Dinamika Islam di Indonesia

46

2. Orde Baru dan Kebangkitan Islam di Indonesia

a. Dinamika Islam di Indonesia

Dengan berbagai keragaman ekspresi budaya serta latar belakang etnik, suku maupun bahasa, maka dalam sejarahnya pemahaman dan praktek Islam di Indonesia tidak pernah tunggal. Secara umum, dinamika Islam di Indonesia diwarnai oleh ketegangan antara Islam dengan tradisi lokal. Perbedaan ini mengerucut pada dua kutub; pertama, Islam ideal atau normatif, yakni Islam yang dipahami dan dipraktekkan sesuai dengan prinsip yang murni yaitu Al Quran dan Hadits. Kedua, Islam popular, yakni pemahaman dan praktek Islam yang tidak memiliki landasan hukum normatif dan biasanya adalah praktek yang disesuaikan dengan tradisi lokal yang lebih dulu berkembang di masyarakat dan oleh kelompok pertama dianggap sebagai penyimpangan. 69 Di Jawa, Islam popular bisa ditemukan dari beragam ritual atau upacara tradisional, seperti ritus kelahiran, perkawinan hingga kematian. Selain itu umumnya masyarakat Jawa juga mempercayai adanya roh halus, danyang atau kekuatan- kekuatan gaib yang bersifat baik ataupun buruk yang ada di sekitar mereka. Untuk menghormati kekuatan gaib tersebut masyarakat Jawa melakukan berbagai upacara seperti sedekah bumi atau ritual bersih desa sebagai ekspresi syukur atas kebaikan yang mereka nikmati sekaligus memohon keselamatan dari mara bahaya. 69 J. D. J. Waardenburg, Official and Popular Religion as a Problem in Islamic Studies, dalam Pieter H. Vrijhof and Jacques Waardenburg, ed. “Official and Popular Religion”., Paris: Mouton Publisher, 1979, hal 340-341. 47 Dalam kaitan dengan sejarah proses Islamisasi di Indonesia, Islam popular merujuk pada golongan umat Islam yang cenderung akomodatif terhadap berbagai keyakinan atau kepercayaan masa lalu serta berbagai tradisi lokal yang sudah diyakini masyarakat sebelumnya. Yon Machmudi menyebut kelompok ini sebagai kelompok tradisionalis yang kemudian berkembang menjadi organisasi Islam Nahdlatul Ulama. Kelompok ini direpresentasikan oleh orang-orang yang belajar Islam di Mekkah pada pertengahan abad 19 dan kemudian kembali ke nusantara untuk berdakwah di masyarakat setempat. Mereka membangun pesantren yang menjadi tulang punggung Islam tradisional di tanah air dengan mengajarkan Islam dari sumber Al Quran, Hadits, dan teks-teks klasik karangan ulama besar di masa lalu kitab kuning. Sikap akomodatif mereka terlihat dari pola dakwah yang tidak serta merta mengubah praktek-praktek tradisi lokal dan cenderung toleran sepanjang tidak bertentangan dengan esensi ajaran Islam. Dengan karakteristik menjalankan ajaran Islam dengan tetap bersikap akomodatif terhadap keyakinan lokal, kelompok tradisionalis tersebut pada dasarnya membedakan dirinya dengan kelompok yang sudah ada sebelumnya di kalangan masyarakat Jawa yaitu Muslim nominal atau Abangan. Menurut Hefner, kaum Abangan adalah mereka yang memeluk Islam namun tidak mempraktekkan Islam dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya lebih mengutamakan keyakinan leluhur serta melakukan berbagai ritual lokal. Hefner menyebut bahwa Abangan pada 48 mulanya adalah salah satu varian Islam di Jawa yang mencapai kejayaan pada pertengahan abad ke 18, namun kemudian memudar seiring kebijakan negara. 70 Sementara kelompok puritan bercita-cita membersihkan ajaran Islam dari berbagai unsur yang tidak memiliki dasar dalam Al Quran maupun Hadits. Jejak puritanisme pertama di tanah air tercatat terjadi di Sumatera yang dimotori oleh kaum Paderi. Saat itu, tiga ulama asal Minangkabau yaitu Haji Miskin, Haji Abdurrahman dan Haji Muhammad Arif melakukan ibadah haji ke Mekkah yang saat itu dikuasai oleh Wahhabi. Ketiganya tertarik dengan ide-ide pemurnian agama dari kaum Wahhabi dan kemudian mencoba untuk menerapkannya di nusantara. Mereka mengharamkan tasawuf yang ada di tanah Minangkabau dan segala macam takhayul, bid‟ah dan khurafat. Mereka juga mewajibkan memelihara jenggot serta memberi hukuman mati kepada orang yang meninggalkan salat. 71 Gerakan tersebut kemudian dikembangkan oleh kelompok reformis modernis yakni para ulama yang mendapat pengaruh dari ide pembaharuan yang dimulai oleh sarjana dari Universitas Al Azhar di Mesir seperti Jamaaludin Al Afghani 1839-1897, Muhamma d „Abduh 1849- 1905 dan muridnya Rashid Rida 1865-1935. Di Indonesia, pemikiran sarjana- sarjana tersebut memberi inspirasi bagi berdirinya berbagai organisasi Islam yang bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali pada kemurnian ajaran Islam yang 70 Robert W Hefner, Where Have all the Abangan Gone? Religionization and the Decline of Non- Standard Islam in Indonesia dalam Rémy Madin ier Michel Picard, eds.,“The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali ”, Contemporary Southeast Asia Series, London and New York: Routledge, hal. 71-79 71 Abdurrahman Wahid, ed., Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta, 2009, LibForAll Foudantion. 49 sesuai dengan Al Quran dan Hadits, antara lain Muhammadiyah pada tahun 1912 dan Persatuan Islam PERSIS pada tahun 1923. Berbeda dengan santri kolot, kaum reformis atau disebut santri modern berusaha untuk menghilangkan seluruh elemen non-Islami untuk mencapai kemurnian Islam. 72 Tidak hanya di bidang keagamaan, polaritas yang diakibatkan perbedaan artikulasi keislaman juga terjadi di bidang politik. Polaritas yang paling tajam dan akan terus mewarnai situasi sosial politik Indonesia adalah ketika pada tahun 1945 kelompok Islam berupaya untuk menjadikan syariat Islam secara formal ke dalam undang-undang, terutama adalah isu Piagam Jakarta yang ditentang oleh kelompok abangan sekuler. 73 Polaritas juga tercermin dari hasil Pemilu 1955 sebagai pemilu pertama dan dianggap paling demokratis, di mana Partai Nasionalis Indonesia priyayi-abangan kolotmodern dengan wong cilik-abangan-kolot berhasil mengumpulkan 32 persen suara di Jawa, Masyumi priyayi-santri-modern mendapatkan 11 persen suara, sementara Nahdlatul Ulama sebagai perwakilan dari kelompok Islam tradisional wong cilik-santri-kolot mendapatkan 30 persen suara dan Partai Komunis Indonesia wong cilik-abangan-kolotmodern mengumpulkan 27 persen suara. Hasil ini menunjukkan bahwa kaum abangan dan santri kolot masih mendominasi Jawa. 74 72 Hassan, ibid, hal 38 73 Hassan, ibid, hal 39. Salah satu isi dalam piagam Jakarta adalah kalimat yang berbunyi “dengan keharusan menegakkan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kalimat ini kemudian dikeluarkan dari sila pertama Pancasila. 74 Ricklefs mengembangkan konsepsi Santri Abangan Priyayi-nya Geertz menjadi beberapa kelompok: priyayi santri, wong cilik-abangan-kolot, priyayi-abangan kolotmodern, dan wong cilik-santri-kolot. 50 Ketika Orde Baru mulai berkuasa pada tahun 1966, dinamika Islam di Indonesia diwarnai dengan munculnya berbagai organisasi dan kelompok Islam yang secara umum memiliki kesamaan agenda yaitu mengajak umat Islam untuk kembali mengamalkan nilai-nilai Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan. Fenomena ini tidak hanya terkait dengan kebangkitan Islam di dunia internasional, namun juga berkaitan dengan dinamika sosial politik di Indonesia selama kurun waktu 1970 sampai 1980- an, dalam hal ini adalah kebijakan pembangunan dan pasang surut hubungan pemerintah dengan umat Islam.

b. Islam di masa Orde Baru