamituwo dan Ustadz 143

5. Kelahiran Kembali 148

C. Kesadaran akan Resiko, Pencarian Stabilitas dan Keamanan Ontologis 155

1. Doktrin Kemurnian 159

2. Dukungan Ekonomi dan Jaringan Informasi 161

3. Idiom dan Formasi Sosial 166

D. Rekonstruksi Identitas 170

1. Identitas Diri yang Baru 170

2. Dari Diri ke Masyarakat 174

E. Konsekuensi 177

1. Kedisiplinan 177

2. Keuangan 181

3. Dogmatisme baru 184

BAB V: KESIMPULAN 177


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena meningkatnya gairah keagamaan di kalangan masyarakat di pedesaan untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam secara murni (puritan). Fenomena tersebut bisa dilihat dari pesatnya perkembangan organisasi dakwah Islam yang memiliki misi utama mengajak umat Islam untuk meninggalkan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang atau dipengaruhi oleh ajaran di luar Islam dengan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan dua sumber pedoman resmi yaitu Al Quran dan Hadits sekaligus membangun masyarakat yang berlandaskan kedua hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Fokus penelitian ini ingin mendalami faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi beragama masyarakat Islam di pedesaan yang sebelumnya masih melestarikan praktek-praktek agama yang bercampur dengan tradisi lokal kemudian mengalami konversi dalam waktu yang relatif singkat menjadi umat yang teguh mempelajari dan mengamalkan Islam secara ketat sesuai dengan Al Quran dan Hadits. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisa pemaknaan identitas mereka sebagai seorang muslim setelah bergabung dalam organisasi Islam yang bercorak puritan maupun dalam konteks identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat lokal dan global.


(16)

2

Selama ini pemahaman terhadap perilaku keagamaan masyarakat Islam di Indonesia mengacu pada seberapa jauh hukum dan prinsip keagamaan menjadi landasan dalam kehidupan mereka sehari-hari serta ketaatan mereka dalam menjalankan kegiatan ritual agama. Pendekatan tersebut menghasilkan gambaran kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Jawa yang kental dengan budaya sinkretis, yakni perpaduan antara Islam dengan budaya lokal yang datang dari masa pra-Islam seperti selametan, sedekah bumi, ruwatan, upacara memperingati hari kelahiran dan kematian dan berbagai praktek lainnya. Pandangan ini terutama diwakili oleh Clifford Geertz (1981) dengan konsep trikotomi Abangan, Santri, dan

Priyayi yang menjelaskan bahwa Abangan adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Jawa, yakni mereka yang menganut Islam hanya kulit luarnya saja tetapi dalam keyakinan dan tindakannya dipengaruhi oleh budaya Hindu, Budha dan Animisme. Abangan mewakili karakter masyarakat Jawa yang beragama Islam tetapi tidak terlalu taat dalam mempraktekkan ajaran Islam dan sebaliknya masih teguh memelihara dan menjalankan tradisi-tradisi lokal yang diwarnai oleh pra-Islam seperti Hindu, Budha dan animisme, dalam hal ini adalah para petani di pedesaan. Sementara

Santri adalah mereka yang berkomitmen menjalankan agama Islam dan diwakili oleh kalangan pedagang, dan Priyayi merujuk pada kelompok birokrat yang secara perilaku dekat dengan budaya Abangan. Oleh Geertz, Islam dan tradisi lokal cenderung diposisikan sebagai entitas yang berlawanan dan tidak mungkin


(17)

3

bersenyawa dan pada akhirnya akan melahirkan pemahaman tentang Islam yang mengalami penyimpangan dari keasliannya.1

Meski konsep trikotomi Geertz tidak relevan dengan perubahan situasi sosial politik maupun pengaruh modernisasi yang mencairkan pembedaan-pembedaan di masyarakat, realitas di lapangan menunjukkan sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa masih kurang dalam pemahaman maupun mempraktekkan ajaran Islam dan pada saat yang sama masih memegang teguh kepercayaan lokal. Pada saat yang sama reaksi muncul dari gerakan keagamaan yang berupaya melakukan pemurnian Islam (puritanisme) dan menganggap pemahaman dan praktek sinkretisme sebagai unsur penyimpangan (bid‟ah), syirik dan takhayul.

Meningkatnya faham keagamaan yang puritan di kalangan masyarakat pedesaan di Jawa belakangan ini merupakan hal menarik mengingat berbagai kajian utama menyatakan bahwa gerakan pemurnian agama dari berbagai unsur atau elemen lokal hanya berkembang di daerah perkotaan atau urban. Ernest Gellner mengatakan bahwa kota menyediakan basis yang tepat bagi gerakan keagamaan puritan karena kekakuan (skriptualisme) dalam faham keagamaan membutuhkan kemampuan melek

1

Sementara pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Mark R Woodward (1989) yang mengemukakan bahwa antara Islam dan budaya lokal terjadi proses akulturasi yakni hubungan yang saling melengkapi atau saling memberi dan menerima.1 Sementara Niels Mulder (1997) menyatakan bahwa agama di Asia Tenggara adalah agama yang telah mengalami proses lokalisasi, yakni bahwa agama asing yang datang dan menyerap tradisi lokal yang sudah ada, termasuk Islam di Indonesia khususnya Jawa sehingga bisa dikatakan bahwa Islam Jawa hakekatnya adalah Islam yang menyerap tradisi lokal. Andrew Beatty (1999) dalam penelitiannya di Banyuwangi menjelaskan adanya titik temu antar masyarakat dengan latar belakang golongan sosio-kultural dan ideologi yang berbeda dalam satu tradisi berupa slametan.1


(18)

4

huruf.2 Purifikasi merupakan proses rasionalisasi dalam kehidupan para pelakunya, dan terutama terkait dengan agama dan tradisi (Peacock, 1978); gerakan pemurnian agama akan mudah beradaptasi dengan masyarakat urban yang menganut pola hubungan transaksional, birokratis dan rasional (Federspiel, 2001); kota menyediakan basis yang kuat bagi organisasi keagamaan puritan karena tingkat pendidikan masyarakatnya yang tinggi (Tamney, 1980).

Secara umum, fenomena meningkatnya gairah keagamaan puritan di pedesaan tersebut bisa dianalisa melalui tiga kerangka. Pertama, religiusitas yang meningkat merupakan kelanjutan dari fenomena kebangkitan Islam di Indonesia yang dimulai pada tahun 1970-an dan kembali menemukan momentum pasca tumbangnya pemerintah Orde Baru tahun 1998 yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan atau organisasi Islam. Kedua, perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam waktu yang relatif cepat (globalisasi) berdampak pada tradisi dan identitas diri individu, termasuk mereka yang tinggal di wilayah pedesaan. Individu yang berada dalam pusaran globalisasi mengalami kegamangan, kecemasan dan ketidakamanan yang membuat mereka mencari cara untuk mengatasi situasi tersebut, yang dalam hal ini adalah prinsip-prinsip keagamaan yang ketat dan murni yang ditawarkan oleh organisasi Islam puritan. Ketiga, strategi yang digunakan organisasi Islam puritan dalam menjalankan dakwahnya mampu menjawab kebutuhan utama masyarakat.

2


(19)

5

Kecenderungan meningkatnya faham keagamaan puritan di kalangan masyarakat pedesaan itu juga yang dialami masyarakat di Blora, Jawa Tengah. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak masyarakat di pedesaan Blora yang bergabung dalam Majelis Tafsir Al Quran (MTA), sebuah organisasi dakwah yang berpusat di Surakarta. Fenomena ini menjadi menarik mengingat masyarakat Blora selama ini dikenal memiliki karakter abangan sinkretis, yang ditandai dengan masih banyaknya berbagai praktek-praktek seperti sedekah bumi, kesenian Barongan, selamatan desa atau upacara-upacara siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan, kematian). Sementara Majelis Tafsir Al Quran (MTA) adalah organisasi yang bertujuan mengajak masyarakat untuk menuju pada kemurnian agama Islam dengan mempelajari Al Quran dan menggunakannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kesehariannya, anggota organisasi MTA menunjukkan pemahaman dan praktek agama yang berbeda sama sekali dengan masyarakat di lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka tidak lagi menjalankan berbagai praktek atau ritual yang menurut mereka merupakan bentuk penyimpangan sebagai seorang Muslim sejati. Perubahan orientasi keagamaan tersebut tentu saja mendapat reaksi dari warga lainnya yang tidak bergabung dengan MTA atau warga yang masih menjalankan berbagai ritual yang bersumber dari tradisi para leluhur mereka. Pada rentang waktu tahun 2000-2003, terjadi konflik horizontal antara warga yang bergabung dengan MTA dan warga non-MTA di dusun Bangkerep, Desa Balong, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Konflik terjadi karena warga dusun tidak senang


(20)

6

dengan sikap warga anggota MTA yang menolak mengikuti berbagai upacara sedekah bumi sehabis panen dengan alasan tidak sesuai dengan akidah juga syariat Islam.3

Selain penolakan terhadap penyimpangan dalam ibadah, warga MTA juga menunjukkan perilaku keseharian dan cara pergaulan yang menurut mereka sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadits, antara lain cara berpakaian, relasi laki-laki dan perempuan, pendidikan keluarga dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota. Bagi mereka, Islam adalah agama sempurna yang memiliki seperangkat aturan yang lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan hanya dengan berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana yang dituntunkan dalam kedua sumber hukum Islam tersebut secara sungguh-sungguh dan tanpa dipengaruhi oleh ajaran atau keyakinan lainnya mereka telah menemukan identitas mereka sebagai seorang muslim sejati.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi beragama masyarakat di pedesaan di Blora dari masyarakat

3

Konflik di dusun Bangkerep ini mendapat banyak perhatian dari berbagai media massa di tanah air. Selain itu, kasus yang sama juga terjadi di berbagai wilayah lainnya di Jawa. Di Magetan, konflik terjadi ketika sebagian besar warga desa Ringinagung membubarkan pengajian MTA yang digelar di rumah salah seorang warga setempat. Seorang tokoh lokal, Wasis, mengatakan bahwa warga resah sejak adanya pengajian MTA dan tidak bisa menerima ajaran yang yang melarang acara tahlilan, selametan orang meninggal dan ritual pemakaman lainnya yang sudah menjadi tradisi (Jawa Pos Radar Madiun, 24 Maret 2008). Konflik antara warga MTA dan non-MTA juga terjadi di Purworejo yang memicu polemic antara Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj yang menulis artikel yang berjudul

Menyikapi Kegarangan Puritanisme,yang berisi keprihatinan atau “protes” atas tindakan beberapa

orang anggota organisasi MTA yang dianggap melakukan provokasi di sebuah desa di Purworejo, Jawa Tengah dengan menghalang-halangi warga setempat yang hendak pergi melakukan acara tahlilan.


(21)

7

Abangan yakni masyarakat pedesaan yang kurang dalam pemahaman Islam serta masih kental dalam memelihara tradisi-tradisi lokal menjadi Muslim yang puritan dalam pengamalan dan praktek keagamaan.

Tujuan dari penelitian tersebut akan dicapai melalui rumusan masalah sebagai berikut:

1. Sejauh mana dinamika sosial politik ekonomi berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya dan keagamaan masyarakat dusun Bangkerep yang berkarakter tradisional dan masih mempraktekkan praktek-praktek keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal ?

2. Apa saja faktor-faktor yang berkaitan dengan modernitas dan globalisasi yang membuat sebagian warga dusun Bangkerep bergabung dengan organisasi MTA dan dalam praktek kesehariannya meninggalkan praktek keagamaan dan kebiasaan lokal yang tidak bersumber dari Al Quran dan Hadits yang sebelumnya mereka lakukan?

3. Bagaimana warga dusun Bangkerep yang bergabung dalam organisasi MTA memaknai perubahan orientasi beragama mereka serta apa konsekuensi-konsekensi yang timbul –baik sebagai individu maupun sosial- dalam konteks keyakinan dan praktek beragama mereka yang mereka anggap murni (sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadits)?


(22)

8

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian:

1. Mengetahui sejauh mana fenomena globalisasi di bidang ekonomi, sosial, dan budaya berpengaruh terhadap latar belakang perubahan orientasi keagamaan masyarakat Dusun Bangkerep dari masyarakat yang sebelumnya masih teguh menjaga tradisi lokal Abangan ke Islam puritan 2. Mengetahui makna perubahan dan konsekuensi individu maupun sosial dari

perubahan orientasi keagamaan masyarakat dusun Bangkerep dalam konteks identitas baru mereka sebagai umat Islam yang mengamalkan keyakinan mereka secara murni yang bersumber dari sumber utama Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.

Manfaat Penelitian :

1. Memberi gambaran dan pemahaman tentang pola perubahan orientasi keagamaan dalam suatu komunitas (dalam relasi mereka dengan dunia. 2. Memberi gambaran sejauh mana globalisasi berdampak pada upaya suatu

komunitas dalam memelihara, mempertahankan atau bahkan meninggalkan tradisi yang ada di komunitas mereka.

3. Memberi sumbangan pada kajian akademik yang berhubungan dengan agama, masyarakat dan perubahan-perubahan di tingkatan global.


(23)

9

D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

Wacana kembali ke Al Quran dan Hadits secara murni serta penerapan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan menjadi tema pokok dalam gerakan Islam di Indonesia maupun global. Dalam berbagai literatur, fenomena tersebut ditandai dengan munculnya berbagai kelompok yang mengusung tema Islam dengan bermacam sebutan seperti puritanisme (Robert D Lee, 1997; Khaled Abou El Fadl, 2005), revivalisme (John Esposito, 1992; RH Dekmejian, 1988), fundamentalisme (Oliver Roy, 1994), Islam politik (Graham R Fuller, 2003) dan sebagainya.

Ide pemurnian Islam yang mendasari fenomena kebangkitan Islam dalam skala global merujuk pada munculnya gerakan kaum Wahhabi di Arab Saudi yang terinspirasi dari pemikiran Muhammad ibn Abd al Wahhab (w.1206 H/1792 M). Gerakan ini sangat gencar dalam memerangi tradisi-tradisi masyarakat Arab yang mereka anggap bid‟ah (menyimpang) serta berbagai perilaku umat Islam yang tidak mencerminkan nilai Islami. Gerakan ini kemudian mendasari munculnya gerakan reformisme oleh Jamaludin Al Afghani (1839-97), Muhammad „Abduh (1849-1905) dan muridnya Rashid Rida (1865-1935) yang mendukung pemikiran modernisme dalam Islam. Pada periode berikutnya, pada rentang waktu 1970 sampai 1980, terjadi fenomena kebangkitan Islam yang berorientasi politik yang dipelopori oleh Hasan Al Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir (1906-1948) ) atau Abu A‟la Al Mawdudi (1903-1978) yang mendirikan Jama'at-i Islami di Pakistan. Gerakan ini


(24)

10

terutama menginginkan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, terutama di bidang politik.

Melalui beberapa tahapan dan diwakili oleh munculnya berbagai gerakan atau kelompok, fenomena kebangkitan Islam global memiliki benang merah yaitu ketika dihadapkan pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat global. Menurut Ira M Lapidus, gerakan Islam kontemporer merupakan respon sekaligus reaksi terhadap kondisi-kondisi modernitas, -sentralisasi kekuasaan negara atau perkembangan ekonomi kapital serta kemajuan teknologi- di mana penekanan pada nilai-nilai keislaman bukanlah cara untuk kembali ke masa lalu tetapi sebaliknya usaha untuk mengatasi persoalan sosial kontemporer dengan cara peneguhan kembali pada nilai-nilai prinsip dalam Islam (Lapidus: 1997). Sementara Robert D. Lee melihat bahwa gerakan purifikasi muncul bukan semata karena aspek doktrinal Islam tetapi dipengaruhi oleh faktor sosio-politik umat Islam di mana kebutuhan penemuan kembali Islam di negara-negara ketiga merupakan jawaban atas kegagalan developmentalisme, liberalisme dan modernism, di mana kalangan yang menolak ketiga isme tersebut berusaha untuk melawan dengan berpegang pada konsep keotentikan atau kemurnian (Lee, 1997:2-3).

Dalam konteks Indonesia, puritanisme terkait erat dengan tarik-menarik antara upaya untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam dengan pihak yang bersikap akomodatif terhadap budaya lokal. Sebagai wilayah dengan keragaman dan kekayaan budaya, maka Islam dianut oleh masyarakat Indonesia dengan beragam ekspresi,


(25)

11

terutama pemahaman dan praktek Islam yang akomodatif terhadap budaya lokal. Gerakan puritanisme muncul sebagai reaksi terhadap situasi tersebut, yang dimulai ketika sejumlah orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan memiliki akses terhadap ajaran Islam yang dianggap asli. Kaum puritan ini berupaya untuk mengajak umat Islam kembali ke sumber dasar utama Islam yakni Al Quran dan Hadits dan meninggalkan berbagai praktek yang tidak Islami seperti bid‟ah (inovasi), khurafat (mistisisme) dan takhayul. Dalam perkembangannya gerakan puritanisme tidak hanya upaya pemurnian Islam dengan dari budaya lokal, tetapi berkembang ke arah proses revitalisasi Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk politik praktis.

Kajian tentang gerakan puritanisme yang cukup komprehensif di Indonesia dijelaskan oleh Yon Machmudi yang menjelaskan gerakan puritanisme di Indonesia muncul dalam beragam model, yakni revivalisme, modernisme dan konservatisme. Gerakan revivalisme berupaya melakukan purifikasi tanpa kompromi dalam menjalankan praktek Islam yang sesuai dengan sumber hukum Islam Al Quran dan Hadits. Gerakan ini diwakili oleh Gerakan Padri di Sumatera Barat yang dengan keras menentang adat yang bertentangan dengan Islam termasuk dengan menghukum siapapun yang menolak menjalankan aturan atau syariat Islam. Pada masa berikutnya yakni tahun 1923 di Bandung berdiri organisasi Persatuan Islam (Persis) yang mendeklarasikan sebagai agen pemurnian Islam melalui dakwah dan pendidikan. Sebagai organisasi kader, Persis berupaya membangun komunitas Islam yang


(26)

12

berkomitmen menjalankan Islam secara murni tanpa terkontaminasi elemen di luar Islam. Sementara kelompok modernis melakukan upaya purifikasi dengan mengajak umat Islam meninggalkan praktek-praktek non-Islami yang tidak rasional dan menggunakan Al Quran dan Hadits sebagai dasar untuk menjalani kehidupan di dunia modern. Di Indonesia kelompok ini direpresentasikan oleh Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 di Yogyakarta. Dengan kata lain penerimaan terhadap kehidupan modern mensyaratkan ijtihad, yakni penggunaan akal dalam melakukan tafsir terhadap kedua sumber hukum tersebut. Dalam prakteknya, Muhammadiyah banyak bergerak di bidang pendidikan dan layanan sosial. Kelompok konservatif adalah mereka yang berasal dari gerakan revivalis yang bertujuan mempraktekkan Islam secara ketat sesuai dengan model kehidupan Nabi Muhammad dan sahabatnya. Mereka juga disebut kelompok Salafi. Mereka menciptakan kantong-kantong komunitas (enklaf) yang ekslusif untuk hidup sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi dan sahabatnya, termasuk dalam hal berpakaian, berkeluarga, makan dan minum. Dalam perkembangannya kemudian muncul kelompok Jamaah Tarbiyah yang berupaya mempromosikan ajaran Islam dalam berbagai aspek dan mewujudkannya melalui politik praktis. Jamaah Tarbiyah ini merupakan embrio dari Partai Keadilan (PK) yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).4

Fokus tesis ini adalah perubahan sosial atau globalisasi sebagai faktor yang mengubah orientasi beragama dan identitas suatu komunitas atau individu. Hipotesis

4

Yon Machmudi, Islamising Indonesia, The Rise of Jamaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party., edisi digital library http://press.anu.edu.au/titles/islam-in-southeast-asia/islam_indo_citation/ , ANU Press: 2008, hal 53-63


(27)

13

yang penulis kemukakan adalah bahwa globalisasi menghilangkan kepercayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau individu dan digantikan dengan cara lain di mana mereka memperoleh kepastian atau keamanan di tengah kehidupan global. Di sisi lain, globalisasi juga berpengaruh terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku merupakan cara untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut.

Ada beberapa teori yang membahas globalisasi dan identitas, makna dan dampaknya terhadap masyarakat. Roland Robertson (1992) mengatakan globalisasi adalah "the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole".5 Globalisasi membuat dunia menjadi tempat yang tunggal dan menghilangkan otonomi aktor dan segala sesuatu yang berada dalam pusaran globalisasi dibatasi untuk memposisikan diri dan mendefinisikan identitasnya.6 Oliver Ray (2007) mengatakan bahwa globalisasi menciptakan dunia yang lebih kompleks dan cair di mana hidup di era globalisasi menciptakan suatu identitas campuran. John

Tomlinson (1999) menjelaskan bagaimana : “… the globalization of mundane

experience may make a stable sense of “local” cultural identity (including national identity) increasingly difficult to maintain, as our daily lives become more and more interwoven with, and penetrated by, influences and experiences that have their origins far away. 7 Globalisasi juga mengubah koneksi antara identitas dengan tempat geografis yang sebelumnya saling berkaitan dan mengubah hal tersebut lewat

5

Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London: 1992, Sage, hal. 8

6

Roberston, ibid, 29

7


(28)

14

penyebaran kebudayaan yang berbeda-beda, mobilisasi orang dari satu tempat ke tempat lain, serta mekanisme pasar yang memudarkan kebudayaan lokal dan kemudian mengubah identitas individu. Namun alih-alih menghancurkan, globalisasi adalah kekuatan penting dalam menumbuhkan identitas kultural.8 Manuel Castells (1997) mengatakan bahwa kehidupan saat ini dibentuk oleh kecenderungan konflik antara globalisasi dan identitas.9 Globalisasi menciptakan apa yang disebut „the

widespread surge of powerful expressions of collective identity that challenge globalization.”10 Identitas menurut Castells adalah sumber makna dan pengalaman.11

Untuk menjelaskan faktor penyebab meningkatnya gairah keagamaan masyarakat bercorak Abangan di pedesaan menjadi Islam puritan dan pemaknaan identitas mereka, penelitian ini didasarkan pada pemikiran Anthony Giddens tentang masyarakat post-tradisional sebagai konsekuensi dari modernitas dan globalisasi yang mempengaruhi masyarakat dan tradisi yang mereka miliki. Giddens (1991)

mendefinisikan globalisasi sebagai „the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa‟. Konsep Giddens mengenai time-space distanciation menjelaskan bahwa interaksi dan relasi sosial di dunia pada hari ini tidak tergantung pada kehadiran fisik dalam lokasi tertentu, sejak teknologi memfasilitasi dan membuat relasi serta interaksi di dunia tidak lagi tergantung pada

8

John Tomlison, Globalization and cultural identity, Held D dan Mc Grew, A, The Global Transformations Reader”, Oxford: 2003, Polity Press, hal 269-277.

9

Manuel Castells, The Power of Identity Malden. MA: 1997, Blackwell, hal. 1

10

Castells, ibid, hal 2 11


(29)

15

kehadiran fisik dalam lokasi tertentu dan membuat hubungan yang semakin erat

antara “…orang lain yang “tidak hadir”, yang secara lokasi berjauhan pada situasi

apappun”12

Dalam Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age (1991), Giddens menjelaskan bahwa modernitas adalah suatu tatanan

post-tradisional di mana pertanyaan “bagaimana seharusnya saya hidup” merupakan

pertanyaan yang harus dijawab dan diputuskan dalam kehidupan sehari-hari tentang bagaimana berperilaku, pakaian apa yang harus dikenakan, apa yang harus dimakan dan pertanyaan-pertanyaan lainnya serta bagaimana memaknainya dalam proses perkembangan identitas diri yang terus berlangsung.13 Masyarakat post-tradisional adalah masyarakat yang mempertanyakan nilai-nilai dan sudut pandang tradisional;

“Apa yang harus dilakukan? Bagaimana seharusnya bertindak? Harus menjadi apa?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan hal yang penting bagi setiap orang yang hidup dalam situasi modern.14

Dengan kata lain, masyarakat post-tradisional adalah masyarakat yang

mengalami “ketidakpastian yang diciptakan” sebagai konsekuensi dari modernitas.

Situasi ini merujuk pada ketidakpastian yang dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan serta intervensi manusia terhadap kehidupan sosial dan alam –terutama melalui kemajuan teknologi

12

Anthony Giddens, The Consequences of Modernity. Cambridge: 1990, Polity Press, hal. 18

13

Anthony Giddens, Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age.

Cambridge: 1991, Polity Press, hal. 14

14


(30)

16

komunikasi- sehingga menciptakan masyarakat kosmopolitan yang terhubung satu sama lain (globalizing cosmopolitan society) dan pada akhirnya menyebabkan tradisi yang sebelumnya menjadi pegangan di masyarakat menjadi terbuka untuk dipertanyakan.15 Lalu ketika globalisasi menghilangkan nilai-nilai tradisional, maka identitas ”..has to be created and recreated on a more active basis than before”.16

Pada tahap inilah muncul yang disebut oleh Giddens sebagai fundamentalisme, yakni ketika individu mencari atau menciptakan ulang tradisi lain sekaligus meneguhkan identitas diri mereka di tengah pusaran globalisasi. Kelompok fundamentalis menurut Giddens berkeinginan untuk kembali kepada teks-teks suci dan membacanya secara literal dan berupaya menerapkan doktrin tersebut dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.17

Ada beberapa kata kunci dari pemikiran Giddens mengenai masyarakat post-tradisional yang akan digunakan dalam tesis ini, antara lain; modernitas dan globalisasi, kepercayaan, resiko dan keamanan ontologis, detradisionalisasi dan refleksifitas.

1. Modernitas dan Globalisasi

Modernitas menurut Giddens adalah suatu kondisi masyarakat pasca tradisional yang dicirikan oleh tiga hal, yaitu pemisahan ruang dan waktu;

15

Chantal Mouffe, On The Political, Thinking in Action. Routledge, 2005, hal. 242.

16

Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm. Tulisan ini merupakan salah satu dari beberapa kuliah Anthony Giddens yang kemudian dibukukan dengan judul

Runaway world: How Globalization Reshaping Our Lives. Di Indonesia diterbitkan dengan judul

Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S., Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001

17


(31)

17

keterlepasan dari institusi sosial yang ditandai dengan adanya pertukaran simbolik (uang) dan sistem ahli, serta refleksifitas institusi.18 Dalam masyarakat pramodern, waktu selalu berkaitan dengan ruang dan biasanya tidak ada ketepatan dalam pengukuran waktu, sementara dalam masyarakat modern ukuran waktu dibakukan (standardized) dan hubungan antara ruang dan waktu menjadi terputus.19 Dalam masyarakat pramodern, ruang ditentukan oleh kehadiran secara fisik, sementara modernitas membuat ruang dilepaskan dari tempat sehingga memungkinkan orang masih bisa berhubungan meski berjauhan secara fisik.20 Giddens menyebutkan istilah

phantasmagoric, yaitu “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan

ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat terjadinya

peristiwa itu”.21

Sementara keterlepasan (disembedding) menurut Giddens berarti

“terangkat”nya hubungan sosial dari konteks lokal dan perubahannya yang

melintasi ruang dan waktu yang tak terbatas.22 Keterlepasan ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu tanda simbolik dan sistem keahlian.23 Contoh tanda simbolik yang paling terkenal adalah uang yang memungkinkan setiap orang berhubungan dalam konteks ekonomi meski berjauhan. Sementara

18

Giddens, Modernity and Identity, 20

19

Ritzer, G & Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Tr. Alimandan. Jakarta: 2004, Kencana, hal. 555

20

Ritzer, Goodman, ibid, 555

21

Ritzer, 555; lihat juga Giddens, Consequences of Modernity, 19

22

Giddens, Consequences of Modernity, 21.

23


(32)

18

sistem keahlian bisa dilihat dari beragamnya profesi seperti pengacara, dokter, insinyur yang menciptakan mesin dan seterusnya.

Refleksifitas sebagai ciri modernitas bermakna “praktek sosial yang

terus menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis dan dengan demikian mengubah ciri modernitas itu”.24 Dengan kata lain, dunia modern memiliki kecenderungan untuk memahami seluruh aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh pengalaman diri sendiri dan orang lain yang mempengaruhi sudut pandang dan pemahaman terhadap dunia itu sendiri. Konsekuensinya, apa saja menjadi terbuka untuk direfleksikan dan dipertanyakan, sehingga terjadi ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat modern.

Dalam tahap selanjutnya, modernitas kemudian menyebar luas.25 Proses penyebarluasan modernitas itu disebut globalisasi, yaitu intensifikasi atau penguatan relasi-relasi sosial di seluruh dunia yang menyambungkan lokalitas-lokalitas melalui suatu cara di mana momen-momen yang terjadi di wilayah yang berjauhan saling mempengaruhi satu sama lain.26 Globalisasi adalah suatu proses yang mempengaruhi atau secara dialektis berhubungan dengan aspek kehidupan sehari-hari dari kehidupan manusia, yang disebut

24

Ibid, 38

25

Ibid, 63

26


(33)

19

Giddens sebagai keintiman, yang mempunyai peran penting dalam relasi-relasi personal yang dipengaruhi oleh situasi-situasi global.27

Selain ekonomi, globalisasi terjadi pada seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu politik, teknologi dan budaya yang tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi yang dimulai sejak akhir abad 1960.28 Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tidak hanya mempermudah hubungan masyarakat, tetapi juga mengubah keseluruhan kehidupan masyarakat global sampai pada lingkupnya yang paling kecil, yaitu individu.

Menurut Giddens, globalisasi bukanlah fenomena “diluar sana”, jauh

dan terpencil dari individu, melainkan fenomena “di sini” yang

mempengaruhi kedekatan dan aspek personal dalam kehidupan manusia.29 Sebagai contoh, globalisasi mempengaruhi tatanan keluarga tradisional yang bertransformasi, seperti misalnya perubahan peran perempuan dalam keluarga menjadi lebih setara sebagai suatu fenomena yang sangat luar biasa dan revolusioner dalam sejarah masyarakat.30 Dalam aspek budaya, globalisasi telah menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan sirkulasi barang-barang dan konsumsi di seluruh dunia. Fenomena tersebut menurut Giddens bisa dilihat

27

Anthony Giddens, Living in Post Traditional Society, Beck, Giddens & Lash, ed. “Reflexive

Modernization” Cambridge: Polity, 1994, hal. 95

28

Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 12, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm.

29

Ibid, paragraph 17

30


(34)

20

dari adanya kesamaan minat orang-orang dalam bidang musik, makanan, fashion, olahraga dan sebagainya.31

2. Kepercayaan (trust), Resiko (risk) dan Keamanan Ontologis (ontological

security).

Kepercayaan merupakan hal penting bagi kehidupan masyarakat

modern. Giddens mendefinisikan kepercayaan sebagai “...kepercayaan

terhadap keandalan (realiability) seseorang atau sistem yang berhubungan dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu dan kepercayaan itu menyatakan keyakinan terhadap kejujuran atas kecintaan orang lain atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan teknis)”.32 Dalam hal ini, kepercayaan terjadi melalui adanya pemisahan ruang dan waktu serta sistem abstrak (pertukaran simbolik dan keahlian) sebagai ciri modernitas yang dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh adalah penggunaan uang sebagai alat tukar yang membutuhkan kepercayaan dari orang-orang yang menggunakannya.

Pada sisi lain, kepercayaan masyarakat modern juga dibayang-bayangi oleh resiko. Globalisasi sebagai perluasan modernitas memunculkan kesadaran terhadap resiko. Menurut Giddens, modernitas adalah kultur yang beresiko, di mana modernitas pada satu sisi mengurangi resiko pada bidang

31

Anthony Giddens, Sociology, Fifth Edition. Cambridge: 2005, Polity Press, hal. 63 dan 130

32


(35)

21

dan gaya hidup tertentu tetapi pada saat yang sama memperkenalkan parameter resiko baru yang sebagian besar tidak pernah dikenal pada era sebelumnya.33 Resiko menurut Giddens pada bahaya yang secara aktif diperkirakan berkaitan dengan kemungkinan yang akan terjadi, hanya ada dalam masyarakat yang berorientasi ke masa depan, yang melihat masa depan sebagai wilayah yang harus ditaklukkan atau dikuasai, masyarakat yang aktif berusaha melepaskan dirinya dari masa lalu.34 Konsep resiko menurut Giddens merupakan pengganti dari berbagai konsep tentang nasib, keberuntungan atau takdir pada masyarakat tradisional. Ada dua jenis resiko menurut Giddens, yaitu resiko eksternal yang berasal dari alam, sementara resiko yang diciptakan mengacu pada dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan campur tangan manusia dalam kehidupan.35

Kepercayaan yang dibangun masyarakat modern dibutuhkan untuk meminimalisir resiko yang mungkin timbul dan selanjutnya menciptakan apa yang disebut Giddens sebagai Keamanan Ontologis (Ontological Security).

Menurut Giddens, keamanan ontologis adalah suatu „keyakinan yang dimiliki

manusia terhadap kontinuitas identitas diri dan stabilnya lingkungan material

33

Giddens, Modernity and Self-Identity, 3-4

34

Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 2 Risk, BBC Reith Lecture, paragraph 7, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week2/week2.htm

35


(36)

22

dan sosial yang melingkupi tindakan manusia.36 Menurut Giddens, pencapaian terhadap kepercayaan dibutuhkan seseorang untuk memelihara kesejahteraan psikologis dan menghindari kecemasan eksistensial.37

3. Detradisionalisasi.

Dunia saat ini semakin tanpa batas sebagai akibat dari kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga masyarakat mendapatkan banyak informasi. Akibatnya, tradisi yang semula bagi masyarakat menjadi kerangka tafsir dan pemaknaan terhadap kehidupan menjadi tersisih. Giddens menyebutnya sebagai proses detradisionalisasi. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi, tetapi tradisi masih tetap ada bahkan hidup dan berkembang dalam konteks yang berbeda.38 Tegasnya, tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan-istilah Giddens-status baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain.39

Tradisi sendiri menurut Giddens berkaitan dengan ingatan –mengutip Maurice Halbwachs ingatan kolektif. Tradisi melibatkan ritual dan berkaitan dengan gagasan formulaik tentang kebenaran, memiliki para penjaga dan

36

Giddens Consequence hal 92

37

Giddens, Modernity and Self Identity, hal 38-39

38

Ibid, hal 100

39


(37)

23

memiliki daya ikat terhadap kandungan moral dan emosional. 40 Sumbangan yang khas dari Giddens tentang tradisi adalah berkaitan dengan ruang dan waktu. Bagi Giddens, tradisi adalah cara mengontrol waktu melalui tindakan, atau menghadirkan masa lalu di masa sekarang melalui ritual-ritual. Dengan kata lain, tradisi adalah cara untuk mengorganisir masa lalu, kini dan masa depan dalam konteks masyarakat tradisional. Sebaliknya, globalisasi adalah tindakan mengendalikan ruang dengan cara mengendalikan waktu. Globalisasi dengan demikian meniadakan jarak, atau menurut Giddens adalah

suatu “tindakan di ruang yang berjauhan”.41

Tradisi menurut Giddens juga media identitas.42 Identitas disini terkait dengan pemaknaan, baik secara personal atau kolektif. Identitas adalah suatu proses menciptakan keterhubungan antara masa lalu dengan masa depan yang akan datang. Dalam semua masyarakat, memelihara identitas personal dalam kaitannya dengan identitas sosial merupakan kebutuhan utama demi menjaga keamanan. Ancaman kepada integritas tradisi merupakan ancaman kepada integritas personal tersebut.43

40

Anthony Giddens, Living in a Post-Traditional Society, 63

41

Ibid, 96

42

Ibid, 80

43 Ibid.,


(38)

24

4. Refleksifitas (reflexifity).

Refleksitas berarti proses diri individu yang melakukan monitoring dan refleksi atau permenungan terus menerus terhadap berbagai informasi mengenai berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupannya.

Menurut Giddens, refleksifitas dalam kehidupan sosial modern, “consists in

the fact that social practices are constantly examined and reformed in the light of incoming information about those very practices, thus constitutively

altering their character‟ (Anthony Giddens, 1990: 38).

Menurut Giddens, refleksifitas merupakan karakteristik mendasar dari semua aktifitas manusia. Giddens menyebutkan istilah Tindakan Monitoring Refleksif (Reflexive Monotoring Action) dalam arti semua manusia selalu bersentuhan atau berurusan dengan dasar dari setiap tindakannya sebagai suatu elemen integral dari tindakan tersebut.44. Monitoring refleksif merujuk pada kemampuan agen untuk memonitoring tindakan sekaligus konteks dan latar belakang dari tindakannya tersebut. Monitoring sebagai karakter esensial dari agen berarti merasionalkan atau mengevaluasi keberhasilan dari setiap upaya yang dia lakukan. Rasionalisasi dalam hal ini terkait dengan pengetahuan, merujuk pada kompetensi atau kemampuan agen dalam mencari alasan dari setiap tindakannya.

44


(39)

25

Proses permenungan (reflexivity) ini berpengaruh terhadap pembentukan identitas. Proses konstruksi identitas diri menurut Giddens merupakan suatu proyek yang mensyaratkan bahwa identitas senantiasa dibentuk dan berubah. Identitas diri bukanlah hasil dari sistem tindakan individu, melainkan sesuatu yang harus terus menerus diciptakan dan dipelihara dalam tindakan permenungan individu. (Giddens, 1991:52) Identitas diri menurut Giddens juga bukanlah sifat atau karakter, melainkan pemahaman permenungan yang dimiliki individu mengenai biografinya sendiri (Giddens 1991: 53). Identitas seseorang juga tidak bisa ditemukan dari perilaku atau reaksi terhadap keberadaan liyan, melainkan kemampuan untuk

to keep a particular narrative going. (Giddens 1991: 54). Dengan kata lain Giddens menekankan pada tantangan yang dihadapi individu dalam hal banyaknya pilihan yang dihadapi yang kemudian berpengaruh terhadap identitas diri melalui pembentukan narasi tentang dirinya sendiri. Narasi mengenai identitas ini terutama berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukan, dan harus menjadi siapa. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut individu berusaha

mengkonstruksi cerita yang saling berkesinambungan di mana „diri

membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu untuk menuju


(40)

26

Di sisi lain, refleksifitas menurut Giddens juga cenderung pada perasaan lebih ke pertimbangan operasional, bagaimana cara untuk ini dan itu? Proses ini sangat terkait dengan detradisionalisasi yang dijelaskan sebelumnya. Ketika tujuan dan makna hidup tidak lagi didapat dari kode tradisional, maka individu berpaling pada hal yang lebih pasti. Pada tahap kekosongan ini individu mengkonstruksikan dirinya melalui pilihan-pilihan tujuan kehidupan yang diciptakan kehidupan modern. Dengan kata lain dalam kehidupan tradisional berbagai kehidupan seperti pekerjaan menikah pendidikan anak, hiburan dan lainnya diatur secara rutin tetapi penuh makna melalui kode moral tradisional, tetapi dalam masyarakat yang mengalami detradisionalisasi semua mekanisme pengaturan sosial terhadap individu menjadi lemah, dan orang dipaksa menghadapi situasi yang memaksa mereka membuat pilihan, untuk memutuskan karir, gaya hidup, cara mendidik anak

dan sebagainya. Lalu “…Ketika tradisi tergeser, dan pilihan gaya hidup

merajalela, identitas-diri diciptakan dan dibuat ulang dalam bentuknya yang

lebih aktif dari sebelumnya.”45

Penelitian ini akan dikembangkan dalam kerangka teori tersebut di atas, di mana perubahan orientasi keagamaan masyarakat di dusun Bangkerep yang memiliki kencenderungan budaya abangan atau muslim nominal beralih menjadi Muslim

45

Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 3 Tradition, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm


(41)

27

puritan dipahami dalam kerangka sebagai berikut; (1) bahwa perubahan sosial politik dan ekonomi yang terjadi dalam konteks global dan nasional mempengaruhi tatanan dan ikatan tradisional di Bangkerep yang selama ini menjadi acuan dalam kehidupan individu di dalamnya. Proses perubahan sosial tersebut terjadi melalui instrumen-instrumen yang menjadi ciri dari modernitas dan globalisasi antara lain kebijakan pembangunan dari negara serta didukung oleh perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan ide dan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. (2) Perubahan tersebut membuat sekelompok individu di Bangkerep mengalami kegamangan dan mempertanyakan berbagai tatanan tradisional yang selama ini mereka yakini untuk selanjutnya menjadikan tradisi lain –dalam hal ini pemahaman dan praktek keagamaan yang ketat- sebagai upaya mencari stabilitas dan menemukan identitas baru dalam kehidupan modern saat ini.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini didesain sebagai jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi menuntut peneliti untuk melihat segala sesuatu yang terjadi, mendengarkan apa yang orang-orang katakan dan memberikan pertanyaan kepada mereka.46 Pendekatan ini dipilih

46

Hammersley, M & Atkinson, Etnography, Principles in Practice, 2nd ed. London: 1995, Routledge, hal. 1


(42)

28

untuk memahami secara mendalam proses perubahan orientasi keagamaan masyarakat di pedesaan Blora dari semula kaum Abangan yang kurang memahami ajaran Islam sekaligus masih teguh dalam memelihara tradisi-tradisi lokal menjadi Muslim yang puritan dalam memahami teks kitab suci dan cenderung tidak toleran terhadap perbedaan ajaran yang berbeda dengan mereka.

2. Subyek dan Wilayah Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di dusun Bangkerep, Desa Balong, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Subyek penelitian adalah warga yang bergabung dengan organisasi Majelis Tafsir Al Quran (MTA).

Untuk alasan yang nanti akan dikaji, Blora dipilih karena beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, wilayah Kecamatan Kunduran dan Kabupaten Blora pada umumnya bisa dianggap memiliki karakteristik Abangan, yakni masyarakatnya beragama Islam tetapi minim dalam pengetahuan tentang agama Islam dan tidak terlalu kuat dalam menjalankan ibadahnya, sekaligus masih melakukan tradisi-tradisi yang bersumber dari kepercayaan lokal seperti sedekah bumi, slametan, dan sebagainya. Secara historis, Blora termasuk Kunduran juga merupakan basis dari kelompok Nasionalis-Abangan, bahkan wilayah Kunduran menjadi salah satu basis dari Partai Komunis Indonesia (PKI).47

47

Dalhar Muhammadun dkk, 2004. Tanah berdarah di bumi merdeka : menelusuri luka-luka sejarah 1965-1966 di Blora. Yayasan Advokasi Transformasi Masyarakat (ATMA) Blora, Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) Jakarta, Perkumpulan ELSAM


(43)

29

Kedua, secara khusus Dusun Bangkerep dipilih sebagai wilayah penelitian karena di satu sisi masih banyak tradisi-tradisi yang dihidupi masyarakat tetapi di sisi lain di dusun ini pula pertama kali terdapat sekelompok warga yang mengembangkan organisasi MTA untuk pertama kalinya di kabupaten Blora. Khususnya di dusun Bangkerep, Desa Balong, terdapat sekitar 50 KK yang sangat militan dalam menjalankan keyakinannya dan berakibat pada konflik horizontal dengan warga pada rentang waktu 2000-2003. Meski hanya sebuah dusun kecil, di Bangkerep terdapat kantor perwakilan MTA untuk tingkat kabupaten dan menjadi pusat kegiatan MTA di seluruh kabupaten Blora. Menariknya lagi, sebagai jalan keluar akibat konflik dengan warga setempat, di dusun Bangkerep ini juga warga MTA akhirnya mendirikan masjid, dan merupakan satu-satunya masjid yang khusus didirikan oleh warga MTA di Indonesia karena pada umumnya untuk beribadah mereka membaur dengan warga non-MTA.

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini akan menggunakan informasi dan data yang diambil dari dua sumber, yaitu: Pertama, sumber bibliografis dan dokumentasi, yaitu data yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan, baik berupa ensiklopedi, buku-buku, artikel-artikel karya ilmiah yang dimuat dalam media massa seperti majalah dan surat kabar, serta jurnal ilmiah maupun laporan-laporan hasil penelitian dan data-data yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga penelitian atau lembaga lainnya yang terkait. Sumber data


(44)

30

pustaka akan digunakan sebagai titik tolak dalam memahami dan menganalisis fenomena radikalisme agama. Data bibliografis diposisikan sebagai data sekunder.

Kedua adalah data yang berasal dari field-work; responden, informan, peristiwa, situasi-kondisi dan fakta yang didapat dari obyek penelitian di lapangan. Data lapangan ini dikumpulkan dengan beberapa instrumen seperti observasi, dan wawancara mendalam (indepth interview) dan kuesioner. Data jenis ini akan diperlakukan sebagai sumber-sumber primer yang mendasari hasil penelitian ini. Dengan dua macam sumber tersebut, proses dan hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap dan menjelaskan alasan perubahan orientasi keagamaan masyarakat di pedesaan Blora secara lebih obyektif dan komprehensif.

4. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, wawancara mendalam. Teknik ini dilakukan terhadap warga anggota MTA di desa Bangkerep untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan orientasi beragama dan keikutsertaan mereka dalam organisasi MTA. Wawancara ini akan dilakukan secara terarah dan intensif. Dalam hal ini, pokok permasalahan yang ditanyakan berkaitan dengan kehidupan responden, konsep, persepsi, peranan, kegiatan, dan peristiwa-peristiwa yang dialami berkenaan dengan fokus yang diteliti. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan warga desa dusun Bangkerep yang tidak bergabung dengan MTA, tokoh masyarakat, dan pihak


(45)

31

pemerintah di dusun Bangkerep dan sekitarnya untuk menggali data tambahan yang berkaitan dengan konteks sejarah, tradisi dan kondisi sosial politik di wilayah tersebut.

Kedua, observasi. Observasi ini dilakukan untuk mengambil data yang terkait dengan hal-hal sebagaimana dalam wawancara terhadap warga atau tokoh MTA. Fokus dari observasi ini adalah mengamati tindakan-tindakan, perilaku sosial, pandangan hidup, serta interaksi mereka dengan lingkungan sekitar mereka. Pengamatan diarahkan kepada perhatian pada jenis kegiatan dan peristiwa tertentu yang memberikan informasi dan pandangan yang terkait dengan tema penelitian.

Ketiga, analisa dokumen/dokumentasi. Analisa ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai gambaran keberadaan subyek yang diteliti, di samping juga untuk melengkapi data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara.

5. Metode Analisis Data

Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu data kualitatif yang diperoleh dari subyek, yaitu warga MTA, menyangkut pandangan keagamaan dan hal lain yang berkaitan dengan masalah penelitian akan diuji dengan data-data sekunder. Kesimpulan yang didapat dari analisa data kualitatif ini kemudian digabungkan dengan data sekunder yang memberi informasi mengenai hubungan antara perubahan orientasi beragama serta pemaknaannya dengan latar belakang dari


(46)

32

informan untuk selanjutnya digunakan untuk menarik kesimpulan akhir dari penelitian.


(47)

33

BAB II

MTA DAN FENOMENA GERAKAN KEBANGKITAN ISLAM DALAM

KONTEKS GLOBALISASI

A. Pengantar

Setiap hari Minggu pagi, kawasan di Jalan Ronggowarsito Surakarta ramai dipadati oleh hampir ribuan orang. Laki-laki dan perempuan dengan mengenakan busana muslim memenuhi sebuah gedung megah berlantai empat yang terletak tepat di depan Keraton Mangkunegaran, salah satu simbol kekuasaan dan kebudayaan Jawa di tanah air, selain keraton Surakarta dan Yogyakarta. Kebanyakan dari mereka datang dari kota-kota di seluruh Jawa Tengah, bahkan hampir dari seluruh Indonesia untuk menghadiri pengajian Ahad pagi (disingkat Jihad Pagi) yang digelar oleh Majelis Tafsir Al Quran (MTA), sebuah organisasi Islam yang berpusat di kota tersebut.

Sebagai organisasi lokal yang berdiri di Surakarta, MTA mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jihad Pagi menjadi salah satu kegiatan penting yang diselenggarakan oleh MTA. Pengajian tersebut berlangsung mulai jam delapan pagi sampai tengah hari, dipimpin langsung oleh ketua umum MTA, Ahmad Sukina. Dalam pengajian tersebut, warga –sebutan untuk anggota MTA- menyimak dan mencatat pelajaran agama yang disampaikan oleh Ahmad Sukina, dilanjutkan dengan tanya jawab langsung seputar persoalan keagamaan maupun kehidupan sehari-hari.


(48)

34

Setelah pengajian selesai, acara dilanjutkan dengan konsolidasi dan pertemuan pengurus MTA dari seluruh Indonesia.48

Majelis Tafsir Al Quran (MTA) adalah organisasi yang berdiri pada 19 September 1972.49 Kegiatan sekaligus tujuan dari organisasi adalah mempelajari dan mengamalkan Al Quran dan Hadits sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.50 Pendiri MTA adalah seorang ulama sekaligus pedagang yakni Abdullah Thufail Saputra pada 19 September 1972. Pada 15 September 1992, Abdullah Thufail Saputra meninggal dan digantikan oleh penerusnya, yaitu Ahmad Sukina.51 Pada 23 Januari 1974, MTA menjadi organisasi resmi dan berkembang secara pesat dan memperoleh banyak pengikut di hampir seluruh wilayah di Indonesia, terutama pasca tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998.

Perkembangan MTA tidak terlepas dari situasi sosial politik umat Islam di Indonesia pada akhir 1960 dan awal 1970. Ustad Thufail Saputra melihat bahwa umat Islam dipinggirkan karena mereka tidak mempraktekkan Al Quran secara menyeluruh. Selain itu, menurut Thufail, umat Islam di Indonesia telah menyimpang dari ajaran Islam dengan melakukan berbagai praktek keagamaan yang bercampur dengan berbagai tradisi lokal. Satu-satunya cara untuk mencapai kemajuan Islam adalah dengan mempelajari, memahami dan mengamalkan Al Quran dan Hadits secara murni dalam seluruh bidang kehidupan.

48

Catatan lapangan, tanggal 9 September 2012

49

www.mta-online.com

50

www.mta-online.com

51


(49)

35

Sebagai organisasi dakwah, MTA meneguhkan juga memiliki berbagai sarana untuk memperluas misinya, antara lain melalui lembaga pendidikan baik formal maupun informal mulai dari pendidikan dasar sampai menengah. Tidak hanya itu, MTA juga meneguhkan posisinya sebagai organisasi dakwah modern dengan memiliki stasiun radio sendiri –yang terbukti efektif dalam menyampaikan dakwah dan menarik pengikut- menerbitkan majalah, buku dan buletin dan sedang menyiapkan stasiun televisi mereka sendiri.

Hal yang menarik adalah bahwa selain sebagai organisasi dakwah dengan misi purifikasi, MTA yang berkembang pesat di hampir seluruh Indonesia juga berkembang menjadi semacam –meminjam istilah Ben Anderson- “komunitas

terbayang” di mana masing-masing warga anggota disatukan oleh beberapa hal. Pertama, organisasi yang hirarkis dan model kepemimpinan yang sentralistis. Kedua, sesama warga MTA diatur dalam kode-kode atau prinsip ketat yang mengatur praktek ibadah maupun perilaku dan kehidupan sehari-hari yang membedakan mereka dari anggota masyarakat di lingkungan tempat mereka tinggal. Ketiga, kesamaan nasib berupa penolakan atau ketegangan dengan anggota masyarakat lainnya karena perbedaan pemahaman serta praktek keagamaan yang tidak mengakomodasi kepercayaan dan tradisi lokal. Pertentangan atau konflik dengan masyarakat ini terjadi di hampir seluruh tempat di mana MTA berdiri, baik dalam skala besar dan berujung pada tindak kekerasan atau dalam bentuk-bentuk seperti ejekan, sindiran atau


(50)

36

anggapan bahwa warga MTA dalam hal keagamaan adalah orang yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan.

Bab II membahas mengenai sejarah berdirinya MTA sebagai organisasi dakwah puritan dan kaitannya dengan gelombang kebangkitan Islam baik di tingkat global maupun lokal sebagai konsekuensi dari globalisasi. Gerakan yang berupaya membangkitkan nilai-nilai keislaman yang murni dan otentik dengan berbagai sebutan seperti puritanisme, revivalisme, fundamentalisme atau Islam politik adalah respon sekaligus reaksi terhadap kondisi-kondisi modernitas, -sentralisasi kekuasaan negara atau perkembangan ekonomi kapital serta kemajuan teknologi- yang menimbulkan berbagai persoalan sosial di mana penekanan pada nilai-nilai keislaman adalah satu-satunya cara untuk mengatasi persoalan sosial tersebut.

Di sisi lain, gagasan kebangkitan Islam yang berupaya memperjuangkan Islam sebagai solusi atas persoalan yang ditimbulkan globalisasi meluas dan memberi pengaruh yang sama ke berbagai penjuru dunia. Situasi ini menurut Anthony Giddens merupakan ciri sekaligus akibat dari modernitas, yakni menguatnya ikatan-ikatan sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang saling berjauhan di mana suatu kejadian yang terjadi di satu wilayah dipengaruhi oleh suatu peristiwa di tempat lain yang jauh jaraknya dan begitu pula sebaliknya. Proses tersebut menurut Giddens terutama menguat melalui teknologi –terutama komunikasi dan informasi- juga teknologi transportasi yang memungkinkan manusia terhubung satu sama lain


(51)

37

dan memungkinkan terjadinya perpindahan ide atau gagasan serta menciptakan keterhubungan dalam berbagai bidang, baik ekonomi, budaya atau politik.

Dalam konteks ini berdirinya MTA sebagai sebuah organisasi Islam lokal yang berupaya membangkitkan kembali nilai-nilai keislaman merupakan pengaruh dari fenomena yang sama yang terjadi di dunia internasional, terutama kebangkitan Islam yang setidaknya dimulai pada abad 18 di Timur Tengah dan mencapai puncaknya pada tahun 1970 dan 1980-an. Proses tersebut terjadi sebagai akibat dari transfer ide dan pemikiran di bidang keagamaan melalui teknologi informasi yang memungkinkan terjadinya penyebarluasan ide gerakan Islam misalnya media cetak dan teknologi transportasi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi satu orang ke tempat lain dan memungkinkan mereka menyerap gagasan baru, dalam hal ini adalah gagasan puritanisme atau kebangkitan Islam yang murni.

Selain itu, berdirinya MTA sebagai organisasi dakwah di Surakarta dibaca sebagai bagian dari maraknya berbagai gerakan keagamaan yang tumbuh pesat di awal masa Orde Baru sebagai respon terhadap kebijakan sosial politik dari rezim yang berupaya menangkal ideologi komunisme sekaligus menjalankan proyek pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh investasi asing dan industrialisasi. Dalam konteks lokal, MTA muncul dan berkembang di Surakarta yang menjadi tempat tumbuh suburnya berbagai gerakan keagamaan baik yang moderat maupun radikal. Selanjutnya ideologi, karakteristik gerakan, serta strategi dakwah MTA menjadi faktor kunci untuk menarik minat


(52)

38

masyarakat untuk bergabung sehingga organisasi ini mengalami perluasan dan perkembangan yang cukup pesat, terutama di pedesaan.


(53)

39

B. MTA dan Dinamika Islam di Tingkat Lokal, Nasional dan Internasional

1. Puritanisme dan Kebangkitan Islam Global

Munculnya berbagai gerakan yang mengusung ide pemurnian Islam dan penerapan Islam dalam berbagai aspek kehidupan menandai fenomena kebangkitan Islam dalam skala global. Fenomena tersebut berlangsung melalui beberapa tahapan dengan berbagai karakteristik gerakan yang berbeda-beda.

Pada abad 18 muncul sebuah gerakan keagamaan di Arab Saudi yang sangat gencar dalam memerangi tradisi-tradisi masyarakat Arab yang mereka anggap bid‟ah (menyimpang) seperti takhayul dan praktek pemujaan sufi serta berbagai perilaku umat Islam yang tidak mencerminkan nilai Islami.52 Gerakan tersebu disebut Wahhabi karena mengambil inspirasi dari pemikiran teologis pendirinya yaitu Muhammad ibn Abd al Wahhab (w.1206 H/1792 M).

Gagasan utama teologi Wahhabi adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari jalan lurus dan hanya dengan kembali ke (ajaran) agama yang benar mereka akan mendapat ridha Allah Swt. Dengan semangat untuk memurnikan agama, ia hendak membebaskan Islam dari semua hal yang menggerogoti Islam, yaitu tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, syiah

dan berbagai ajaran bid‟ah.53

Dalam pandangan kaum Wahhabi, umat Islam harus kembali kepada Islam yang murni, sederhana, dan lurus murni yang hanya bisa dicapai melalui penerapan perintah Tuhan secara literal serta mengikuti perilaku Nabi

52

Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Tr. Helmi Mustofa, Jakarta: 2006, Serambi, hal. 61-62

53


(54)

40

secara literal, sekaligus dengan ketat melakukan berbagai ritual ibadah secara benar.54 Hanya dengan cara demikian umat Islam akan bangkit dari kebodohan dan keterbelakangan.

Pemikiran Muhammad Ibn „Abd al Wahab sendiri dikembangkan dari

ajaran-ajaran Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (1263-1328) atau Ibnu Taimiyah yang merupakan pengikut Hambalisme, mazhab paling ketat dari empat mazhab hukum dalam Islam Sunni.55 Gagasan utama Ibn Taimiyah adalah menganjurkan umat Islam kembali berpegang pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh para generasi Salaf atau generasi yang generasi terbaik yang hidup pada masa Nabi, yaitu sahabat Nabi. Istilah Salafi inilah yang kemudian digunakan untuk menyebut kelompok atau gerakan yang berupaya untuk memurnikan ajaran Islam dan kembali kepada Al Quran dan Hadits Nabi secara kaku dan absolut.56

Beberapa waktu kemudian muncul gerakan Salafisme, yakni sebuah gerakan yang muncul satu abad setelah Abd al Wahhab memiliki pengaruh kuat di semenanjung Arab. Gerakan ini dikembangkan oleh sarjana dari Universitas Al Azhar di Mesir seperti Jamaaludin Al Afghani (1839-97), Muhammad „Abduh (1849-1905) dan muridnya Rashid Rida (1865-1935).57 Al Azhar saat itu menjadi alternatif perkembangan keilmuan Islam selain Mekkah (Fox, 2004:3-4). Berbeda dengan

54

Abou el Fadl, ibid, hal. 63

55

Noorhadi Hassan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta, 2008, Pustaka LP3ES dan KITLV, hal 33

56Ide pembaruan Ibn Abd‟ Wahhab tersebut menginspirasi berbagai gerakan di berbagai penjuru dunia,

termasuk di nusantara yang dimotori oleh kaum Paderi yang berkenalan dengan ideologi Wahhabi seusai menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

57


(1)

194

keamanan mendasar (ontological security) berujung pada suatu bentuk rasa tidak aman yang baru karena berbagai aturan ketat dan sanksi yang membatasi mereka.

Apa yang terjadi di dusun Bangkerep dalam tesis ini memberi gambaran bahwa setiap komunitas serta individu di dalamnya tidak bisa menghindar dari perubahan sosial yang terjadi begitu cepat. Ketakutan dan kegamangan terhadap perubahan tersebut melahirkan upaya pencarian identitas baru melalui berbagai cara. Lalu ketika ada kelompok atau komunitas baik yang sadar atau tidak sadar berupaya menolak tradisi dalam pengertian sesuatu yang dianggap kuno melalui cara-cara, bentuk atau simbol modernitas –organisasi agama yang puritan dan modern- pada akhirnya akan berpeluang menciptakan bentuk tradisi baru yang lebih kaku dan dogmatis.


(2)

195

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al Banna, Hasan, Majmaatul Rasail: Himpunan Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, ebook tanpa tahun dan penerbit.

Abou El Fadl, Khaled. 2006. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Tr. Helmi Mustofa. Jakarta: Serambi

Ahmed, Akbar S. 2003. Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise. Taylor & Francis e-Library.

Castells, Manuel. 1997. The Power of Identity. Malden. MA: Blackwell

Gellner, Ernest. 1981. Muslim Society. Cambridge: Cambridge University Press Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press --- 1991. Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age. Cambridge: Polity Press

--- 1994. Living in Post Traditional Society, Beck, Giddens & Lash,

ed. “Reflexive Modernization” Cambridge: Polity

--- 2005. Sociology, Fifth Edition. Cambridge: Polity Press

--- 1985. Nation State and Violence, Vol II A contemporar Critique of Historical Materialism. Polity Press

Hammersley, M & Atkinson. 1995. Etnography, Principles in Practice, 2nd ed. London: Routledge

Hassan, Noorhadi. 2008. Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES dan KITLV

Hefner, Robert W. Where Have all the Abangan Gone? Religionization and the Decline of Non-Standard Islam in Indonesia dalam Rémy Madinier & Michel Picard,


(3)

196

Contention in Java and Bali”, Contemporary Southeast Asia Series, London and New York: Routledge

Hefner, Robert W. 2008. Civil Islam: Muslim and Democratization In Indonesia. Princeton: Princeton University Press

Jenkins, Richard. 2004. Social Identity, Second Edition. Routledge

Machmudi, Yon. 2008. Islamising Indonesia, The Rise of Jamaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party. edisi digital library http://press.anu.edu.au/titles/islam-in-southeast-asia/islam_indo_citation/ , ANU Press

Moller, Andre. 2005. Ramadan in Java, The Joy and Jihad of Ritual Fasting, Department of History and Anthropology of Religion, Lund University, Swedia, 2005, versi Ebook diterbitkan dan diunduh dari www.anpere.net

Mouffe, Chantal. 2005. On The Political, Thinking in Action. Routledge

Peacock, James. 1978. Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian Islam,,California: University of California Press

Rahmat, M Imdadun. 2008. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: LKiS.

Redner, Harry. 2001. Ethical Life: The Past and Present of Ethical Culture. Oxford: Rowman and Littlefield Publisher

Ricklefs, MC. 2008. Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and Contemporary Rhymes dalam Barton, G & White, S., ed. “Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia”. Singapore: ISEAS, 2008

Ritzer, G & Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Tr. Alimandan. Jakarta: Kencana

Robertson, Roland. 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture. London: Sage

Siraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia


(4)

197

Tomlison, John. 1999. Localization and Culture. Cambridge: Polity Press

---2003. Globalization and Cultural Identity, dalam Held, D & Mc Grew, A, “The Global Transformations Reader”. Oxford: Polity Press.

Waardenburg, J. D. J. 1979. Official and Popular Religion as a Problem in Islamic Studies, dalam Pieter H. Vrijhof dan Jacques Waardenburg, ed. “Official and Popular

Religion”. Paris: Mouton Publisher.

Wahid, Abdurrahman, ed. 2009. Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: LibForAll Foudantion.

Wiktorowicz, Quintan, ed. 2012. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial. Tr. Tim Penerjemah Paramadina. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi

Zuhri, Syaifudin. 200. Gerakan Purifikasi di Jantung Peradaban Jawa: Studi Tentang Majelis Tafsir Al Quran (MTA), dalam Prof. K Yudian Wahyudi, Ph.D. ed.“Gerakan Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kritik). Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.

Jurnal

Ali, Muhammad, Muslim diversity: Islam and local tradition in Java and Sulawesi, Indonesia, IJIMS, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 1, Number 1, June 2011

Anderson, John W., New Media, New Publics: Reconfiguring the Public Sphere of Islam, Journal Social Research, Vol 70, No 3, Fall 2003

Baedhawy, Zakiyuddin, Dinamika Radikalisme dan Konflik bersentimen Keagamaan di Surakarta, Makalah untuk Annual Conference on Islamic Studies ke-10, Banjarmasin 1-4 November 2010

Hadiz, Vedi R., Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia, CRISE Working Paper No.74, 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity --- Political Islam in Post- Authoritarian Indonesia,CRISE WORKING PAPER, No. 74, February 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity

Hassan, Noorhaidi, Between Transnational Interest and Domestic Politics: Understanding Middle Eastern Fatwas on Jihad in the Moluccas, Noorhaidi


(5)

198

Contemporary Islam in a Changing Indonesia, Yogyakarta: CISForm UIN Sunan Kalijaga, 2007

--- Faith and politics: the rise of the Laskar Jihad in the era of transition in Indonesia, Jurnal Indonesia, No.73, 2002

Jahroni, Jajang. Gerakan Salafi di Indonesia: dari Muhammadiyah sampai Laskar Jihad, Mimbar, Vol. 23, No. 4, 2006

Jinan, Muthoharun, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Gerakan Majelis Tafsir Al Quran, Makalah untuk Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Departemen Agama, 10-13 Oktober 2011

Soejatno & Anderson, Benedict, Revolution and Social Tension in Surakarta 1945-1950, Indonesia, Vol.17, April 1974

Sunarwoto, Antara Tafsir dan Ideologi Telaah Awal atas Tafsir Al Quran MTA, Jurnal Refleksi, Vol XII No 2 Oktober 2011

Uffen, Andreas, Mobilising Political Islam: Indonesia and Malaysia Compared, Journal Commonwealth & Comparative Politics Vol. 47, No. 3, 308–333, July 2009 Wildan, Muhammad, Mapping Radical Islamism In Solo A Study Of The Proliferation Of Radical Islamism In Central Java, Indonesia, Jurnal Al-Jamiah, Vol. 46 No. 1, 2008, hal. 35-70

Majalah

Majalah RESPON, Edisi 268 XXVI, 20 September – 20 Oktober, 2012, diterbitkan Yayasan Majelis Tafsir Al Quran (MTA)

Internet

Giddens, Anthony, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture,

paragraph 12, diambil dari

http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm

--- Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture,

paragraph 28, diambil dari


(6)

199

--- Runaway World, Lecture 2 Risk, BBC Reith Lecture, paragraph

7, diambil dari

http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week2/week2.htm

--- Runaway World, Lecture 3 Tradition, BBC Reith Lecture,

paragraph 28, diambil dari

http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm Wibowo, I, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/ www.mta-online.com

www.blora.go.id

Dokumen

Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002

Dokumen Desa, Laporan penolakan kedatangan warga MTA di dusun Bangkerep oleh warga setempat, tertanggal