Idiom dan Formasi Sosial

166 berjumpa dengan staf gubernur. Mungkin kalau belum ngaji ya segan tapi setelah ngaji walau dengan staf gubernur staf bupati ya biasa. Sebelum ngaji ya seperti raja dengan rakyat jelata. ” 187

3. Idiom dan Formasi Sosial

Stabilitas dan kepastian juga didapat anggota MTA dari berbagai idiom atau bahasa yang digunakan MTA. Dalam konteks ini penting untuk melihat MTA sebagai gerakan sosial. Dalam definisi David Meyer dan Sidney Tarrow gerakan sosial adalah 1 gerakan kolektif yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama untuk mengatasi tantangan 2 berada dalam suatu interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan atau musuh dan pemegang otoritas. 188 Lebih lanjut Tarrow mengatakan bahwa gerakan sosial adalah politik perseteruan yang terjadi ketika orang biasa seringkali kerja sama dengan warga negara yang lebih berpengaruh bersama- sama menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif mereka melawan kelompok elit, pemegang otoritas dan musuh politik. 189 Dalam hal ini MTA sebagai aktor gerakan sosial melakukan mobilisasi terhadap individu melalui berbagai bahasa, idiom atau simbol sehingga dengan demikian mampu menarik individu-individu untuk berpartisipasi dan mengkonstruksi mereka dalam suatu identitas dan tindakan kolektif. Dalam teori gerakan sosial hal ini disebut sebagai proses pembingkaian yakni skema-skema yang memberikan sebuah 187 Wawancara dengan Sudipo 27 Juni 2012 188 Ihsan Ali Fauzi, Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya “Orang Luar” dan “Orang Dalam”, Kata Pengantar untuk buku Quintan Wiktorowicz Ed., Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, Tr. Tim Penerjemah Paramadina, Jakarta. 2012, Yayasan Abad Demokrasi, hal 5 189 Ali Fauzi, ibid, hal. 6 167 bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa- peristiwa di “dunia luar” yang berguna untuk menghasilkan dan menyebarkan penafsiran penafsiran gerakan sebagai alat untuk memobilisasi para peserta dan dukungan. Oleh aktor gerakan sosial, gagasan-gagasan atau kerangka pemahaman disusun melalui konstruksi-konstruksi gramatikal dan lensa penafsiran yang menghasilkan makna antar-subyek dan mempermudah tujuan gerakan. 190 Salah satu idiom yang dipakai adalah Islam Kaffah. Dalam berbagai studi tentang gerakan Islam, penggunaa Islam Kaffah ini dipandang sebagai cara untuk mengatasi persoalan dan masalah sosial yang disebabkan oleh globalisasi atau apa yang disebut budaya barat, baik yang menyangkut masalah moral atau masalah kesenjangan sosial. Dengan argumen hanya dengan kembali pada sumber hukum Islam yang benar maka umat Islam akan kembali pada kejayaan mereka. Menurut Suradi: “Kaffah itu bersih. Keseluruhan. Kalau kita lihat secara umum umat Islam pengamalan mereka masih bercampur dengan budaya-budaya yang banyak sekali dimana kalau tidak disadari akan merusak kekaffahan itu sendiri. Islam akan samar-samar. Padahal Allah sudah memberi hukum itu jelas tapi kejelasan itu akan menjadi kabur ketika bercampur dengan budaya-budaya yang memang bertabrakan dengan islam. Dirasakan Islam tapi justru yang negatif akan masuk dan mewarnai yang positif. ” 191 Patut disimak bahwa salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya sebuah gerakan dalam mengubah potensi mobilisasi menjadi mobilisasi yang 190 Charles Tilly dalam Quintan Wiktorowitz, ibid, 69-71 191 Wawancara dengan Suradi 28, Juni 2012 168 sesungguhnya tergantung pada kemampuan sebuah bingkai untuk mempengaruhi individu. Dalam hal ini dikenal proses resonansi bingkai frame resonance yakni ketika sebuah bingkai gerakan bersandar pada simbol-simbol, bahasa, dan identitas identitas budaya lokal lebih mudah dipahami oleh konstituen dan dengan demikian memperkuat mobilisasi. 192 Dalam hal ini Islam Kaffah diikuti dengan idiom Bid‟ah atau kegiatan yang tidak ada dasarnya dalam Quran dan Sunah. Dalam konteks tatanan tradisional Bangkerep, idiom ini terkait erat dengan banyaknya praktek seperti kenduri, yasinan dan tahlilan. Menurut Suyatno alasan yang membuatnya bergabung dengan MTA adalah karena ajarannya yang mengajarkan keutuhan Islam tanpa bercampur dengan tradisi lokal: “Islam secara keseluruhan ya kita mengikuti apa yang diajarkan Quran dan Sunah dan meninggalkan apa yang dilarang Quran dan Sunah. Kalau yang diajarkan mungkin secara umum sama seperti organisasi yang lain. Kemudian yang ditinggalkan kan misalnya tradisi, kenduri, danyang-danyang itu kan diselaraskan dengan Quran kan jelas gak sampai. Itu kan unsur kemusyrikan yang sangat besar. Itu saya tinggalkan. Kemudian bid‟ah. Ustad Sukina mengatakan semua yang baru itu namanya bid‟ah dan bid‟ah itu sesat. Akhirnya saya pegang terus itu. Yang namanya bidah itu kan ajaran-ajaran yang waktu zaman nabi belum ada kemudian sekarang ada. Saya berusaha semaksimal mungkin mengerti bid‟ah itu apa. Misalnya niat solat, tahlilan, yasinan, memang ada haditsnya tapi ternyata lemah. ” 193 Makna Kaffah dalam hal ini mampu memberikan perasaan aman dan stabilitas, baik dalam konteks persoalan dunia maupun mengatasi kecemasan di hari akhir sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan yang dibuat di masa lalu. Bergabung 192 Tilly, ibid, hal 71 193 Wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 169 dengan MTA dan mengamalkan agama secara utuh sebagaimana yang mereka pahami menciptakan rasa tenteram dari dosa yang dibuat pada masa sebelumnya. Selain itu penggunaan identitas budaya lokal juga bisa dilihat dari penggunaan istilah “warga” untuk menyebut anggotanya ketimbang “jamaah” yang identik dengan Islam. Menurut Suradi, hal ini terkait dengan sikap represif Orde Baru yang mencurigai setiap organisasi yang menggunakan identitas Islam pada masa kekuasaannya, terutama istilah “Jamaah”. Sementara menurut Sekretaris MTA Pusat Yoyok Mugiyanto, tidak ada penjelasan atau strategi khusus mengenai penggunaan istilah “warga” dan istilah tersebut berkembang dengan sendirinya. Yang paling menarik dari soal penggunaan istilah lokal adalah “pitik ngendog pitik, emprit ngendoge yo emprit” ayam bertelurnya ayam, burung emprit bertelurnya ya telur emprit. Istilah ini terkait dengan jihad harta yang menjadi salah satu landasan doktrin MTA yakni agar setiap warga MTA bersungguh-sungguh berpartisipasi dalam kegiatan di jalan Allah, baik dalam Zakat resmi atau Infaq sumbangan untuk ibadah. Istilah pitik ngendog pitik emprit ngendog emprit pertama kali dilontarkan oleh Ketua Umum MTA Ahmad Sukina untuk mengajak warga MTA untuk ikhlas menyumbang atau berinfaq dalam bentuk uang sesuai dengan kemampuan untuk berbagai kegiatan operasional baik di MTA Pusat atau di tempat afiliasi masing-masing. Misalnya ketika MTA Pusat mengumumkan rencana pemasangan pendingin ruangan yang menelan biaya 2 milyar yang segera direspon oleh anggota MTA di seluruh Indonesia. Istilah ini selalu dipakai berulang-ulang dan kemudian menjadi populer di MTA 170 termasuk warga MTA di dusun Bangkerep untuk menjelaskan keikhlasan mereka dalam mengeluarkan biaya untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh MTA tersebut. Seperti disampaikan oleh Sudipo: Karena di MTA tidak ada istilah kalau ayam bertelur ayam, kalau sapi anaknya ya sapi. Bebek bertelur bebek. Burung emprit telurnya ya telur burung emprit. Tidak ada kamu harus iuran dana sekian. Masing- masing warga MTA sudah merasa sendiri, saya mampu atau tidak. Ibaranya saya masih taraf bebek ya bertelurnya telur bebek. Siapa yang mampu iuran yang tidak mampu ya jangan iuran. Jangan sampai menekan warganya. Saya orang kecil ditekan sekian tidak ada. Dan itu sudah merasa sendiri karena setiap hari ngaji. 194

D. Rekonstruksi identitas